Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 3) - Para Penghuni Alas Demit

Sudah lama aku tidak mencium bau darah dan daging manusia. Kemarilah, kalian bisa jadi santapanku.


Part 3 - Para Penghuni Alas Demit "Buto Ireng"

“Kamu mau membawa kami kemana?”

Murni tak bergeming, ia terus menyasak jalanan di depannya tanpa henti. Tak lama, Murni mengangkat tangannya, seolah memberi kode kepada Kelana agar tenang dan tidak perlu takut.

Semakin lama, Kelana merasakan semakin banyak kehadiran para penghuni hutan ini berkerumun dan memperhatikan setiap langkahnya bersama Murni, Sanjaya dan Zafar. Hutan ini seperti pusat dari segala kehidupan gaib. Semuanya ada di sini, berbagai bentuk dan berbagai wujud.

Kelana bingung, bagaimana bisa ia merasakan semua ini. Padahal semuanya di luar batasnya. Kelana terus menjaga pandangannya agar tetap ke depan, seraya terus melafalkan doa di dalam hatinya agar kejadian yang tak diinginkannya tidak terjadi.

“Murni, kenapa aku bisa merasakan, bahkan melihat semuanya disini?” tanya Kelana dengan nada pelan.

“Iya, kamu memang istimewa, Mas. Apa kamu baru menyadarinya sekarang?”

“Iya” jawab Kelana.

“Mungkin, mereka yang ada di dalam hutan ini, yang membuat kelambu-kelambu di dalam batinmu terbuka dengan sendirinya, Mas. Kamu harus terbiasa mulai sekarang”

Kelana berusaha menjaga matanya, ia belum terbiasa menangkap pemandangan mengerikan di sekitarnya. Di setiap langkahnya, ia selalu bersholawat agar tetap tenang meski sedang di dalam kondisi yang sulit.

“Sanjaya! Kenapa kamu?” tiba-tiba saja Zafar berkata itu.
“Aku aman” jawab Sanjaya
“Sanjaya!” panggil Zafar lagi dengan suara lantang. “Far! Jangan berisik!” ujar Kelana.

“Berisik bagaimana sih? Aku dengar Sanjaya sedang merintih kesakitan. Apa kalian berdua nggak mendengarnya?” tanya Zafar.
“Dia baik-baik saja, telingamu saja yang salah dengar” jawab Kelana.
“Aku baik-baik saja” ucap Sanjaya.

Zafar ngotot, jika Sanjaya meminta tolong kepada mereka berdua. Bahkan, ia meminta kita semua berhenti, lalu memastikan jika Sanjaya baik-baik saja.
“Kelana! Ini temanmu sedang celaka” gertak Zafar.

“Aku aman, Far! Apa kamu tidak mendengarku?” ucap Sanjaya dengan suara keras tepat di belakang kepala Zafar. Bahkan, beberapa kali Sanjaya memukul carier Zafar agar Zafar tau jika Sanjaya aman di belakangnya.

Anehnya, yang Zafar rasakan justru sebaliknya, semakin Sanjaya berkata baik-baik saja, semakin Zafar mendengar Sanjaya meminta pertolongan.
“Murni, apa ini? Kenapa bisa begini?” tanya Kelana. Ia bingung dengan kondisi ini.

“Mas Zafar! Kamu sedang dipermainkan oleh salah satu penunggu alas ini. Jangan kamu hiraukan. Tetaplah fokus berjalan dan ingat aturannya. Semuanya aman, jika kita mematuhi aturannya” kata Murni memperingatkan.

“Mbak! Kamu itu siapa? Sok tahu sekali kamu. Temanku sedang butuh pertolongan” gertak Zafar.
“Far! Aku masih dengar suara Sanjaya, dia baik-baik saja”

“Gila kamu, Na! Sudah terpengaruh dengan perkataan perempuan itu. Kita gak tau sebenarnya dia siapa, kamu mudah sekali bisa percaya dengannya” umpat Zafar kesal.

“Nggak begitu, Far! Aku sendiri juga dengar jika Sanjaya baik-baik saja di belakangmu” jawab Kelana
“Aku sudah bilang, Mas. Kuasai dirimu, itu semua hanyalah ilusi untuk menyesatkanmu. Jangan tertipu, jika tidak, mereka yang akan mengambil alih kesadaranmu” tutur Murni.

