Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 4) - Astana Giridanyang

Trageri di reruntuhan telah sampai ke desa dirga. Kemunculan jasad hidup yang mencari darah dan daging untuk memulihkan dirinya kini mengincar mereka yang berdarah bagnsawan...

***

ASTANA GIRIDANYANG (Sudut pandang Danan…) “Bah Jajang! Kopi lima ya!” Teriak Gama yang disambut dengan seorang pria yang cukup berumur yang bergegas berlari keluar dari ruang belakang warungnya. “Wah, Masnya masuk hutan berdua, kok baliknya bisa berlima?” Balas Bah Jajang melebarkan pembicaraan. “Alhamdulillah, Bah. Dapet temen di hutan.” Balas Gama. “Tenang, Bah! Manusia semua kok,” Sahutku mencoba mencairkan suasana. “Yang, empat sih manusia. Tapi yang satunya kayaknya sih setengah-setengah..” Cahyo memulai keisengannya sembari mengunyah pisang dari warung dan melirik ke arah Budi. Budi yang menyadari maksud iseng Cahyo membalasnya dengan tatapan penuh ancaman. “Setengah apa?” gertak Budi sembari menggebrak meja. “Se—setengah sendok aja gulanya, Bah! Jangan manis-manis!” Terlihat Cahyo tidak mau memancing emosi Budi lagi dan sudah cukup puas dengan sedikit menggoda temannya itu. “Jangan galak-galak, Mang. Nanti susah dapet jodoh,” Bisik Cahyo pada Budi dan segera melarikan diri mencari tempat aman di luar setelah mengisi perut dengan beberapa buah pisang dari warung Bah Jajang. Sekali lagi aku tertawa melihat hubungan pertemanan antara kedua makhluk yang sangat khatam dengan hutan ini. “Biji salak, Mang Budi?” Tawarku sembari menunjukkan beberapa biji yang cukup besar hasil mengunyah beberapa buah salak sejak tadi. Budi menerimanya dengan senyum dan melemparnya keluar warung beberapa kali. “Aduh! Mang Gondrong!!!” Tepat begitu suara itu terdengar, berarti misiku dan Budi sudah selesai dan kami bisa kembali fokus ke pembicaraan. Aku memperhatikan seorang pria yang sedikit lebih muda dari kami. Seorang pria yang sepertinya memang terbiasa mengenakan pakaian keraton dan sepertinya memiliki cukup banyak rahasia. “Mas Kimpul? Bener ya namanya?” Tanya Gama. “Benar. Tapi sepertinya dengan kondisi saat ini, tidak ada gunanya lagi saya menyembunyikan identitas saya. Seperti yang kalian dengar dari Baron dan Keling. Saya merupakan salah satu keturunan dari Trah Argoyo, dan dikenal dengan nama Raden Rahardian. Nama Kimpul adalah nama yang saya pilih untuk bersembunyi dari Raden sengkuni dan anak buahnya,” Jelas Kimpul. Kimpul bercerita bahwa ia memiliki sebuah kelebihan yang diincar Raden Sengkuni. Sebuah Ilmu yang disebut dengan nama “Pangaweruh”dimana seharusnya ia bisa mendapatkan penglihatan dari masa depan. “Pangaweruh adalah ilmu yang bisa membuat pemiliknya melihat beberapa masa ke depan. Bila dimiliki oleh orang yang mampu menguasainya, ini adalah ilmu yang mengerikan,” Jelas Kimpul. Untuk saat ini, Kimpul belum menguasai sepenuhnya Pangaweruh miliknya. Namun bila Raden Sengkuni bisa merebutnya, Ia akan bisa menggunakan ilmu itu sepenuhnya dan menjadi yang terkuat diantara seluruh Trah Ningrat. “Apa artinya ilmu itu bisa membuat seorang manusia merubah takdir yang digariskan oleh Tuhan?” Tanyaku penasaran. “Entahlah, tapi selama ini apa yang pernah terlihat di pangaweruhku selalu terjadi dengan akurat. Termasuk petemuan kita tadi..”


