Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 2) - Kami Tidak Sendiri Di Alas Ini

Banyak sekali mayat-mayat menggantung entah apa penyebab kematiannya. Pocong-pocong hitam dan sosok-sosok tak berbentuk pun tersebar di segala penjuru hutan.


Part 2 - Kami Tidak Sendiri Di Alas Ini

Mari mulai perlahan...

"Bismillah bisa. Biar aku lagi yang di depan” ucap Kelana.

“Beneran tahu arahnya?” tanya Zafar dan Sanjaya.

“Kalian berdua percaya nggak?” balas Kelana.

“Kalau ada yang lebih paham, silakan. Biar aku paling belakang” imbuhnya.

Namun, Zafar dan Sanjaya malah diam dan saling lihat.

“Udah, kamu aja. Sok, jalan duluan” ujar Zafar.

“Oke” jawab Kelana, seraya berpindah tempat ke depan Sanjaya.

“Aku nggak mau belakang, kamu yang belakang, Jay” ucap Zafar.

Tidak menunggu lagi, Kelana menuruni bukit dengan hati-hati. Jalanan yang lembab, membuat kaki mudah terpeleset jika salah sedikit saja saat menapak. Sepanjang perjalanan turun, Zafar terus-terusan mengoceh, mengumpati perjalannya kali ini.

“Mendingan turun lagi aja kalau udah nemu jalan yang bener” ucap Zafar.

“Turunlah sendiri, biar ditangkap sama gerombolan pocong tadi. Biar aku mendaki sendiri sama Kelana” balas Sanjaya dengan nada kesal.

“Sudahlah.... Percuma juga kamu mengutuk keadaan sekarang ini. Dijalani aja. Aku pun bingung, kenapa kita bisa kesasar ke sini” tukas Kelana pada Zafar

Untungnya, keadaan masih memberi mereka bertiga cuaca yang baik. Bintang-bintang pun terlihat dari balik rimbunnya pepohonan. Kelana masih melihat Zafar dengan wajahnya yang kesal.

Tapi, mau apa lagi selain tetap berjalan dari pada diam saja di hutan ini? Yang ada malah akan membuat keadaan semakin sulit.

Waktu terus berputar, hingga hampir satu jam berjalan kembali menyusuri hutan yang banyak ditumbuhi tanaman liar hingga batas pinggang orang dewasa, kerap kali Kelana menyingkirkan rumput-ruput liar yang menghalanginya.

Tapi, sampai di titik ini, Kelana masih belum bertemu dengan jalur pendakian yang seharusnya. Kelana menghela napas, lalu berujar “Berhenti dulu, ya? Capek” seraya menepikan langkahnya lalu duduk di atas batang pohon yang tumbang.

“Apa emang udah sejauh ini kita tadi salah jalan? Perasaan, tadi nggak lewat jalan yang rapat begini” ucap Sanjaya.

“Aku juga nggak tahu. Aku tadi lihatnya ya jalanan biasa. Aku baru sadar waktu di atas tadi” jawab Kelana.

Cukup lama mereka bertiga berdiam diri di situ, sampai akhirnya, Kelana mendengar suara anak-anak seperti sedang bermain tak jauh dari tempatnya istirahat.

“Heh! Kalian dengar suara...” belum sempat Kelana menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba Zafar menyelanya.

“Anak-anak?”

“Iya.. Aku denger juga. Kenapa ada suara anak-anak di dalam hutan gini?” tanya Sanjaya.

Mereka bertiga bingung, kenapa bisa ada suara anak- anak bermain di dalam hutan yang rapat begini? Apa mereka warga lokal yang sudah terbiasa main di tempat seperti ini? Ah. Tapi, mana mungkin?

Kelana berdiri, memeriksa keadaan di sekitarnya sambil mencari dari mana suara anak-anak itu berasal. Suara itu kedengaran jelas, tapi belum kelihatan dimana wujudnya.

