Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 3)


JEJAKMISTERI - "Mas, bangun." Sedikit keras suara Warni pagi itu, membangunkan Rahmad. Pasalnya, Warni melihat satu hal tak biasa dari diri suaminya. Masih meringkuk saat mentari sudah menampakkan sinarnya.

Sebentar Rahmad membuka matanya. Terdiam memulihkan kesadaran sebelum beranjak bangkit dari ranjang bertilam kain lembut bercorak bunga dengan warna hijau mendominasi.

"Mas, kamu semalam yang membuka pintu dapur, Ya?" tanya Warni kembali, setelah melihat Rahmad bangkit dan duduk di tepian ranjang. Namun, Rahmad hanya terbengong. Seperti Sedang mengingat sesuatu.

"Mas! Di tanya kok malah bengong." Lagi-lagi suara Warni meninggi, melihat Rahmad diam mengacuhkan ucapannya.

"Bukan, Dek. Tapi...." Ragu Rahmad, untuk meneruskan kalimatnya. Tak yakin Warni bisa menerima penjelasannya.

"Tapi kenapa?" sambar Warni spontan, mendengar ucapan suaminya terputus.

Rahmad masih terdiam beberapa saat. Menimbang-nimbang segala konsekwensi bila ia menceritakan semua kejadian di alaminya semalam. Di tatapnya wajah Warni sebentar, seolah ingin meyakinkan dirinya bila sang istri yang kini duduk di sampingnya, mau mendengar dan percaya dengan semua ceritanya.

"Anu, Dek. Omongan bapak bener. Pekarangan belakang rumah kita memang ngeres," jawab Rahmad.

"Maksud, Mas?" kejar Warni, menciutkan wajahnya.

"Semalam Mas mengalami sendiri, benar-benar melihat kalau di belakang rumah kita ada...."

"Setannya, demitnya...." Warni yang awal terlihat antusias seketika menyahut cepat cerita Rahmad. Tapi dari ucapannya, Rahmad tau jika istrinya mencibir tak percaya.

"Sudah, Mas. Sekarang mandi, sarapan, berangkat kerja. Biar urat halumu bisa kendor dan pikiranmu bisa jernih." Sambung Warni seraya bangkit, menyunggingkan senyum sinis.

"Tapi, Dek. Mas serius!" Rahmad masih mencoba meyakinkan Warni. Namun , lagi-lagi suara tawa yang di dapatnya. Membuatnya hanya bisa menarik nafas panjang atas ketidak percayaan dan ejekan- ejekan istrinya.

Rahmad akhirnya bangkit dan berlalu kebelakang. Menyudahi obrolannya dan meninggalkan Warni yang masih terpingkal. Menyisakan kejengkelan, rasa dongkol tak terungkap dan hanya mengendap dalam batinnya.

Selesai membersihkan tubuh serta memindahkan sepiring nasi goreng ke dalam perutnya, Rahmad berangkat menjalankan kewajibannya sebagai Khalifah dalam rumah tangga. Melupakan sejenak rasa takut, was-was, dan emosi yang tertahan.

Sementara Warni, seperti hari-hari biasa. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah. Mengabaikan tetangga kanan kiri yang berkumpul sembari mengawasi anak-anak mereka, tengah bermain riang. 

Tak ada niatan sedikitpun dalam diri Warni untuk sekedar basa-basi atau membaur guna saling mengenal. Meski terkadang bergelanyut rasa bosan, tetap saja Warni enggan untuk melenturkan kekakuan pikirannya.

Seperti hari itu, saat waktu mulai meninggalkan siang menyambut sore, Warni terlilit rasa bosan. Beberapa jam ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk, membuat urat dan ototnya menengang. Memaksanya untuk bangkit dan beranjak ke luar kamar. 

Tak ada tempat pasti di tuju warni. Ia hanya melangkah pelan menuju belakang. Melirik serta menatapi isi ruang makan dan dapur, yang letaknya berdampingan dengan kamar mandi di lengkapi sebuah sumur berbantu Sanyo.

