Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 5) - Pendekar Jagad Segoro Demit

Danan dan Cahyo membutuhkan sekutu untuk melawan pasukan lelembut yang dibangkitkan Raden Sengkuni. Mereka dihadang oleh setan suruhan sengkuni. Pertarungan di atas keretapun tak terhindarkan.

***

Angin dingin berembus begitu kencang menerpa wajah Cahyo yang tengah berdiri di atap kereta yang tengah berjalan kencang menembus malam. “Panjul! Aku nyusul!” teriak Danan dari perbatasan gerbong, tapi ucapannya itu belum terwujud dengan keberadaan penumpang kereta yang berkerumun mengarah padanya. “Nggak usah, Nan! Biar aku yang ngurusin demit ini, kamu cari cara untuk menyadarkan orang-orang itu dan menghentikan kereta ini aja!” Keadaan benar-benar di luar kuasa Danan dan Cahyo. Perjalanan yang mereka harapkan bisa menjadi waktu untuk sejenak istirahat malah merupa mimpi buruk yang harus dihadapi. Semua itu dimulai dengan kemunculan sosok yang mengaku bernama Ki Tunggulpati yang muncul di kereta tanpa mereka sadari. Dalam hitungan menit saja, seluruh penumpang di kereta itu dikuasai oleh setan-setan gentayangan pengikut Ki Tunggulpati. Mereka semua tak sadarkan diri dan nyawa mereka berada dalam bahaya. “Seluruh penumpang kereta ini sudah ditakdirkan menjadi tumbalku. Tidak ada gunanya kalian melawan…” ucap Ki Tunggulpati dengan seringaian yang bengis. Ia yang sebelumnya berwujud kakek-kakek kini berubah menjadi sosok bertangan empat yang panjang dan bergerak menyerupai seekor laba-laba raksasa. Ia mencengkeram satu gerbong dengan tangan dan kakinya yang panjang untuk menghadang Cahyo di atap kereta. “Jangan bercanda!” Cahyo mengepalkan tangannya, ia tak langsung memanggil Wanasura, tapi menggunakan ajian penguat raga dan menghantamkan pukulan ke arah wajah Ki Tunggulpati. Sraaaat!!! Ki Tunggulpati tahu ia tidak bisa menahan serangan Cahyo yang melesat cepat karena ukuran tubuhnya, tapi ia meludahkan cairan hitam yang sanggup melelehkan benda ke arah Cahyo. Beruntung Cahyo menyadarinya dan memilih menyingkir. Sementara itu, dari sisi gerbong sebelah tangan panjang melesat ke arah Cahyo. Ia hendak menghindar, tapi gumpalan cairan hitam yang diludahkan Ki Tunggulpati juga mengarah kepadanya. Cahyo tak bisa menghindari keduanya. Bugghh!!! Cahyo terkena telak pukulan itu dan terpelanting beberapa meter hingga tubuhnya membentur sisi antena kereta, beruntung ajian penguat raga mengurangi rasa sakit sempat ia rapalkan dan tangannya mencengkeram atap kereta sehingga ia tak jatuh. Cahyo terbatuk dan mengeluarkan darah. “Sial!” Kali ini Cahyo bergegas bangkit, tapi Ki Tunggulpati sudah lebih dulu berada di dekatnya dan menghunuskan kuku-kuku tajamnya dari ketiga tangannya untuk menembus tubuh Cahyo. “Sayang sekali kau terlalu berbahaya untuk kujadikan tumbal…” Ki Tunggulpati terkekeh. “Jangan harap!” balas Cahyo.

“Sayang sekali kau terlalu berbahaya untuk kujadikan tumbal…” Ki Tunggulpati terkekeh. “Jangan harap!” balas Cahyo. Karena tak punya pilihan lagi, dengan sekuat tenaga Cahyo memanggil kekuatan Wanasura dan memukul sisi gerbong di sampingnya hingga gerbong itu hampir terjatuh miring. Ki Tunggulpati kehilangan pijakannya dan oleng. “Kaulah yang harus kembali ke kuburanmu!” hardik Cahyo yang telah berhasil kembali ke atap dan menghantamkan sebuah pukulan yang dengan cepat ditangkis dengan tangan panjang Ki Tunggulpati yang tampak kian geram. Buaggh!!! Krakkk!!! Pertarungan sengit terjadi di atap kereta, sesekali Cahyo harus memperhatikan sisi di hadapannya untuk memastikan ia berada di posisi yang tepat untuk merunduk di terowongan atau melompati kabel listrik. Ia pun tak bisa salah pijak. Sementara itu Danan tak henti-hentinya membacakan amalan putih untuk menenangkan roh yang merasuki penumpang kereta. Sayangnya, kondisi Danan tidak lebih baik. Ada puluhan orang mengerumuninya dengan niat membunuh dan ia tahu tidak mungkin bisa melawan atau menyakiti penumpang kereta yang juga merupakan korban. Satu per satu penumpang mulai pulih, tapi roh gentayangan lain langsung merasuki mereka lagi. Seperti pekerjaan yang tak habis-habis. Yang Danan khawatirkan adalah sang masinis dan semua awak kereta yang belum jelas nasibnya. Itu artinya, kereta berjalan tanpa kendali. Entah berapa lama kereta ini akan bertahan. Mana yang akan muncul lebih dulu di hadapan mereka? Perpindahan rel? Jalur buntu? Atau kereta yang berpapasan dengan mereka? Biar bagaimanapun Danan dan Cahyo harus segera mengambil keputusan dan menyelesaikan pertempuran di kereta. Namun, tak semudah yang mereka kira. Ada orang-orang yang harus mereka hubungi untuk ikut membantu menghadapi apa yang sedang terjadi di Astana Giridanyang. Mereka sepakat bahwa mereka akan mencari bantuan dari Timur, sementara Jagad dan Dirga akan mencari bantuan dari Barat. Gama, Budi dan Kimpul pun melakukan hal yang sama saat melihat apa yang tengah terjadi di Astana Giridanyang. Tentang sosok yang sedang melakukan ritual penyempurnaan untuk menguasai Kutukan Sewu Lelembut…


