Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 4) - Kedamaian Di Balik Alas Demit

Malam itu, meski gelap, langit bercahaya terang karena banyak bintang. Namun, meski begitu, dada Kelana juga dipenuhi rasa bimbang dan sesak.


Part 4 - Kedamaian Di Balik Alas Demit

“Ini…. Batang untuk apa?” tanya Kelana.

“Kakimu, Mas. Selonjorkan di atas kursi sini” suruh Murni.

Murni tampak menempelkan getah yang keluar dari batang itu ke atas luka pada betis Kelana. Tak lama, Kelana bereaksi. Ia merengek menahan rasa perih yang keluar akibat getah itu.

“Tahan sebentar, Mas. Ini batang dari tumbuhan talas, baik untuk memulihkan lukamu” tukas Murni.

Mata Kelana menatap Murni lama. Gadis berparas cantik nan manis itu kini berada tepat di depannya sedang mengobati luka di kakinya dengan penuh kehati-hatian. Murni tampak lebih cantik manakala dilihat lebih dekat.

“Kenapa kakimu, cah bagus?” tanya Bu Utari penasaran. Tapi, Kelana diam tak langsung menjawabnya.

“Murni?” panggil Kelana.

“Buto Ireng, Bu. Dewe tarung kalihan Buto Ireng, Bu” (kami tarung dengan Buto Ireng, Bu) ucap Murni.

Bu Utari terkejut, tak menyangka jika anaknya dan tiga pemuda yang baru ia temui bertemu dengan salah satu makhluk penghuni alas demit.

“Untung, Gusti Allah iseh ngelindungi kowe kabeh, cah bagus. Bersyukurlah, kowe kabeh iseh iso selamet” (Lalu kalian masih hidup? Allah masih melindungi kalian semua. Bersyukurlah, kalian semua masih selamat) imbuhnya.

“Dia makhluk apa, Bu Utari?” tanya Sanjaya.

“Dia salah satu makhluk penghuni Alas Demit, dan salah satu yang terkuat dan ditakuti. Tapi, tenang saja, Mas…. Desa ini sudah diberi perisai gaib yang bisa menghalanginya untuk masuk kesini” tukas Murni.

“Alas Demit?” tanya Sanjaya.

“Sing kok lewati mau kuwi kan alas demit” (yang kalian lewati tadi itu kan Alas Demit)

(Alas Demit : Hutan Hantu)

“Deso iki, hampir kabeh dikelilingi karo Alas Demit” (Desa ini, hampir seluruhnya dikelilingi oleh Alas Demit)

“Alas sing hampir dihuni karo kabeh makhluk sing kuat neng gunung Merbabu iki. Hampir ora ono srengeng mlebu angger dinane, mung ono peteng neng alas kuwi"

(Hutan yang hampir dihuni oleh seluruh makhluk berenergi kuat di gunung Merbabu ini. Hampir tidak ada cahaya matahari masuk setiap harinya, hanya ada kegelapan di hutan itu)

Dalam hati Kelana berpikir, pantas saja dia menemui banyak sekali makhluk-makhluk aneh bersarang di segala penjurunya.

“Sopo sing mancing Buto Ireng teko?” (siapa yang memancing Buto Ireng menghampiri kalian?)

Zafar tertunduk. Sanjaya, Kelana dan Murni semuanya menatap Zafar. Seolah sadar kalau Zafarlah pelakunya, Bu Utari pun memberikan nasehat-nasehat agar tidak mudah tergoda lagi oleh godaan yang mereka buat untuk menjebak setiap manusia yang melintas di dalamnya.

“Njenengan, kok iso tekan alas kuwi cah bagus?” (kalian kok bisa hutan itu, cah bagus?) tanya Bu Utari sambil menatap Kelana.

Kelana sejenak diam, kemudian menatap Sanjaya dan Zafar di sebelahnya. Ia bingung menjelaskannya, karena semuanya bergulir begitu saja tanpa direncanakan.

“Nggak perlu wedi” (nggak usah takut) imbuh Bu Utari, seakan tau isi hati Kelana.

“Kami bertiga mau mendaki, tapi…. Nggak tau kenapa, tiba-tiba saja kami tersesat dan kehilangan arah yang benar, Bu….”

“Wes tak kiro…… Kabeh uwong sing tau tekan kene mesti amergo lali dalan pas ing gunung Merbabu (sudah kuduga…. Setiap orang yang kesini, pasti karena tersesat waktu mendaki di gunung Merbabu)

“Memangnya, sering ada pendaki tersesat, Bu?” tanya Sanjaya.