Warni terus melangkah, dan baru berhenti beberapa jengkal dari pintu dapur. Mendekat ke arah sisi kiri, menatapi sebuah karung terikat tiga tali putih memocong. Rasa penasaran seketika menyelinap dalam benak Warni. Sebab ia merasa tak meletekan atau sebagai pemilik karung itu. 

Perlahan tangan Warni meraih ujung tali dan melepasnya satu persatu. Ia sedikit kaget. kemudian berujung menjadi rasa penasaran, mendapati karung yang sudah terbuka berisi tumpukan kain-kain putih.

Cukup lama Warni mengamati sambil memeriksa kain yang dirinya tau sebagai pakaian komplit seorang bayi. Dalam hati, Warni bertanya-tanya tentang pemilik atau orang yang mungkin memberikan kain terlihat bekas pakai itu. Ia terus berpikir, mengingat-ngingat selama dirinya menempati rumah dan sehari-harinya maupun tamu yang datang. Namun, sampai beberapa saat lamanya, Warni tetap tak menemukan jawabannya.

Sempat terbersit dalam benak Warni untuk menutup dan mengikat serta membiarkan karung berisi pakaian bayi itu. Tapi, setelah mempertimbangkan sejenak, Warni memilih untuk menyeret karung itu dan mengeluarkan dari dapur.

Hari semakin beranjak sore. Paparan sinar terik dari kegarangan penguasa siang mulai meredup, membuat suasana terasa sejuk halaman belakang rumah Warni. Namun itu tak cukup mengeringkan keringat Warni yang deras keluar, manakala dengan susah payah dan nafas terengah dirinya berusaha menyeret karung hingga ke ujung pekarangan belakang.

Warni terduduk selepas ia sampai di sudut batas, bertanda rumpunan bambu. Mengatur nafasnya yang masih memburu, sebelum tangannya mengeluarkan seluruh isi dalam karung. 

Tampak tumpukan kain-kain putih sebagian telah lengket berserak. Mengeluarkan bau apek khas kain lama tak terpakai. Hingga sesaat kemudian, bau apek itu berganti dengan bau minyak menyengat. Berasal dari sebotol cairan bening yang di tumpahkan Warni. Tak menunggu lama, Warni segera menyalakan pemantik guna membakar tumpukan kain-kain itu.

Seketika asap hitam membumbung tinggi. Kobaran api semakin membesar dan terus membesar, merambah seluruh kain yang berserak hingga menyisakan abu hitam, menandakan habisnya seluruh kain terbakar.

Kelegaan sekilas terpancar dari wajah Warni. Setelah memastikan semuanya telah menjadi abu. Namun, baru saja tubuh dan kakinya berbalik akan melangkah, satu bentakan keras mengejutkannya.

"Wedok ayu ra pokro! Wani ngobong barang koyo ngunu!" (Perempuan cantik tidak beradab! Berani membakar barang seperti itu!)

Terjingkat Warni mendengar suara tua di belakangnya. Membuatnya memalingkan wajah dan mendapati Mbah Sarji sudah berada di tempat itu.

"Nopo, Mbah. Kok bengok-bengok nesu. Opo urusanmu?" (Kenapa, Mbah. Kok teriak-teriak marah. Apa urusanmu?)
Tak kalah sengit, Warni menyahuti ucapan keras Mbah Sarji. 

"Kewanen! Opo koe Ra tau di warahi unggah-ungguh? Sembrono banget! mbakar barang ngunu iku nang panggonane Kedung terekan! Ciloko tenan koe, Nduk!" (Lancang! Apa kamu tak pernah di ajari tata Krama? Sembrono sekali! membakar barang seperti itu di tempat  mengubur janin! Celaka benar kamu, Nduk!)