Kelana memeriksa keadaan di sekitarnya. Menerawang jauh dengan mata telanjangnya, walau ia tahu itu tak berpengaruh apa-apa.

“Mau cari ke mana?” tanya Zafar pada Kelana.

“Nggak tahu. Jalan lagi aja, yok” entah kenapa, perasaan Kelana bertambah mengganjal. Seperti merasa akan terjadi sesuatu hal setelah ini.

Kelana berjalan lagi, diikuti Zafar dan Sanjaya di belakang. Dengan hati-hati, Kelana memilih jalanan mana yang harus ia lewati.

Dia harus tetap tenang, karena, jika panik sedikit saja disaat tersesat begini, bisa mempengaruhi pikirannya dalam mengambil sebuah keputusan. Tenang atau celaka, hanya itu pilihannya.

Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba saja melintas di depan Kelana. Kelana yang terkejut lantas sedikit tersentak ke belakang. Hal itu membuat Zafar yang di belakangnya pun ikut kaget.

“Astagfirullah” sebut Kelana.

“Ada apa, Na? kamu lihat apa?” tanya Zafar dan Sanjaya.

“Ada yang lewat, bayangan hitam, dan cepet banget. Sampai aku gak bisa lihat apa itu”

“Beneran?” tanya Zafar lagi sambil mendekat ke arahnya.

“Udah, jalan lagi aja” ajak Kelana.

Kali ini, Kelana lebih berhati-hati dan waspada lagi. Di sisi lain, suara anak-anak itu masih kedengaran sedari tadi.

“Kalau lihat apa-apa, terutama sesuatu yang aneh, ngomong aja, ya. Nggak usah takut” ucap Kelana kepada dua rekannya di belakang.

“Nggak usah takut? Mana bisa!” umpat Zafar.
Kelana tetap berjalan, tanpa menghiraukan perkataan Zafar. Sekelebat bayangan tadi muncul lagi dan berpindah dengan cepat dari pohon satu ke pohon yang lainnya.

Secara alami, keberanian Kelana bertambah sendiri, ia menatap dan mengikuti bayangan itu saat bergerak. Sampai akhirnya, bayangan hitam itu berhenti di satu titik dekat pohon terbesar di hutan ini. Kelana yang menyadarinya pun spontan berjalan ke arahnya.

“Apa kalian nggak lihat itu?” tanya Kelana sambil mengarahkan senternya ke arah pohon terbesar di hutan itu.

“Apa itu?” jawab Zafar

“Sepertinya benar, ada anak-anak” sahut Sanjaya.

“Coba aku periksa” kata Kelana.

Kelana mendekatinya. Memastikan apa yang berdiri di sana. Kelana mematikan senternya, lalu berjalan pelan dengan hanya dibantu cahaya bulan yang tak begitu terang. Langkahnya pun senyap hampir tidak bersuara. Semakin dekat, wujudnya semakin kelihatan.

Ternyata, yang dikatakan Sanjaya benar. Kelana melihat tiga orang anak kecil sedang bermain kejar-kejaran di atas tanah yang agak lapang. Tapi, ternyata tidak hanya ada mereka, ada satu sosok lagi yang baru Kelana sadari keberadaannya.

“Apa itu?” tanya Kelana dalam hati.

“Kelana! Jangan jauh-jauh!” seru Zafar dan Sanjaya.

Dan.... Beberapa detik kemudian, Kelana mengetahuinya, jika sosok itu adalah perempuan dengan kebaya serba putih sedang duduk dan menyisir rambut panjangnya yang tergerai berantakan hingga ke pundaknya menggunakan jemari tangannya.

Dia tampak sambil mengawasi anak-anak yang bermain di dekatnya. Sepertinya, dia ibu dari ketiga anak-anak itu. Kelana merasa janggal dengan keberadaannya itu.

Kelana pun bertanya-tanya sendirian di dalam hatinya, mereka siapa? Apa benar, jika mereka warga yang tinggal di desa tak jauh dari sini? Tapi, mengapa malam-malam begini mereka kemari? Perasaan Kelana berkecamuk, ia semakin penasaran.