“Ora” (tidak)

“Ora angger wong sing kelangan arah, banjur mlebu alas demit utowo tekan deso iki. Wong sing atine resik wae sing iso tekan kene, cah bagus…. Nek ora, wes bakal ilang neng alas kae, alas demit"

(Tidak setiap orang yang kehilangan arah, lalu masuk ke alas demit, atau bisa sampai di sini. Orang yang hatinya bersih saja yang bisa sampai sini, cah bagus….. Jika tidak, sudah pasti hilang di alas itu, alas demit)

“Iseh beruntung, kowe kabeh ora nduwe niat jahat ing kene, banjur Gusti Allah iseh ngasihi kowe-kowe kabeh, cah bagus” (Masih beruntung, kalian tidak memiliki niat jahat di sini, jadi, Allah masih mengasihi kalian semua) tutur Bu Utari.

“Iya, Bu… Berkat Murni juga, kami bisa sampai di sini” kata Kelana.

“Bu Utari, saya boleh bertanya?” tanya Sanjaya

Bu Utari lantas tersenyum, seraya duduk di kursi di dekatnya.

“Monggo…. Takon sing pengen kowe takokne, tak jawab nek aku iso jawab” (Silakan…. Tanyakan saja yang ingin kamu tanyakan. Saya jawab kalau saya bisa) jawab Bu Utari.

“Sebelumnya, saya mohon maaf jika saya bertanya begini, Bu Utari….”

Bu Utari mengangguk dan tersenyum.

“Sebenarnya, njenengan dan warga desa di sini itu apakah dari golongan yang sama dengan saya dan teman-teman saya?” tanya Sanjaya yang membuat Kelana dan Zafar terkejut.

“Kau tanya apa sih? Tutup mulutmu” bisik Kelana.

“Hahaha, orapopo, cah bagus…..” (tidak apa-apa cah bagus)

Bu Utari tertawa, begitu pun Murni, ia tersenyum kecut mendengar pertanyaan Sanjaya.

“Aku karo warga desa kene iki podo-podo makhluke Gusti Allah, podo karo kowe kabeh. Gusti Allah wes ngutus makhluk-makhluke urip kanggo saling tulung tinulung. Bener ora, cah bagus?"

(Saya dan warga desa disini ini sama-sama makhluk yang diciptakan Gusti Allah, sama seperti kalian. Gusti Allah kan sudah mengutus setiap makhluk-makhuknya agar hidup saling tolong dan membantu. Bener nggak, cah bagus?) jawab Bu Utari dengan tutur katanya yang lemah lembut.

Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menembus kulit karena cukup lama duduk berdiam diri. Rasa kantuk perlahan datang dan menyelimuti kepala Kelana, Sanjaya dan Zafar.

“Wes yo, cah bagus…. Ngesakne awakmu kabeh keselen…. Saiki ayo podo turu…. Disiapno awak karo tenagamu kanggo ngesok nek kowe wes pengen mulih"

(Sudah ya, cah bagus…. Kasihan badanmu kecapekan…. Sekarang ayo tidur…. Disiapkan badan dan tenagamu buat besok jika kalian sudah pengen pulang) ucap Bu Utari mengakhiri obrolan malam itu.

“Ndok, tulung diterke, damar ing kono tulung diurupno sekalian” (Nak, tolong antarkan, damar disana tolong sekalian dinyalakan) pinta Bu Utari kepada anaknya.

***

“Silakan istirahat di sini. Maaf, tempatnya ala kadarnya” ucap Murni dengan sopan, lalu meninggalkan Kelana, Sanjaya dan Zafar.

Malam itu, mereka bertiga diberi ruangan kosong untuk beristirahat. Ruangan seukuran kamar, mungkin ini kamar, tapi hanya ada selembar tikar yang terbuat dari dedaunan kering yang tersusun rapi.

Sanjaya dan Zafar mengeluarkan matras di cariernya, lantas menatanya agar bisa mereka gunakan untuk tidur bertiga.

“Na, apa kamu nggak merasa aneh?” tanya Sanjaya tiba-tiba.

“Aneh? Aneh gimana maksudmu?”

“Kalian tau nggak sih sebenarnya kita ada di mana?”

“Maksudmu gimana sih? Kita di rumah Murni” sahut Zafar.

Sisa malam yang seharusnya mereka gunakan beristirahat, malah mereka gunakan untuk ngobrol.