Kimpul melarikan diri dari desa ke desa dan bersembunyi di Siti Pangaliran. Sementara sembari mencari Kimpul, Raden sengkuni mempersiakan pasukannya dengan mencari tumbal dari desa-desa yang ia singgahi. “Bayangkan saja, dengan kekuatannya sekarang yang mengerikan dan kemampuan membaca apa yang musuhnya lakukan beberapa saat kedepan, tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Ia akan menguasai Tahta tunggal itu seorang diri.” Jelas Kimpul. Mendengar cerita Kimpul, semua bencana yang terjadi di desa kami semakin jelas. Sosok yang dimaksud oleh Punden dari wayang Arsa, tak lain adalah Raden Sengkuni itu sendiri yang merupakan pemimpin dari Baron dan Keling. Suara sendok yang mengaduk kopi mulai terhenti bersama langkah Bah Jajang yang mendekat menghantar kopi kami. Cukup lama ia membuatkan kopi untuk kami. Entah karena dia ikut mendengarkan perbincangan kami? Atau ia tidak mau memotong obrolan kami? “Mangga diminum,” ucapnya ramah. Aku menatap Bah Jajang dan sedikit berpikir, cukup aneh juga ada warung yang dekat dengan Alas Rowosukmo yang jelas terkenal berbahaya ini. Terlebih walau dekat dengan jalan utama, warung ini cukup jauh dari desa. “Bah Jajang, memangnya ngebuka warung di sini ramai, Bah?” tanyaku iseng. “Haha.. rejeki mah sudah ada yang ngatur, Mas,” Balasnya santai. Ucapan itu tidak menjawab tujuanku membuka dengan pertanyaan itu. “Maksudnya Alas Rowosukmo kan hutan berbahaya, kenapa Bah Jajang tetap membuka warung di sini?” tanyaku. Dari luar jendela Cahyo sedikit memberi isyarat padaku mempertanyakan maksudku menanyakan itu pada Bah Jajang. Aku memberi sedikit lambaian tangan padanya memberi isyarat agar tidak terlalu khawatir. Bah Jajang menatap kami satu persatu dan menghela nafas. “Ya sudah, kalau kalian punya banyak waktu, Abah akan cerita,” “Ceritain, Bah. Kami juga butuh istirahat yang cukup lama,” Jawab Gama. Abah mengambil sebuah gelas yang terbuat dari bahan kaleng dengan lorek hijau dari balik gerobak warungnya dan datang kembali kepada kami dengan memngaduk kopi miliknya. Kamipun saling mengenalkan nama kami dan mencoba mengakrabkan diri dengan Bah Jajang. “Abah ini tinggal sendiri, sudah tidak punya keluarga dan sudah benar-benar sebatang kara..” Aku tidak menyangka cerita Bah Jajang akan dibuka dengan kalimat yang membuat kami terenyuh. Bah Jajang bercerita bahwa ia memang sudah tinggal di warung itu sejak masih muda. Ada beberapa maksud. Yang pertama karena ingin mengawasi siapapun yang memasuki hutan melalui jalur itu agar tidak celaka. Menurut Bah Jajang, saat memasuki hutan itu tanpa maksud jahat seharusnya seseorang tidak akan celaka. Sayangnya sudah banyak yang mengetahui keangkeran hutan itu. Mereka mencari sosok punden yang menurut mereka bisa memberikan ilmu pesugihan, pengasihan, bahkan kesaktian. Orang-orang seperti itulah yang akan dikalutkan di sana. Pada akhirnya mereka hanya akan tersesat, kembali dengan linglung, atau dimanfaatkan oleh sosok yang mengatas namakan penunggu hutan itu.

