Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 1) - Selamat Datang Di Alas Demit

Jauh di dalam hutan sana, hidup ratusan, bahkan ribuan makhluk tak kasat mata yang siap mencelakaimu kapan saja. Pilihannya hanya dua; abadi di dalam hutan ini, atau jalani hingga akhir.


Disclaimer: Nama desa bukanlah nama sesungguhnya

Sering kali, rasa percaya diri yang terlatih sejak lama, suka berbanding terbalik jika dihadapkan pada hal-hal yang tak masuk di akal.

Namun, alam dan seisinya termasuk segala fenomena yang terjadi di dalam dunia adalah bentuk nyata kekuasaan-Nya Yang Maha Agung dari segalanya. Manusia bukanlah apa-apa tanpa Allah berikan kekuatan.

Alam dan setiap keindahannya, selalu menyimpan misteri di belakangnya. Tak jarang, membuat banyak orang tertarik untuk berpetualang di dalamnya.

Termasuk Kelana, Sanjaya dan Zafar. Tiga sahabat yang berkeinginan mendaki gunung untuk menikmati sebagian kecil keindahan yang Allah berikan kepada manusia.

Namun, siapa sangka, pendakian yang awalnya mereka kira akan menjadi sebuah petualangan asyik dan seru, malah menjadi sebuah petualangan yang menegangkan setelah mereka masuk di sebuah alas yang dihuni oleh ribuan demit di dalamnya.

***

Kelana mulai menenteng cariernya dengan muatannya yang lumayan berat, lalu meletakkannya di atas kendaraan. Hari itu, Kelana akan mendaki gunung bersama kedua teman kuliahnya; Sanjaya dan Zafar.

Ini adalah pendakian ke sekian kalinya bagi Kelana. Baginya, mendaki gunung adalah sebuah rutinitas yang perlu dibiasakan. Banyak cerita dan makna yang sering ia ambil di setiap perjalanan dan gunung yang berhasil ia daki.

“Manusia hanya setitik kecil diantara ciptaan-Nya yang sangat megah nan luas ini” begitulah kalimat yang sering ia lontarkan.

“Udah lengkap semua alat-alatnya?” tanya Kelana kepada kedua temannya.

“Aman” jawab Sanjaya. Sanjaya, adalah salah satu orang yang kerap bersama bertualang dengan Kelana.

Tak ayal, jika ia banyak mengerti tentang pengetahuan mendaki gunung dan sifat-sifat Kelana yang tak diketahui banyak orang.

“Far?”
Kelana melihat Zafar, ia masih berkutat dengan alat- alatnya yang belum selesai ia kemas. Zafar juga salah satu orang yang dekat dengan Kelana. Namun, ini adalah pendakian pertamanya bersama Kelana dan Sanjaya.

“Sebentar lagi beres” jawab Zafar sambil menghisap sebatang rokok di jarinya.

Setelah semua siap. Mereka bertiga berangkat dari kos-kosan menuju gunung yang terkenal di semua kalangan pendaki saat itu. Bahkan, sampai sekarang, gunung tersebut masih menjadi primadona bagi seluruh kalangan pegiat alam.

Nama gunung tersebut adalah ‘Gunung Merbabu’

Dari kos, mereka kemudian menuju ke sebuah desa yang ada di kaki gunung Merbabu, desa Wanadya.

Rencananya, Kelana, Sanjaya dan Zafar akan mendaki ke sana melalui jalur pendakian Wanadya, karena yang terdekat dari jarak mereka sekarang. Saat di tengah perjalanan. Mereka sempatkan cari sarapan terlebih dulu di warung pinggir jalan raya yang mereka lewati.

Tubuh yang lelah, masih bisa mereka tahan, tapi jika perut sudah lapar, harus segera diisi oleh makanan. “Logika tanpa logistik sama dengan anarkis” begitulah kalimat populer di masyarakat.

“Pada mau naik gunung ke mana, Mas?” tanya ibu- ibu pemilik warung tersebut. Kalau tidak salah, namanya Ibu Sarini.

“Merbabu, Bu” jawab Kelana sambil tersenyum.