“Desa ini, aku merasa aneh aja sama desa ini” tandas Sanjaya.

“Aku nggak mau berburuk sangka lagi kepada Murni. Tadi dia sudah menolongku” ucap Zafar.

“Iya. Kita sudah selamat. Kita nggak lagi tersesat. Sudah toh” sangkal Kelana.

“Murni dan ibunya sudah menoong kita. Apa layak, kita berprasangka buruk kepada mereka?” imbuhnya

“Tapi, Kelana… Dari mana kamu bisa bertarung seperti tadi?”

“Apa kamu punya kekuatan tersembunyi? Jika iya, sejak kapan kamu mendapatkannya? Aku nggak pernah tahu kalau kamu bisa sehebat itu. Melihat bagaimana kamu melawan satu buto tadi, aku benar-benar hampir tak mempercayainya” sela Sanjaya.

“Aduh Sanjaya… Mana aku tahu… Aku baru menyadarinya juga, kenapa aku bisa bertarung dengan makhluk menyeramkan seperti tadi. Jika aku sudah menyadarinya sejak lama, aku sudah jadi jagoan di kampung dan di kampus” jawab Kelana.

“Tapi… Kata Murni, ini memang sudah ada sejak aku lahir. Aku punya keistimewaan. Katanya begitu” tandas Kelana.

“Keistimewaan?” tanya Sanjaya.

Kelana menggeleng, “Aku juga belum mengerti apa maksudnya”

“Tapi…. Nggak ada salahnya jika kemampuanmu itu diasah, agar lebih berguna untukmu” ujar Zafar.

“Sudahlah…. Kita bahas ini nanti. Kalian nggak ngantuk ha?” ucap Kelana ketus lalu merebahkan tubuhnya yang sudah ingin diletakkan sedari tadi.

Sambil menatap langit-langit rumah, Kelana meratapi perjalanannya kali ini. Sungguh ia tak menyangka, pendakiannya akan berjalan seperti ini.

Andaikan dia tak melakukan perjalanan ini, mungkin sekarang ia masih menikmati tenangnya kamar atau ramainya perkotaan, atau mungkin sedang bercengkerama di warung kucingan bersama kawan-kawannya.

Mata Kelana berbinar, tak terasa air matanya jatuh mengalir dari sela-sela matanya. Kelana menangis. Menangis bukan karena takut atau khawatir tidak bisa kembali pulang

Mata Kelana berbinar, tak terasa air matanya jatuh mengalir dari sela-sela matanya. Kelana menangis. Menangis bukan karena takut atau khawatir tidak bisa kembali pulang

Tapi, menangis karena penyesalan dan kebodohannya sendiri, yang masih lalai dan kerap menuruti egonya semata. “Maaf… Maafkan aku, Sanjaya, Zafar…”

Saat kesadarannya sedikit lagi hilang, mata Kelana tiba-tiba saja terbuka, teringat dengan pusaka milik Murni yang ia bawa dan belum sempat ia kembalikan. Kelana mengeluarkan sebilah pusaka yang sudah kembali berwujud sebilah kayu biasa.

Pusaka apa ini? Kelana bertanya dalam hati sambil menatapnya, kemudian ia kembali bangun, dan melangkah keluar mencari keberadaan Murni. Setibanya di ruang tengah tempat mereka ngobrol tadi, tampak pintu depan rumah agak terbuka, seperti sedang ada orang di luar.

“Murni…” panggil Kelana seraya melangkah keluar.
Ternyata, benar… Murni sedang duduk melamun di luar rumah, entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Murni?” panggil Kelana lagi.

“Iya, Mas? Kamu kenapa nggak istirahat?” jawab Murni kaget mengetahui kedatangan Kelana.

“Iya. Aku teringat ini, belum ku kembalikan padamu”
Kelana lantas mengembalikannya, seraya duduk di dekat Murni.

“Terima kasih, berkat ini, aku bisa tertolong dari serangan Buto Ireng. Kalau boleh tau, pusaka apa ini Murni?”

“Ini milik Romo… Romo menyebutnya pusaka atau keris kasembadan”

“Romo?” tanya Kelana.

“Iya, Romo…. Ayahku” ucap Murni.

“Dimana ayahmu? Kenapa aku tidak melihatnya?”

“Romo memberikan ini kepadaku sebelum ia meninggal beberapa tahun yang lalu. Katanya, ini bisa digunakan manakala ada ancaman datang sewaktu-waktu” jawab Murni sedikit murung

“Maafkan aku, Murni… Aku tidak bermaksud begitu” ucap Kelana. Ia merasa tak enak telah bertanya soal ayahnya.