Saat Kelana mencoba melihat wajah perempuan itu dan ketiga anaknya, gelapnya malam menghalanginya. Kelana mengambil napas dalam-dalam, kemudian melihat ke belakang, melihat Zafar dan Sanjaya, memastikan mereka berdua masih berada di sana menunggunya.

Kelana semakin melangkah maju mendekat ke tempat perempuan dan ketiga anak itu. Jika dia tidak mendapatkan jawaban dari apa yang ia lihat dengan kedua matanya, maka ia akan bertanya secara langsung kepada mereka.

Kelana kembali melangkah lagi, saat tinggal terpaut beberapa langkah saja dengan mereka, tak sengaja kaki Kelana menginajk ranting kering hingga menimbulkan suara.

“KRREEKKK”

Spontan, suara itu membuat perempuan itu dan ketiga anaknya menoleh ke arah Sanjaya. Kelana panik, karena keberadaannya sudah diketahui oleh mereka. Namun, rasa panik Kelana seketika meninggi, rasa takutnya pun demikian, manakala ia melihat ke arah perempuan dan tiga anak tadi.

Di situ, wajah mereka sudah jelas dilihat oleh Kelana. Tapi, Kelana hanya melihat mulut di wajahnya, tidak ada mata dan hidung di wajahnya.

“Kowe ngopo, Mas? (kamu ngapain, Mas?)” ucap wanita itu dengan suaranya yang kedengaran lembut tapi menggungah rasa takut.

Tubuh Kelana seketika tidak bisa digerakkan. Kenapa, bagaimana bisa ia tidak memiliki mata tapi bisa mengatahui keberadaan Kelana yang tak jauh darinya?

“Rene, Mas! Ora perlu wedi, nek aku kepengin nyelakai awakmu, kawet saiki awakmu tak tendang neng jurang kae (Kemarilah, Mas! Tidak perlu takut, kalau aku ingin mencelakaimu, dari sekarang tubuhmu ku tendang ke jurang sana)” kata perempuan tak berwajah itu lagi.

Kelana masih diam kaku, bulu kuduknya berdiri dan mulai keluar keringat dingin dari balik bajunya. Di tengah-tengah ketakutan itu. Kelana melihat perempuan itu berdiri, seperti hendak menghampiri Kelana yang masih mematung di depannya.

Anak-anaknya yang dari tadi bermain lalu- lalang pun kini ikut menatap ke arah Kelana. Mereka bukanlaah manusia, melainkan demit penghuni hutan ini.

“Kelana” Sanjaya dan Zafar memanggilnya dari kejauhan.

Sosok perempuan tak berwajah itu semakin dekat, disini, sosoknya semakin kelihatan. Walaupun mengenakan pakaian berwarna putih, namun kulit di sekujur tubuhnya gosong dan penuh sayatan luka yang belum kering.

“Ya Allah... Tolong aku.... Apa yang perempuan ini inginkan dari ku?”

Tubuh Kelana semakin bergetar, keringatnya mengalir deras dari balik bajunya. Perempuan itu perlahan mengangkat tangannya ke arah kepala Kelana.

Ternyata, kuku di tangannya teramat panjang dan berwarna hitam. Aroma anyir menyengat dan membuat Kelana menahannya dalam diamnya. Tak berselang lama, Kelana merasakan tangan kasar itu menyentuh pipi kirinya dan turun hingga ke bahunya.

Sekarang, sosok perempuan tak berwajah itu hanya berjarak satu langkah di depannya. Meski tak memiliki mata, tapi Kelana merasakan jika ia sedang diperhatikan dengan tatapan yang menakutkan.

“Kenopo? Kowe wedi karo aku? Meski mbok delok aku ra nduwe mripat, ojo mbok pikir aku ora iso ndelok gelagatmu kawet mau nang kene .