KUASA TERTINGGI TRAH NINGRAT (Satu malam sebelumnya…) Api yang membakar Alas Rowosukmo semakin membesar seolah belum puas melahap pepohonan di hutan bukit itu. Jalan menuju Astana Giridanyang semakin terbuka lebar, Danan dan yang lain tidak mengerti kejadian itu adalah hal yang mempermudah mereka atau justru berbuntut bencana lainnya? “Bah Jajang?” Cahyo teringat akan keberadaan warung Bah Jajang yang berada tak jauh dari Alas Rowosukmo. “Astafirullahaladzim…”ucap Gama yang juga teringat keberadaan Bah Jajang. Mereka pun mbergegas meninggalkan Desa Leuwijajar dan berlari menuju perbatasan Alas Rowosukmo. Tujuan mereka adalah sebuah warung yang hanya dihuni oleh seorang pria gaek bernama Bah Jajang. Mereka harus menyelamatkannya. Asap yang mengepul dan membumbung tinggi dari kebarakan hutan mulai mengganggu pernafasan dan pandangan. Dengan kain baju seadanya, mereka menutupi hidung untuk melindungi diri dari asap yang semakin mengepul. “Bah Jajang!!! Bah Jajang!!!” Cahyo dan yang lain berteriak sepanjang jalan menyisir kemungkinan Bah Jajang sudah berlari terlebih dahulu melewati jalur itu. Namun ternyata mereka salah. Api yatanya nsudah menjalar hingga keluar Alas Rowosukmo. Warung yang terlihat dari pandangan mereka mulai dimakan api yang merambat dari sisi hutan. Namun, Danan yang lain bernafas lega saat melihat seseorang tengah memandang dari jauh bangunan sederhana yang terbuat dari kayu tengah terbakar sedikit demi sedikit. “Bah?! Bah Jajang tidak apa-apa?” Danan akhirnya tiba di hadapan Bah Jajang, ia memeriksa tubuh kakek itu yang masih terpaku melihat warungnya perlahan tandas dimakan si jago merah. Namun, Bah Jajang masih terpaku dengan pemandangan di hadapannya. Rautnya sedih dan matanya memerah. “Bah?” Cahyo. Air mata menetes di pipi Bah Jajang. Matanya memantulkan kobaran api yang menggilas atap warung yang terbuat dari daun kelapa. Ia masih tak merespons ucapan Cahyo. “Bah, ini kami, Bah! Ikhlaskan warungnya saja dulu. Kita cari tempat aman!” bujuk Gama. Bah Jajang akhirnya menggeleng dan melihat semua orang yang menghampiri dirinya. Ia menarik nafas yang panjang dan bermuatan duka mendalam. “Saat aku mendengar adanya ramalah hutan ini akan terbuka ketika tahta Astana Giridanyang terisi, aku tidak pernah menyangka dengan seperti inilah cara hutan terbuka,” ucapnya kelu. “Benar, tidak ada yang menyangka,” tambah Kimpul yang menepuk pundak Bah Jajang. Bah Jajang menoleh pada Kimpul sebentar, matanya yang senduh sedikit berbinar mendapati lelaki itu selamat dari Siti Kawaruhan. “Tujuan kita bukan keluar dari hutan. Tujuan kita harusnya menuju Astana Giridanyang untuk benar-benar menyelesaikan semua,” ucap Bah Jajang pelan. “Benar Bah, kami akan ke sana. Mungkin Bah Jajang, Abah, dan Dirga bisa mencari tempat yang aman untuk kembali ke Desa Leuwijajar sementara kami menuju Astana Giridanyang,” balas Danan. Bah Jajang menggeleng. “Tidak, kita harus ke sana saat ini. Kita harus menyaksikan apa yang terjadi dan menghentikan sebelum semuanya terlambat!”. “Sudah Bah Jajang, biar saya temani kembali ke Desa Leuwijajar dulu. Mereka mengerti kok apa yang mereka hadapi,” ajak Abah. Danan menoleh ke arah Bah Jajang dan mengangguk memberikan isyarat bahwa mereka akan baik-baik saja. Namun, Bah Jajang tampak ragu sebelum benar-benar melihat anggukan yang lain. “Saya mengenali Bah Jajang, ada yang harus kita bahas di desa,” ucap Abah. “Sepertinya Abah mulai mengetahui tujuannya untuk ikut ke tempat ini,” ucap Jagad pada Dirga. Dirga mengiakan, ia lebih memilih untuk ikut dengan Danan dan yang lainnya menuju Astana Giridanyang. Urusan Bah Jajang, ia mempercayakan ayahnya. “Bah, Dirga ikut sama Mas Danan, ya. Ada sesuatu yang harus Dirga pastikan,” Dirga berkata dengan penuh keyakinan. “Iya, jangan gegabah. Jaga diri kamu,” balas Abah. “Abah juga hati-hati,” pesan Dirga. Danan memandang Dirga. “Kita berangkat sekarang.” Dirga lalu ikut berkumpul bersama Danan dan yang lainnya. Mereka segera berlari menyusuri sisi hutan yang sudah habis dilalap api sambil memastikan jalur yang mereka lewati aman. Sepanjang trek hutan, ombak api yang menjalar terus menyisir sekitarnya. Angin yang berembus membiaskan hawa panas. “Gila! Hutan sebesar ini bisa dibakar dalam sekejap begini?” celetuk Cahyo. Yang lain juga merasakan keheranan yang sama, kecuali Budi yang hanya memandang lurus permukaan tanah hutan yang sarat akan abu yang beterbangan. Kali ini, Cahyo tidak berani mengusik Budi. Wajah Budi terlihat begitu geram. Menghancurkan hutan yang merupakan tempat yang sangat budi jaga benar-benar menyulut amarahnya. “Lebih cepat!” teriak Kimpul yang tahu-tahu berada paling depan. Danan dan Cahyo menyadari mereka tidaklah sendiri. Ada beberapa sosok di sekitar mereka yang bermunculan dari balik pepohonan seperti mengisyaratkan ke arah mana mereka terus berlari. Mereka adalah sekumpulan kera-kera kecil yang Cahyo tahu persis adalah teman-teman Kliwon. Srat!!! Srat!!! Srat!!!! Kera-kera itu menyibakkan ranting-ranting yang terbakar untuk membuka jalur. Mereka menghabiskan jalur hutan yang mulai habis terbakar sampai pada reruntuhan yang kemunculannya telah menenggelamkan satu desa. Astana Giridanyang…

***

“Jadi, ini tempatnya?” tanya Gama. “Tidak salah lagi, tempat ini yang pernah muncul di pangaweruh-ku…” Kimpul mengangguk. Cahyo menaiki salah satu sisa pohon tertinggi yang telah hangus terbakar dan matanya mengilatkan amarah. Budi menyusul di bawahnya dan memberi reaksi yang sama. Sudah jelas hal mengerikan yang mereka lihat. “Apanya yang tanah para pendekar? Tempat ini lebih tepat disebut dengan tanah terkutuk!” hardik Cahyo. Danan, Gama, dan Kimpul maju sedikit lebih jauh ke salah satu daratan yang lebih tinggi permukaannya. Dari situ mereka baru menyadari apa yang sebenarnya dilihat oleh Cahyo dan Budi dari atas sana. Entah berapa banyak jumlah mayat bergelimpangan di reruntuhan itu, nyaris tak terhitung karena bertumpuk-tumpuk membentuk bukit. Mayat-mayat itu bukan jasad orang yang baru mati. Ada yang sudah membusuk dipenuhi belatung dan burung bangkai, ada yang menyisakan tulang belulang, bahkan membatu layaknya mumi. “Mengerikan…,” Gama bergumam. “apa mereka korban pembantaian?” “Bukan, mereka jasad yang dikumpulkan oleh Raden sengkuni di Siti Kawaruhan untuk saat ini,” balas Kimpul penuh ironi. “Ma—maksudnya? Sebentar, maksudmu mereka akan dibangkitkan?” Gama terbelalak. Kimpul mengangguk. “Seperti yang terjadi pada jasad trah Pakujagar yang menyerang Dirga,” tambah Jagad. Danan menelan ludah membayangkan bencana apa yang akan terjadi saat Raden Sengkuni membangkitkan mereka. Sudah jelas, jasad-jasad ini bukanlah jasad manusia biasa. Mereka adalah pendekar-pendekar kuat pada jamannya. Tidak terbayang jika mayat hidup pendekar dibangkitkan untuk dikendalikan sebagai bala tentara. Sudah pasti menimbulkan kehancuran. “Dengan pangaweruhan-ku, Raden Sengkuni bisa meramalkan sandi yang digunakan untuk ritual Sewu Lelembut. Tidak ada celah untuk menggagalkannya,” ucap Kimpul pelan. Cahyo dan Budi melondat dari pohon dan menghampiri mereka. “Kalau gitu, kita serang sebelum mereka bangkit sepenuhnya!” seru Budi yang hendak bergegas menuju reruntuhan. “Betul!” Cahyo sependapat. Namun dalam hitungan detik, Danan menarik sarung Cahyo dan menahannya hingga terjatuh di tanah, sementara Gama menarik kerah belakang baju Budi untuk menghentikannya. “Tahan! Jangan terbawa emosi!” ucap Gama dengan tegas. Budi segera menghentikan langkahnya tanpa membantah sedikitpun. “Kenapa, Nan? Kalau ada waktu yang tepat untuk menghentikannya adalah sekarang!” protes Cahyo geram. “Aku paham kita ingin berjuang, tapi bukan berarti tanpa perhitungan dan tanpa rencana, Jul. Kamu mau kita ke sana cuma nganter nyawa? Kita gak tahu bahaya macam apa di sana kalau kita terlalu terbawa emosi. Yang kita lawan ini bukan manusia biasa. Dia manusia dengan hati iblis. Iblis aja mungkin sungkem sama dia,” jelas Danan. Cahyo mengatur nafasnya yang memburu. Danan menjulurkan tangannya, membantu Cahyo berdiri, lalu menunjuk lurus ke salah satu sudut reruntuhan. “Lihat itu! Kalau kamu asal maju, yang ada celaka kita.” Mereka semua menatap ke arah telunjuk Danan. Mata mereka terbelalak melihat sosok raksasa siluman lowo ireng bersayap dengan banaspati bersarang di punggungnya yang tengah terbang. Sosok itu mendarat di balik reruntuhan dan di punggungnya berdiri seorang pria yang mengenakan jas. Siluman itu mengantar pria tersebut menduduki sebuah singgasana di antara tumpukan mayat itu. Sungguh pemandangan yang menggentarkan nyali. “Raden Sengkuni…” gumam Kimpul Geram. Melihat sosok itu, Danan mengepalkan tangannya. Cahyo dan Budi juga hanya terdiam. Mereka tampaknya memulih menarik diri. Mereka tidak akan lupa bagaimana serangan satu banaspatinya saja bisa membumihanguskan Alas Rowosukmo. Cring… Di tengah kebisuan mereka, tiba-tiba gelang gengge Gama berbunyi dengan sendirinya. “Ke—keris ragasukma,” Danan kebingungan keris Ragasukmanya muncul dengan sendirinya dari. “Ada apa, Nan?” tanya Cahyo penasaran. Budi mendekat kepada Gama menyadari keganjilan yang terjadi. Namun, Gama pun tak paham. “Tinggalkan tempat ini sejauh mungkin…” Samar-samar terdengar suara tak jauh dari mereka. Mereka mengenal jelas sang pemilik suara yang akhirnya menunjukkan dirinya dalam wujud kakek bersorban putih. “Kalian akan melawan mereka, tapi tidak sekarang…” Suara seorang wanita menyusul bersamaan dengan gerimis yang jatuh. “Ki Langsamana?” ucap Danan. “Nyi Sendang Rangu?” Mereka berlima terpaku pada sosok yang tak mereka sangka akan kemunculannya saat ini. “Me—mereka siapa?” Kimpul merasa takjub dengan kemunculan dua sosok spiritual itu. “Kawan kami,” balas Jagad singkat. “Raden Muda, kamu adalah kunci untuk menyelesaikan bencana ini. Kuasai dulu pusaka dan sosok yang melindungimu itu terlebih dahulu sebelum menghadapi Sengkuni,” ucap Nyi Sendang Rangu. Ki Langsamana mengangguk. “Ini bukan lagi pertempuran biasa, ini medan perang. Untuk memenangkan peperangan kalian membutuhkan sekutu. Tinggalkan tempat ini dan kembali dengan orang-orang yang terikat dengan kalian,” ucapnya tegas. Danan dan Gama ragu, tapi mereka tak berani membantah, demikian juga Budi yang hanya memerhatikan. “Tapi gimana dengan jasad-jasad yang akan dibangkitkan itu? Mereka akan memakan banyak korban?” ujar Danan khawatir. Nyi Sendang Rangu dan Ki Langsamana saling bertatapan. Mereka tidak segera menjawab dan malah berangsur-angsur menghilang. “Kadang, memang ada yang harus dikorbankan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Peperangan sudah pasti menjatuhkan korban yang tidak sedikit, tapi itu harga yang harus dibayar untuk mencegah korban yang lebih banyak. Jika kalian mati di sini, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan tanah ini.” Nyi Sendang Rangu menghilang dibalik rintikan hujannya. “Jangan remehkan kuasa Sang Pencipta, bisa saja dia sudah memberikan peran pada ciptaannya yang lain untuk menahan mereka.” Wujud Ki Langsamana yang perlahan memudar akhirnya benar-benar menghilang. Kemunculan kedua sosok itu seperti memberi keyakinan pada mereka untuk memilih langkah bersabar. “Paklek, Mbah Jiwo, Nyai Jambrong…” Cahyo mulai menghitung siapa saja sosok yang mungkin akan membantu mereka. “Kang Sukri, Bhanurasmi…” “Ki Duduy, Mang Idim…” Mereka semua bergumam sembari mengingat dan membayangkan siapa saja yang mungkin membantu mereka menghadapi jasad-jasad pendekar yang bangkit itu dalam medan perang nanti. “Tiga hari!” Jagad membuka pembicaraan. “Aku akan mengumpulkan pusaka dan kekuatanku untuk menjemput kalian dalam tiga hari. Dan kita akan kembali dengan semua sekutu yang kita miliki!” Danan, Cahyo, Gama, Budi, dan Kimpul serentak menoleh ke arah Jagad dan menganggukkan kepala. Tanpa mendunggu lama mereka pun berpaling, meninggalkan tempat mengerikan itu dan berpencar untuk mengumpulkan sekutu untuk menghadapi Raden sengkuni dan pasukannya.