“Apakah kamu pernah ke bawah? Melihat keramaian perkotaan?” tanya Kelana.

“Tidak, Mas… Ibuku melarangku. Katanya, di sana bahaya. Alangkah baiknya di sini saja. Lagi pula, segala kebutuhan hidup orang di desa ini sudah terpenuhi oleh hasil bumi sendiri”

“Aku tahu, kamu masih bingung mas, sebenarnya desa ini tempat apa” tukas Murni.

“Seperti yang dikatakan ibuku, kami sama-sama makhluk ciptaan Gusti Allah… Kami juga beribadah kepada-Nya. Lihatlah pagi nanti, desaku tak semenyeramkan yang kamu pikirkan, Mas” ucap Murni sambil sedikit tersenyum.

Kelana yang melihat senyumannya pun tertegun. Senyuman yang sejuk. Siapa yang tak damai melihat senyuman gadis manis seperti Murni ini.

Hanya laki-laki bodoh yang tak punya keinginan hidup bersamanya. Murni… Murni…. Andai aku menemukanmu di bawah sana, aku tidak akan ragu…. Kelana berandai-andai dengan pikirannya sendiri.

***

Sayu-sayup suara burung mulai berkicauan, cahaya matahari pun perlahan merangkak naik. Kelana yang tidur paling akhir, pagi ini dibangunkan Zafar dan Sanjaya yang sudah lebih dulu bangun.

“Na… Bangun… Nggak enak tidur di rumah orang kalau bangun siang-siang”
Padahal, pagi itu belum genap jam enam. Tapi, Bu Utari dan Murni sudah berkutat dengan aktivitas rumahnya.

Merasa tak enak jika seorang pemuda bangun siang-siang, mereka bertiga meringkuk keluar. Kedatangan mereka pun disadari oleh Bu Utari.

“Kalau mau mandi, di sana… Agak jauh… Disini, satu kamar mandi bisa dipakai oleh beberapa rumah.” ucap Murni sambil menunjuk arah yang dimaksudkannya.

“Oh, iya… Aku juga sudah ingin buang air kecil” balas Zafar.

“Ya udah.. Sekalian kita bertiga saja barengan ke sana” ucap Kelana.

Sambil membawa bejana dari tanah liat milik Murni dan Ibunya, Murni menemani mereka bertiga.

“Untuk apa bejana ini, Murni?” tanya Sanjaya.

“Kita mesti timba air dulu di sumur dekat sana, Mas” jawabnya.

Di sepanjang jalan menuju kamar mandi, udara sejuk pegunungan dan hangatnya matahari pun akhirnya mereka bertiga rasakan. Meski jauh dari kesan modern, desa tempat tinggal Murni ini sangat indah dan terasa sangat tenang.

Memang benar kata Murni, desa tempatnya tinggal tidak semenyeramkan seperti yang Kelana bayangkan. Jumlah warga disini tak terlalu banyak. Di jalan, mereka berpapasan dengan beberapa warga yang sedang lalu-lalang beraktivitas.

Senyum ramah pun mereka terima bila berpapasan. Namun ada beberapa juga yang aneh melihat Kelana dan kedua temannya. Apakah karena mereka asing melihat kehadiran tiga pemuda yang berpenampilan berbeda?

Jalanan desa Murni benar-benar bersih dan asri. Tidak ada smpah-sampah plastik seperti di bawah sana. Kamar mandi yang dimaksudkan oleh Murni ternyata jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Letaknya di ujung desa sebelah utara.

“Bagaimana kakimu, Mas?” tanya Murni pada Kelana.

“Sudah membaik… Aku rasa, pengobatanmu semalam berhasil… Terima kasih ya” ujar Kelana. Murni pun tersenyum kepadanya.

Di situ, Zafar mandi duluan, Ia mengambil bejana yang dibawa Murni, lalu mengisinya dengan air sumur di dekatnya. Setelah penuh dan akan mengangkatnya…

“Kenapa, Far? Nggak kuat?” tegur Sanjaya dengan tertawa.

“Berat, Mas? Biar saya bantu” ucap Murni, seolah tahu jika Zafar tak kuat mengangkatnya.

“Wahh…. Nggak usah…. Apa kata dunia kalau aku kalah dengan wanita” balas Zafar sombong.