(Kenapa? Kamu takut denganku? Meski kalau kamu lihat aku tidak punya mata, jangan kamu pikir aku tidak bisa melihat semua gelagatmu dari tadi di sini)” ucap sosok perempuan itu dengan nada tertawa, seolah sedang menertawakan kondisi Kelana yang mati kutu di depannya

“Arep opo kowe nyang kene, Le? Alas iki bahaya kanggo kowe karo konco-koncomu (Mau apa kamu datang kemari? Hutan ini berbahaya bagimu dan teman-temanmu)”

Kelana berusaha menggelengkan kepalanya, dan menggerakkan kakinya.

“Kelana! Kenapa lama sekali”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar keras di telinganya, disusul dengan tepukan di bahu kanannya dari belakang. Ya, ternyata itu suara Sanjaya. Sanjaya menyusulnya.

Tubuh Kelana berhasil digerakkan lagi saat Sanjaya datang. Kelana lantas memutar tubuhnya, menyalakan senter yang ia bawa, lalu menarik Sanjaya agar cepat lari menjauh dari tempat itu.

“Cepat pergi dari sini, Sanjaya”

“Apa... Apa Kelana? Kenapa kamu tiba-tiba lari begini?” tanya Sanjaya bingung.

“Nanti aku jelaskan, sekarang menjauh dulu dari sini”
Mereka berdua kemudian berlari tunggang langgang menghamapiri Zafar.

Melihat kedatangan Kelana dan Sanjaua dengan wajah panik dan takut, Zafar pun bingung, lalu mencecarnya dengan pertanyaan.

“Apa.... Apa, Kelana? Kamu lihat apa?” tanya Zafar penasaran.

“Anak-anak itu. Di sana mereka tidak sendiri, ada sesosok perempuan di dekatnya. Dan.....”

“Dan apa, Kelana?” sela Zafar.

“Mereka nggak memiliki wajah” tukas Kelana. “Jangan mengada-ada” balas Zafar.

“Buat apa aku bercanda atau membohongi kalian dalam keadaan begini? Coba lihatlah sendiri kalau berani” kata Kelana.

Zafar sadar ada yang tidak beres dengan kedua temannya, Kelana menatap jauh ke arah tadi. Sosok perempuan itu dengan ketiga anak-anaknya kini menatap ke arahnya. Perempuan itu tertawa, menertawai ketakutan Kelana, Sanjaya dan Zafar dengan suaranya yang keras mengisi seisi hutan.

“Lebih wasapada, dan hati-hati” ucap Kelana sembari berjalan secepat mungkin yang ia bisa.

“Sebenarnya siapa dia, Kelana?”

“Dia tadi yang ku ceritakan. Dia bisa berpindah dari tempat lain ke tempat yang lainnya dengan cepat, bahkan hingga tidak terlihat. Waspada” kata Kelana dengan nada meninggi. Karena tidak ada yang tahu, dia akan muncul lagi di sebelah mana.

“Berdoalah sepanjang jalan, agar tetap hidup sampai kita berhasil selamat” kata Sanjaya.

***

Kelana terus menyasak jalanan yang hampir tak terlihat di depannya. Kalau pun ia berjalan ke arah yang salah, hal itu tidak akan ia sadari karena saking tidak terlihatnya sisa jalur yang sudah mereka bertiga lewati tadi. Kelana terdiam, ia ragu mau melangkah kemana lagi.

“Aku harus jalan ke mana lagi? Jalannya udah hampir nggak kelihatan” ujar Kelana, ia berhenti tiba-tiba.
Zafar dan Sanjaya pun menyisir keadaan disekitarnya. Tapi, sepertinya hal itu percuma saja, karena tidak ada jalan atau petunjuk yang bisa mereka gunakan.

“Kita harus gimana lagi?” ucap Zafar yang terlihat putus asa.
Meratapi keadaan dan hanya berdiam di sini bukanlah solusi, Kelana mencoba tenang, menghela napasnya berulang kali sampai benar-benar tenang.