“Far! Apa kamu nggak merasakannya? Hutan ini dipenuhi ratusan atau bahkan ribuan demit yang sekarang semuanya sedang memperhatikan kita di sini”

Terjadi perdebatan diantara mereka berempat. Saat itu, Kelana berada di pihak Murni, sementara Zafar tetap kekeuh dengan pendiriannya. Namun, dalam hati kecil Kelana, ia bimbang dengan kondisinya saat ini. Dia berada diantara Murni dan Zafar.

“Murni! Kelana! Jika kamu tidak mau berhenti, aku yang akan menolong Sanjaya sendiri” ancam Zafar.

“Zafar! Aku nggak kenapa-kenapa. Murni dan Kelana nggak salah. Kamu yang sedang dikelabuhi” pungkas Sanjaya. Tapi, Zafar masih tak berubah, entah demit apa yang mempengaruhi telinga dan pikirannya.

Murni masih terus berjalan. Kelana melambatkan langkahnya.
“Mas Kelana, percaya padaku, teruslah berjalan, Mas. Jangan tertipu”
“Tapi.... Tapi... Zafar itu sahabatku”
“Mas Zafar! Jangan langgar aturannya” ucap Murni lagi dengan lantang.

“Persetan dengan aturan itu. Aku akan menolong Sanjaya”
Beberapa detik kemudian, Kelana tak lagi mendengar langkah Zafar. Ia merasa jika Zafar telah benar-benar berhenti dan melihat Sanjaya di belakangnya.
“Murni! Sepertinya Zafar.....”

Belum selesai perkataan Kelana, tiba-tiba muncul suara auman serigala yang mengaung dari kejauhan. Angin pun semakin berhembus kencang menghantam dari sisi kanan tempat mereka berempat berjalan.

Suara-suara sumbang pun mulai terdengar dari segala arah, seolah akan terjadi sesuatu hal yang membahayakan menimpa mereka berempat.

Beberapa detik berselang, Kelana mendengar suara derap langkah kaki cepat seperti berlari.

“DUG....DUG.....DUG” disertai suara patahan kayu begitu keras terasa dari batang pepohonan area hutan. Kelana mencoba mengabaikan sura tersebut, ia terus berjalan tanpa menghiraukannya dari pada ketakutannya bertambah besar.

Namun, baru beberapa langkah, suara susulan keluar dan mengejutkannya.

“KELANA! KELANA! KELANA LARI!!! Teriak Zafar kencang, hingga menimbulkan suara menggema di tengah hutan. Zafar lari, menyalip Kelana dan Murni dengan sangat cepat.
“Zafar! Apa yang terjadi?” teriak Kelana.

“Mas Zafar! Sekarang dia dalam bahaya. Kita kejar dia. Jangan sampai kita kehilangan jejaknya” ucap Murni seraya berlari mengejar Zafar.
“MAS ZAFAR.......”
“ZAFAR......”
“ZAFAR.......”

Murni, Kelana dan Sanjaya saling teriak memanggil Zafar yang jauh berada di depannya. Sialnya, semakin jauh, medan yang dilalui semakin terjal. Kelana dan Sanjaya harus ekstra hati-hati. Dengan kecepatan biasa, Murni sulit untuk diimbangi langkahnya, apa lagi sekarang dia berlari

“Sanjaya! Apa yang dilakukan Zafar barusan?”
“Dia berhenti, lalu menoleh belakang ke arahku. Tapi, nggak lama setelah itu dia lari tunggang langgang menyalipmu”
“Apa yang dia lihat?”
“Aku juga nggak tahu”

Murni tampak mengeluarkan sebuah bungkusan daun dari balutan batik di pinggangya.
“Mas Kelana, pakai ini, balurkan ke sekujur tubuhmu sebisamu. Ke Mas Sanjaya juga”
“Apa ini?”
“Pakai saja, bisa sedikit melindungimu dari serangan- serangan makhluk itu”

“Makhluk apa?”
“Pakai saja, Mas! Jangan banyak tanya. Nanti kamu juga akan melihatnya sendiri” tukas Murni seraya mempercepat langkahnya lagi mengejar Zafar.

Suara gemuruh tiba-tiba saja saja terdengar dari dalam hutan. Dua sosok berukuran besar menampakkan wujudnya di depan Kelana. Mereka melangkah cepat ke depan
“Kelana! Makhluk apa itu? Seram sekali perawakannya, kenapa dia terlihat sedang mengejar sesuatu di depan?” tanya Sanjaya.