***

“Mulih sesok wae, cah bagus. Dino iki,lereno sek meneh ing kene. Ben sesok awakmu wes seger kabeh lan siap mlaku meneh kanthi tenang(Pulang besok sj,cah bagus. Hari ini istirahatlah lg di sini,agar besok badanmu segar dan siap melanjutkan perjalanan lagi dg tenang)” ucap Bu Utari

“Kami tidak enak jika merepotkan njenengan dan Murni, Bu” timpal Sanjaya. Kelana dan Zafar pun tersenyum segan.

Bu Utari memandangi tiga pemuda di hadapannya yang hanya tertunduk sungkan kepadanya.

“Hahaha….” Bu Utari tertawa.

“Sing tenang, cah bagus…. Aku lak yo wes ngongkon awakmu kabeh kanggo nginep meneh neng kene. Nek aku wis ngongkon, iku artine, aku ora ngeroso kok repotne"

"(Tenang saja, cah bagus…. Saya kan juga sudah menyuruhmu untuk menginap lagi di sini. Kalau saya sudah menyuruhmu menginap, itu aritnya, saya tidak merasa kalian repotkan)” ucap Bu Utari menenangkan.

Saat hari menjelang siang, saat matahari sudah mulai tinggi. Bu Utari mengajak kami ke depan rumah.

“Ndok…. Tulung jupuke banyu ngombe.., gowo mengarep” (Nak… Tolong ambilkan air minum… bawa ke depan) suruh Bu Utari kepada anak gadisnya.

Disitu, Bu Utari menjelaskan mengenai arah dan medan yang harus mereka lalui esok hari. Beruntung, Zafar menyelipkan sebatang pensil dan buku di dalam carier yang ia bawa, sehingga bisa menggambarkan peta jalur yang dijelaskan oleh Bu Utari.

Selain itu, beliau juga mengajarkan Kelana, Sanjaya dan Zafar cara membaca tanda-tanda alam, agar tidak tersesat saat melakukan perjalanan kembali. Karena besok, mereka akan kembali lagi melewati Alas Demit.

Alas dimana tempat bersemayamnya segala macam demit dengan berbagai wujud. Kelana, Sanjaya dan Zafar pun menyimak apapun yang disampaikan Bu Utari kepada mereka.

“Kabeh iku, mung iso mbok delok naliko kowe ati-ati, cah bagus… ojo grusa-grusu naliko netepno anggonmu mlampah” (Semua itu, cuma bisa dilihat saat kamu hati-hati, cah bagus… Jangan tegesa-gesa saat menetapkan langkahmu) tukas Bu Utari.

“Sesok kowe tak gawani gulo karo kelopo, sing gunane kanggo awakmu ben keroso luweh kuat naliko ketemu bahaya ing njero alas” (Besok kalian akan saya beri gula dan kelapa, yang berguna untuk badanmu agar lebih kuat manakala bertemu bahaya di dalam hutan)

“Gula, kelapa? Apa berpengaruh?” tanya Sanjaya ragu.

Beliau tersenyum, lalu menjawabnya “Wong kene, wes biasa nganggo gulo karo kelopo naliko mlebu alas kanggo golek pangan utowo kewan buruan. Iki ngono kepercayaane wong kene, cah bagus"

(Warga sini, sudah biasa menggunakan gula dan kelapa saat masuk hutan untuk mencari bahan makan atau hewan buruan. Ini merupakan kepercayaan orang sini)

“Bagaimana cara menggunakannya, Bu?”

“Dimakan, Mas. Tapi sedikit saja.” Ucap Murni.

“Begitu saja?” balas Kelana.

“Ora to, Le” (Tidak lah, Nak) ucap Bu Utari.

“Bismillahirrahmanirrahim…. Gusti Kang Moho Suci, Kulo Nyuwun diayomi… Ora ono doyo guno lan kekuatan ing dunyo iki, kcuali seko Gusti Allah Kang Moho Agung”

“Iki ngono dongo…. Ora ono kebesaran kang ngeluwihi kebesaraning Gusti Allah, cah bagus…” (Itu adalah doa… Tidak ada kebesaran yang melebihi kebesarannya Gusti Allah)

“Ojo gampang kegudo, ojo gampang percoyo karo opo sing kok delok neng njero alas” (Jangan mudah tergoda, jangan mudah percaya dengan apa yang kalian temui di dalam hutan) ucap Bu Utari, panjang dan banyak sekali nasehat-nasehat yang beliau beri.

