Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAFANI AKU (Part 2)


Rasa ketakutan itu dimunculkan oleh yang ghaib, agar mudah mempengaruhi diri kita yang tidak memiliki landasan iman dan keberanian. Ketakutan itu adalah senjata dimana aura manusia dapat terpancar, sehingga dapat dengan mudah melihat sang ghaib.

Akhirnya setelah disepakati oleh warga untuk melayakkan mayat Pak Jalu. Warga bergerak menuju area pemakamannya. Sebelum berangkat menyusul warga, terlebih dahulu aku mandi dan mensucikan diri agar badan menjadi bersih, karena aku berniat ingin berziarah ke makamnya abah dan juga kakek, yang berada di tempat yang sama dengan makam pak Jalu.

Sesampainya di makam, terlihat juga ada pak kyai yang sudah membawa kafan, kapas, kapur mayat, bunga, juga yang lainnya. Dua orang menggotong keranda kosong dan yang lainnya membawa dua buah drum kosong yang akan diisi air untuk mensucikan mayat.

Namun saat mereka sampai ke makam Pak Jalu, betapa terkejutnya warga menemukan sesuatu hal yang tidak terduga terjadi. Ternyata liang lahat itu sudah terbuka, dan mayat didalamnya sudah menghilang tanpa diketahui oleh penduduk di sini.

Jasad Pak Jalu sudah tidak ada didalam kuburnya, membuat gempar dan suasana menjadi mencekam. Hal itu menyebabkan warga menjadi riuh, keributan kembali terjadi diantara mereka. Seketika suasana menjadi hingar-bingar. Ketakutan secara perlahan mulai merengkuh penduduk.

Semua membatin, "kok mayat Pak Jalu bisa hilang? Mereka yang mengubur mayat dukun itupun saling menatap bingung dan juga ketakutan."

"Kayane iki mau bengi uwis dibongkar uwong!" (Ini tadi malam sudah dibongkar orang) ucap salah satu orang di sana.

"Wah ono maling mayit po piye kang, opo ojo-ojo pak Jalu urip maneh?" (Wah ada pencuri mayat atau bagaimana kang, apa pak Jalu hidup lagi) orang lain juga saling kebingungan hingga memberikan asumsi masing-masing.

"Jajal di goleki sekitaran kene, sopo ngerti ono tipake!" (Coba di cari sekitar sini, siapa tau ada bekasnya) suara pak lurah menyuruh beberapa pemuda di situ.

Lalu mereka semua berpencar mencari petunjuk di sekitar makam, siapa tau mayat itu memang dicuri orang atau hewan. Semua orang berusaha mencari dengan gamang tanpa kepastian. Dan setelah sekian lama mencari mereka semakin gelisah karena pencarian mereka tak menampakkan hasil.

Andai memang cungkup tanah itu dibongkar manusia pasti ada sisa tanah cangkulan sisa gundukan itu! Tapi ini yang ada hanya liang tanpa kerukan tanah sama sekali, begitu rapi, hingga bisa disimpulkan ini bukan ulah manusia ataupun hewan.

Setelah berjam-jam melakukan pencarian, ternyata tetap hasilnya nihil. Tak ada pertanda sama sekali dimana mayat Pak Jalu berada. Akhirnya karena sudah kelelahan, jumlah warga berkurang, satu persatu pulang kerumah mereka masing-masing.

Aku menghampiri abangku yang tengah mengobrol dengan perangkat desa dan juga pak kyai. Mereka membahas hal ini dengan serius, dan ingin membawa peristiwa hilangnya mayat Pak Jalu keranah hukum. Akan tetapi untuk mengambil keputusan itu menjadi pertimbangan berat bagi kepala desa,

karena yang menghakimi sampai menghilangkan nyawa pak Jalu adalah penduduk desa ini. Hal itu membuat masalah semakin pelik dan juga menimbulkan kebingungan.

"Ngeten mawon pak kyai, kalian wargo sekalian niki dipun rumbung wonten balai desa. Wangsul dhuhuran langsung mawon sedoyo musyawarah wonten mriko!"

(Begini saja pak Kyai, dengan warga masyarakat semua, ini kita bahas di balai desa, sepulangnya ibadah dhuhur langsung saja semua musyawarah disana) Ajak pak lurah kepada semua yang masih berada di situ.

"Njih pak lurah!" (Iya pak lurah) semua menjawab memberi kesepakatan.

Semua kembali pulang dengan pertanyaan masing-masing, sepanjang perjalanan mayat pak Panjalu masih jadi pembahasan mereka. Kejadian seperti ini baru pertama kalinya aku lihat dan ikut serta menyaksikan semua alur kejadian itu, sampai hilangnya mayat dari liang lahatnya.