“Kemarin, dua hari yang lalu baru saja ada pendaki yang tersesat, Mas”

“Waktu ditemukan sudah dalam keadaan meninggal” imbuhnya.
Zafar tampak menghentikan suapan makanannya dan diam lumayan lama.

“Apa iya, Bu?” tanya Kelana.

“Iya, Mas. Panjenengan semua hati-hati saja. Apa lagi cuaca masih tidak tentu begini. Kadang hujan, kadang panas, susah ditebak. Sudah bawa jas hujan semuanya kan?” tanya Bu Sarini.

“Aman, cuy. Tenang saja. Kita kan sudah nonton youtube kemarin, buat lihat referensi jalur pendakiannya” ucap Sanjaya seraya menenangkan.
Singkat cerita, mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanannya lagi.

Saat jalan mulai naik, Kelana yang dari awal boncengan dengan Zafar, mendapati Zafar melamun di belakangnya. Melalui spion, Kelana memperhatikan Zafar yang dari tadi menatap tebing-tebing jurang di sebelah kanannya.

“Lihat apa, Far?” tanya Kelana.
Zafar tak menggubris pertanyaannya. Ia terpaku dan melamun.

“Far!” gertak Kelana

Lagi-lagi, Zafar masih tak merespon gertakan Kelana.

Hingga akhirnya Kelana menepikan kendaraannya dan Sanjaya yang berkendara di belakangnya pun mengikuti.

“Kok berhenti? Ada apa?” tanya Zafar tiba-tiba

“Lah! Kamu tak panggil-panggil dari tadi kenapa gak jawab?”

“Ha? Kapan?”

“Kamu lihat apa sih?”

“Eng-enggak kok. Aku gak lihat apa-apa”

Kelana menatap Zafar curiga. Wajahnya tampak berbeda seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari Kelana dan Sanjaya. Kelana dan Zafar sedikit berdebat saat itu.
Namun, Zafar masih dengan jawabannya. Kelana kembali memacu kendaraannya yang tak lama lagi akan sampai di desa Wanadya.

Selang tiga puluh menit kemudian, akhirnya mereka bertiga sampai di rumah singgah bagi pendaki di desa Wanadya.

***

Part 1 - Selamat Datang Di Alas Demit

Disetiap balik pohon, nyaris seluruhnya dihuni oleh puluhan atau bahkan lebih makhluk menakutkan
...

“Assalamualaikum” sapa Kelana pada pemilik rumah.

“Walaikumsalam warahmatullah. Monggo, Mas”

“Mau naik, Mas?” tanya bapak-bapak pemilik rumah basa-basi.

“Iya, Pak. Tapi istirahat dulu sebentar”

Bapak pemilik rumah pun mempersilahkan mereka duduk bersantai di atas karpet yang sudah ia sediakan untuk pendaki yang singgah di rumahnya. Setelah berkenalan, bapak pemilik rumah tersebut bernama Pak Teguh.

“Mau naik hari ini juga?”

Mereka bertiga mengangguk.

“Sudah sore lho, Mas? Apa gak sebaiknya besok pagi-pagi saja?”

Kelana tersenyum, lantas menjawabnya, “Hehehe, enggak, Pak. Sore ini saja”

“Oalahhh, Ya sudah, Mas.... Hati-hati ya, Mas.... Di sini, akhir-akhir ini sering hujan dan kadang disertai angin. Njenengan sudah bawa jas hujan, jaket dan sleeping bag?”

“Sudah, Pak”

Pak Teguh tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Karena masih dirundung rasa penasaran akibat Bu Sarini di warung tadi, di situ Kelana memberanikan diri bertanya mengenai berita pendaki yang belum lama hilang di gunung Merbabu ini.

“Sebelumnya, maaf nggeh Pak. Apa benar belum lama ini, ada pendaki tersesat dan pas ditemukan sudah dalam keadaan meninggal?” tanya Kelana dengan raut wajah sungkan dan rasa penasaran.

Pak Teguh tersenyum, kemudian berkata dengan suara pelan, seperti sengaja agar suaranya tak terdengar hingga luar rumah.