“Ngerti ngger?” (Paham?)

Semuanya mengangguk.

Bu Utari menjelaskan banyak hal, bahkan, beliau juga memberikan ilmu mengenai apa saja jenis tanaman di hutan Merbabu yang aman saat mereka gunakan untuk makan. Baik, dan tulus sekali Bu Utari ini.

“Mengko, ben Murni sing nyiapke gawanmu kabeh, cah bagus…. Nggeh, cah ayu?” (Nanti, biar Murni yang menyiapkan bawaanmu semuanya… Bisa kan, cah ayu?) ucap tolong Bu Utari pada anaknya.

Murni pun mengangguk pelan dan menjawabnya dengan lembut.

“Ternyata, jauh di dalam hutan gunung Merbabu, ada sepasang wanita yang punya hati baik dan lembut. Sifat baik dan kehati-hatian Murni, ternyata adalah turunan dari Ibunya yang sangat baik kepada kami” ucap batin Kelana.

“Tuhan… Terima kasih atas segala pertolongan dan kemudahan yang Engkau berikan kepada kami… Meski kami masih sering lalai kepada-Mu… Engkau tak pedulikan itu…”

***

Siang berganti sore, dan sore pun berganti malam, bersamaan dengan suara-suara hewan malam yang mulai keluar eksistensinya. Kelana, Sanjaya dan Zafar mulai istirahat dan sedikit mengemasi barang-barangnya.

“Ternyata, tinggal disini walau hanya sebentar, sudah membuatku kerasan” ujar Sanjaya

Kelana tersenyum kecut. Pasalnya, kemarin Sanjaya berpikir yang tidak-tidak mengenai Bu Utari, Murni dan desa ini. Pertemuan yang begitu terkesan seperti apapun,pasti akan menemukan perpisahan

“Murni… nggak terasa, besok aku dan dua temanku pulang… Terima kasih atas kebaikanmu kemarin dan hingga sekarang… Bagaimana caraku membalas kebaikanmu dan ibumu?” ucap Kelana pada Murni di ruang tengah.

Murni tersenyum pada Kelana dengan wajah agak tersipu malu mendengar kata-kata Kelana. “Nggak perlu, Mas… Romo dan Ibu selalu menuturiku untuk berbuat baik kepada siapapun, termasuk pada kalian meski bukan dari sini”

“Murni… Kalau boleh jujur, aku sangat suka melihatmu kala tersenyum… Rasa takut dan gelisahku seakan runtuh, manakala melihat senyum yang terlukis di wajahmu. Tapi, besok, aku tak bisa lagi melihat itu” ucap Kelana.

“Tapi, aku sadar, Murni, kalau aku itu hanya tamu dari luar, yang jika aku bisa pulang, dan kembali mendaki ke gunung ini, entah bisa bertemu denganmu lagi atau tidak”

Malam itu, meski gelap, langit bercahaya akibat dipenuhi banyak bintang. Namun, meski begitu, dada Kelana juga dipenuhi rasa bimbang dan sesak. Murni hanya terdiam mendengar kata-kata Kelana. Kelana melihat Murni, ia tampak sedih, seolah meratapi waktu yang sangat cepat berlalu.

“Maaf, Murni…” ucap Kelana lirih.

“Sudah malam, ayo istirahat, Mas… Besok kamu harus kembali melanjutkan perjalananmu… Jangan sampai kamu lemas karena kurang tidur malam ini” ucap Murni dengan suara parau. Murni pun meninggalkan Kelana dengan wajah sedihnya.

Sebelum melangkah jauh, Murni sempat menatap Kelana dengan mata yang berbinar dan senyum manisnya yang masih sedikit mekar.

***

Sinar fajar mulai menampakkan warnanya dari celah-celah rumah. Pagi ini, merupakan waktu yang berat bagi Kelana, karena harus meninggalkan desa, Bu Utari dan Murni, perempuan yang dia kagumi sejak pertama kali bertemu.

Kelana, Sanjaya dan Zafar mengemasi lagi barang-barang yang belum sempat mereka kemas kemarin. Di luar, Bu Utari pun sudah menyiapkan gula dan kelapa yang beliau ceritakan kemarin. Semuanya terbungkus rapi di dalam lembaran daun pisang yang entah kapan beliau mengambilnya.

Termasuk, beberapa singkong rebus yang sengaja beliau buatkan untuk bekal perjalanan Kelana, Sanjaya dan Zafar. Sungguh tulus sekali Bu Utari ini. Kelana bingung, entah dengan apa dia bisa membalas kebaikan beliau.