Sungguh sangat tidak masuk akal, untuk mencari jawaban pun terasa sangat sulit. Sampai pak kyai sendiri pun masih belum menunjukan dimana sebenarnya pak Jalu, masih menjadi misteri di desa ini.

"Mas sini!" Panggil Farida yang duduk di teras rumah.

"Apa nduk?" Tanyaku, lalu menghampirinya.

"Tunggu nanti malam jika mendengar lolongan anjing hutan berarti itu pak dukun itu!" Katanya memberitahuku.

"Kok bisa itu Pak Jalu, anjing hutan masih banyak disini nduk, walau jarang terdengar sih kecuali malam tertentu!" jawabku.

"Iya mas tapi itu yang Ida lihat!" Imbuhnya memberi tahu.

Saat kami masih asyik membahas mayat Pak Jalu, tiba-tiba mas Pur datang berjalan dengan kepala menunduk, berkali-kali menyibakkan rambut gondrongnya.

Mengucap salam saat tiba di halaman rumah dan membuka kran air, membasuh kakinya! Dia tidak langsung masuk, tapi malah ikut duduk bersamaku dan Farida.

"Mleset wes, petunganku!" (Meleset sudah, perhitunganku) kata mas Pur.

"Mleset piye sih mas?" (Meleset bagaimana mas) tanyaku.

"Wong kene ki ora mudeng, yen pak Jalu kuwi nek mati iso nunggal, maleh dadi asu baung!"

(Orang sini itu tidak mengerti, jika pak Jalu itu kalau meninggal bisa menjelma, menjadi anjing baung (anjing siluman) penjelasan abangku dengan serius.

"La terus wes dirembuk durung karo warga kene mas, piye solusine?" (Lalu sudah di musyawarahkan belum dengan warga sini mas, bagaimana solusinya) jawabku.

Ditengah obrolan kami, Farida langsung pamit masuk ke dalam, karena dia juga merasa canggung dengan abangku. Namun kedua tuturan antara abang dengan adik angkatku kurasakan memang benar, jika mayat itu sekarang tengah menjelma menjadi seekor 'anjing baung'.

Itu ilmu yang selama ini diamalkan sang dukun sehingga dia menjadi sakti, dan ingin 'manunggal' yaitu setelah kematian menjadi siluman agar bisa abadi di alam fana ini!

Menurut penjabaran abang, ternyata dalam menuntut ilmu hitamnya, syarat yang harus dilakukan adalah dengan meniduri pasiennya. Tidak heran jika semua pasien wanita yang datang pada pak Jalu selalu disetubuhi untuk menyempurnakan ajian asu baung itu.

Meski tentunya dengan ada persyaratan lain yang tidak abang jelaskan.

"Dik Farida loh malah ngerti, mosok pean ga roh le?" (Dik Farida loh malah tau, masak kamu tidak tau le) tanya mas Pur.

"Lah manungso mas ono batasan lan keluwihane dewe-dewe kan!" (Lah manusia mas ada keterbatasan dan kelebihannya masing-masing kan) jawabku.

Mendengar jawaban itu abang hanya tersenyum lalu menawariku rokok, agar ngobrol kami berdua bisa santai!

Siang itu sehabis menjalankan ibadah, sebagian warga ada yang menghadiri rapat yang diadakan oleh pak lurah, namun ada juga yang tidak bisa hadir karena urusan masing-masing. Aku dengan teman-teman sebaya hanya duduk di depan balai desa menunggu hasil dari musyawarah itu.

Perdebatan pun terdengar dari dalam oleh pamong dan warga yang tidak ingin membantu menyelesaikan hal ini, mereka lebih cenderung menuntut agar masalah ini segera diatasi dan selesai secepat mungkin.

Sebenarnya mereka itu ketakutan dengan sendirinya, padahal masalah pelik ini ulah dari mereka. Andai semua bisa saling paham, saling kerja sama, dan merasa bertanggung jawab; masalah bisa secara pelan dicari solusinya.

Ketegangan itu makin memanas ketika seorang pemuda yang sok merasa hebat di kampung ini membentak, dia tidak setuju dengan penjelasan yang diutarakan oleh abangku.

"Sakti, Nyatane yo bongko menungsane!" (Sakti, kenyataan-nya juga mati manusia itu) teriaknya dengan merasa hebat.

"Santai wae mas Kenthung, yen sampean ora percoyo, nyatane mayite juga ora ono jluntrunge, yen sampean anggap iki dudu wong sakti sing iso nuntut bales yo iku terserah pendapatmu, awak dewe ning kene golek solusi ora malah podo gegeran mergo ngugemi argument dewe-dewe!"

(Santai saja mas kenthung, kalau kamu tidak percaya, kenyataannya mayat itu juga tidak ada kejelasannya, kalau kamu anggap bukan orang sakti yang bisa balas dendam ya itu terserah pendapatmu, kita disini mencari solusi bukan malah saling ribut karena argument masing-masing) jawab mas Pur.