“Zafar! Apa mereka mengejar Zafar?” tanya Kelana.
“Kita harus cepat mengejar Zafar’ imbuh Kelana sambil menambah kecepatan kakinya.

Napas keduanya beradu dengan cepat, peluh membanjiri tubuh mereka. Murni sulit sekali dikejar. Murni hampir tak terlihat, tapi, Kelana masih bisa melihat jalanan setapak di depannya.

Ia mengikuti jalanan setapak itu hingga sampai di sebuah pohon sangat besar dengan akarnya yang bergelombang di bawahnya.

Di situ, ia melihat Zafar sedang berlindung diantara akar-akarnya, sementara Murni sedang berdiri berhadapan dengan dua makhluk tak berbentuk yang dilihat Kelana dan Sanjaya tadi. Kelana gemetar, ia panik, lalu meringkuk mundur ketakutan.

Dua sosok kembar yang memiliki tinggi tiga kali lipat dari ukuran tinggi Kelana, badannya tinggi, besar. Bahkan, pepohonan di sekelilingya hampir sama dengan tinggi badannya.

Kulit di sekujur tubuhnya berwarna hitam legam dan memiliki taring yang keluar dari rahang bagian bawahnya. Mereka tertawa terkekeh-kekeh seolah meledek Murni yang berusaha melindungi Zafar di belakangnya.

“Cah ayu, iso opo kowe karo aku? Kowe ora ono apa-apane nek dibandingke karo kekuatanku. Kowe meh ngelawan aku? Hahahaha”
(Cah ayu, bisa apa kamu terhadapku? Kamu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku. Kamu mau melawanku? hahahaha) ucap salah satu makhluk besar itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Murni! Makhluk apa ini? Apa yang mereka inginkan?”
“Buto ireng! Mereka mengincar temanmu, Mas. Dia lalai dengan aturan yang telah aku ucapkan tadi. Makhluk ini kerap mengganggu orang asing yang melewati hutan ini, yg paling lemah lah yang menjadi sasaran empuk mereka”

“Maaf, maafkan aku, Murni, Kelana.... Aku tidak tahu jika sedari tadi demit-demit itu yang menipuku”
“Kamu lemah, Mas Zafar. Pikiranmu sangat mudah dipengaruhi oleh mereka. Sekarang, kamu diam saja disitu. Berdoa saja supaya aku bisa mengusir makhluk-makhluk ini dari hadapanku”

“Wes suwe aku ora ngerasakno getih karo daginge menungso, bocah kuwi iso dadi pangananku. Minggiro, cah ayu. Kowe dudu urusanku” (Sudah lama aku tidak merasakan darah dan daging manusia, anak itu bisa jadi santapanku. Pergilah, cah ayu. Kamu bukan urusanku)

“Mas Kelana, apa kamu bisa membantuku?”
“Apa, apa Murni? Aku bantu pakai apa? Aku nggak punya kekuatan apa-apa”
Murni lantas melemparkan sebilah kayu yang entah sejak kapan dia menyimpannya.
“Pakai ini! Lawan mereka”

Sebilah kayu itu tiba-tiba saja berubah menjadi sebilah keris yang cukup berat saat Kelana menggenggamnya.
“Ini... ini pasti pusaka..... pusaka apa ini, Murni? Gimana cara menggunakannya?”

Belum sempat Kelana mendapatkan jawaban Murni, Murni tampak sudah maju duluan, satu Buto ireng kini sedang ia hadapi. Murni, benar-benar berubah menjadi perempuan gila yang tak mengenal rasa takut. Buto ireng yang berukuran sangat besar pun ia lawan tanpa ragu-ragu.

Sementara, satu Buto ireng lainnya kini mendekat dan menatap tajam ke arah Kelana, sepertinya dia tahu, jika Kelana lah yang menjadi lawannya malam ini.

“Sanjaya! Apa yang harus aku lakukan?” Kelana panik
“Aku nggak tahu, tapi, kamu yang sudah diberi pusaka itu” jawab Sanjaya.
Ya Allah.... Aku yakin semua yang ada di dunia ini, termasuk mereka yang sedang di hadapanku, semuanya adalah ciptaan-Mu.

Semuanya bisa hidup dan mati atas kehendak-Mu. Namun, malam ini, aku meminta pertolongan serta perlindungan-Mu, Ya Allah. Aku dan kedua temanku harus selamat dan tetap hidup.