Aku sedikit tersenyum, ternyata ada juga orang seperti Bah Jajang yang rela menghabiskan masa hidupnya untuk menjaga tempat seperti ini demi orang lain. Kopi yang masih panas dan suara burung hutan yang hinggap di warung menemani perbincangan kami. “Apa Bah Jajang ini Juru kunci?” Tanya Gama Penasaran. “Bukan-bukan, saya bukan orang sepenting itu,” balasnya singkat. Iapun menyeruput kopinya menikmati perbincangan dengan kami. Sepertinya cukup jarang ia bisa berbincang dengan orang lain di sana. “Tidak cuma itu alasannya kan, Bah?” Budi yang sedari tadi diam sepertinya menyadari sesuatu. Entah mengapa aku merasa di dalam diamnya, Budi adalah orang yang peka dan teliti dengan apa yang ada di sekitarnya. “Benar ucapan Nak Budi. Alasan utama saya berada di sini karena kisah dari leluhur saya,” “Kisah leluhur?” Cahyo merasa tertarik dengan cerita itu dan masuk kembali ke dalam warung melalui jendela tempat ia mendengarkan sedari tadi. Bah Jajang mengangguk sembari sedikit tersenyum seolah senang dengan apa yang akan ia ceritakan. “Kalian pernah dengar ‘Tanah Para Pendekar?’” Kami saling menatap satu sama lain. Aku dan Gama sepakat menggeleng, tapi tidak dengan Cahyo, Budi, dan Kimpul. “Tempat dimana pendekar terkuat berkumpul dan mempertaruhkan segalanya di pertempuran itu?” Tanya Cahyo. “Tempat mengerikan dimana berbagai ilmu berkumpul di satu tempat untuk saling diadu maupun saling diasah?” Tambah Budi. “Tempat pusaka terkuat dipertontonkan dan harkat dan martabat dipertaruhkan? Eyang pernah bercerita soal ini,” Tambah Kimpul. Aku tidak menyangka mereka pernah mendengar tentang itu semua. Aku menanyakan pada Cahyo darimana ia mengetahui sesuatu yang dinamakan Tanah Para Pendekar, namun ia menjawab bahwa tempat itu mungkin saja tidak benar-benar ada. Ia hanya sempat mendengar mengenai tempat itu dari kera alas Wanamarta, Giridaru. “Banyak yang mengaku datang ke Tanah Para Pendekar, namun tempat yang mereka dapati hanyalah tempat dimana para pendekar dikumpulkan. Tidak lebih,” Jelas Kimpul. “Bedanya apa dengan yang dimaksud Bah Jajang?” Tanya Gama. “Maksud keberadaan tempat itu,” jawab Budi. Budi menceritakan bahwa Tanah Para Pendekar adalah ranah pertarungan yang muncul karena suatu maksud. Penentuan pemilik pusaka, perebutan takhta, pewarisan ilmu keramat. Tanah Para Pendekar akan terbuka memanggil semua yang pantas terlibat dari berbagai alam dan tempat itu memberi berbagai sumber daya yang tidak masuk akal. “Walau begitu, para ahli bela diri yang mengetahui cerita ini menganggapnya hanya sebagai cerita legenda saja,” Tutup Budi Bang Jajang sepertinya cukup puas mendengar jawaban mereka bertiga dan kembali meletakkan gelas kopinya. “Percayalah, tanah para pendekar itu ada. Dan saya adalah keturunan terakhir dari penduduk asli tempat itu,” Jelas Bah Jajang. Mendengar pernyataan itu Kimpul, Cahyo, dan Budi memandang serius pada Bah Jajang. Raut wajah mereka seolah tidak percaya. “Jangan bercanda,” tegur Budi dengan wajah kesal karena menganggap ucapan Bah Jajang sebagai omong kosong. Gama spontan menepuk pundak Budi sebagai isyarat untuk mendengarkan Bah Jajang terlebih dahulu. “Reruntuhan Astana Giridanyang. Itulah nama reruntuhan yang baru saja muncul dari longsor yang menenggelamkan desa. Di sanalah tempatnya,” Lanjut Bah Jajang. Menurutnya, dulu bangunan-bangunan besar yang menyerupai candi itu adalah desa leluhurnya. Tempat dimana berbagai pendekar hadir dari berbagai penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai hal. Tak hanya kemenangan, bahkan kekalahan pun adalah sesuatu yang dicari di sana. “Kadang yang dibutuhkan oleh ‘Yang Terkuat’ adalah seseorang yang bisa mengalahkannya,” Cerita Bah Jajang semakin membuat kami tak sabar untuk mendengarkan kelanjutannya. Sayangnya tidak semua yang datang memiliki maksud yang baik. Banyak yang datang dengan maksud buruk, dan Tanah Para Pendekar tidak melarang itu.

