Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 57) - Kembali Pulang


"Paman Hamzah, aku perlu dihantarkan kembali pulang kerumahku di Jakarta," Ucapnya sambil melompat naik ke tubuh Khodam macan putihnya.

"Baik Raden... Peganglah bulu tubuhku erat-erat." Mendadak Khodam macan putihnya telah melesat sejauh mata memandang.

Memang sebenarnya perasaan Jaka Indi sangatlah kacau, meninggalkan banyak hal secara mendadak, tanpa pamit, tanpa persiapan, dan lain sebagainya.

Namun saatnya akan tiba, untuk menyelesaikan beberapa hal yang tidak bisa ia kerjakan saat ini.

"Walaupun mungkin aku telah meninggalkan banyak persoalan, disaat ini, aku harus fokus mempertahankan hidupku terlebih dahulu." Gumamnya pada diri sendiri.

Meskipun dirinya ingin berjumpa dengan Yuna, serta menemui Panji kakaknya dan menyelesaikan beberapa urusan, tapi Jaka Indi harus menunggu sampai besok atau lusa atau waktu berikutnya. Hal ini tidak perlu ku sesali.

Hanya orang bodoh yang menyesali langkahnya.

"Bagaimanapun... setelah esok tiba, akan ada esok hari lagi, serta esok-esok berikutnya, karena selalu dan akan selalu ada harapan baru." Renung Jaka Indi.

Sekalipun tujuan Jaka Indi ke-Jakarta, Jaka Indi tetap tidak bisa langsung menuju Jakarta, tapi harus lewat portal Ghaib terdekat yang diketahuinya, akhirnya Jaka Indi bersama Khodam macan putihnya sampai disalah satu pekarangan belakang Masjid Agung Demak, dari sana baru Jaka Indi bersama Khodam macan putihnya dapat menuju Jakarta.

Saat itu telah malam hari sekitar pukul 9 malam, dinginnya udara malam seperti menyayat kulit Jaka Indi, rasanya perih dan membuat tubuh menggigil, bahkan tulang-tulangnya terasa linu.

Setelah sholat di masjid Demak, Jaka Indi melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Perasaan tidak nyaman di badan terus dirasakannya, sepertinya raga dan tubuh jasnmani Jaka Indi masih perlu waktu untuk beradaptasi lagi, pikirnya.

Tidak lama hanya dalam beberapa menit kemudian, Khodam macan putihnya bersama Jaka Indi telah sampai didepan rumahnya di Jakarta, hanya ada yang berbeda dengan kondisi rumahnya, terlihat lebih apik dengan cat baru warna cerah, pager rumahnya-pun juga terlihat baru dengan diganti model pagar minimalis. Keramik teras dan kursi terasjuga baru, malah bertambah dengan adanya taman bunga kecil dihalaman depan teras.

Sampai Jaka Indi harus melihat kembali nomor rumah yang dimasukinya, untuk memastikan ia masuk kerumahnya sendiri.

Ternyata memang nomornya benar dan itu memang rumahnya sendiri.

Saat malam hari bik Inah memang tidak bekerja, karena bik Inah hanya bekerja sekitar dua jam di-pagi hari, sebatas bersih-bersih rumah, cuci dan setrika. Jaka Indi masuk menggunakan kunci rumah yang ia bawanya.

Tatkala lampu ruang tamu dinyalakan, Jaka Indi sempat terkejut dengan cahaya sinar lampu yang terasa menyengat di kulit tubuhnya dan menyilaukan pandangan matanya Setelah beradaptasi sesaat dengan cahaya sinar lampu, ia dapati seluruh ruangan juga telah berubah bukan hanya dinding rumah yang sudah pakai wallpaper baru, lantai keramiknya juga baru, bahkan perabot kursi tamu dan meja makan, semua serba baru, begitu juga televisi dan kulkas telah berganti dengan model yang terbaru.

"Hmmm.... ini pasti Achitya yang melakukannya." Batin Jaka Indi.