***

Raden Sengkuni yang tengah melakukan ritual mengendus keberadaan sosok-sosok yang mengawasi mereka. Ia pun berdiri dari singgasananya dan memperhatikan beberapa mayat yang telah bangkit dengan sempurna dari kematian. “Kuperintahkan kalian untuk berkumpul!” Sosok manusia dengan rupa layaknya laba-laba menghampiri Raden Sengkuni. Ia merunduk, menunjukkan kepatuhannya. “Saya Ki Tunggulpati, bangkit dari makam alas mayit.” Raden Sengkuni tersenyum. “Rupanya Baron bekerja dengan baik.” Menyusul Ki Tunggulpati, bangkit juga beberapa sosok berpakaian abdi keraton dan sosok-sosok lain yang bangkit bersama khodam yang mereka miliki. “HAHAHAHA! TIDAK SIA-SIA AKU MEMBUNUH KALIAN!” Raden Sengkuni tertawa puas melihat sosok-sosok yang ia bunuh bangkit satu per satu. Mereka semua berlutut patuh dan menjura sebagai perwujudan dari kekuatan kutukan Sewu Lelembut. “Aku merasakan keberadaan dua sosok yang akan menghalangi jalanku,” ucap Raden Sengkuni. “Sepertinya ada juga tikus-tikus yang bersama mereka. Habisi mereka sebelum mereka menggangguku!” perintahnya. Dalam sekejap, sosok-sosok yang baru saja bangkit itu menghilang.

***

GERBONG KEMATIAN Malam itu Danan dan yang lain berlari terengah-engah menuju Desa Leuwijajar, tempat di mana Abah dan Bah Jajang menunggu mereka di teras rumah. Abah yang tengah menikmati rokok dan kopi, mengernyitkan kening ketika melihat Danan dan yang lain tiba dengan raut khawatir. “Apa yang terjadi?” tanya Abah “Kutukan Sewu Lelembut sudah aktif, hanya menunggu waktu semua mayat-mayat pendekar bangkit di bawah kuasa Raden Sengkuni,” jawab Kimpul. “Astagfirullahaladzim…” Sementara itu, wajah Bah Jajang pucat seketika, ialah yang paling tahu betapa mengerikannya kutukan yang tersimpan di Astana Giridanyang. “A–apa yang bisa kita lakukan saat ini?” tanya Bah Jajang. Danan dan Gama menjelaskan petunjuk apa yang mereka dapati. Mereka menjelaskan kemunculan Ki Langsamana dan Nyi Sendang Rangu yang meminta mereka untuk mundur dan mengumpulkan sekutu yang bisa mengimbangi makhluk-makhluk itu. Abah dan Bah Jajang mengangguk paham. “Kita manfaatkan tiga hari itu sebaik mungkin,” ucap Abah sambil menatap mereka semua. Waktu terus bergulir, tak boleh barang satu detik pun disia-siakan. Mereka bergegas meninggalkan Desa Leuwijajar. Bah Jajang memilih untuk turun di desa terdekat, sepertinya ia mempunyai rencana sendiri. Danan dan Cahyo meminta untuk berpisah di stasiun. Sementara Abah, Jagad, dan Dirga akan akan menghampiri Guntur dan Nyai Jambrong sembari mengumpulkan sekutu dari Barat. “Pastikan telepon genggam kalian aktif, kita berkumpul tiga hari lagi,” ucap Jagad kepada Danan. “Iya, hati-hati semuanya,” balas Danan. Cahyo berbincang singkat pada Dirga sekaligus menitipkan salamnya pada Guntur sebelum mereka meninggalkan Danan dan Cahyo.