Ada suatu masa di mana salah satu Faksi berhasil menguasai ilmu yang tak dapat ditandingi oleh pendekar lainnya. Mereka hampir menguasai tahta dan mempersiapkan ritual untuk mendapatkan kekuatan dari Tanah Para Pendekar. Namun maksud mereka jauh dari hal baik. Semua hal keji mereka lakukan untuk mendapatkan ilmu yang mereka gunakan untuk mengalahkan pendekar lainnya. Bahkan mereka tak segan membawa anak atau istri dari musuhnya untuk mengancam dan menghabisi lawannya. “Eyang saya tidak pernah lupa nama besar yang dibawa di belakang nama orang-orang keji itu…” ucap Bah Jajang menahan emosinya. “Siapa, Bah? Apa ada hubunganya dengan Trah Ningrat?” Tanya Kimpul. “Entahlah, tapi pemimpin dan petinggi mereka memegang nama ‘Pakujagar’,” Jelas Bah Jajang. Aku merasa pernah mendengar nama itu. Akupun menoleh ke arah Cahyo dan sepertinya ia pernah merasa hal yang sama. Tapi sepertinya hal terpentingnya bukan itu. “Apa yang terjadi dengan mereka, Bah?” Kimpul tidak sabar. Bah Jajang menceritakan bahwa sebelum mereka sempat melakukan Ritual, para pendekar menghadang pendekar pakujagar itu dan menentangnya menguasai ilmu itu. Pertempuran besar terjadi di desa Bah Jajang. Sebuah pertempuran yang terjadi selama tiga hari tiga malam tanpa terputus. Pertarungan itu melepaskan berbagai ilmu hingga menggetarkan gunung. Seolah enggan menentukan pemenang diantara kedua pihak, semua getaran dari pertarungan itu merobohkan bebatuan gunung dan menghancurkan Astana Giridanyang dan menimbunnya dalam longsor yang begitu dalam. Pertarungan itu terhenti dengan tanpa diketahui berapa pendekar yang selamat dan berapa pendekar yang mati. Warga desa yang selamat hanya hitungan jari, dan mereka sepakat untuk menyimpan baik-baik rahasia tentang Astana Giridanyang. “Memangnya apa yang terjadi kalau sampai mereka mendapatkan kekuatan dari Astana danyang? “ Tanyaku penasaran. “Ilmu yang mungkin bisa membuat penggunanya menghancurkan sebuah kerajaan dengan seorang diri,” Jawab Bah Jajang. “A—apa itu tidak berlebihan, Bah?” Tanya Gama. “Ti—tidak! Itu tidak berlebihan! Itu yang sedang diincar Raden Sengkuni,” Timpal Kimpul. Mendengar ucapan itu kami pun semakin sadar betapa bahayanya sesuatu yang kami hadapi saat ini. “Bah Jajang tahu itu ilmu apa?” Tanyaku. “Saya hanya tahu sedikit,” jawab Bah Jajang. Beliau bercerita bahwa ilmu itu akan mengikuti niat pemiliknya. Bila pemiliknya memiliki niat baik, Ilmu itu bisa dalam sekejap menghapuskan seribu kutukan maupun ilmu dari orang yang berniat jahat. Tapi bila didapatkan oleh mereka yang berniat jahat, ilmu itu akan menjadi kutukan yang mampu membangkitkan tubuh maupun roh dari setiap nyawa yang telah dibunuh oleh orang itu. Semakin banyak yang ia bunuh, semakin kuat pula kutukan itu. “Kami menyebutnya Kutukan Seribu Lelembut,” jelas Bah Jajang. Aku menelan ludah mendengar cerita itu. Tangan Cahyo mengepal keras, sepertinya ia membayangkan betapa mengerikannya kekuatan itu bila dikuasai oleh Raden sengkuni. Dan keringat dingin mengucur dari tengkuk Kimpul. “Pasti ada cara untuk mencegahnya kan, Bah?” Tanya Kimpul. “Satu-satunya cara adalah menghalangi orang-orang itu mendapatkannya. Dan sejak kalian kembali dari Alas Rowosukmo tadi, saya sudah mengira bahwa mungkin kalianlah yang dipercayakan tugas itu,” Ucap Bah Jajang. Benar, pertemuan kami semua bukanlah sebuah kebetulan. Kimpul sudah menceritakan tentang Pangaweruhnya yang menunjukkan keberadaan kami semua. Tapi apa kami benar-benar mampu menghentikan niat Raden Sengkuni yang gila ini? Awan mendung terlihat melintas singkat di atas warung Bah Jajang.