Ia kemudian memutar otaknya, diarahkannya senternya ke atas, memutarkannya ke segala arah, sambil meniup peluit yang dari awal sudah menggantung di carier pendakiannya.

“Apa yang kamu lakukan, Na?” tanya Zafar.

“Sebagai sinyal SOS, agar ada yang lihat jika ada orang yang sedang butuh pertolongan di sini. Semoga aja ada yang melihat dan mendengar”

Melihat Kelana, Sanjaya dan Zafar pun mengikutinya. Sekarang mereka bertiga sama-sama mengarahkan senternya ke atas, ke segala arah, berharap ada yang melihat sinyal SOS yang mereka kirimkan.

Namun, setelah beberapa menit berusaha, tanda-tanda ada orang yang menyadari keberadaan mereka bertiga belum juga ada.

“Masih nggak ada yang tahu” ujar Sanjaya.

“Kita harus berbuat apa lagi, Kelana?” tanya Sanjaya.

Mereka bertiga beristirahat berdekatan di dekat situ, lalu sama-sama berdoa, berharap segera mendapat petunjuk agar bisa melewati semua ini dengan selamat.

Setelah saling berdoa, Kelana mengambil satu tempat di dekat situ untuknya duduk dan menetralkan pikiran-pikiran negatifnya. Tak lama, Kelana mengajak berjalan lagi, suhu semakin dingin, beberapa kali Zafar dan Sanjaya berteriak, berharap ada yang mendengarnya.

Sementara Kelana masih fokus dengan mencari jalanan yang bisa ia tapaki di depannya, langkahnya terus menerjang medan yang sulit itu. Mereka bertiga saling memberikan nasehat agar tetap terjaga kesadarannya dalam perjalanan.

Tapi, tidak lama setelah itu, Kelana tiba-tiba saja mencium aroma wangi.

“Wangi.... Kalian menciumnya juga?”

Kelana kembali menghentikan langkahnya. Aroma wangi itu membuat Kelana merasa penasaran.

“Mau ada demit lagi?” ucap Zafar.

“Di situasi begini, kamu bisa nggak lebih menjaga kata-katamu?”ujar Sanjaya

“Ayo” Kelana berjalan lagi. Ia mencoba abai dengan aroma itu. Tapi, tiba-tiba Kelana melihat setitik cahaya terang dari kejauhan.Kelana menyipitkan matanya, lalu menatap fokus ke tempat cahaya itu berada

Tapi, beberapa detik setelah itu, ternyata tidak hanya setitik cahaya yang ia lihat, melainkan siluet wujud manusia berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

Kelana menyalakan senternya, lalu menyorotkan ke arahnya. Ya, dia benar-benar ada, Kelana tidak sedang halusinasi dalam lamunannya saja. Seorang perempuan dengan berkebaya bermotif bunga berdiri di ujung matanya.

Rambutnya tergerai rapi hingga ke punggungnya. Spontan, Kelana melongo dibuatnya.

“Far! Jay! Kalian lihat? Ada gadis cantik di sana”

“Ha? Mana ada gadis cantik di hutan begini” balas Zafar saat ia belum melihat gadis itu.

“Itu....” kata Kelana sambil menunjuk ke tempat gadis itu berada.

“Heh! Kenapa bisa ada di sini. Jangan-jangan?” balas Sanjaya curiga.

“Kamu gak curiga?” tanya Sanjaya.

“Pertolongan Allah bisa datang dari mana saja, siapa tau dia orang yang tinggal di desa tak jauh dari sini. Aku coba lihat ke sana” jawab Kelana tanpa ragu.

Kelana buru-buru berdiri, lalu datang menghampiri gadis itu. Namun, baru lima langkah saja, kakinya terpeleset jatuh ke tanah yang lebih rendah dengan kepalanya yang mendarat ke tanah lebih dulu.

“Aduh....” Teriak Kelana.

“Kan, ini tanda buruk” tukas Zafar.

“Diamlah, cepat bantu aku” balas Kelana.