Kelana berdoa, kemudian menarik napas panjang, jantungnya berdegup kencang, keringat mengucur deras di dahinya. Kelana memantapkan dan berusaha berani.

Buto Ireng menggeram, dan dengan wajahnya yang menyeramkan, Buto Ireng kini maju menyerang Kelana, tangannya yang besar seukuran pohon dewasa itu berkali-kali diayunkan untuk melukai Kelana.

Buto ireng mengamuk di hadapannya. Dengan sigap Kelana menangkis setiap serangan yang berdatangan mengancamnya.

“Murni! Selanjutnya apa?” teriak Kelana, jantungnya berdetak hebat.
“Tancapkan keris itu tepat di dadanya. Gunakan itu untuk melindungi tubuhmu”

“Demit koyo kowe, ora bakal iso mateni aku karo kanca-kancaku neng kene! Kowe sing kudu mati!” (Demit sepertimu tidak akan bisa membunuhku serta teman-temanku disini! Kamu yang akan mati!) gertak Kelana.

“Hahahaha” Buto Ireng tertawa mendengar Kelana.
“Bocah-bocah sombong! Kowe ora ono kesempatan menang karo aku. Ilmu mu ora sepiro timbang ilmuku” (kalian tidak ada kesempatan menang dariku. Ilmu mu tidak seberapa dibandingkan ilmuku) ucap Buto Ireng sambil terus tertawa.

Perkelahian antara Murni dan Kelana melawan Buto Ireng membuat suara gaduh di dalam hutan. Sanjaya pun berlindung diantara pohon di dekatnya. Sementara Zafar masih berlindung di tempat yang sama.

Sepakan keras Buto Ireng mendarat keras ke tubuh Kelana, tubuhnya terpental hingga belasan meter jauhnya.
“Kelana!” teriak Sanjaya.
“Jangan mendekat, Buto Ireng masih memburuku. Tetaplah disitu” balas Kelana.

Sebagai manusai yang belum menyadari soal kekuatan dan keistimewaannya, Kelana kewalahan melawan satu Buto Ireng itu. Beberapa bagian tubuhnya pun terluka oleh brutalnya serangan Buto Ireng.

Murni mengambil batu besar di dekatnya, lalu mengangkatnya tanpa merasa berat.
“Murni benar-benar diluar nalar akal sehat” ucap Sanjaya menyaksikan pertarungan di hadapannya.

Murni kemudian melemparkan batu itu ke arah Buto Ireng yang akan menyerang Kelana. Buto Ireng itu jatuh tersungkur, ia tidak sempat menghindar dari lemparan batu besar yang dilemparkan Murni mengenai tepat belakang tubuhnya.

Melihat itu, Kelana segera bangkit dan kembali melawan Buto ireng yang masih tersungkur di hadapannya.

“Aku belum kalah” seru Kelana dengan suara lantang. Keberanian Kelana terbentuk secara alami. Kini, dia tak lagi gentar menghadapi Buto Ireng di hadapannya.

Kelana membaca rapalan doa untuk menambah keberanian dan kekuatannya, lalu mengangkat keris di tangan kanannya. Sanjaya yang sedari tadi menyaksikan sahabatnya seperti kesetanan itu hanya diam tak bersuara, seakan tak percaya jika sahabatnya, Kelana, ternyata sehebat itu.

Namun, saat Kelana hendak menusuk Buto Ireng dengan sebilah keris yang ia genggam, dengan mudah Buto Ireng menghindar, lalu sepakan kakinya kembali mementalkan tubuh Kelana. Kelana ingin langsung bangkit lagi, tapi, saat sudah hampir berdiri, ia terjatuh lagi.

Kelana menatap kakinya, ternyata betisya robek cukup parah, terluka akibat tergores batang kayu yang tumbuh bebas di hutan itu.

Sanjaya menghampiri Kelana, kemudian berjongkok di depan Kelana.
“Kakimu terluka” ucap Sanjaya, seraya mengeluarkan beberapa P3K yang ia bawa di dalam cariernya. Sanjaya mengusapkan kapas ke betis Kelana yang terluka untuk menghilangkan darah segar yang terus keluar.

Kelana merintih kesakitan, tapi kemudian pandangannya teralihkan oleh kengerian dan keberanian Murni yang tak mampu ia utarakan.

