Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 4)


JEJAKMISTERI - "Ayo, Dek. Kita pulang!" 

Rahmad yang sudah ketakutan, tanpa menunggu jawaban langsung mencengkram lengan Warni serta membawanya melangkah meninggalkan tempat itu. Meski masih mencoba bertahan dan memberontak, namun kali ini Warni sedikit mengalah, mengikuti langkah Rahmad.

"Mas! Mas Rahmad kenapa?" tanya Warni saat hampir sampai di pintu belakang, menyadari wajah suaminya pucat menegang.

Rahmad terdiam. Sebentar kemudian melepaskan cengkraman tangannya, setelah memastikan sosok wanita bergaun putih berwajah gosong mengelupas tak lagi terlihat matanya.

"Sudah, ayo masuk. Kita bicara di dalam saja." Ajak Rahmad melangkah lebih dulu membukakan pintu.

Warni yang masih di landa kesal dan berwajah cemberut, menuruti ajakan Rahmad tanpa bicara lagi. Tapi sesampainya di kamar, lagi-lagi, ocehan pedas Warni kembali meluncur deras.

"Mana? Gak ada kan, demit, hantu apalagi syetan yang katanya menakutkan!" ucap Warni sengit.
"Dek, kalau pun kamu tak percaya dengan hal seperti itu, gak apa-apa. Cuma, Mas minta kamu hormati orang tua dan hormati apa yang menjadi larangan di kampung ini." jawab Rahmad pelan. Berharap istrinya bisa mengerti dan menyadari kesalahannya.

"Hormat? Sama Mbah tua tadi? Hah... ! Asal Mas tau, ya. Saya akan menghormati dia, kalau dia sendiri menghormati dan gak mencampuri urusan orang lain," sahut Warni dengan ketus.

"Dan, satu lagi. Aku gak suka kamu ikut-ikutan percaya dengan omongannya tentang penghuni di pekarangan rumah kita. Itu hanya bualan saja. Buktinya tadi gak ada apa-apa." sambung Warni kali ini dengan tatapan tajam ke arah Rahmad. 

"Terserah kamu, Dek. Tapi saya percaya, yakin. Sebab saya sudah melihatnya sendiri. Bahkan, tadi pun melihatnya lagi. Dan... Dia sepertinya marah dengan perbuatanmu." 

Sejenak suasana terasa sunyi. Warni yang mendengar ucapan Rahmad, terlihat diam memandang wajah suaminya dengan tatapan sekilas serius. Tapi tak lama, senyum tawa Warni meledak di barengi gelengan kepala. Menganggap ucapan Rahmad, seolah hanya guyonan untuknya.

"Mas... Mas. Rupanya kamu sudah kemakan omongan Mbah tua tadi. Coba deh, kalau tu syetan gak terima, marah karena saya bakar-bakar di tempat itu, suruh kesini," ucap Warni dengan sunggingan senyum mencibir.

"Keterlaluan kamu, Dek." sahut Rahmad seraya membalikan badan, melangkah dan meninggalkan Warni sendiri di kamar.

"Mau kemana kamu, Mas?" tanya Warni sebelum tubuh Rahmad menghilang dari pandanganya.

Rahmad terus saja melangkah tanpa menjawab lagi pertanyaan Warni. Rasa jengkelnya saat itu benar-benar memuncak. Membuatnya enggan untuk kembali ke kamar walau suara Warni masih terdengar memanggil menyuruhnya untuk kembali.

Cukup lama Rahmad terhenyak dalam sendiri di ruang tamu. Pikirannya kalut, antara malu dan takut. Tak ada lagi cara baginya untuk bisa menyadarkan atau merubah sifat Warni yang semakin menjadi-jadi. Ia hanya mampu berpasrah diri tanpa tau harus berbuat apa. Sebab, hampir segala cara dirinya lakukan, tetap saja Warni tak kunjung merubah sikapnya.

Kesendirian Rahmad sedikit terganggu, kala suara langkah kaki mengusik rongga telinganya. Saat itu, Rahmad masih berpikir positif. Ia menyangka jika langkah kaki itu adalah langkah kaki tetangga. Namun tak lama, firasatnya berubah, mendapati derap langkah semakin ramai seperti berlari mengitari di luar rumah.

Ketegangan seketika menyeruak dalam diri Rahmad. Ketika dengan jelas telinganya menangkap langkah-langkah itu berhenti tepat di sisi jendela sebelah kanan ruang tamu. 

Rasa takut mulai menelusup dalam benak Rahmad. Tapi entah mengapa, kakinya tergerak untuk mendekati jendela kaca bertutup gorden. Mengabaikan degup jantungnya yang sudah tak beraturan. 

Sedikit demi sedikit kain gorden berwarna kuning penutup jendela mulai tersingkap tangan Rahmad. Kilatan cahaya lampu yang tergantung di sudut depan menambah jelas penglihatan mata Rahmad, menatapi dari dalam puluhan anak kecil berdiri berjejer di luar dengan sorot mata menembus kaca, beradu pandang dengannya.

Cepat dan kuat desiran darah di rasa Rahmad. Sebelum tangannya dengan spontan kembali menutup kain gorden, melewatkan ringisan ngeri dari bocah-bocah kecil berkepala plontos berhias dua tanduk meruncing berwarna merah darah.

Nafas Rahmad memburu kencang. Wajahnya mempias, keringat mengucur deras, mengiringi ketakutannya yang mencuat. 

"Mas, tolong... Tolong aku. Aduhhh, perutku."

Lagi-lagi tubuh Rahmad yang tengah menyandar di dinding, tergelak. Mendengar suara rintih kesakitan dari kamarnya. Sebentar Rahmad menunduk, menajamkan telinga sembari mengatur deru nafasnya. Hingga suara itu terus berulang-ulang sampai beberapa kali dan membuatnya segara yakin.

Tanpa pikir panjang, Rahmad segera mengayunkan langkahnya yang berat. Melupakan sejenak puluhan sosok kecil menyeramkan, juga rasa takut, demi memastikan keadaan Warni yang terdengar masih terus merintih.

Namun, hanya sampai depan pintu kamar kaki Rahmad mampu berpijak. Selebihnya, tubuh Rahmad dingin membeku, mendapati pemandangan tak kalah ngeri di dalam kamar. Di mana, tepat di atas ranjang tidurnya, tergolek tubuh Warni tengah mengeliat seperti menahan rasa sakit.

Tapi, bukan itu... Bukan itu yang membuat jiwa Rahmad tergunjang. Melainkan beberapa sosok anak kecil dan sesosok wanita bergaun putih panjang berada di sebelah kanan kiri Warni. 

Kengerian bukan saja di lihat Rahmad dari wujud menyeramkan mereka. Namun lebih kepada, apa yang sedang mereka lakukan. 
Darah, empat sosok anak kecil penuh lendir dan sosok wanita berkulit mengelupas itu, Rahmad saksikan dengan jelas tengah menjilati darah yang mengalir dari kedua kaki Warni. 

"Dek!" 

Tanpa sadar, bibir Rahmad berucap memanggil. Membuat sosok-sosok itu terhenti menikmati tetesan darah dari kaki Warni, dan beralih menatap dirinya dengan sorot mata tajam bersama senyuman sinis, keluar dari sudut bibir mereka yang berlumuran darah.

Sedang Warni, masih terus merintih dan merintih menahan rasa sakit mendera perutnya. Tanpa menyadari serta melihat empat sosok anak kecil di sisi kanan kiri bersama satu sosok wanita berwajah lembek menebar bau anyir menyengat, dengan rambut panjangnya di biarkan terjuntai hingga menyentuh lantai kamar...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close