Saat sudah bangun dan kembali ke posisi semula, Kelana melanjutkan niatnya, yakni menghampiri gadis cantik di ujung penglihatannya. “Sek yo, aku ke gadis itu dulu” ujar Kelana, sambil menyalakan senternya.

Dengan senter yang ada di tangan, Kelana melangkah cepat, kemudian menyasak rerumputan yang menghalangi di depannya.

Tak jauh dari sana, ia kemudian berjalan masuk ke dalam hutan yang di mana jarak antar pohon di dalamnya tidak terlalu jauh. Semakin masuk ke dalam hutan, wujud gadis itu semakin jelas.

“Mbak....” Panggil Kelana dengan suara lantang.
Perlahan gadis itu menoleh ke arahnya. Kelana terkejut, seakan tak percaya, jika dia benar-benar cantik. Kelana tak menyangka akan bertemu gadis cantik di hutan belantara ini.

“Iya, Mas. Kenapa?” ucap gadis itu, suaranya lembut dan terdengar menenangkan diantara gelapnya malam di dalam hutan ini.

“Mbak..... Kamu ngapain di dalam hutan malam- malam begini?”

Gadis berparas cantik nan manis itu melempar senyum diantara cahaya senter yang disorotkan Kelana. Tak henti-hentinya Kelana merasa takjub dengan kecantikannya yang luar biasa.

“Saya mau pulang” jawabnya dengan lembut.
“Mas, sedang apa di sini?” tanya gadis itu.
“Saya hendak mendaki, tapi.... Saya tersesat, Mbak. Apa, apa... Kalau saya diizinkan, apa saya boleh ikut pulang ke rumah njenengan? Saya tidak tau arah jalan pulang, atau jalan ke puncak, Mbak”

“Mas mau ikut saya pulang?”

“Kalau diperbolehkan, Mbak” jawab Kelana dengan wajah yang ingin dikasihani.

Gadis itu mengangguk. “Murni. Panggil saya dengan nama Murni” tukasnya

“Murni? Bagus sekali namamu. Cocok sekali nama itu untukmu” ucap Kelana.

Murni hanya membalas ucapan Kelana dengan senyuman yang terlukis di wajahnya.

“Sanjaya! Zafar! Kemari!” teriak Kelana.

“Mas beneran mau ikut saya pulang?” tanyanya sekali lagi.

“Iya, Mbak. Kami tidak tau lagi siapa yang bisa menolong kami bertiga keluar dari hutan ini”

“Nggak perlu ‘mbak’, cukup ‘Murni’.”

“Iya, Murni. Sementara, aku dan kedua temanku ikut bersamamu pulang. Minimal, kami bisa keluar dari belantara hutan ini”

“Tapi.... Tapi jalan ke rumah saya berbahaya”
“Berbahaya?”
“Iya, Mas. Masih mau ikut saya?” tanyanya lagi.
Kelana diam sebentar, lalu berpikir “Jika Murni sebagai seorang perempuan saja bisa melewatinya, aku, Sanjaya dan Zafar pasti bisa melaluinya juga” pikir Kelana dalam hati.

“Iya. Tenang saja” kata Kelana.

Tidak ada sedikit keraguan dalam benak Kelana. Baginya, selain cantik, gadis ini bisa ia gunakan untuk menunjukkan jalan kembali.

Pulang = rumah = kampung = keluar dari hutan. Begitulah rumus di dalam otak Kelana. Lagi pula, dari tadi ia dengan Sanjaya dan Zafar hanya menuruni bukit yang tak ketemu di mana ujungnya.

Bisa jadi, tanpa mereka bertiga sadari, langkahnya sudah dekat dengan perkampungan warga yang berada di lereng lain gunung Merbabu.

“Sebelum jalan, ada aturannya”

“Apa itu?”

“Sebelum sampai, jangan sekali-kali melihat ke belakang”

“Ha? Kenapa begitu?” tanya Zafar, karena perkataan Murni yang kedengaran aneh.