“Murni… Apa benar dia Murni?” tanya Kelana.
“Siapa lagi? Kamu tidak percaya? Apa lagi aku, Kelana. Tidak cuma dia yang tak masuk akal, tapi kamu juga! Aku tak pernah melihatmu berterung seperti kesetanan begini” tandas Sanjaya.

Melihat Kelana, Saat itu, Murni berusaha melawan dua Buto Ireng sendirian. Murni menggunakan kain jarik yang melilit di tubuhnya, kain jariknya bagai sebuah pecut berukuran besar yang mampu membuat siapa saja merintih kesakitan saat terkena sabetannya.

Tak cukup sampai disitu, dengan kain jarik di badannya, Murni melilit dua tubuh Buto Ireng itu, lalu melemparnya hingga terjerumus di jurang yang tak jauh dari situ dan menyudahi pertarungan malam itu.

“Kita segera pergi dari sini. Ayo!” ajak Murni
“Apa mereka sudah mati?” tanya Zafar.
“Sepertinya belum, tapi itu bisa menghambatnya. Ayo, cepat pergi dari sini” tukas Murni.

Dibantu Sanjaya, Kelana kembali bangkit dan berjalan tergopoh-gopoh sambil menahan sakit disekujur tubuhnya. Sementara Zafar, dengan wajah bersalahnya turut membantu Kelana yang sedang kesusahan.

“Maafkan aku, Kelana” tutur Zafar.
“Kita bahas nanti, ikuti Murni dan jangan kamu buat masalah lagi” suruh Kelana.

Untuk sementara, Kelana menyimpan pusaka yang diberikan Murni di dalam cariernya. Kali ini, mereka kembali melanjutkan perjalanan, kembali lagi menyusuri jalan tanah kecil hutan ditemani kegelapan malam, tapi kali ini dengan kecepatan wajar.

Kelana merangkul kencang pundak Sanjaya seraya terus melafalkan doa di dalam hatinya agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Matanya terus berotasi menatap sekeliling pohon di depannya dengan pandangan waspada.

Pepohonan besar yang berjejer di kanan kiri seolah menjadi saksi segala petaka yang mereka bertiga temui malam hari itu.

Sepanjang jakan yang mereka lalui, Kelana terus mendesis kesakitan akibat luka di kakinya yang terasa semakin perih dan mengeluarkan banyak darah.
“Murni! Apa masih jauh?” tanya Kelana sambil berjalan.
“Turun satu lembahan lagi” jawab Murni.

Lebatnya hutan lama-lama terbuka, dan jalanaan kini berganti menjadi jurang curam.
“Ini Murni mau membawa kita ke rumahnya atau berniat membunuh kita?” tanya Sanjaya kesal.

“Masak kita disuruh melintas jalan kecil dengan jurang curam begini. Salah sedikit, mati kita” imbuhnya.
“Murni! Apa tidak ada jalan lain?” tanya Sanjaya.
Murni menggeleng, kemudian berjalan. “Ini jalan satu-satunya. Satu-satu, jika beriringan tak akan cukup” ucap Murni.

“Bagaimana denganku?” tanya Kelana.
Dibantu Murni, Kelana perlahan menuruni jurang itu, kemudian Sanjaya dan Zafar menyusul di belakangnya.

Singkatnya, setelah sampai di dasar, pemandangan semakin terbuka. Sebuah gapura yang terbuat dari bata merah tersusun rapi di ujung desa pun menyambut mereka.

Selamat datang di tempat saya” ucap Murni.
“Jalanlah dulu, rumah saya berada tepat di persimpangan itu. Jika tertutup, ketuk saja, Ibu saya ada di rumah” imbuh Murni.
“Lalu kamu mau kemana?” tanya Zafar kepada Murni.

“Saya ke pamong dulu, memberi tahu jika ada tamu mala mini”
“Kenapa begitu? Harus ya? Memangnya, masyarakat sini jarang menerima tamu?” cecar Zafar.
Murni diam saja, ia mengabaikan Zafar dengan raut mukanya yang kesal.

“Baik, Murni. Saya kesana dulu. Jika kamu sudah beres, segera susul kami, ya.” ujar Kelana.
Setelah itu, mereka kembali berjalan, mencari rumah milik Murni.
“Ini jam berapa?” tanya Kelana.

Sanjaya melirik jam tangannya, disitu Sanjaya baru menyadari, jika dari tadi ia tidak pernah melirik jam tangannya.
“Sebelas….. Kenapa masih jam sebelas?” ucap Sanjaya. Ia merasa jika waktu tak berputar sebagaimana normalnya.