“Iya, Mas. Rupanya mas tahu juga beritanya ya? Pendaki yang hilang itu, dia mendaki lewat jalur illegal, Mas. Tapi, ditemukannya gak jauh dari jalur Wanadya” ucap Pak Teguh.

“Kenapa bisa sampai meninggal ya, Pak?” sahut Zafar.

“Kemungkinan, dia kehabisan logistik dan tidak punya pengetahuan soal bertahan hidup, Mas”

“Itulah parahnya, kalau mendaki tapi tanpa disertai pengetahuan yang memadai” ucap Pak Teguh.

Kelana, Sanjaya dan Zafar hanya mengangguk- angguk mendengar penjelasan Pak Teguh. Tak lama dari situ, seorang wanita paruh baya keluar dari belakang sambil membawa empat gelas teh hangat.

“Monggo, Mas. Diminum” ucap wanita tersebut sambil tersenyum.

“Ini istri saya, Mas” ujar Pak Teguh.

Pak Teguh memang ramah sekali. Kelana, Sanjaya dan Zafar pun terkesan dengan jamuan yang beliau berikan.

Bahkan, beliau menyarankan lagi, untuk mendaki esok hari saja dan menginap di rumahnya terlebih dulu satu malam. Menurutnya, mendaki saat menjelang petang dekat-dekat ini, sangat tidak direkomendasikan, karena medan yang akan bertambah sulit karena sering turun hujan.

“Ehh... Maturnuwun, Pak. Kami mendaki hari ini saja... Insya Allah kami sudah siap dengan semua alat dan persiapannya” sahut Sanjaya.

Sore itu, sekitar pukul 16.30, Kelana, Sanjaya dan Zafar sudah bersiap dengan sepatu di kaki dan carier di punggungya. Mereka bertiga sebentar lagi memulai perjalanannya menggapai puncak Merbabu melalui desa Wanadya.

“Udah aman semua?” tanya Kelana yang langsung dibalas dengan acungan jempol oleh Sanjaya dan Zafar.
“Kalau udah siap semua, ayo merapat sebentar. Kita berdoa sebelum memulai pendakian ini”

Beres memanjatkan doa, mereka pun pamit dengan Pak Teguh dan istrinya di dalam rumah. “Pak Teguh, kami berangkat dulu, nggeh. Maturnuwun suguhannya” ucap mereka.

Setelahnya, mereka bertiga memulai pendakiannya dengan formasi Sanjaya paling depan, disusul Zafar dan Kelana berada paling belakang. Di balik mereka berdiri, sore senja mulai menyuguhkan panoramanya. Gagahnya gunung Merapi pun tak luput dari tatapan meraka.

Terlihat jelas bibir kawah di atasnya itu mengepulkan asap yang membumbung tinggi. Beberapa meter setelah keluar dari rumah Pak Teguh, langkah mereka perlahan masuk dalam hutan belantara.

Ancaman hujan badai, terpeleset karena jalur licin, atau ancaman hilang di dalam hutan sudah siap menantinya di dalam hutan.

“Ati-ati, Le! Waspada! Durung suwe bar ono molo neng kene! Ilengo karo Gusti Allah, ojo ngumbar sing ora penting"

"(Hati-hati, Nak! Waspada! Belum lama ada hal buruk di sini! Ingat sama Gusti Allah, jangan bicara yang tidak penting)” teriak laki-laki paruh baya yang tiba-tiba muncul dari bawah lereng

“Siapa, Ka?” tanya Kelana pada Sanjaya di depan.

“Gak tahu” jawabnya

“Nggeh, Pak! Kami akan hati-hati” teriak Zafar membalas perkataan bapak-bapak tadi.

“Asal disahut aja apa susahnya? Toh, dia memberi nasehat yang baik pada kita, kan?” kata Zafar.

Cahaya senja perlahan hilang, berganti kegelapan yang menyelimuti hutan dan mereka bertiga di dalamnya. Senter di tangan dan kepala pun mulai mereka nyalakan untuk menelusuri belantara hutan saat itu.

Diantara mereka bertiga, Zafar lah yang paling dini dalam pengalaman pendakian gunung. Sementara, Kelana dan Sanjaya sudah kerap naik turun gunung bersama dari awal mereka kenal.