“Ampun, Bu Utari…. Nggak perlu repot-repot begini…. Persediaan makan kami, Insya Allah cukup sampai kami sampai bawah lagi” ucap Kelana.

“Kowe ngerti kapan kowe bakal tekan, cah bagus?” tanya Bu Utari pada Kelana sambil menatap Kelana, Sanjaya dan Zafar.

Tak seorang pun dari mereka menjawab pertanyaan Bu Utari.

“Apakah masih jauh perjalanan kami?” tanya Zafar.

“Adoh, cedek, ora ono sing ngerti, cah bagus… Alas kae ombo, perjalananmu iso suwe, iso ugo cepet naliko nebas neng antarane…

Demit-demit sing kok erohi wingi, iso gawe suwe langkahmu… Kabeh kuwi ora ono sing ngerti. Tugasmu kabeh jogo-jogo lan waspodo seko bahaya lan godaan-godaan seko njero alas kono."

(Jauh, dekat, tidak ada yang tau, cah bagus… Hutan itu sangat luas, perjalananmu bisa lama, atau bisa jadi cepat manakala kalian menebas diantara hutan itu. Demit-demit yang kalian temui kemarin, bisa membuat lama perjalananmu.

Kalian tidak bisa tahu semua itu. Tugas kalian adalah jaga-jaga dan waspada dari bahaya dan godaan-godaan dari dalam hutan itu) ucap lebar Bu Utari, sambil menasehati Kelana, Sanjaya dan Zafar.

“Ngerti, cah bagus?” tanya Bu Utari dengan penekanan.

“Iya, Bu Utari” jawab mereka bertiga bersama-sama.

“Terutama kowe, cah bagus… Kowe sing tak delok paling ora iso ngatur emosimu” (Terutama kamu, cah bagus… Kamu yang tak lihat paling tidak bisa mengatur emosimu) ucap Bu Utari pada Zafar.

“Bu Utari, Murni… Hampir dua hari ini, kami bertiga merepotkan kalian… Kami ucapkan banyak terima kasih… Kami juga minta maaf, jika seandainya kehadiran kami mengganggu.

Sebenarnya saya masih betah kalau diminta menginap lagi di sini. Tapi, ada tanggung jawab yang mesti kami kerjakan di kehidupan kami di bawah sana”

Murni tertunduk lesu. Sangat ketara, linangan air keluar dari matanya yang biasa Kelana lihat sangat indah itu. Linangan air itu, mengisyaratkan jika ada rasa duka menerima kepergian ketiga pemuda di depannya. Terlebih Kelana.

“Kowe kenopo to, Ndok?” (Kamu kenapa, Nak?) tanya Bu Utari pada anaknya.

Murni menggeleng, mencoba mengelak dari rasa sedihnya yang sebenarnya bisa dilihat semua orang di sana.

“Kamu apakan Murni sampai seperti itu, Kelana? Anak orang bisa-bisanya kau begitukan” bisik Sanjaya.

“Hmmmm… Aku ngerti opo sing kok pikirno, Ndok… Ibukmu paham… Tapi, awake dewe, karo kang mas-kang mas neng ngarepmu iki bedo. Dewe ora iso ninggalno deso iki. Aku wes mbatin kawit awal, Ndok… Sing sabar…

Nek wancine Gusti Allah karep kowe ketemu meneh, mesti bakale ketemu meneh.”

(Hmmmm…. Saya tau yang kamu pikirkan, Nak… Ibumu paham… Tapi, kita, dan kang mas-kang mas di depanmu ini beda.

Kita tidak bisa meninggalkan desa ini. Ibu sudah mengira dari awal… Yang sabar…. Kalau memang Allah mentakdirkan kalian berdua bertemu lagi, pasti akan bertemu lagi) ucap Bu Utari menenangkan.

“Sampun, Buk e…. Kulo sampun ikhlas…. Mboten usah khawatir” (sudah, Bu… Saya sudah ikhlas… Tidak usah khawatir) jawab Murni seraya memaksa wajahnya tersenyum sambil menyeka air matanya yang masih terus saja keluar. Murni berusaha menutupi kesedihannya di pagi itu.

Waktu terus berputar, dan hari pun semakin siang. Saat matahari perlahan meninggi. Kelana memaksa kakinya untuk mulai melangkah keluar rumah. Hatinya sedih, perasaannya pun demikian.