“Aku merasa kita sudah sangat lama berputar-putar di dalam hutan sana. Apa jam tanganmu rusak?” tanya Zafar.
Kelana melihat lagi jam tangannya dengan seksama, jarumnya masih berputar ke kanan. Tandanya masih normal.

Mereka bertiga keheranan mengetahuinya. Namun, memikirkan itu tidak penting untuk sekarang. Sekarang, lebih baiknya lekas istirahat, agar tenaga kembali pulih dan melanjutkan perjalanan pulang esok hari.

Suasana desa sepi manakala Kelana, Sanjaya dan Zafar baru saja memasukinya. Mungkin, wajar saja, karena sudah hampir tengah malam. Suasana pedesaan yang mereka lihat, seperti pedesaan pada wajarnya.

Jarak rumah di sini berjauhan satu dengan yang lainnya. Dua orang warga melintas berlawanan arah, mereka melempar senyum kepada Kelana, Sanjaya dan Zafar.

Kelana sampai di persimpangan yang dimaksud Murni, lalu menatap satu rumah yang berdiri di dekat situ. Sebuah rumah dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu dengan penerangan lampu pijar kuning yang menyala tak begitu terang.

“Mungkin ini rumahnya. Hanya ada rumah ini di persimpangan sini” ucap Sanjaya.
Mereka bertiga berjalan mendekat, menginjakkan kakinya perlahan di pelataran rumah itu, sembari kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri melihat sekitarnya.

Mereka berhenti tepat di depan pintu rumah tersebut. Dengan jantung berdebar, Kelana dan Sanjaya mengetuk pintu seraya mengucapkan salam, mencoba memastikan bahwa rumah ini merupakan rumah Murni. Beberapa menit berselang, tidak ada jawaban.

Mereka bertiga berjalan pelan mendekati sebongkah kayu panjang di teras rumah itu, lalu mendudukkan pantatnya sembari beristirahat. Kelana memeriksa betisnya yang terbalut kasa yang sudah berubah warna menjadi kemerahan akibat banyak darah yang keluar.

“Aku coba ketuk lagi” ucap Zafar.
Suara wanita terdengar mendekat dari arah dalam rumah. Pintu dibuka, seorang wanita berusia paruh baya muncul dari balik pintu.

Wanita itu bingung, karena kedatangan tiga pemuda asing di rumahnya. Apa lagi, salah satunya terlihat sedang terluka di kakinya.
“Sinten? (siapa, ya?)” tanyanya keheranan.
“Kelana, Ibu…. Niki Sanjaya, Zafar” jawab Kelana seraya membungkuk canggung.

“Rencang-rencange kula, (teman-teman saya, Bu)” Murni yang baru datang langsung memberi tahu wanita itu. Rupanya, wanita itu adalah ibunya yang bernama Bu Utari.

“Oh, kancane Murni? Kok ora ngomong kawet mau. Sikilmu kenopo, cah bagus? (temannya Murni? Kok nggak bilang dari tadi. Kakimu kenapa?)”

Bu Utari ini tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, namun, beliau paham dengan apa yang keluar dari mulut Kelana, Zafar dan Sanjaya

Bu Utari kemudian mempersilakan masuk, “Monggo” ibu dan Murni mengajak Kelana, Sanjaya dan Zafar ke dalam.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah itu dan melihat segala isi rumah yang sederhana seperti rumah-rumah di pedesaan. Di setiap sisi rumah, ada sebuah ruang tanpa pintu, hanya dinding bambu yang terbelah sebagai pintunya dan tertutup kelambu berwarna merah.

Mereka bertiga duduk di sebuah dipan kayu yang hanya berjarak tiga langkah dari pintu rumah. Bu Untari tampak menggandeng Murni ke belakang. Dan beberapa menit kemudian, Murni kembali ke depan, dengan membawa tiga cangkir kopi hitam dan beberapa batang tanaman.

“Silakan…. Maaf, rumah kami seadanya” tukas Murni. Di belakangnya, berdiri Bu Utari seraya tersenyum kepada Kelana, Sanjaya dan Zafar.

“Terima kasih, Murni… Ini jauh lebih baik” jawab Kelana.
“Iya, Murni…. Dari pada kami harus terus berputar-putar di dalam hutan itu” imbuh Sanjaya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close