Kembali Mbah Sarji masih dengan suara keras, mengeluarkan amarahnya. Tetap saja tak membuat keadaan di tempat itu berubah. Sebab Warni yang juga tak terima, semakin nyalang bersuara.

Pertengkaran masih terus berlangsung antara Mbah Sarji dan Warni di tempat itu. Hingga mengundang perhatian beberapa tetangga yang mendengar suara nyaring Warni. Keramaian dan ketegangan di pekarangan sedikit mereda saat tiba-tiba Rahmad, yang baru saja pulang mendekat dan membujuk Warni untuk meninggalkan tempat itu. Tapi bukannya menuruti, lagi-lagi, umpatan dan kata-kata keras, kembali meluncur dari bibir tipisnya. 

Dari sekian banyak kalimat terucap dari mulut Warni, satu yang membuat Mbah Sarji dan Rahmad tercengang. Sebab, ucapan Warni kali ini bukan sebuah kalimat umpatan, melainkan sebuah tantangan.

"Nek memang panggonan iki ngeres, angker, enek demite, setanne. Ayo, kon metu saiki! Tak pengen weroh aku wujudte koyo opo! Ayo buktekne Saiki!" (Kalau memang tempat ini angker, ada dedemitnya, setannya. Ayo, suruh keluar sekarang! Saya ingin tau wujudnya seperti apa! Ayo buktikan sekarang!) Teriak Warni dengan wajah merah padam.

Mbah Sarji, kali ini hanya mampu terdiam. Wajahnya yang masih merah, menyiratkan arti sebuah ketakutan, mendengar kenekatan Warni menantang sesuatu tak kasap mata. Mungkin bagi masyarakat di kampung itu akan berpikir seribu kali, untuk berani mengucapkan kata-kata umpatan tak pantas di tempat itu. Apalagi dengan kalimat tantangan, bisa di pastikan tak akan ada yang berani. Mengingat sejarah kelam tempat itu saja, sudah membuat mereka merinding ketakutan. Tapi tidak bagi Warni. Meski sudah pernah dirinya di ingatkan, nyatanya tak membuat Warni sadar atau lebih menghormati, 

Hari semakin merambah petang. Membuat Mbah Sarji yang menyadari dan sudah berubah expresi wajahnya, memilih segera beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Warni yang masih tersulut emosi bersama Rahmad.

"Ayo, Dek. Sudah petang." ajak Rahmad, selepas kepergian Mbah Sarji dan beberapa tetangga, menyadarkannya jika saat itu hanya tinggal dirinya dan Warni yang masih berada di pekarangan belakang rumahnya.

"Nanti dulu, Mas. Aku mau tau, pingin lihat, katanya tempat ini ada penunggunya dan kalau mulai gelap akan muncul. Aku ingin buktikan, kalau kamu serta semua yang percaya dengan setan itu orang-orang bod*h." Bantah Warni, masih dengan suara tinggi. 

"Dek, bukan masalah percaya atau tidak. Tapi Surup begini tak baik untuk kandunganmu," sahut Rahmad, dengan wajah mulai menyirat kecemasan.

"Halah, itu juga mitos Mas. Lagian, kenapa juga Mbah itu marah-marah, sampai membentak aku. Padahal hanya kain-kain bekas yang ku bakar. Itu pun bukan milik dia. Kok dia ikut terbakar. Pakai acara bawa-bawa setan dan kutukan segala," jawab Warni, masih dengan suara luap kejengkelan.

Rahmad membisu. Wajahnya seketika memucat. Setelah Warni baru saja menyelesaikan ucapannya. Tapi, bukan itu yang membuat Rahmad tiba-tiba terselimuti ketakutan. Melainkan dari sepasang mata menyorot tajam ke arahnya dan Warni, milik sesosok wanita berwajah hancur dengan kulit mengelupas, meneteskan lendir-lendir berwarna merah kehitaman, berdiri tepat di bawah rumpunan bambu mentelung mengarah ke pekarangannya...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close