"Yen wong iku pancen sakti iso maleh asu baung koyo sing mbok omongke Gus. Kok iso sampean ngerti, memange wong iku tau cerito? Tak delok awet pean teko sore wingi pancen ora seneng karo pemuda kene!"

(Kalau orang itu memang sakti bisa berubah jadi anjing siluman seperti yang kamu katakan gus. Kok bisa kamu tahu, emangnya orang itu pernah cerita? Aku melihat saat kamu tiba kemarin sore memang terlihat tidak suka dengan pemuda sini) kata Kenthung preman kampung itu, semakin emosi.

"Sampun, dirembuk kanti sareh mawon mas!" (Sudah, dibahas dengan sabar saja mas) Pak Kyai menengahi perdebatan mereka.

"Mboten usah ndhalil Mbah Kyai, kersane Gus Pur bade ngendiko nopo meleh, cobi tak rungokke, soale kulo ngertos yen kolo omongan ngendikane sengak kalian kulo lan pemuda liyo nipun!"

(Tidak usah mendhalil mbah kyai, biarkan gus Pur mau bicara apa lagi, coba saya dengarkan, soalnya saya mengerti jika dari kemarin omongannya sengak dengan saya juga pemuda yang lain) tambahnya berucap.

"Loh mas sing sengak ki sopo? Kulo namung ngilingke yen menungso iku iso nuntut bales. Tur aku juga ora melu-melu urusanne sampean lan pemuda kene, mergo bakal ono piwales!"

(Loh mas yang sengak itu siapa? Saya hanya mengingatkan jika manusia itu bisa menuntut balas. Dan aku juga tidak ikut campur urusan kamu juga pemuda sini, karena bakal ada balasan) balas abangku.

Suasana menjadi tidak nyaman karena di dalam bukan berembuk mencari solusi tetapi malah terjadi keributan, preman itu malah menunjuk abang yang tidak pro atau mendukung kelakuan pemuda setempat yang sudah mengadili dukun cabul itu.

Ketegangan itu terus terjadi hingga pak kyai juga perangkat desa lain memilih untuk menunda kembali musyawarah, menghindari perseteruan yang semakin memanas.

Semua akhirnya keluar dan rapat malam itu tak memiliki hasil, aku juga melihat mas Pur dan kang Armani keluar dengan lesu, lalu gerombolan pemuda yang dipimpin oleh Kenthung juga keluar dengan muka bringas, seakan mereka tengah berbangga diri atas semua itu.

"Gus...," teriak preman itu memanggil abang.

"Opo neh mas?" Tanya abangku yang menghentikan langkahnya.

"Ora usah ita-itu Gus, yen perkoro iki sampai teko polisi berarti awakmu!"

(Tidak usah aneh-aneh gus, jika perkara ini sampai ke kepolisan berarti kamu) ucap laki-laki itu semakin terdengar tidak mendasar.

"Aku ora lapor, aku juga ora arep melu-melu urusanmu sak bolomu kabeh. Wes rompung no dewe!"
(Aku tidak melapor, aku juga tidak ikut campur urusan kamu dengan temanmu semua. Sudah selesaikan sendiri) kata mas Pur dengan nada sedikit kesal.

Pernyataan itu malah membuat geram si preman yang langsung memegang kerah baju abangku. Melihat hal itu kang Armani yang di sebelahnya langsung mendorong tubuh Kenthung hingga mundur beberapa langkah.

"Kowe ki setan, omonganmu ra ono dasar, opo isih kurang ngepruki uwong sampai mati?"
(Kamu itu setan, omonganmu tidak memiliki dasar, apa masih kurang menghajar orang sampai mati?) ucap kang Armani dengan emosi melihat kelakuan preman itu.

"Kowe sopo arep melu-melu?" (Kamu siapa mau ikut campur) balasnya dengan nada tinggi.

"Ora perlu pandang aku sopo, ngertio sopo sing mbok ancem kui mau, putu sing babat alas deso kene!"

(Tidak perlu pandang aku siapa, mengertilah siapa yang kamu ancam itu tadi, cucu pendiri desa sini) ucap kang Armani.

Kang Armani berhasil melerai pertikaian itu, akhirnya mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Jika dipikir-pikir, sebenarnya keributan ini terjadi karena preman itu yang menggerakkan masa untuk menghajar pak Panjalu,

dan kini dia merasa bersalah juga sangat ketakutan sampai ingin mencari-cari kambing hitam agar dirinya merasa aman tenang, juga terbebas dari hukuman.

Sebenarnya dia telah memulai masalah besar namun ingin menghilang dengan melepaskan tanggung jawab kelakuannya sendiri. Namun kini semua itu telah terlambat dan juga sudah telah terjadi.