"Achitya apa kamu ada didalam!?" Tanya Jaka Indi, sambil tangannya mengetuk pintu kamar satu-satunya yang ada di rumah tersebut.

Namun tidak terdengar sahutan dan suara sama
sekali. Jaka Indi coba membuka pintu kamarnya, ternyata kosong, Oh.. mungkin, Achitya sedang pergi atau sedang ditempat bik Inah.

Kamar yang pernah ditempati Jaka Indi tampak terlihat resik dan tertata rapih bahkan dalam kamar juga ada televisinya dan bertambah satu lemari pakaian yang diletakkan Persis disebelah lemari pakaian miliknya.

Jaka Indi membuka lemari pakaiannya untuk salin, isi lemarinya tetap sama, hanya semua pakaiannya telah tertata rapi.

Dikeluarkannya Tongkat Kalimasada berwarna hitam, Jaka Indi meletakkannya di atas atap lemari pakaiannya, karena tongkat tersebut tidak muat bila diletakkan dalam lemari.

Kemudian dikeluarkan pula keris kyai Sengkelatnya, suling bambu kuningnya serta kitab kecil berisi catatan khusus pemberian gurunya Kanjeng Cakra Langit juga dikeluarkannya Tasbih Citra Ghaib hadiah dari Bunda Ratu dan pluit pemberian Resi Avatara Baba, serta tas pinggang hitam miliknya, semua diletakkannya di rak paling atas dalam lemari.

Jaka Indi memang biasa mengosongkan rak bagian atas lemari pakaiannya, untuk menyimpan, barang-barang pribadinya.

Manakala Jaka Indi telah meletakkan, semua barang bawaannya, ia baru menyadari kalau ada gumpalan kain ikatan warna kuning berisi perhiasan milik Achitya yang pernah dititipkan Dewi Wening ibu angkat Achitya untuk diberikan pada Achitya, menjelang keberangkatan Achitya.

Dibawah kain ikatan berisi perhiasan bahkan ada sebuah amplop surat, yang kemudian diambil Jaka Indi, ternyata pada bagian depannya bertuliskan untuk Mas Raden Jaka Indi dari Achitya.

"Wow... Achitya sudah bisa menulis !" gumamnya lirih. Karena Jaka Indi tahu bik Inah gaya tulisannya berbeda, menggunakan huruf sambung yang ditulis miring seperti tulisan orang kuno, sedang tulisan pada amplop ini ditulis dengan huruf cetak dengan gaya tulisan anak milenial saat ini.

Jaka Indi kemudian duduk di atas dipan tempat tidurnya, lalu dibuka amplopnya, Untuk mas Raden Jaka Indi tersayang.

Saat mas Raden membaca surat ini mungkin aku sudah tiada, tapi mas Raden tidak perlu merasa menyesal, atau merasa bersalah. Karena sekalipun hidupku di alam manusia hanya singkat, aku merasa sangat bahagia bisa mengenal alam manusia yang jauh berbeda dari duniaku.

Membaca sampai disini... Entah kenapa Jaka Indi timbul perasaan tidak enak dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Aku dengan ditemani bik Inah, sempat berjalan-jalan ke mall-mall besar di Jakarta, mencoba banyak kuliner, serta wisata ketempat hiburan, seperti ke Ancol, Kebun Binatang, Taman Mini Indonesia Indah, nonton Bioskop dan sebagainya, yang tidak pernah kualami di duniaku sebelumnya.

Bekal yang diberi ibu angkatku ternyata berisi perhiasan berupa berlian, emas, perak dan batu permata yang bernilai sangat tinggi. Aku juga sempat kursus membaca dan menulis.

Hanya sayangnya aku mengalami suatu penyakit yang menmbuat usiaku cepat bertambah tua dari hari ke hari, dan tubuhku semakin bertambah lemah. Bik Inah sangat khawatir melihat keadaanku, dan membawaku berobat ke RSUD terdekat, ternyata setelah mengalami proses pemeriksaan laboratorium, CT Scan, dan lain sebagainya, dokter Spesialis Pernyakit Dalam mengatakan kalau aku mengindap Penyakit Progeria.