Kami tidak menghiraukannya dan merasa nyaman di warung Bah Jajang yang kami rasa tidak bocor dari air hujan ini. Tapi sebuah benda melintas di sekitar warung saat gerimis mulai turun. Ada sesuatu yang membuat perasaanku tidak nyaman. “Nan? Ngerasa ada yang aneh?” Tanya Gama. Mengetahui Gama merasakan hal yang sama akupun memberi isyarat pada Cahyo yang segera meninggalkan tempatnya dan memeriksa keadaan di luar bersama Budi. “A-ada apa ini?” Bah Jajang melihat perubahan gelagat tiba-tiba kami. “Bah Jajang, jangan jauh-jauh dari kami ya?” ucapku yang belum bisa menjelaskan apapun ke Bah Jajang. Bayangan di atas warung terlihat lagi melintas, kali ini Cahyo dan Budi dengan cepat mengikuti arah itu dan melompat ke beberapa pohon mencari keberadaan sosok yang menghilang dengan seketika itu. “Apaan, Jul?” Teriakku. “Nggak tahu, Keblek? Kelelawar? Tapi kayaknya sesuatu yang besar. Jangan jauh-jauh dari Bah Jajang dan Kimpul!” Teriak Cahyo. Aku menuruti ucapan Cahyo dan tetap berjaga bersama Gama melindungi Bah Jajang dan Kimpul. Brak!!! Di tengah kebingungan kami tiba-tiba atap warung yang terbuat dari seng itu berlubang dengan jatuhnya sebuah sosok besar berwarna hitam. Matanya memerah dengan besar dengan gigi-gigi dan taring yang begitu besar. Ia mencengkeram Bah Jajang dengan kaki bercakarnya dan kembali melompat tinggi menembus atap warung lagi. “Apa itu? Kelelawar besar?” Gama tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Entah, tapi jangan biarkan dia membawa Bah Jajang!” Teriakku yang segera keluar mengejar keberadaan sosok yang membawa Bah Jajang itu. “To—tolong!” Teriak Bah Jajang yang berusaha memukul cakar makhluk yang mencengkeram bahunya. Beruntung saat sampai di luar dua buah pukulan mengerikan segera mendarat di tubuh makhluk itu. “Minggir!!” Teriak Budi sementara Cahyo lebih memilih untuk menyusul pukulan Budi hingga membuat makhluk itu terpental hingga tersangkut di salah satu pohon. “Jangan lengah! Itu siluman Lowo Ireng!” Teriak Kimpul. Lowo ireng? Jadi makhluk itu benar-benar ada? Selama ini aku hanya mengira makhluk itu hanyalah ketakutan dari orang-orang saja. Aku pernah mendengarnya dari beberapa orang mengenai keberadaan makhluk hitam berwujud manusia dengan tubuh menyerupai kelelawar. Kebanyakan dari mereka dipercaya merupakan jelmaan manusia berilmu tinggi yang mengambil jalur hitam. Saat makhluk itu mencoba merebut Bah Jajang, aku melemparkan kerisku dan mengendalikannya dengan sukmaku untuk menghalaunya. Sayangnya sepertinya makhluk itu bukanlah makhluk biasa. Serangan Budi dan Cahyo seperti tak berpengaruh. Entah ia pulih dengan cepat, atau memang ia tak terluka. “Mungkin harus kurobek sayapnya biar tidak merepotkan!” Ucap Budi bengis sembari melompat ke salah satu pohon. Aku melihat Cahyo sudah bersiap dengan sarungnya untuk menghadang siluman Lowo Ireng itu. Akupun memposisikan kerisku untuk menghujamkan serangan yang mungkin bisa melumpuhkannya. Tapi sebelum itu terjadi, aku merasakan perasaan yang tidak enak. “Raden! Raden Muda itu!” Teriak Bah Jajang lemah. Benar saja, saat aku berbalik sebuah pusaran hitam terlihat dari belakang tubuh Kimpul. “Gama! Kimpul!” Teriakku sembari berlari memperingatkan mereka. Merekapun menoleh dan menyadari keberadaan sebuah pusaran hitam di belakang mereka. Sesuatu mencoba merenggut Kimpul dari sana, tapi hama berhasil menarik menjauh tubuh Kimpul dan meloloskannya dari pusaran itu. Sayangnya… pusaran itu tidak menghilang. Sosok pria bertopeng hitam yang disebut dengan nama Keling itu keluar dari pusaran itu. “Ke—Keling?” Kimpul terlihat sedikit gentar melihat sosok itu. “Jangan takut, kita semua ada di sini. Dia tidak akan bisa mengalahkan kita,” Ucap Gama yang sudah bersiap dengan Gelang Gengge di