Kini hanya menunggu apa yang akan mereka semua rasakan. Buah pembalasan atas perlakuan tanpa perikemanusiaan.

***

Manusia sejati tidak akan bersembunyi dibalik perlindungan orang lain dengan apa yang telah diperbuatnya. Hanya orang pengecut yang berteriak berani, namun malah menuding orang sebagai kambing hitam.

Siang itu akhirnya berlalu begitu saja. Perdebatan seru dan panjang tidak membuahkan hasil, karena tidak ada jalan penyelesaian yang diperoleh dari musyawarah yang di adakan oleh pak lurah. Justru yang terasa, suasana semakin bertambah kisruh dan rusuh.

Hal ini disebabkan karena sikap preman yang tetap merasa paling benar dengan pendapat dirinya sendiri bahwa ilmu kesaktian 'asu baung 'yang dimiliki sang dukun itu hanya dianggap sebuah karangan semata.

Sementara itu, jasad pak Panjalu masih entah kemana hilangnya, semua ini menjadi misteri yang menakuti sebagian banyak penduduk desa.

Sampai malam, Abangku juga belum juga terlihat pulang ke rumah semenjak siang tadi.

Mungkin dia masih membahas mengenai masalah ini, atau berada di tempat temannya. Aku juga tidak tau...

Dirumah hanya aku dengan nenek juga Farida yang sesekali membicarakan perihal mayat yang hilang.

"Wes ora usah dipikir nemen, mengko lake ketemu yen wes titi wancine." (Sudah jangan terlalu difikirkan, nanti juga ketemu kalau sudah saatnya) kata nenek yang memberitahukan akan hal ini.

"Injih mbah, mugi-mugi mawon!" (Iya nek, semoga saja) jawab Farida.

Tidak seberapa lama nenek lalu menyuruhku mencari abang, karena masih cemas jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh preman dan anak buahnya di luar sana.

Aku pun segera keluar rumah lagi untuk mencari dimana mas Pur saat ini!

"Mas aku ikut!" adik angkatku itu meminta.

"Ya udah ayo, sekalian cari kabar berita dari warga!" ajakku ke dia.

Kami berdua berjalan menyusuri kampung yang sepi, walau hari masih siang beranjak sore. Tetapi pintu rumah seakan semua tertutup rapat, semua orang tanpa terlihat beraktivitas seperti biasanya. Kesunyian itu menyebabkan suasana di kampung ini terasa angker.

Padahal kejadian kematian dukun cabul itu baru terjadi kemarin. Namun dampaknya mulai terasa. Sesampainya di rumah temannya, abang pun juga tidak berada disana, entah kemana perginya.

Lalu kami menanyakan keberadaan abang sama keluarga kang Armani tetapi mereka juga tidak mengetahui kemana mereka berdua pergi. Timbul pertanyaan di benakku, masih ada pertemuan kah dengan perangkat desa, atau mereka mencari mayat itu?"

"Kemana lah mas Pur ni!" gumamku.

"Selain kesini biasanya kemana mas Pur nya?" tanya Ida padaku.

"Ya ga tau nduk, aku kan juga jarang dirumah." kataku menjawab.

"Ya udah jalan saja, sambil mencarinya keliling kampung mas!" Farida mengajakku.

"Ya dah, ayo!"

Kami melanjutkan pencarian, sampai akhirnya saat hari sudah gelap, kami berdua berhenti tepat di depan rumah pak Jalu. Pintu dan pagar rumah itu tertutup. Dimana pergi istrinya?

Memang selama ini mereka hanya hidup berdua tanpa memiliki keturunan anak. Halaman rumah yang luas itupun sepi, yang biasanya banyak kendaraan tamu pasien terparkir disitu.

"Ini rumah pak Jalu itu nduk, tapi ga ada orang, mungkin istrinya pulang ke kampung sebelah di tempat saudara almarhum!" kataku memberitahu adikku.

Dia hanya mengangguk lalu tatapannya melihat kedalam bangunan rumah yang terlihat sepi itu.

Tidak seberapa lama dia menarik tanganku, mengajak pergi menjauh dari rumah ini.

"Kenapa?" tanyaku.

"Sudah nanti saja aku ceritakan!" Ucapnya sambil terburu-buru berjalan.

Aku mengikuti langkahnya yang seperti orang ketakutan. Dia hanya mengajak pulang ke rumah dengan sangat cepat melangkah. Hingga kami berdua sudah tiba kembali di rumah. Dan langsung masuk dan duduk diruang tamu, sambil menenangkan diri.

"Ada apaan sih?" tanyaku, yang duduk di sampingnya.

"Di rumah Pak Jalu tadi ada banyak sekali anjing yang besarnya hampir segede sapi mas, matanya merah melihat kearah kita!" katanya memberitahukan apa yang Farida lihat.