Progeria adalah kondisi genetik langka yang menyebabkan anak atau seseorang mengalami penuaan dini dengan cepat. Penderitanya akan tampak jauh lebih tua daripada usia yang sebenarnya.

Sebagian besar anak yang mengidap progeria tak mampu melewati usia 15 tahun.

Tapi kalau menurut dugaanku, berdasar cerita ibu angkatku Dewi Wening. Aku lahir Pada tahun 1949, berarti di Alam manusia aku semestinya sudah berusia 73 tahun lebih, mungkin ini yang menyebabkan aku mengalami proses penuaan yang cepat, Sampai bagian ini tanpa disadari air mata Jaka Indi mulai menetes.

Perhiasan pemberian ibu angkatku Dewi Wening kutinggalkan buat Mas Raden, kartu ATM yang Mas Raden berikan juga kutinggalkan dalam ikatan kain kuning yang berisi perhiasan.

Terima kasih banyak Salam sayang, Adikmu Achitya.

Kali ini tidak tahan lagi Jaka lndi mulai menangis, memang Jaka Indi bukanlah pria yang gampang meneteskan air mata.

Tapi kali ini air matanya tanpa disadari telah menetes membasahi surat Achitya.

"Aiih..., andaikata aku tidak mengijinkannya kembali ke negeri asal kelahirannya, mungkin semua ini tidak akan terjadi, mungkin inilah alasan ibu Dewi Wening tidak pernah mengijinkan Achitya kembali ke alam manusia."

Manusia seringkali beranggapan bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan rencana mereka. Semua berjalan mudah dan lancar sesuai yang diinginkan, serta semua berjalan baik-baik saja.

Meski demikian banyak manusia yang belum menyadari bahwa kehidupan ini tidak berjalan seperti apa yang ia inginkan. Apa yang terjadi tidak jarang justru jauh dari bayangan dan rencana yang diharapkan.

Seringkali tidak semanis dan seindah yang diimpikan, Jika saat itu mereka tahu seberapa jauhnya kenyataan yang akan terjadi dari bayangannya, serta pahitnya kehidupan yang dilaluinya, mungkin sebagian manusia akan berharap lebih baik tidak dilahirkan.

Hanya manusia yang telah bisa membebaskan dirinya dari belenggu duniawi dan dari hasrat hawa nafsunya serta pasrah atas kehendak ilahi, yang dapat menjalani kehidupan ini dengan sabar, tabah, serta penuh rasa syukur.

Jaka Indi bukan hanya lelah pisik karena perjalanan panjang, tapi juga lelah hati setelah mengetahui Dewi Achitya telah tiada.

Direbahkannya tubuhnya dengan rasa rawan dan pilu yang mendalam. Sambil merenungkan kembali semua kenangan perjalanannya di dunia astral.

Sayup-sayup terdengar sebuah tembang Jawa dari suara radio di Pos Keamanan Lingkungan yang tak jauh dari rumah Jaka. Indi berada.

Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro
kujaga diriku dari berbuat nista sekehendak hati

Kelawan mekak howo, howo kang dur
angkoro
melawan/mengendalikan hawa. hawa (nafsu) yang diliputi angkara

Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda
meskipun setan gentayangan masih saja/ selalu membuat gangguan

Hinggo pupusing jaman
hingga akhir jaman

Hameteg ingsun nyirep geni wiso murko
sekuat tenaga diriku memadamkan api, bisa (racun), murka

Maper hardening ponco, saben ulesing netro
Mengendalikan panca indera (dalam) setiap
kedipan mata

Linambaran sih kawelasan, ingkang paring kamulyan
dilandasi belas kasih Sang Pemberi Kemulyaan

Sang Hyang Jati Pengeran
Sang Maha Penguasa Sejati

BERSAMBUNG
close