Semakin ke atas, kemiringan jalur terlihat semakin curam. Di beberapa titik pun rintikan hujan mengiringi langkah mereka. Meski demikian, mereka belum mengenakan jas hujan yang mereka bawa karena intensitas airnya yang masih rendah.

Di belakang Sanjaya dan Zafar, Kelana berjalan santai dengan tempo jalan yang biasa ia pakai. Namun, ketika Kelana melangkahkan kakinya agak tinggi ke atas batu di tengah jalur pendakian, tiba-tiba saja dari arah belakang Kelana mendengar suara langkah kaki berderap cukup keras.

Kelana tentu saja menghentikan langkahnya dan melihat ke belakangnya. Tapi, di situ Kelana tidak menemukan siapapun di belakangnya, kecuali dia seorang diri dan dua temannya di depan. Saat itu, Kelana tak memperdulikannya dan kembali melanjutkan langkahnya lagi ke atas.

“Sanjaya! Jalanmu kenapa cepat sekali? Kamu tidak sedang naik gunung dengan Kelana aja! Ada aku diantara kalian berdua! Pelan-pelan aja lah” gertak Zafar tiba-tiba dengan napas yang ngos-ngosan”

Kelana dan Sanjaya tertawa melihat tingkah temannya yang satu ini. Saat di bawah, dia kerap berkelakar dan belaga akan kuat mengimbangi jalan mereka. Nyatanya? Hahaha..... Mereka bertiga pun berhenti di area lapang di sebelah jalur pendakian.

Mereka duduk beristirahat sambil menikmati aroma udara alam bebas. Tidak ada hal yang menarik di situ, selain pohon berukuran yang tumbuh tak jauh dari tempat mereka istirahat. Hutan pun masih rapat di sekitar situ.

“Na, itu apa, ya?” tanya Zafar pada Kelana tentang sesuatu yang ia lihat di belakang Kelana. Sesuatu benda berwarna hitam, serta berukuran hampir sama seperti badannya banyak tersebar diantara pepohonan hutan itu.

Spontan Kelana membalikkan badannya, lalu menatap jauh ke dalam rimba hutan yang diselimuti kabut tipis di belakangnya. “Apa, Far?” balas Kelana.

“Itu! Apa kalian gak lihat? Hitam-hitam berdiri banyak sekali di sana. Pohon apa itu? Apa aku yang salah lihat?”

“Mana sih?” sahut Sanjaya turut penasaran. Sanjaya mendekat ke tempat Zafar, lalu mencari sesuatu yang dimaksudkan oleh Zafar.

Kabut tipis, ditambah hari yang semakin sore menghalangi pandangan mereka. Mereka bertiga sama-sama memicikkan matanya, menatap jeli ke arah belantara hutan yang ditunjukkan Zafar.

Lama kelamaan, Kelana dan Sanjaya menemukan sesuatu benda yang dimaksud Zafar. “Apa itu?” tanya mereka berdua. Namun, lama kelamaan, benda hitam yang dimaksud Zafar bergerak dan semakin terlihat wujudnya.

Beberapa detik kemudian, sesuatu yang awalnya Zafar kira adalah batang pohon, seketika berubah bentuk menjadi wujud pocong berwarna hitam yang kain kafannya benar-benar terlihat hitam legam seperti diselimuti oleh arang.

Kedua lubang matanya bolong tanpa ada bola matanya dan mulutnya pun robek dalam keadaan menganga. Sosok itu melayang beberapa centimeter dari permukaan tanah menuju tempat Kelana, Sanjaya dan Zafar beristirahat.

“PO-PO-POCONG......” Zafar menjerit dengan suara yang lantang.

Disitulah Kelana dan Sanjaya baru menyadarinya juga, di setiap balik pohon di depannya, nyaris seluruhnya dihuni oleh puluhan, bahkan mungkin lebih sosok pocong yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.

aat itu lah mereka bertiga meraung berteriak dan seketika bangun dari duduknya lalu berlarian tunggang langgang. Gerombolan pocong hitam yang entah dari mana asalnya itu terlihat sedang mengejar keberadaan mereka bertiga.