"Masak sih! Kok aku ga melihatnya!" kataku menjawab.

"Sumpah, banyak banget, sepertinya memang anjing-anjing itu menjaga rumahnya pak Jalu!"
Imbuhnya menjelaskan dengan peluh yang banyak menetes.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang siluman itu jaga? Kenapa dalam hal ini Farida yang lebih peka, dibandingkan aku. Mungkin dalam peristiwa ini, dia yang diminta untuk mengungkap misteri ini.

Namun, aku juga sangat yakin dengan kemampuan adik angkatku ini, kepekaan mata batinnya memang sangat tajam dan luar biasa, mudah melihat hal-hal ganjil diluar nalar. Dia juga memang terlahir dengan keistimewaan ini, yang juga terus diasah dan dibimbing pak Waluyo sang ayah.

"Aku yakin jika mayat itu sudah menjelma jadi salah satu asu baung. Dan kemungkinan dia pulang ke rumahnya. Itulah sebabnya mayatnya hilang dari kuburan!" aku mulai memberikan kesimpulan.

"Itu kemungkinan yang bisa saja terjadi mas, sebaiknya diberitahukan pada mas Pur, agar cepat dicari tahu kebenarannya!" katanya memberi solusi.

Hanya saja dimana perginya abangku kini, kami berdua sudah mencarinya namun tidak juga ketemu.

Yang bisa kami lakukan kini hanya menunggu mas Pur pulang.

***

Malam ini sekitar jam sepuluh malam, aku hanya berbaring di dalam kamar, mencoba untuk tidur namun belum juga datang rasa kantukku.

Auuuuuuuuuuu....

Lolongan asu baung terdengar jelas meski sangat jauh, hingga berkali-kali suara itu melolong panjang. Buru-buru aku bangkit lalu keluar rumah, mendengarkan baik-baik arah suara anjing siluman itu.

Aku berdiri di halaman rumah yang sepi, malam ini bertepatan dengan purnama yang berbentuk sempurna, dengan cahaya yang membentuk cincin mengelilingi.

Mataku menatap ke arah langit dengan cahaya keemasan itu. Awan melintas berlahan, terbawa angin yang menerpa diri ini juga. Sampai berkali-kali lolongan itu terdengar semakin jelas, semakin dekat.

"Mas...!" Adikku yang juga ikut terbangun menyusul keluar rumah.

"Nduk, ga tidur?" kata ku bertanya.

"Dia muncul mas!" jawab nya justru memberitahukan hal ghaib padaku.

Aku hanya berjalan ke tengah jalan, lalu melihat tanah dimana kemarin dukun itu terkapar meregang nyawa. Tiba-tiba kulihat disana ada sosok hitam sangat besar, tingginya hampir menyamai pohon yang berada di sebelahnya.

Di bawahnya ada banyak sekali anak kecil yang berlarian dengan rambut panjangnya, yang tidak jelas bocah-bocah itu berjenis apa.

Bayangan hitam itu hanya terlihat seperti ilusi yang transparan, namun jelas, dengan rambut panjang dan mata berwarna merah. Ada juga seperti asap yang menutupinya, tetapi semua itu bagai fatamorgan. Mata ini dapat menembus alam nyata meski sosok itu terlihat.

"Ini apa?" tanyaku pada Farida.

"Itu wujud hitam yang keluar dari cincin milik pak Jalu, kalau bocah-bocah itu dia tadi hanya menjilati sisa darah disana dari kemarin sudah seperti itu!" jelas Farida.

"Pantas saja ga mati, prewangan dukun itu makhluk ini!" kataku.

"Ini baru salah satunya mas, prewangan aslinya ya ilmu didalam dirinya itu!" jawabnya.

Terdengar suara nenek memanggil kami, beliau memberikan satu ember berisi air dan gayung.

"Le, siramen tilas getih kui, woco ayat kursi karo sholawat!" (Nak, disiram bekas darah itu, baca ayat kursi dengan sholawat) suruh nenek.

Lalu aku menyiramkan air satu ember itu tepat ditempat makhluk hitam besar itu berdiri, nenek dan Farida menunggu di depan rumah hanya mengingatkan untuk berhati-hati.

Tentu doa juga di iring oleh nenek dan adikku. Siraman air itu membuat bocah yang berlarian langsung menghilang, perlahan bayangan itu juga lenyap saat siraman air terakhir aku guyurkan.

Kemudian aku meminggirkan bekas paving yang berserakan itu, lalu aku kembali pulang ke rumah dengan di iringi lolongan anjing siluman yang melolong sangat panjang.

***

Meminta perlindungan dibalik kekuatan setan, mereka hanya akan memberikan kuasanya tanpa keabadian. Ketika masa perjanjian itu usai maka semua yang ada jika terbelenggu kedalam alam mereka dengan penyiksaan.