***

Beruntung masih ada jadwal kereta menuju Jawa Timur tepat ketika Danan dan Cahyo sampai di stasiun. Mereja segera membeli tiket, lalu buru-buru duduk di kursi tunggu. “Kamu sudah tahu siapa yang harus kita hubungi lebih dulu?” tanya Cahyo saat mereka menjatuhkan pantat di kursi. Danan mengangguk. “Kalau masalah pasukan, seharusnya Mbah Widjan adalah orang yang tepat. Dia punya banyak murid yang bisa membantu kita.” Cahyo mengangguk setuju. Sembari menunggu kereta mereka datang, Cahyo meraih ponselnya menceritakan semua yang terjadi pada Paklek. “Jangan lengah! Kurang lebihnya Paklek sudah mendapatkan penerawangan tentang yang terjadi. Paklek akan mencari cara untuk membantu kalian,” jelas Paklek lewat telepon. “Termasuk warga Desa Dawuilir?” tanya Danan. “Itu juga akan Paklek pikirkan, saat ini kalian fokus mencari orang-orang yang bisa ikut andil dalam pertempuran. Dan ingat satu hal…” “Apa Paklek?” “Sekutu kalian mungkin saja tidak cuma manusia…” Danan dan Cahyo saling bertatapan mencoba memahami Paklek. Mereka mengingat sosok-sosok gaib yang membantu mereka bahkan sampai mengorbankan hidupnya seperti Buto Lireng. Ucapan Paklek kembali mengingatkan mereka akan mara bahaya yang tinggal menghitung mundur akan tiba. “Ya sudah, Paklek. Nanti aku kabarin lagi.” Cahyo menutup telepon. Suara klakson kereta terdengar bersamaan dengan deretan gerbong yang memasuki stasiun. Ketika kereta yang dinanti sudah berhenti, Danan dan Cahyo bergegas memasuki gerbong, menduduki kursi sesuai tiket yang mereka beli dan mencari posisi duduk yang nyaman. “Berapa jam perjalanan, Nan?” tanya Cahyo sembari merebahkan diri. “Lima jam kalau nggak ngaret.” “Lumayan… bisa merem sebentar.” Mereka pun memejamkan mata. Lima jam perjalanan yang mereka lewati bisa mereka gunakan untuk beristirahat setelah energi mereka terkuras di hutan. Di balik jendela, kereta melaju di perlintasan yang kiri kanannya persawahan hijau. Tampak matahari mulai merunduk dari tampuk cakrawala. Cahaya senja yang menyejukkan mata dan mengiringi perjalanan yang hening tanpa begitu banyak penumpang yang berbicara. Tiba-tiba, pintu antar gerbong terbuka. Terlihat masinis dan beberapa petugas kereta terburu-buru melintas menuju gerbong belakang. Kehadiran mereka membuat beberapa penumpang menengok, meski sebagian besar lebih memilih cuek. Brakk!!!! Brakkk!!! Terdengar suara berisik dari gerbong belakang. Para penumpang mulai terusik. Lalu samar-samar terdengar teriakan yang menghilang dalam waktu singkat. Tentu para penumpang bertanya-tanya mengenai ada apa gerangan yang terjadi. Sampai sesuatu terjadi di gerbong tempat Danan dan Cahyo berada. Seorang wanita berdiri meninggalkan tempat duduknya. Ia mematung di ujung lorong gerbong dan tak bergeming oleh guncangan kereta. “Mbak, kenapa, Mbak?” tanya salah seorang penumpang yang khawatir mencoba menyapa perempuan itu. Tak ada jawaban. Wajahnya yang pucat diterpa cahaya petang, Tangan wanita itu memegang permukaan dinding kereta dan mencengkeramnya hingga penyok. Ia mulai menaiki dinding kereta dan berjalan merangkak di langit-langit kereta. “Mbak?!!!” “Se–setan? ITU DIA KESURUPAN! Penumpang di dalam geerbong mulai panik, tapi wanita itu menyibakkan rambutnya dan memperlihatkan wajahnya yang menyeringai dengan mata yang tak berhenti melotot. Danan yang akhirnya terbangun karena suara panik penumpang sontak terbelalak. “Jul!! Panjul! Itu!” Ia menepuk pundak Cahyo. “Dunke barang sek, mengko nek wis tekan aku sing nggowo,” (Turunun barang dulu, nanti kalau keretanya berhenti aku yang bawa.) Cahyo bergumam dalam pejamnya. “Bukan! Bukan, Jul!! ada yang kesurupan!” “Kalau keterusan tar tinggal balik lagi naik bus…” Byur!!! Danan yang kesal dengan Cahyo karena sulit dibangunkan akhirnya menyiramkan sisa air minum botol ke wajah Cahyo. “Aduh!! Asemmm! Ngopo to, Nan??” Danan mengangkat kerah belakang Cahyo dan menunjukkan sosok yang merayap di langit-langit kereta. Namun, ternyata tidak hanya satu, dua penumpang lainnya kehilangan kesadaran dan merayap di dinding-dinding kereta. “Uassemm? Kesurupan? Siluman cicak?” Cahyo masih berkelakar Plak!!! “Siluman cicak, Ndasmu! Ayo urusin!” hardik Danan. Mereka akhirnya beranjak dari kursi dan hendak menghadapi mereka, tapi baru saja berdiri di tengah lorong, mereka terhenti. Ada perasaan mengerikan yang tiba-tiba muncul dari gerbong belakang. “Dia biangnya?” ucap Cahyo.

***

Danan mengangguk. Tepat saat pintu gerbong belakang terbuka, tiba-tiba seluruh penumpang di gerbong pingsan. Namun, dalam hitungan beberapa detik. Mereka kembali bangkit dengan tubuh postur yang tak biasa. Mereka kesurupan. Ketika pintu penghubung antargerbong terbuka, muncul sosok kakek kurus dengan tangannya yang cukup panjang melebihi manusia biasa. “Siapa kau?!” tanya Danan dengan waspada. Sosok kakek kurus itu hanya mengenakan pakaian seperti petani, tapi berbagai jimat terkalung di leher dan menghiasi pergelangan tangannya. “Raden Sengkuni memerintahkan kalian untuk mati…” Danan berdecak, lalu melirik Cahyo. Yang dilirik hanya mendesah lelah. Mereka sudah mengira bahwa perjalanan mereka tidak akan semulus itu. Namun, mereka sama sekali tidak menyangka akan diserang di kereta yang mereka naiki. “Jangan bercanda!” Cahyo melesat untuk menghantamkan pukulan kepada sosok itu. Namun, tangan panjang sosok itu segera mengambil salah seorang penumpang dan menggunakannya untuk menahan pukulan Cahyo. Brakk!!! Penumpang itu terpental dengan wajah yang memar. “Brengsek!!” Cahyo kesal karena sosok di hadapannya tampak sangat licik. Sementara itu, penumpang yang tadi digunakan sebagai tameng bangkit dan merayap sambil tertawa. “Kheiheiheie…” “Kalian tidak pantas menghadapiku, Ki Tunggulpati. Abdi penguasa Lembah Pationggo,” ujar sosok itu sebelum melangkah meninggalkan Danan dan Cahyo dengan sekumpulan penumpang yang kerasukan untuk mengepung mereka. Cahyo geram, tapi Danan dengan lantang mengumandangkan doa untuk mengusir sosok yang merasuki penumpang-penumpang itu. Seketika terdengar suara teriakan kesakitan dari penumpang yang kerasukan. Cahyo menyusul Ki Tunggulpati yang sudah menghilang di balik pintu antargerbong. Namun, saat keluar, Cahyo tidak menemukan keberadaan Ki Tunggulpati. Cahyo segera menyadari bahwa sosok itu tidak lagi berada di gerbong dan mengawasi setan-setannya yang menguasai kereta dari atas. Cahyo pun menaiki tangga sederhana di samping gerbong dengan berhati-hati sementara angin berembus kencang karena kereta melaju dengan kecepatan tinggi. “Jul! Aku nyusul!” teriak Danan yang terdengar dari bawah, tapi ucapanya itu belum terwujud dengan keberadaan penumpang kereta yang berkerumun mengarah padanya. “Nggak usah, Nan! Biar aku yang ngurusin demit ini, kamu cari cara untuk menyadarkan orang-orang itu dan menghentikan kereta ini!” balas Cahyo dengan teriakan. Danan yang tengah dikepung mendapati masinis dan petugas kereta juga ikut merayap di dinding di gerbong belakang. Danan panik, berarti tak ada. Yang mengemudikan laju kereta. Danan segera bergegas berbalik dan mencoba menerabas kerumunan penumpang kesurupan yang menghadangnya layaknya zombie. Prioritas utamanya adalah masinis kereta. Sialnya, begitu Danan berhasil menembus kerumunan penumpang untuk memulihkan masinis yang kerasukan itu, justru dari kaca pintu gerbong terlihat masinis dan petugas kereta menyeringai. Mereka secara bersamaan mereka membentur-benturkan kepala ke dinding kereta hingga tak lagi sadarkan diri. Darah bermuncratan dari kepala mereka. Danan mengepalkan tangannya keras, sulit untuknya menahan amarah karena semua penumpang di dalam kereta ini dikorbankan hanya demi menghentikan dirinya dan Cahyo. Danan akhirnya duduk bersemedi, ia hanya bisa berharap Cahyo sanggup menghentikan Ki Tunggilpati di atas atap kereta sementara ia harus mengerahkan energi yang besar untuk memulihkan puluhan penumpang yang kini merayap ke arahnya dengan kuku penuh darah dan wajah dengan urat-urat yang keluar layaknya mayat hidup.