“Pengen selamat?” tanya Murni.

Pertanyaan yang singkat, namun mampu membuat Kelana, Zafar dan Sanjaya takut saat mendengarnya.

“Kayaknya ada yang nggak beres” bisik Zafar

“Kita ikut aja dulu, yang penting kita keluar dari ketersesatan ini dulu. Urusan lain, pikir nanti” kata Kelana.
Setelah sedikit berdebat, Kelana, Zafar dan Sanjaya pun sepakat, mereka siap menjalankan pesan Murni.

Posisinya masih sama, Kelana paling depan, diikuti Zafar dan Sanjaya berada paling belakang. Urutan ini tidak boleh dirubah posisinya saat di tengah jalan.

“Bagaimana, Mas?” tanya Murni pada Kelana.

“Murni jalan duluan aja” jawab Kelana. Meski pun Kelana senang saat menatap senyum yang tergambar di wajah Murni, tapi ia tidak bisa membohongi perasaannya yang merasa takut saat itu.

Murni kemudian melangkah dengan cepat. Kelana pun mengikuti di belakangnya, matanya tertuju pada belantara di depannya dan juga Murni yang tanpa ragu melangkah di turunan yang sempit dan licin.

Waktu itu, angin bertiup agak kencang, suara-suara hewan gunung pun semakin keras kedengaran. Di titik ini, perasaan Kelana semakin terasa tidak enak.

“Murni, jauh nggak jarak ke rumahmu?” tanya Kelana. Ia berusaha menetralkan suasana dengan cara membangun percakapan dengan Murni.

“Deket, Mas” balas Murni.

“Nanti, kalau masuk hutan di depan, jangan berisik, ya, Mas? Tahan dulu jika ingin berbicara” imbuhnya.

Murni semakin mempercepat langkahnya, Kelana, Zafar dan Sanjaya pun susah payah mengimbangi langkahnya. Kini, mereka sampai di sebuah hutan berkabut tipis yang hanya berbatasan dengan sebuah tanah yang agak lapang dari hutan sebelumnya.

Suhu udara semakin dingin manakala Kelana, Zafar dan Sanjaya tiba di sini. Beberapa kali, Kelana seperti melihat mata-mata yang memancar merah mengintip dari celah-celah pohon dan rumput liar.

“Nggak usah dilihat, Mas. Jalan terus saja” teriak Murni.

“Rame banget di sini” ucap Sanjaya.

“Apanya, Jay?”

“Tenang, Mas. Teruslah lihat ke depan. Kalau kalian bebal, bisa-bisa kalian akan terjebak di sini selamanya” teriak Murni.

Apakah ini sebuah ancaman? atau peringatan? Dibalik parasnya yang cantik dan menawan, Murni sepertinya menyimpan sebuah cerita tentang hutan dan gunung ini. Medan kini berubah, menjadi sebuah jalan setapak kecil yang diapit oleh pohon yang berjajar di kanan kirinya.

Di sini, Kelana tiba-tiba saja merasakan hawa yang tak asing baginya. Bulu kuduknya pun seketika merinding dan belum tau apa penyebabnya.

Angin sesekali masih bertiup, membuat suhu dingin malam itu menusuk hingga ke tulang. Suara gemerisik daun saat tertiup angin menambah Kelana semakin merasa waspada. Sayup-sayup, Kelana mendengar sebuah suara muncul dari pepohonan di sekelilingnya.

Kelana menatap kesana, mencoba melihat apa yang ada di sana. Di situ, Kelana baru sadar, jika sedari tadi di atas pohon-pohon itu banyak menggantung mayat-mayat mati yang entah apa sebabnya.

Sosok-sosok pocong hitam pun kembali ia lihat berada sekelilingnya. Bahkan, makhluk- makhluk yang tak jelas apa bentukannya pun bertebaran di sana.

“Murni! Ini jalan kemana? Kenapa gini?” Kelana mulai merasa curiga.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close