Suasana malam ini semakin membuat aura mistis terasa mengental. Seolah-olah, setan-setan berarakan keluar dari sarangnya. Mereka seperti mendapat panggilan dari siluman Asu Baung. Aku berjalan pulang, ingin bertemu dengan nenek juga Farida.

Namun ternyata, tepat di sebelah kiriku, aku sudah ditatap langsung oleh sosok yang berwajah mengerikan. Kuntilanak dengan bau bunga melati itu terus membarengi langkahku sembari wajahnya terus menatap ke arahku.

Aku mememutuskan untuk mengabaikannya. Hal itu merupakan keputusan terbaik yang aku lakukan. Aku mempercepat langkahku. Namun semakin aku mempercepat langkahku, wujud menakutkan itu terus bergerak mengikuti.

Persis sejajar denganku dan mukanya terus menatapku. Tatapan matanya tajam, hitam pekat tanpa berkedip. Dan hanya beberapa langkah sebelum tepat sampai di depan nenek dengan Farida yang berdiri menunggu, kuntilanak itu menghilang.

"Cepetan mas!" Farida setengah berteriak menyuruhku.

"Iya.. kenapa sih?" Jawabku dengan mempercepat langkah.

"Dibelakangmu ada anjing besar banget tadi!" dia memberitahuku.

Namun aku malah tidak merasa melihat anjing siluman itu. Untuk memastikannya, aku berhenti dan berbalik, namun sama sekali tanpa terlihat apa-apa lagi, hanya wujud wanita seram tadi yang kini sudah menghilang entah kemana.

"Ndang podo mlebu ngomah!" (Cepat buruan pada masuk rumah) suruh nenekku.

"Iya nek!" Jawab kami berdua, yang langsung mengikuti beliau.

Tanpa berhenti lolongan itu terus terdengar, lalu dari kejauhan terlihat dua orang tengah berjalan dengan sangat buru-buru. Ternyata mereka adalah Mas Pur dan Kang Armani pulang ke rumah.

Mereka hanya sebentar saja di rumah, mengambil sesuatu dari dalam kamarnya lalu kembali berpamitan meninggalkan rumah lagi.

Nenek hanya berpesan pada mereka berdua untuk berhati-hati, seakan nenek sudah paham apa yang akan mereka lakukan dan kemana mereka pergi.

Aku tak ketinggalan meminta ijin kepada nenek, untuk ikut pergi bersama mereka. Aku ingin tau kelanjutan peristiwa ini. Dengan restu nenek, akhirnya aku mengikuti mereka menuju rumah pak Kyai. Ternyata disana sudah ada beberapa warga yang berkumpul.

Mereka membicarakan sesuatu, yaitu tentang lolongan asu baung itu, salakan anjing siluman yang tiada henti, seperti sedang membangunkan lelembut disini.

"Yen kabeh wes podo mantep, ayo budal!" (Kalau semua sudah siap, ayo berangkat) ajak pak Kyai.

Langkah beliau kami ikuti. Kami berjumlah kurang lebih tiga belas orang berjalan mengiringi pak kyai dan pak lurah.

Semua berjalan dengan mengumandangkan takbir dan sholawat. Suasana menjadi riuh terdengar. Warga yang mendengar rombongan ini banyak yang mengintip dari dalam rumah tanpa ikut serta dengan kami. Mungkin mereka masih berselimut ketakutan atau memilih aman dengan menjaga anak istri dirumah.

Setelah sampai di rumah Pak Panjalu, terlihat pak Kyai membaca doa lalu berbalik menghadap kearah kami, menyuruh kami semua agar memanjatkan doa terlebih dahulu.

Ketika pagar itu dibuka sosok bayangan hitam raksasa itu terlihat berdiri di belakang rumahnya, sangat besar dan tinggi, namun hanya seperti ilusi terlihat.

"Yen ono sing podo weruh, ojo wedhi, kudu tatak!" (Jika ada yang bisa melihat, jangan takut, harus berani) kembali pemuka agama itu memberi tahu.

Setelah mendengar kesanggupan kami semua, mulailah kami melangkah masuk ke halaman rumah itu. Angin kencang tiba-tiba meniup, sosok hitam setinggi pohon kelapa itu lalu menggeram dengan suara yang keras.

Menghardik kami semua, memperlihatkan tatapan matanya yang merah menyala tanda tidak menyukai kehadiran kami. Sosok itu menggoyangkan beberapa pohon dengan tangan besarnya untuk menakuti kami. Namun, Ia hanya mampu sebatas itu, tanpa bisa melakukan hal lebih dari itu.