***

“Seluruh penumpang kereta ini sudah ditakdirkan menjadi tumbalku. Tidak ada gunanya kalian melawan…” ucap Ki Tunggulpati dengan seringaian yang bengis. Ia yang sebelumnya berwujud kakek-kakek kini berubah menjadi sosok bertangan empat yang panjang dan bergerak menyerupai seekor laba-laba raksasa. Ia mencengkeram satu gerbong dengan tangan dan kakinya yang panjang untuk menghadang Cahyo di atap kereta. “Jangan bercanda!” Cahyo mengepalkan tangannya, ia tak langsung memanggil Wanasura, tapi menggunakan ajian penguat raga dan menghantamkan pukulan ke arah wajah Ki Tunggulpati. Sraaaat!!! Ki Tunggulpati tahu ia tidak bisa menahan serangan Cahyo yang melesat cepat karena ukuran tubuhnya, tapi ia meludahkan cairan hitam yang sanggup melelehkan benda ke arah Cahyo. Beruntung Cahyo menyadarinya dan memilih menyingkir. Sial, ini merepotkan. Aku nggak mungkin menggunakan Wanasura untuk mengalahkannya karena akan mengorbankan penumpang, batin Cahyo. Sementara itu, dari sisi gerbong sebelah tangan panjang melesat ke arah Cahyo. Ia hendak menghindar, tapi gumpalan cairan hitam yang diludahkan Ki Tunggulpati juga mengarah kepadanya. Cahyo tak bisa menghindari keduanya. Bugghh!!! Cahyo terkena telak pukulan itu dan terpelanting beberapa meter hingga tubuhnya membentur sisi antena kereta, beruntung ajian penguat raga mengurangi rasa sakit sempat ia rapalkan dan tangannya mencengkeram atap kereta sehingga ia tak jatuh. Cahyo terbatuk dan mengeluarkan darah. “Sial!” Kali ini Cahyo bergegas bangkit, tapi Ki Tunggulpati sudah lebih dulu berada di dekatnya dan menghunuskan kuku-kuku tajamnya dari ketiga tangannya untuk menembus tubuh Cahyo. “Sayang sekali kau terlalu berbahaya untuk kujadikan tumbal…” Ki Tunggulpati terkekeh. “Jangan harap!” balas Cahyo. Karena tak punya pilihan lagi, dengan sekuat tenaga Cahyo memanggil kekuatan Wanasura dan memukul sisi gerbong di sampingnya hingga gerbong itu hampir terjatuh miring. Ki Tunggulpati kehilangan pijakannya dan oleng. “Kaulah yang harus kembali ke kuburanmu!” hardik Cahyo yang telah berhasil kembali ke atap dan menghantamkan sebuah pukulan yang dengan cepat ditangkis dengan tangan panjang Ki Tunggulpati yang tampak kian geram. Buaggh!!! Krakkk!!! Pertarungan sengit terjadi di atap kereta, sesekali Cahyo harus memperhatikan sisi di hadapannya untuk memastikan ia berada di posisi yang tepat untuk merunduk di terowongan atau melompati kabel listrik. Ia pun tak bisa salah pijak. Cahyo ingin kembali menyerang, tapi ia melihat gelagat aneh dari Ki Tunggulpati. Cahyo pun menoleh dan mendapati keberadaan persimpangan di depannya yang tengah dilalui banyak kendaraan. Cahyo tahu kereta tidak bisa memberi sinyal, ia juga melihat penjaga palang tersenyum mengerikan sembari berdiri di tengah rel. Ia tahu, itu adalah ulah setan-setan Ki Tunggulpati yang merasukinya. “Siall!! Kuurus kau nanti!” hardik Cahyo. Ia berlari sekuat tenaga ke gerbong depan dengan kekuatan Wanasura menyelimuti kakinya, lalu melesat untuk melompat mendahului kereta dan segera menendang petugas penjaga rel yang kerasukan itu hingga terhempas ke pinggir. “Maaf, Pak!” ucap Cahyo. Brakkk!!! Danan yang melihat Cahyo melesat membalap kereta menyadari situasinya dari dalam toilet. “AYO WANASURAAA!!!” teriak Cahyo memaksakan dirinya sambil terus berlari. Beberapa ratus meter di depan sudah terlihat kendaraan yang melintas. Danan ingin menarik tuas rem darurat di gerbong, tapi ia tahu bila itu dilakukan dengan kecepatan seperti ini, kereta akan kehilangan kendali. “Keris Ragasukma!!!” Danan tak lagi mempedulikan tubuhnya dan mengurung diri di toilet dengan seluruh penumpang yang mencoba mendobraknya. Ia menggunakan kekuatan keris ragasukma dan memisahkan sukmanya dan melayang mengejar Cahyo. “Aku ke palang kiri!” teriak Danan dalam wujud sukma. “Curang pakai wujud sukma!!Kakiku kayak mau copot ini!” balas Cahyo yang hampir mencapai batasnya. Tanpa sempat berpikir lebih jauh, Cahyo melompat sekuat tenaga dan menendang palang rel kereta hingga terantuk ke bawah dan menimpa beberapa kendaraan. Wujud sukma Danan melakukan hal serupa hingga beberapa penumpang motor tertimpa oleh palang. Mereka kebingungan dengan apa yang terjadi. Sayangnya, masih ada beberapa pengendara motor yang terjebak di tengah lintasan. “Ke–kereta!!!” Mereka panik menyaksikan kereta yang melesat ke arahnya. “Maaf, Mas! Besok nabung lagi ya beli motor baru!” teriak Cahyo sembari menendang para pemotor itu dan Danan menyusul dengan mengangkat penumpang motor lainya ke pinggir. Mengetahui tak lagi ada pengendara, Cahyo kembali berlari mencari celah untuk kembali ke kereta. Brakkk!! Sejumlah motor tertabrak kereta hingga terseret beberapa meter dan ringsek. Pemilik motor itu terpaku kaku dan ketakutan melihat kejadian di hadapannya. Danan dalam wujud rohnya melesat kembali ke tubuhnya dan menarik paksa beberapa setan yang merasuki penumpang dengan wujud rohnya. “Minggir kalian!” Setelah kembali ke tubuh dan keluar dari toilet, Danan mencari posisi di antara sambungan rel dan menjulurkan tangannya. “Ayo, Jul!!” teriak Danan tergesa. Cahyo berlari sekuat tenaga dengan kakinya yang mulai lelah. “WANASURA! LOMPAT!!!” “GRRRRAARRROOO!!!” Cahyo melompat sekuat tenaga meraih tangan Danan, sementara Danan menggunakan momentum lompatan Cahyo dan menariknya ke atas gerbong. Danan bernafas sedikit lega memastikan Cahyo sudah naik meski tenaganya nyaris habis.