“Semoga pertemuan ini, bukan menjadi pertemuan terakhirku dengan Murni….” Ucap Kelana dalam hati.

“Dieling-eling yo, cah bagus…. Opo sing tak kandani wingi kuwi, kanggo cekelanmu mengko selama perjalanan. Semugo perjalananmu kabeh selamat tekan panggonanmu"

(Diingat-ingat ya, cah bagus… Apa yang saya sampaikan kemarin itu, untuk peganganmu nanti selama perjalanan. Semoga perjalananmu semua selamat sampai tujuanmu) ucap nasehat Bu Utari.

Kelana, Sanjaya dan Zafar mengangguk. Sebagai akhir pertemuan, mereka bertiga pamit dengan berjabat tangan kepada Bu Utari. Mencium tangannya sebagai tanda hormat mereka kepada beliau yang telah membantunya bertahan hidup selama disini.

“Maturnuwun, Bu Utari… Ibu orang baik… Semoga kami bisa bertemu dengan ibu lagi”

Setelahnya, tibalah berpamitan dengan Murni. Sanjaya dan Zafar lebih dulu menjabat tangannya dan Kelana berada di paling akhir.

Saat Kelana menatapnya, Murni hanya menundukkan wajahnya, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menutupi rasa duka di dalam hatinya. Kelana meraih tangannya, lalu menatap dua bola matanya yang semakin deras dengan air mata.

Meski tidak sedang tersenyum, Murni masih terlihat manis walau tidak sedang tersenyum.

“Murni…. Aku pamit…. Terima kasih…. Dan maaf jika kami harus pergi sekarang. Jaga dirimu dan ibumu baik-baik” ucap Kelana dengan suara parau.

“Melangkahlah yang berani…. Dan jadilah laki-laki yang tangguh terhadap semua masalah yang terus datang silih berganti” balas Murni.

“Sebentar, Mas….” Ucap Murni, lalu berlari ke dalam rumah. Semuanya menatapnya heran.

“Kowe ngopo, Ndok?” (kamu ngapain, Nak?) tanya Bu Utari.

Beberapa detik kemudian, Murni keluar lagi, sambil membawa benda yang tak asing bagi Kelana.

“Ini… Bawalah ini, Mas… Untukmu dan teman-temanmu berjaga-jaga.”

“Ndok…. Opo kowe yakin? Kuwi barang peninggalane Romo, lho” (Nak…. Apa kamuy akin? Itu barang peninggalannya Romo, lho) terang Bu Utari.

“Mboten nopo-nopo, Bu… Taseh enten peninggalane Romo sing saget kulo pelajari maleh” (Tidak apa-apa, Bu… Masih ada peninggalan Romo yang bisa saya pelajari lagi)” ujar Murni.

“Iya, Murni… Jangan… Simpan saja. Kami bisa menjaga diri”

“Selagi aku tidak bisa membersamai langkahmu, hanya ini yang bisa aku beri untuk melindungimu dan teman-temanmu, Mas… Terima lah, agar aku tenang, saat kamu mulai melakukan perjalanan nanti” pinta Murni.

Kelana melirik Bu Utari. Beliau hanya diam melihat anaknya yang tengah bersedih.

“Baiklah”

“Bu Utari…. Saya mohon izin menerima ini. Jika ibu izinkan, akan saya bawa” ucap Kelana.

“Gowonen, nek ancine iku iso gawe anakku mandek tangise” (Bawa saja, kalau memang itu bisa membuat anak saya berhenti menangisimu) jawab Bu Utari.

Matahari sudah hampir di atas kepala, Kelana harus cepat memulai perjalanannya.

Selamat tinggal, Bu Utari… Kebaikanmu, tidak akan kami lupakan.

Selamat tinggal, Murni…. Akan selalu ada ruang di hati untuk mengenang segala rasa yang tumbuh hingga sekarang ini.

“Berat, terasa berat sekali perpisahan ini. Akankah aku bisa bertemu Murni lagi? Ah… Semoga, Tuhan mengizinkanku bertemu gadis manis ini lagi kelak…”

***

Mereka kembali melangkah lagi, sebagai permulaan mereka harus menyusuri dan memanjat tebing yang cukup tinggi untuk keluar dari desa tempat tinggal Murni.

“Apa kita sudah berada di Alas Demit lagi?” tanya Sanjaya.

“Sepertinya, iya… Semoga kita selamat… Berdoalah…” ucap Kelana.

“Ayo kita jalan lagi” imbuhnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close