tangannya. “Bertarung? Benar-benar sia-sia. Aku sudah mendapatkan tumbal yang cukup untuk menyempurnakan ilmuku. Waringin sukmo…” Hanya dengan mengarahkan telapak tangannya ke arah Kimpul, tiba-tiba sebuah pusaran hitam muncul dari bawah kakinya dan membuatnya terhisap begitu saja tanpa mampu melawan. “Kimpul!!” Aku dan gama berlari mengejar Kimpul yang tak tergapai. Budi dan Cahyo menghampiri kami mencoba menahan pusaran hitam yang dibuka oleh Keling. Tapi, bahkan kami tidak tahu ilmu seperti apa yang ia gunakan hingga Kimpul menghilang dari pandangan kami. “Kembalikan dia!” Cahyo berteriak emosi dan memukul Keling sekuat tenaga dengan pukulannya. Namun dalam hitungan detik, Keling sudah berada di tempat lain yang jauh dari tempat Cahyo berada. “Kuhabisi Raden pengecut itu dulu, setelah itu giliran kalian,” Keling menggunakan ilmunya itu untuk dirinya sendiri dan menghilang dari pandangan kami. “Gama!” Belum sempat mencari cara menolong Kimpul, Budi menunjuk ke arah salah satu sisi langit hutan dan mendapati siluman Lowo Ireng itu pergi meninggalkan tempat itu. “Dia pasti pergi ke tempat kemana Kimpul di bawa, kalau memang menginginkan ilmunya seharusnya Kimpul tidak dibiarkan mati,” ucap Gama. Kami bersiap mengejar Siluman Lowo Ireng itu, namun tiba-tiba Cahyo menahanku. “Kita coba cara lain,” ucap Cahyo. Gama dan Budi terhenti sebentar. “Mamang Gondrong, kami percayakan siluman kampret itu sama kalian. Tidak ada jaminan siluman itu akan berujung pada Kimpul. Sebagai persiapan, Kami kenal seseorang yang mengerti mengenai lintas alam seperti Keling tadi. Seharusnya dia bisa menolong Kimpul bila ada di sini,” Jelas Cahyo. Gama terdiam sejenak dan teringat akan sesuatu. “Benar! Mas Jagad ya?” sahut Gama. Aku dan Cahyo mengangguk. “Baik! Biar Siluman itu menjadi urusan kami. Pastikan kalian menghubungi Mas Jagad, dan sampaikan salamku dan Budi juga,” Teriak Gama yang bergegas menyusul Gama mengejar siluman Lowo ireng itu. … “Pemuda itu, Raden muda itu dalam bahaya…” Belum sempat kami mencoba menghubungi Mas Jagad, tiba-tiba Bah Jajang berucap dengan wajah yang begitu khawatir. “Benar, Bah. Tapi apa Bah Jajang tahu bahaya apa yang dihadapi oleh Kimpul?” Tanya Cahyo. Bah Jajangpun bergegas menuju warungnya dan mengobrak-abrik lemari di sisi belakang warungnya. Ia mencari dengan terburu-buru dan keluar dengan membawa beberapa lembar kertas yang sudah sangat menguning.

“Orang bertopeng hitam itu menculik Nak Kimpul dengan membawanya masuk ke sebuah pusaran hitam. Bila itu memang ilmu dari keluarga Ningrat, maka saat ini ia benar-benar dalam bahaya..” Bah Jajang menunjukkan beberapa lembaran bertuliskan aksara jawa yang coba kubaca sebisaku. Lembaran ini tidak terlalu tua, tapi sepertinya merupakan salinan dari catatan seseorang yang hidup di jaman yang jauh sebelum saat ini. “Siti Kawaruhan?” Tanyaku pada Bah Jajang saat melihat nama sebuah ilmu yang mirip seperti yang digunakan oleh Keling. Bah Jajang Menggeleng. “Bukan, pria bertopeng itu menggunakan ilmu waringin sukmo. Salah satu kekuatannya adalah membawa korbannya ke sebuah tempat bernama Siti Karawuhan itu. Disanalah para pemilik ilmu ini menjebak musuh-musuhnya,” Jelas Bah Jajang. Aku tidak menyangkan Bah Jajang sampai mengetahui tentang ilmu Keling sampai sejauh ini. “Keluarga Bah Jajang ada yang terjebak di Siti Kawaruhan ya?” Tanya Cahyo yang lebih dulu menyadari gelagat Bah Jajang. Diamnya Bah Jajang dan raut wajahnya yang sayu seolah membenarkan pertanyaan Cahyo. “Terlalu banyak… terlalu banyak leluhur dan kerabat saya yang menghilang tanpa jejak. Keberadaan jasad mereka tidak pernah diketahui, dan semua itu mengarah pada tempat itu.. Siti Kawaruhan…” Penjelasan itu sudah sangat cukup bagi kami. Tidak butuh alasan lagi bagi untuk