“Sikilku, Nan!! Golekno serep!” (Kakiku, Nan! Cariin serep! ) keluh Cahyo. “Hahaha! Kudune sikil jaran yo” (Hahaha, harusnya kaki kuda, ya! ) balas Danan . “Ka–kalian siapa?” Tiba-tiba dua orang pemuda yang tersadar setelah ditangani Danan menghampiri mereka berdua. “Mas, cari tempat aman, ya! Masih banyak yang kesurupan, tolong bantu penumpang lain yang sudah sadar dibawa juga ke tempat yang aman,” ucap Danan berusaha tersenyum. “Kusno? Mereka yang nyembuhin kita dan penumpang kesurupan tadi?” “Iyo, Kasdi… “ balas pemuda itu. Cahyo memaksa berdiri dan menghampiri mereka. “Mas, cepet cari tempat aman ya, setan itu masih menguasai kereta ini. Kalian bisa saja kesurupan lagi!” Danan pun kembali mempersiapkan diri untuk melanjutkan tugasnya. “Mas, selesaikan saja setan itu. Biar kami cari cara untuk menghentikan kereta ini,” ucap Kusno. Danan dan Cahyo saling bertatapan mendengar inisiatif itu. “Mas-masnya nggak takut?” tanya Danan memastikan. “Kami penah naikin kereta yang nggak kalah seremnya, Mas. Harusnya kalau cuma mencari cara untuk menghentikan kereta ini itu bukan perkara sulit…” balas Kusno. Danan dan Cahyo bersyukur menemui kedua pemuda yang Danan rasa bisa dipercaya. Mereka pun bergegas menaiki gerbong, sementara kedua pemuda itu menerobos penumpang lain menuju gerbong lokomotif. Ki Tunggulpati tengah duduk pada dua gerbong di depan mereka. “Dia ini apa? Laba-laba?” tanya Danan yang heran melihat wujud Ki Tunggulpati yang sebenarnya. “Aku lebih suka menyebut dia kecoak berkaki panjang!” jawab Cahyo yang ingin segera menerjang. Namun ia terhenti, ia baru sadar bahwa sudah banyak jaring laba-laba menyelimuti atap gerbong. “Kalian tahu, kan, risikonya bila memasuki sarang laba-laba?” Ki Tunggulpati menoleh dengan senyum bengis. Bruakkkk!! Belum sempat menyombongkan diri, tiba-tiba sebuah Ki Tunggulpati terpental. Cahyo menoleh kaget pada Danan dan melihat temannya itu baru saja melancarkan ajian andalannya. Ajian Lebur Saketi. “Banyak omong! Kami gak perlu meladeni ocehanmu!” ucap Danan. Danan sudah bersiap dengan ajiannya sekali lagi untuk menghajar Ki Tunggulpati yang berusaha bangkit dari posisi tersungkurnya. “Bocah sialan! Akan kuhabisi nyawa kalian!” hardik Ki Tunggulpati. Pukulan jarak jauh dari Danan berhasil membuat Ki Tunggulpati tersungkur dan memberi pernyataan bahwa mereka bukan lawan yang bisa diremehkan. “Giliran kita, Wanasura!!” “GRaaaorrr!!” Terdengar suara auman Wanasura semakin keras. Danan dan Cahyo merasakan amarah Wanasura yang terbakar. Cahyo melompat menghindari jaring laba-laba yang menyebar di sekitar gerbong. Ia curiga ada racun atau semacam kutukan yang membalut jaring-jaring itu. Ki Tunggulpati menoleh ke arah Cahyo yang tengah menerjangnya dengan tangannya yang memanjang. Bruaak!!! Sekali lagi ajian Lebur Saketi mendarat telak ke perut Ki Tunggulpati yang membuatnya kehilangan atensi. “SIALAN KALIAN!!!” Kesempatan itu digunakan oleh Cahyo untuk menjatuhkan tendangan yang sudah diperkuat oleh kekuatan Wanasura. Brakkk!! Ki Tunggulpati tak mampu menghindar, tubuhnya yang terinjak kekuatan Wanasura membuat atap gerbong penyok. Darah hitam bermuncratan dari mulutnya, tapi ia masih bisa tersenyum. “Walau aku mati, pengikut-pengikutku akan tetap merasuki tumbal-tumbalku. Terlebih, kalian juga akan mati sebentar lagi! Khekhekhe.” Ki Tunggulpati tertawa sembari melihat ke arah depan, di mana dari jauh terlihat persimpangan rel yang akan bersimpangan dengan kereta lain. “Gawat!” Danan mulai panik menyadari situasi. Sementara itu, di dalam gerbong, Kusno dan Kasdi sekuat tenaga menerobos penumpang yang kesadaranya masih dikuasai setan. “Ini kayak di kereta tumbal dulu, No! Setan-setan merayap di langit-langit!” keluh Kasdi yang tetap berlari meski seluruh tubuhnya merinding. “Nggak, Di. Kalau kereta yang dulu isinya mayat semua. Kali ini mereka manusia yang harus kita tolong!” Brakkk!!! Kusno Pun menutup pintu gerbong terdepan yang menyambung dengan lokomotif. Mereka berhasil, berikutnya mereka hanya tinggal mencari cara untuk menghentikan kereta ini. Namun… seorang nenek dengan rambut acak-acakan mengenakan tengah berdiri tepat di setir kemudi. “No… nenek-nenek, No!” teriak Kasdi ketakutan. Kusno berusaha menahan rasa takutnya dan mendekat ke arah nenek-nenek itu. Namun belum sempat mendekat, nenek itu malah tertawa cekikikan menyambut Kusno dan Kasdi. “Nek kowe ora macem-macem, kowe ora bakal mati sengsoro ,” (Kalau kamu tidak macam-macam, kamu tidak akan mati sengsara) ucap nenek itu sembari menyeringai. Kasdi dan Kusno menelan ludah. Kini mereka menghadapi keadaan yang tidak pernah diduga. Sosok nenek jadi-jadian ada di hadapannya, dan di pintu belakang sudah ada penumpang kerasukan yang menggedor-gedor pintu yang mungkin tidak akan bertahan lama akan berhasil dibobol. “Nenek itu pakai baju biasa, kayaknya dia penumpang yang kerasukan, nggak lebih,” ucap Kusno. “Ma–maksudnya apa?” “Harusnya nenek itu nggak seperti nenek yang dulu di kereta tumbal, aku akan nekat. Kamu secepat mungkin cari remnya!” perintah Kusno. Kasdi tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Kusno. Prang!! Prangg!!! Suara kaca pecah terdengar dari beberapa gerbong di belakang. Serangan Cahyo dan Danan membuat Ki Tunggulpati kewalahan. Ia pun merayap mundur dari gerbong ke gerbong menghindari serangan mereka berdua. “Jangan kabur kau demit cemen!” teriak Cahyo geram. Danan masih ragu, ia berpikir akan terus mengejar Ki Tunggulpati atau menyusul Kusno dan Kasdi. TEEEEEEEEEEN!!!! Suara klakson kereta berbunyi. Danan dan Cahyo menyadari bahwa suara itu berasal dari lokomotif kereta ini. “Mereka berhasil sampai di depan!” ucap Cahyo. Danan mengangguk dan memantapkan diri untuk kembali mengejar Ki Tunggulpati. Tapi, mereka lengah… Tanpa sadar, Danan menginjak jaring laba-laba yang sudah begitu banyak menyebar di atap gerbong kereta. “A–apa ini?” Seluruh tubuh danan perlahan mulai terlilit jaring laba-laba yang berwarna hitam milik Ki Tunggulpati.