Sautan gonggongan anjing terdengar dari dalam rumah, menggeram, juga ada yang melolong sangat lama terdengar. Mendengar itu bulu kudukku seketika berdiri, terasa merinding. Energi itu terbentur sangat kuat bercampur hembusan kencang angin di area ini.

"Dobrak lawang.e!" (Dobrak pintunya) suruh pak Lurah.

Beberapa orang maju mengikuti perintah kepala desa itu, lalu mendobrak pintu itu, saat pintu terbuka lebar bau dari dalam rumah ini sangat menyengat, ada bau wangi kemenyan, dupa, juga minyak mistik.

Rumah terlihat sangat angker tanpa penerangan lampu, saat salah satu dari kami mencoba menyalakan lampu di rumah itu, bohlam itu tiba-tiba pecah dengan sendirinya. Kelebatan bayangan berbentuk anjing terlihat, hingga pasangan mata menyala itu juga terlihat dari berbagai ruangan.

Meski di dalam rumah pun, angin terasa berputar dengan kencang, menyibak tirai, juga menerbangkan beberapa benda kecil. Semua mundur menahan mual ketika bau busuk itu tercium sangat menyengat. Bau bangkai dari arah dalam sebuah kamar, dengan penjagaan bayangan anjing siluman.

Ada juga yang keluar rumah Karena merasa tidak sanggup berada didalam sini, semua terasa panas meski angin meniup, bebauan wangi sudah menjadi busuk, ditambah mata mengerikan itu terus menatap dengan tajam.

"Opo ra ono sing gowo senter yo?" (Apa tidak ada yang membawa senter ya) tanya pak lurah.

"Mboten pak!" (Tidak pak) jawabku.

Tidak seberapa lama, pak Kyai berdiri menatap ke arah kamar itu. Ia dengan abangku dan kang Armani berdiri kearah dapur dan ruangan lain. Mereka membacakan doa, lalu memprapat rumah ini, dengan membacakan ayat kursi di setiap sudut ruangan.

Secara perlahan, semula tadi di tengah kegelapan hanya mata itu terlihat, kini gigi tajam berwarna putih bertaring itu juga terlihat, dengan geraman yang menggetarkan.

Beberapa kali gemerincing suara rantai terdengar dari dalam kamar itu, lalu cahaya bersinar dari dalam sana memperlihatkan sosok pak Panjalu yang tengah berdiri,

dengan kondisi seperti saat dia mati, kepala terpecah, tulang yang patah mematah, pelan bergerak mendekat meski belum terlihat fisiknya secara jelas.

"Astagfirullah!" teriak beberapa orang yang menghambur keluar ketakutan.

Dimana, anjing siluman itu sekitar tujuh ekor berada di samping juga belakang sang dukun menjaganya, siap menerkam kami yang masih berada di dalam rumah ini!

Kentongan witir dibunyikan agar semua warga yang masih terjaga untuk datang kemari. Tetapi, tak satupun ada yang terlihat menyusul, meski terus kentongan itu dibunyikan hasilnya nihil. Mereka masih diliputi dengan rasa ketakutan itu. Hal ini menjadikan suasana desa seperti desa mati.

Beberapa gertakan terdengar dari pak kyai, lalu beliau menggaris lantai itu dengan tongkat rotan di tangannya, benteng ghaib itu muncul dengan bayangan emas, membuat segerombolan anjing siluman juga jasad hidup itu tidak bisa melangkah lebih maju.

Tasbih yang ada di tangan dua pemuda di sampingnya lambat laun memancarkan cahaya. Jika kini terlihat dari kebatinan, alam ini terlihat sangat jelas. Kami seperti tidak lagi berdiri di dalam rumah, tetapi berada di dalam sebuah gua besar yang lebih terlihat bagai sarang asu baung ini.

Perlahan terlihat, gemeretakan tulang belulang yang patah itu, lalu seperti menyambung dengan sendirinya. Pecahan kepalanya berlahan mengatup dan luka yang terbuka menganga itu menutup, mewujudkan kembali sang dukun seperti saat semasa masih hidup!

Auuuuuuuu....

Lolongan itu terdengar keluar dari mulut Pak Jalu, hingga tujuh siluman penjaganya memperlihatkan taringnya yang semakin mengerikan. Bau amis menjijikan itu semakin tercium busuk bercampur dengan bau bangkai yang semakin menyengat.

Bayangan hitam berkelebat mendekat lalu masuk dalam raga sang dukun itu, membuat teriakan keras lalu tajam memandang ke arah pak Kyai, juga abang dan kang Armani.

"Manungso, opo isih kurang miloro ragaku?" (Manusia, apa masih kurang menyakitiku) ucapnya dengan nada yang terdengar serak dan berat.

"Tumeko ku tanpo miloro, anamung nyampurnaake pati siro!" (Kehadiran ku tidak menyakiti, tapi untuk menyempurnakan kematianmu) jawab pak Kyai.