mencari cara mengeluarkan Kimpul dari tempat itu. “Nan, aku coba keluar cari sinyal nelpon Mas Jagad ya,” Cahyo mencoba menghubungi jagad melalui telepon genggamnya, sementara aku mencoba mencari tahu tentang lembaran-lembaran catatan yang ditunjukkan oleh Bah Jajang. Begitu banyak penjelasan yang rumit dari lembaran yang dimiliki Bah Jajang. Aku tahu bahwa alam gaib memiliki beberapa lapis dan berbagai kemungkinan yang belum diketahui manusia. Siti Kawaruhan sepertinya adalah salah satu sisi alam gaib yang diciptakan oleh Keling atau pembuat ilmu itu yang mungkin hanya bisa digunakan oleh mereka. Aku pernah melihat yang sejenis saat dulu menghadapi sosok ingon Trah Suganda yang berwujud wanita belanda bernama Eva. Trah Suganda menciptakan sebuah dimensi dari alam gaib dan memindahkan sebuah rumah sakit jiwa dan isinya sebagai pelampiasan dendam Roh Eva. “Kami memiliki seorang teman yang berpengalaman dalam berpindah alam, namun sepertinya tidak semudah itu untuk masuk ke Siti Kawaruhan,” ucapku pada Bah Jajang sembari terus mencari petunjuk dari lembaran itu. “Apa itu benar? Apa dia benar-benar bisa memasuki alam gaib semaunya?” Tanya Bah Jajang. “Hanya pada saat ada yang membutuhkan pertolongan,” balasku singkat. Bah Jajang kembali masuk ke ruang di belakang warungnya dan kembali keluar dengan membawa sebuah benda yang sepertinya tidak begitu asing dimataku. “Berikan ini padanya,” Bah Jajang memberikan sebuah potongan kayu seukuran jengkal tangan. dengan ukiran aksara jawa yang cukup panjang. Aku ingat, ini mirip ukiran kayu yang digunakan dukun ilmu hitam untuk memasuki Jagad Segoro Demit. Hanya saja, ukiran aksara kuno di kayu ini terlihat berbeda. “Saya pernah melihat benda serupa, namun benda itu membawa ke sebuah tempat yang sangat mengerikan…” ucapku. “Mungkin kegunaanya sama, aksara ini ditemukan oleh leluhur kami yang tersisa dan masih berharap bisa menyelamatkan kerabat kami yang terjebak di Siti Kawaruhan. Sayangnya tidak ada dari kami yang bisa berpindah ke alam gaib begitu saja. Siti Kawaruhan bukanlah alam yang bisa dimasuki hanya dengan roh atau sukma saja,” jelasnya. Aku mulai sedikit mengerti penjelasan Bah Jajang. Di satu sisi aku bersyukur Bah Jajang sudah lebih dulu mencari tahu tentang hal ini. Jika tidak, walaupun bersama Mas Jagad, kami juga belum tentu bisa menolong Kimpul. “Danan!” Cahyo kembali dengan tergesa-gesa dengan wajah cemas. “Kenapa Jul?” “Aku nggak bisa ngehubungin Mas Jagad dan Dirga. Waktu nelpon ke Abah, katanya mereka sudah menghilang lebih dari dua malam tanpa ada kabar sama sekali!” Ucap Cahyo.

***

JASAD PAKUJAGAR (Sudut pandang Dirga…) Angin malam berhembus tidak seperti biasanya. Hawa dingin merasuk ke siapapun yang masih berada di luar di malam yang kembali kelam. Suara langkah kaki terdengar beberapa kali melintas dengan suara kentongan yang dipukul tanpa henti. Kejadian yang terjadi pada Teh Ira dan kemunculan Baron membuat warga desa harus tetap waspada. “Tidur! Besok sore kita berangkat!” Teriak Mas Jagad yang kebetulan lewat melintasi rumahku. “Iya, Mas! Sebentar lagi!” Balasku yang masih ingin merenung sendiri di teras depan rumah sembari memikirkan pertarungan dengan sosok bernama Baron kemarin. “Mikirin apa?” Abah muncul dari pintu sembari menyeruput kopi panas di tangannya. “Eh, Abah… Nggak Bah. Biasa, nggak nyangka lagi kita akan menghadapi situasi seperti ini lagi,” Balasku. Yah, itu memang sedikit kekhawatiranku. Tapi sebenarnya, ada satu hal lagi yang terus terbayang di pikiranku. Tak mungkin juga aku menceritakan hal itu pada Abah. “Kalau kamu bingung, lebih baik ke Masjid dulu. Siapa tahu bisa bikin kamu lebih tenang,” ucap Abah. “Iya Bah, mungkin nanti Dirga ke masjid,” balasku. Aku melihat ke arah Abah, apa mungkin