“Khekehkeh…. satu tikus kena! Tinggal satu tikus lagi” Ki Tunggulpati tertawa. “Danan!” Cahyo penak “Jangan kesini! Jangan sentuh jaring ini!” Danan berusaha membebaskan dirinya, tapi kesulitan. Cahyo memutuskan untuk fokus mengalahkan Ki Tunggulpati. Sebuah pukulan menghantam tubuh Ki Tunggulpati. Cahyo terus menghujamkan pukulan bertubi-tubi kepada Ki Tunggulpati, tapi tubuh dedemit itu masih belum ada tanda-tanda akan tumbang. “Percuma saja! Kalian yang akan mati lebih dulu!” Ki Tunggulpati cengengesan. Cahyo tidak terprovokasi. Ia terus menyerang Ki Tunggulpati hingga tidak ada celah untuk makhluk bertangan besar itu untuk melawan. “Minggir, Jul!” Terdengar suara dari arah belakang, Cahyo menyadari ada sesuatu yang datang dari arah belakang. Ia pun melompat dan mencari berpegangan di salah satu pinggir gerbong. Tepat ketika Cahyo menyingkir. Kilatan cahaya muncul dari sebuah keris yang dihujamkan oleh sukma Danan yang memisahkan diri dari raganya. Jleb!!! Dalam sekejap, serangan itu melubangi perut Ki Tunggulpati yang tak berkutik. Ia terbatuk dan bermuncratan darah hitam pekat, lalu melayang ke udara sebelum terjatuh dari kereta. “MATILAH KALIAN PARA TIKUS PENGGANGGU RADEN SENGKUNI!” Di ujung hayatnya, Ki Tunggulpati tertawa menyaksikan kereta yang terus melaju dan bersiap menghantam kereta yang akan bersimpangan dengannya. TEEEEEEEN!!!! Suara klakson kereta terdengar lagi, tapi kali ini kereta melambat. Sayangnya, dari sisi barat, kereta lain sedang melaju dengan cepat dan akan menabrak kereta yang mereka tumpangi. “Gak akan sempat!” ucap Danan yang berhasil melepaskan dirinya dari jerat Jaring Ki Tunggulpati. Ia menyadari meski kecepatan kereta melambat, dampak dari tabrakan kereta akan menjadi bencana. “Aaarrrgh, sial! Wanasura! Kita kerja lagi!!!” Cahyo bergegas mengambil kuda-kuda sebelum dalam satu lesatan, ia loncat ke rel dan menahan laju kereta. “Gila kamu, Jul!” teriak Danan yang khawatir ketika melihat Cahyo terseret belasan meter demi menghentikan laju kereta. “Tenang, habis ini kita puas-puasin makan pisang Mbok Darmi!” ucap Cahyo pada Wanasura. “Sini maju!” Drakkk!!! Kekuatan Wanasura menguatkan penuh kedua tangan dan kaki Cahyo sebagai titik tumpu untuk menerima beban hantaman kereta yang melaju ke arahnya. “Tahan Wanasura!!” Teriak Cahyo. Cahyo tak perduli meski kedua tangan dan kakinya terluka. Kereta tertahan, tapi belum benar-benar berhenti. Cahyo terseret ke belakang belasan meeter. Mereka hanya punya sedikit waktu untuk mencegah kedua kereta itu bertabrakan. Dari dalam lokomotif, Kusno dan Kasdi menggeleng tak percaya dengan pemandangan di hadapan mereka. “Tahan sedikit lagi!” ucap sukma Danan yang tiba-tiba berada di belakang Cahyo. Ia menahan tubuh Cahyo sembari membacakan ajian pemulih raga untuk Cahyo. Brukk! Brukkk! Brukkk!!! TEEEEEEEET!!! Suara gerbong-gerbong yang beradu terdengar riuh bersamaan dengan dengan kereta yang melintas hanya beberapa meter dari belakang punggung Cahyo. Kereta berhenti tepat waktu. “Be–berhasil!” teriak Kusno penuh kelegaan dan refleks memeluk Kasdi. Cahyo mendesah panjang sebelum jatuh terduduk dan terbaring lemas setelah kekuatannya ia gunakan sampai habis. Sayangnya, masalah belum selesai… Dari jauh Ki Tunggulpati berjalan dengan terseok-seok menghampiri mereka. “Kalian! Habisi dua bocah itu!” perintah Ki Tunggulpati diikuti dengan turunnya semua penumpang yang kerasukan. Danan kembali ke tubuhnya dan berdiri melindungi Cahyo yang kehabisan tenaga. Kusno dan Kasdi pun turun, memposisikan diri tak jauh dari Danan. “Sial! Dia belum mati” ucap Cahyo lemah. Danan sudah siap dengan keris Ragasukmanya untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Jika harus membacakan mantra leluhur, maka itu akan dilakukannya demi melindungi Cahyo. Namun, beberapa detik kemudian hal aneh terjadi… Sebuah bola api besar menari-nari di udara dan langsung menghantam tubuh lemah Ki Tunggulpati hingga ia menggelepar. “Pa–panas!!! Apa ini?” Danan dan Cahyo tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Bola itu membakar Ki Tunggulpati dan tak kunjung padam. Samar-samar, terlihat sosok Rangda dari perubahan bola api itu. “Jangan-jangan itu…” Danan terbelalak. Tinggg… Suara dengungan dari cawan kuningan yang dipukul menggema tanpa henti dan membuat seluruh penumpang yang kerasukan gelisah. Danan langsung menggunakan momen itu untuk membacakan doa untuk mengusir setan-setan itu dari tubuh mereka. “Si–siapa kau?!” teriak Ki Tunggulpati yang tidak berdaya. “Teman mereka…” ucap sosok Rangda yang mengerikan itu. Tanpa belas kasihan, bola api dari Rangda membakar Ki Tunggulpati hingga sosok demit itu menggelepar dan berteriak kesakitan meminta ampun. “Semakin besar dosamu, semakin panas api itu akan membakarmu,” ucap Rangda yang perlahan berubah ke wujud seorang manusia mengenakan baju payas dan udeng. Perlahan, bola api padam dan yang tersisa dari sosok Ki Tunggulpati hanyalah abunya yang ditiup angin. “Bli Waja?” Danan tidak mungkin melupakan sosok itu. Bli Waja mengangguk dan mengajak langsung Danan untuk kemulihkan penumpang terlebih dahulu. Dengan kemampuan keduanya, satu per satu penumpang mulai sadarkan diri dan terhera-heran mengenai apa yang terjadi. Mengetahui akan berbuntut panjang, Danan dan Cahyo menghampiri Kusno dan Kasdi. “Aku boleh minta tolong sekali lagi kepada kalian?” tanya Danan. “Dengan senang hati, Mas.” “Saya titip penjelasan kronologis peristiwa ini untuk kalian sampaikan ke pihak berwenang ya, Mas. Kami masih ada tugas yang harus segera diselesaikan. Kedua pemuda itu lantas mengangguk menerima tugasnya. Kusno yang bersemangat. “Aman, Mas. Jangankan menghadap polisi, ngadepin demit juga tadi saya berani!” Danan dan Cahyo terkekeh pelan, lalu ia memandang Bli Waja yang tengah menunggu dan memberi anggukan ke arah mereka sebagai isyarat agar mereka pergi secepatnya. Kiamat kecil berhasil terlewati dan mereka harus segera sigap memanfaatkan sisa waktu yang mereka miliki.

***

“Bli? Bagaimana bisa sampai di sini?” tanya Danan sambil terus berjalan “Seluruh roh keramat di tempat saya gelisah, mereka merasakan pergolakan di tanah ini. Saya merasa kekuatan saya pasti juga dibutuhkan,” jawab Bli Waja. Danan dan Cahyo mengangguk sembari tersenyum. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan bantuan dari seberang yang nun jauh. “Terus, ini kita udah jalan jauh, Bli. Kita mau berhenti di mana?” tanya Cahyo yang benar-benar kelelahan. “Tahan sebentar ya, Mas Cahyo, nanti sampai sana biar saya coba pulihkan.” Cahyo tersenyum kecut, tapi ia juga tahu persis bahwa ilmu pengobatan Bli Waja tidak kalah dengan ilmu Paklek. Mereka memasuki area sebuah desa. Ada sebuah rumah etnik yang cukup besar yang di depannya sudah terparkir beberapa motor. Danan merasakan energi yang besar berkumpul di bangunan yang merupakan rumah singgah itu. Dan hal itu terbukti saat ia melihat seorang anak muda tengah memainkan pusaka yang Danan kenal sebagai Tombak Lembu Warok di pekarangan. “Itu Panji?” Danan memastikan. Bli Waja hanya memberi anggukkan. “Berarti Mbah Widjan berada di sini? Motor-motor ini artinya ia datang bersama semua murid-muridnya?” “Iya, Paklek sudah mengabari kami…” Lalu sosok Mbah Widjan muncul dari balik pintu rumah bersama beberapa muridnya. Senyumnya yang bijak dan hangat menyambut kedatangan Danan dan Cahyo. “Mbah Widjan,” sapa Cahyo menyalami. “Kalian pasti lelah habis bertarung, mari masuk dan istirahat dulu.” Mbah Widjan menuntun Cahyo masuk ke rumah. “Waktu kedatangan kalian pas sekali. Kami baru beli nasi rames, kita makan bareng-bareng, ya.” Cahyo menoleh ke Danan. “Awas kamu kalau sok-sokan nggak mau ngerepotin.” “Nggak lah, Jul. Kali ini aku yang paling laper,” balas Danan yang segera masuk, disambut oleh Panji dan beberapa pendekar binaan Mbah Widjan. Malam itu, Danan dan Cahyo benar-benar bisa beristirahat secara total sampai energi mereka benar-benar pulih. Bli Waja dan Mbah Widjan yang menjaga mereka dari segala gangguan. Keesokan harinya, mereka harus melanjutkan perjalanan untuk mencari bantuan sampai waktu yang ditentukan oleh Jagad.