Namun, sosok itu tertawa kuat, seakan-akan seperti mengejek ucapan yang terdengar olehnya. Membalas kami dengan kesombongan yang dia perlihatkan didepan kami semua. Terdengar tantangan dan juga pengusiran kami dari tempat ini.

Kata ancaman serta umpatan amarahnya terus terdengar. Jika kini dirinya ingin menuntut balas kepada semua orang yang pernah membunuh juga menyiksanya.

Kain sorban berwarna hijau itu sekali disebatkan oleh pak kyai itu, pusara angin langsung menghilang. Anjing-anjing siluman itu, menggeram mundur, seakan takut menyaksikan ketiga orang yang berdiri ini!

Semua itu berubah menjadi asap putih lalu masuk kedalam raga sang dukun, hingga perubahan wujudnya terlihat. Dimulai dari kepala dan wajah itu terlihat mirip dengan anjing, tangannya mengeluarkan cakar di jemari yang beruas panjang.

Lalu mulut itu sangat moncong ke depan, dengan taring dan gigi tajam berwarna putih. Raga pak Panjalu sudah setengah manusia setengah siluman. Dan matanya saat dibuka berwarna merah menyala.

"Baung!" teriak pak Kyai.

"Allahhu Akbar!" imbuh abangku.

Saat ini, hanya menyisakan lima orang yang berada disini, berhadapan dengan siluman baung. Dinding ghaib yang dibuat oleh orang tua sakti itu, masih membatasi antara kami dengan sosok itu.

Walaupun terlihat aman untuk saat ini, kewaspadaan harus tetap ada, karena suatu waktu bisa saja pria berkepala hewan ini masih menghimpun tenaga untuk menyerang.

Lantunan ayat suci semakin jelas dilantunkan, aku dengan pak lurah yang berdiri dibelakang mereka juga ikut serta melafaskan ayat-ayat itu. Sampai busur panah dalam genggaman kang Armani (Aji Nur illahi),

Tasbih di tangan mas Pur juga sudah menjadi sebuah keris dengan cahaya Nur putih, keduanya memiliki senjata dengan cahaya yang sering kusaksikan digunakan mereka saat menghadapi para lelembut.

Tongkat rotan dibungkus dengan kain sorban warna hijau itu, seketika berubah menjadi pedang dengan lengkungan bulan sabit (Pedang Ghaib Zulfikar Rasul), sudah ada di tangan kanan pak kyai.

Mereka kini siap bertempur, hanya aku dan pak Lurah yang tidak memiliki apapun. Kami berdua bertugas menguatkan mereka dengan terus melantunkan doa.

Dinding ilusi itu berlahan memudar, semakin tipis, hingga gelombang fatamorgana itu lenyap tanpa terlihat mata. Menandakan jika sudah tanpa pembatas antara kami semua, waktu dimana kini semua siap untuk melumpuhkan.

Manusia setengah siluman itu langsung menarik rantai yang mengikat dirinya, menyentakankannya sekali ke tanah dan merubahnya menjadi pedang besar dengan nyala api. Sosok itu menyeringai memberi isyarat peperangan. Satu melawan tiga tentu lawan yang tidak sebanding.

Arjuno Jaler mengangkat busur panahnya siap membidik kearah depan, begitu juga dengan Adipati Songgo Bumi, dengan kuda-kudanya siap menerkam dengan Keris Nur Jagad yang ia genggam.

Hanya menunggu Kyai Rogo Sejati dengan pedang rosul ghoib-nya siap, hanya tinggal meneriakan perintah maka semua akan melayangkan senjata masing-masing dengan jurus andalan mereka semua.

***

Arjuno Jaler itu sebuah ilmu kuno yang artinya Arjuna Laki-laki, bersenjatakan Nur illahi sebagai panah. Adipati Songgo Bumi ini juga gelar keilmuan trah mataram kuno, yang bersenjatakan Keris Nur illahi.

Mbah Kyai Rogo Sejati adalah Guru pembimbing mereka berdua, yang merupakan ayah kandung kang Armani, kebatinan tinggi dengan bersenjatakan pedang nabi zulfikar. Arjuno Jaler itu wujud kang Armani, dan Adipati Songgo Bumi itu wujud dari mas Pur.

Nasab mereka bisa dijelaskan karena benang ilmu yang selalu tersambung dimulai dari Mbah Mojo Geni yang merupakan murid Kyai Panggung (sunan Geseng), lalu mbah Mojo memiliki tiga murid, dimana salah satunya adalah Kyai Mangun, ayahanda Kyai Rogo, kakek dari kang Armani.

Mas Pur, dan kang Armani digembleng langsung oleh sang ayahanda, hingga benang ilmu itu tanpa terputus oleh era kami, anak, cucu, cicit, dan keturunan selanjutnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close