Kelana menoleh ke belakang, pocong-pocong hitam itu melompat- lompat, namun lompatannya terlihat seperti melayang di atas angin.

“Kelana... Sanjaya.... Tunggu aku!” teriak Zafar yang berlari paling belakang.

Setelah mendaki agak jauh, Kelana menemukan tanah lapang agak besar serta ada dua pendaki istirahat di atasnya.

Karena melihat kedatangan tiga pendaki yang berlari ketakutan, spontan dua pendaki tersebut melihat wajah Kelana, Sanjaya dan Zafar dengan sorot mata yang keheranan sekaligus ngeri. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Saat itu Kelana kemudian melihat Sanjaya dan Zafar.

Mereka tampak kelelahan setelah agak jauh mendaki sambil berlari. Suara degup jantung dan napasnya silih berganti terdengar satu sama lain.

“Kenapa, Mas? Apa yang terjadi sama kalian?” tanya salah seorang pendaki yang mereka temui.

“Banyak pocong di bawah, Mas!” sahut Zafar.

“Heeehhhh!” tegur Sanjaya

“Gak seharusnya kamu bilang begitu” imbuh Sanjaya

“Belum lama, ada pendaki yang hilang di sekitar situ, Mas. Hati-hati saja. Apa lagi yang mendaki sekarang hanya kalian bertiga saja” ujar pendaki tadi.

Kelana dan Sanjaya hanya mengangguk-angguk sambil meletakkan badannya di tepi jalur pendakian. Anehnya, tak lama setelah itu, dua pendaki tadi meninggalkan mereka tanpa pamit dan wajah yang kaku.

“Mau lanjut, Mas?” tanya Kelana. Tapi, keduanya tak menjawab pertanyaan Kelana.

“Dasar, orang aneh!” ketus Zafar

“Biarkan saja. Wong kita ya gak saling kenal. Wajahmu mirip penjahat kalik, Far” ucap Sanjaya sambil tertawa.

“Kenapa kita ketemu hal begini, sih? Apa emang gini kalau mendaki bareng kalian berdua?” tanya Zafar.

“Kalian sadar nggak?” tanya Kelana.

“Kenapa pendaki tadi ngomong hanya kita bertiga yang mendaki hari ini? Lalu mereka siapa?”

Suasana seketika hening, Sanjaya dan Zafar hanya diam termangu mendengar perkataan Kelana. Suasana terasa semakin mencekam saat itu.

Beberapa menit kemudian, Kelana kembali berdiri, lalu mengajak melanjutkan perjalanan lagi. Tapi, hanya Sanjaya yang berdiri, Zafar masih duduk melamun seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Kamu mau tetep di sini aja, Far?” tanya Kelana yang sudah siap berjalan lagi.

“Nggak yakin aku kalau begini”

“Mau turun lagi? Yakin? Di bawah banyak pocong- pocong tadi yang udah nungguin kamu” ucap Kelana menakut-nakuti.

“Atau mau masih tetap di sini? Bisa saja pocong- pocong tadi, masih mengejar kita dan sebentar lagi akan sampai di tempat ini” imbuh Kelana.

“Tutup mulutmu, Na! Seneng sekali kamu menakut- nakuti aku! Kamu kira aku takut?” balas Zafar.

“Iya” kata Kelana.

“Nah. Itu tahu! Kalau udah tahu aku penakut, nggak usah mulutmu menakut-nakutiku begitu” terang Zafar.

“Wes-wes, ayo jalan lagi” ucap Sanjaya melerai mereka, seraya melangkahkan kakinya lagi paling depan.

“Kenapa aku sering terjebak di situasi sulit kalau sama kalian sih?” gerutu Zafar sambil berdiri dan menegakkan badannya.

“Ayo lanjut” balas Zafar dengan raut muka terpaksa. “Aku depan ya, Ka?” ucap Kelana.