***

Hari ketiga, hari yang dijanjikan sebagai waktu pertemuan untuk mengumpulkan seluruh bala bantuan menuju Astana Giridanyang. Namun, belum ada tanda-tanda kemunculan Jagad di sana. Mereka tidak ingin lebih cemas dan memilih untuk menenangkan diri dengan bermeditasi menanti kedatangan Jagad. “Kesuwen, Mas Jagad!” keluh Cahyo yang beberapa kali mengecek telepon genggamnya. “Sabar! Mending emosimu digunakan buat nanti,” balas Danan. Cahyo kembali pada posisi meditasinya, tapi baru sebentar, tiba-tiba Danan merasakan adanya sinyal energi gaib yang memasuki pikirannya. “Raden muda itu terlalu nekat…” Samar-samar terdengar suara Nyi Sendang Rangu di pikiran Danan. “Apa? Kimpul? Apa yang terjadi Nyi?” Dalam kepala Danan dipenuhi penglihatan dan itu tentang Kimpul. “Jangan bodoh! Jangan lawan mereka sendirian!” teriak Danan dengan wajah cemas dan khawatir sambil berdiri. “Nan?!” Cahyo memandang bingung. “Dia mendapat pengelihatan…” Bli Waja hadir dan menerima sebuah tempayan kecil dari muridnya, lalu mengisinya dengan air. “Masukkan tanganmu ke tempat ini.” Danan menurut, sementara Bli Waja membacakan mantra dan mengisi air itu dengan beberapa jenis kembang. Dalam sekali sibakan, penglihatan di kepala Danan muncul di pantulan air itu. “Ki–Kimpul?” Cahyo kaget melihat wujud Kimpul yang sudah babak belur dengan berbagai macam luka. Ia berdiri di sana bersama seekor ular yang sepertinya melindunginya. Di belakangnya, ada beberapa orang yang berpakaian tak jauh berbeda dari Kimpul. “Apa tujuannya?” tanya Cahyo bingung. “Mungkin dia tidak ingin membiarkan pasukan itu meninggalkan tempatnya,” ucap Bli Waja. Namun apa yang terlihat begitu mengenaskan. “Raden muda bodoh! Kau hanya akan mati konyol di tangan sewu lelembut-ku!” ucap Raden Sengkuni yang terbang di antara berbagai prajurit mayat hidup dari berbagai zaman. “Bukan berarti aku akan menyerah…” balas Kimpul. Namun, keberanian itu dalam sekejap dibungkam dengan bola api yang membakar Kimpul dan sekitarnya. Cahyo membuka ponselnya, menelepon Jagad. “Ayo cepat, Mas Jagad! Jangan sampai kita terlambat!” “Mungkin sebelum kematianmu, kau akan senang melihat wajah-wajah ini…” Raden Sengkuni memerintahkan beberapa sosok untuk maju, dan seketika hal itu membuat Kimpul benar-benar gentar. “Si-sial! Bagaimana mungkin aku melawan mereka.” Terlihat Kimpul mulai putus asa dan memukul tanah sekuat tenaga hingga darah mengalir dari tangannya. “Bagus, kau sudah sadar. Sekarang saatnya kau untuk mati!” hardik Raden Sengkuni.

Dengan sekali tunjukkan jari, seluruh makhluk yang menguasai Astana Giridanyang itu menerjang Kimpul yang tak lagi memiliki harapan. “Ayo semua! Kita pergi!!!” Tiba-tiba kabut yang menyelimuti lapangan tempat mereka menunggu hilang. Jagad datang bersama beberapa orang di beleakangnya. “Cepat, Mas! Kimpul dalam bahaya!” seru Cahyo. Jagad segera memegang sebuah pusaka gelang di tangannya sembari menatap mereka satu per satu untuk memastikan kesiapan mereka. “Semoga kita semua cukup untuk mengakhiri tragedi ini,” ucap Jagad sebelum membacakan sebuah mantra. Sapu angin lintas jagat, larung rogo mabur sukmo… Seketika seluruh pandangan mereka menjadi putih. Kaki mereka melayang seperti masuk ke dalam portal. Suara gemuruh peperangan terdengar bersahutan hingga mereka tiba pada lokasi peperangan itu. Seorang pemuda berdiri lemah di antara gempuran pendekar mayat hidup. Ia tersudutkan dan menanti ajalnya tiba. “Kepalamu akan menjadi hiasan di tahtaku. Pada akhirnya kau akan mati sendirian, HAHAHAHAHA…” Raden sengkuni tertawa puas. Sosok prajurti ningrat menarik pedangnya dan bersiap memenggal kepala Limpul. Trangg!!! Belum sempat pedang itu menyentuh leher Kimpul, Danan sudah berada di sana dan menahan serangan itu dengan keris Ragasukmanya. “Kau harus jelaskan nanti bagaimana bisa sampai di tempat itu lebih dulu!” ucap Danan sambil memasang posisi. “Sedikit bantuan tidak akan mengubah apapun!” Sosok pria berbaju ningrat maju bersama pasukannya menerjang Danan. Sratttt!!! Empat buah keris Dirga melayang menahan gerakan sosok itu dan langsung tumbang. “Khekhekhe…. Aku kira pertempuran dengan Prabu Sudrokolo akan menjadi pertempuran terakhirku!” ujar sosok nenek yang mengamuk mengahadapi dedemit yang mencoba menyerang Kimpul. “Nyai! Inget umur!” teriak Guntur yang bergegas menyusul gurunya itu. Blarrr!!! Bola api besar menerjang sekumpulan pasukan mayat dan kembali melayang dalam wujud Rangda. Tombak Lembu Warok pun beterbangan menghadapi pusaka-pusaka keramat yang ikut bangkit bersama para empunya. Namun, serangan setan-setan itu tak dapat di remehkan. Seekor kera raksasa berwarna hitam berteriak mengamuk melepaskan pukulan membabi buta. “Raden Angkoro…” gumam Kimpul ngeri.

“GRRRAAAAAORRRR!” Dalam sekejap teriakan kera hitam itu terbungkam dengan bayangan sosok kera raksasa yang muncul dari tubuh Cahyo. “Kera gosong itu biar urusanku!” Cahyo melesat menghadapi sosok berbahaya itu. Kimpul menoleh ke belakang dan mendapati Mbah Widjan, Panji, dan murid-muridnya tengah bersiap masuk ke medan perang. “Mas Danan? Mereka siapa?” tanya Kimpul yang tidak menyangka semakin banyak sosok yang maju ke medan perang. “Intinya, mereka teman kita. Mungkin kamu bisa menyebut mereka… pendekar Jagad Segoro Demit,” jawab Danan. “Pendekar Jagad Segoro Demit?” Kimpul menaikkan alisnya. “Jangan gentar, masih akan ada yang menyusul…” Masih dalam kebingungannya, tiba-tiba terdengar suara lonceng dari gumpalan kabut yang pekat. Cring…Cring…Cring… Dalam hitungan detik, seekor kucing hitam yang berjalan pincang berubah menjadi hewan buas besar yang mengamuk di tengah pertempuran. Sosok pria berambut panjang pun merasa tak sabar untuk menerjang setan-setan di hadapannya. “Akhirnya ketemu lawan yang pas, ya? Monyet lawan monyet..” sindir Budi yang sengaja melewati Cahyo. “Dasar Mamang Gondrong! Datang-datang cari perkara!” teriak Cahyo menahan kesal. “Lain kali jangan nekat ya, Mas,” ucap Gama yang segera berdiri di samping Kimpul untuk mendampingi Danan. “Ma–maafkan saya,” balas Kimpul sedikit merunduk dan terharu. “Berdiri! Busungkan dadamu! Jangan terlihat lemah dihadapan makhluk busuk itu!” tegas Danan sembari menatap ke arah sosok yang masih melayang dengan angkuhnya di langit reruntuhan Astana Giridanyang. “Panggil semua tikus pengikutmu, Raden Muda! Biar kuhabisi mereka semua di tempat ini,” seru Raden Sengkuni. “Mereka hanya akan mati sia-sia hanya demi menyelamatkan nyawamu yang tidak berharga!” Danan, Gama, Dan Kimpul berdiri tegap berhadapan dengan Raden Sengkuni. Mereka tahu, ini adalah puncak dari tragedi yang harus segera diselesaikan. Amarah sudah berada di ubun-ubun. “Jangan ada yang menahan diri, keluarkan semua kekuatan kalian di pertempuran ini,” ujar Gama yang tiba-tiba mengenakan sorban yang dikembalikan oleh Abah. Kimpul dan Danan mengangguk. Menyusul Gama, Kimpul mengeluarkan kerangkeng sukma dan memanggil sebuah nama. “Wirangon…” ucap Kimpul dengan tatapan menahan amarah. Danan sudah siap dengan keris di hadapan dadanya. Sebuah mantra yang diturunkan oleh leluhur Sambara sudah berada di ujung lidahnya untuk terucap dan akhirnya harus ia gunakan “Jagad lelembut boten duwe wujud…” BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
Medan perang telah terbentuk, Pendekar-pendekar yang pernah membantu Danan dan Cahyo kini kembali berkumpul untuk menuntaskan bencana Raden sengkuni.

Tapi tak hanya mereka, Pendekar dari keluarga ningrat hingga Penerus Sang ulama sudah memanggil sekutunya untuk turut dalam pertempuran ini..
close