“Siap. Lanjut!” balas Sanjaya

Kelana mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya, lalu mulai melangkahkan kakinya pelan-pelan. Tanah yang lembab kembali ia tapaki bersama dua temannya. Tapi, di situ Kelana tidak bisa memungkiri, kalau ada perasaan mengganjal yang membuat dirinya lebih waspada dari biasanya

“Ah. Entahlah. Aku hanya ingin menikmati pendakianku ini dan tak ingin berpikiran macam-macam. Tapi.... Tapi.... Kenapa firasat ini suka seketika muncul?” batin Kelana.

Suara adzan maghrib dari masjid milik warga di bawah kedengaran di telinga Kelana. Kelana menghentikan langkahnya, lalu mengajak Sanjaya dan Zafar berhenti sejenak sambil beristirahat.

“Adzan maghrib. Kita berhenti dulu” tukas Kelana.
Langit berubah gelap sempurna seiring dengan adzan maghrib yang menggema.

Jalur pendakian yang semula masih terlihat dengan mata telanjang, kini berubah menjadi hitam kegelapan. Hewan-hewan malam hutan pun kini mulai memperlihatkan eksistensinya.

Kelana memimpin perjalanannya lagi tatkala adzan sudah selesai berkumandang. Jalur pendakian di tahun itu, jauh berbeda dengan sekarang yang sudah banyak rambu-rambu petunjuknya dan dapat dilihat dengan jelas.

“Hati-hati, Na. Jalannya sempit, jangan sampai salah ambil jalan” tukas Zafar.

Beberapa kali Kelana menghela napas berat karena medan yang dilaluinya semakin berat dan menyusahkan. Suhu udaranya pun juga terasa semakin dingin.

Tak lama, setelah Zafar mengatakan itu, tiba-tiba terdengar suara, suara yang bukan berasal dari alam. Lebih tepatnya seperti suara kidung hajatan. Suaranya sayup beriringan dalam gelapnya malam.

“Ada suara hajatan, ya? Apa iya kedengaran sampai sini?” tanya Kelana kepada kedua rekannya.

“Iya. Aku juga dengar” jawab Zafar.

“Apa itu berasal dari desa di bawah? Kencang sekali suaranya” ujar Sanjaya.

“Udahlah, gak usah dihiraukan. Anggap aja suaranya dari bawah. Gak usah dicari lagi” ucap Zafar yang sepertinya sudah ketakutan.

Kelana berjalan lagi, sementara, suara kidung itu masih selalu menyertai.

Kelana berusaha agar tak menghiraukan suara kidung itu, agar ia tak terpengaruh akan rasanya. Rasa yang kental dengan aura mistis penghuni Merbabu. Hingga, Kelana kembali menghentikan langkahnya lagi.

Di situ ia baru menyadari jika kakinya tak lagi menapak pada jalan setapak seperti sebelumnya. Kelana berhenti, lalu menyisir keadaan di sekitarnya dan menyenter jauh ke depan.

“Na, ada apa? Kenapa tiba-tiba berhenti?” tanya Zafar

Kelana masih diam. Ia masih terlihat memeriksa keadaan di sekitarnya hingga membuat kedua temannya merasa curiga.

“Kenapa sih?” tanya Sanjaya

“Coba lihat ke tanah, lalu lihat di sekitar kita. Apa benar, ini jalur pendakian?” tanya Kelana.

Spontan, Zafar dan Sanjaya pun melakukan yang perkataan Kelana. Mereka berdua kemudian memeriksa keadaan di sekitarnya.

“Iya, ya? Kenapa kita ada di sini? Seperti bukan jalur pendakian” tukas Sanjaya, ia pun baru menyadarinya.

Padahal, malam belum lama datang, tapi sudah membuat Kelana, Zafar dan Sanjaya bingung sekaligus ketakutan. Bagaimana bisa mereka kesasar hingga sampai ke sini?

“Kita putar balik lagi aja, harusnya nanti akan sampai ke jalan yang benar dengan sendirinya” usul Zafar.

“Kembali ke arah mana? Jalannya hampir gak kelihatan” jawab Sanjaya.

Kelana menyenter ke belakang, memeriksa ke segala arah. Menurutnya, jika dilihat dengan seksama dan melangkah dengan hati-hati, ia masih bisa jika hendak kembali lagi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close