aku harus menceritakan tentang penglihatanku saat melawan Baron kemarin. Tapi bagaimana jika itu hanyalah ketakutanku saja? Dan bagaimana jika aku akan berakhir menyakiti teman-temanku sendiri? Aku benar-benar merasakan dan melihat Keris Dasasukma peninggalan leluhurku beterbangan membelah sukma dan menghabisi warga desa. Entah apakah itu perbuatanku atau ada seseorang yang merebut dan bisa menggunakan keris ini? “Abah, apa mungkin ada orang lain yang bisa menggunakan kekuatan Keris Dasasukma?” Tanyaku mencoba membuka pembicaraan. “Orang lain? Sepertinya tidak. Pusaka Darmawijaya hanya diturunkan untuk satu orang. Kalaupun bisa digunakan oleh orang lain, hanya ada dua kondisi. Sang pemilik mewariskan, atau sang pemilik mati dan keris itu memilih tuannya yang baru,” Jelas Abah. Aku mengangguk mencerna jawaban Abah. “Memangnya kenapa?” “Eh, eng—enggak, Bah… Dirga ke Masjid dulu saja, Bah.” Pamit Kepada Abah yang masih menikmati kopi dari cangkir kesayangannya itu. “Hati-hati…” Aku mencium tangan Abah dan berjalan santai menuju Masjid yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah. Suara kentongan yang terdengar menjauh dan semakin kecil menemani lamunanku menuju masjid yang cukup dekat dari rumahku. Semoga saja aku bisa sedikit menenangkan diriku di sana. Tapi… langkahku terhenti. Samar-samar dari jauh terlihat sosok yang berdiri di tengah jalan.

Manusia? Sepertinya bukan… Sosok itu hanya terlihat seperti makhluk hitam yang berdiri menunduk seolah memang menungguku di sana. Aku menelan ludah memperhatikan gerak gerik sosok yang semakin aneh itu. Ia bergerak seperti menari… tidak, ia menggerakkan tubuhnya dengan aneh sembari tertawa dengan mata yang tertutup oleh rambutnya yang panjang dan tak beraturan. “Khk..khk… Darah… khk.. Darah bangsawan..” Sosok itu berucap dengan aneh seolah mengincarku. Aku mulai waspada dan mencoba untuk mundur selangkah demi selangkah. Aku tidak bisa gegAbah melawan makhluk itu seorang diri. Dukkk… Sesuatu terlempar dan menggelinding menyentuh kakiku. Aku meliriknya dan mendapati sebuah kepala manusia yang masih berlumuran darah terjatuh di kakiku. “Khekhekhe… aku sudah dapat satu, tubuhku mulai kembali…” Aku menoleh ke arah suara itu dan mendapati sosok yang tengah menyeret bagian tubuh manusia. Satu tanganya memegang potongan kaki korban itu dan memakannya. Entah bagaimana aku menjelaskan wujudnya, ia seperti setengah manusia dengan setengah bagian tubuh hanya tulang hitam persis seperti sosok yang menghadangku tadi. Namun setiap ia menghisap darah dari bagian tubuh yang ia bawa, tubuhnya berangsur-angsur kembali. “Khk.. khk.. Sakit! Darah! Aku juga mau tubuh!” Bahaya! Jelas saat ini aku dalam bahaya! Aku sama sekali tidak mengira akan disergap di tempat yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku. Aku berpikir sejenak memastikan apa yang seharusnya kulakukan. Apakah aku harus berteriak dan melibatkan Abah, atau melawan mereka seorang diri? Makhluk-makhluk itu terlihat lemah, namun salah satu dari mereka berhasil membunuh seorang manusia. Aku tidak bisa meremehkan mereka. Belum sempat aku memutuskan, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku. Kulitku terasa panas dan begitu gatal. “A—apa ini?!” Aku melihat sebagian kulitku menghitam seperti membusuk dan itu semakin menyebar. Rasanya begitu sakit hingga kulitku mengeluarkan bau busuk. “Khekhekhe… Diam saja, dan jadilah mayat!” Ucap makhluk itu. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mereka. Sayangnya aku meninggalkan kerisku di rumah. Aku membacakan beberapa doa untuk mengusir jin, namun mereka sama sekali tidak gentar. “Kau pikir kami arwah penasaran?” Ledek mereka. “Kalau bukan setan, kalian ini apa?!” Balasku sembari berusaha membacakan amalan yang mungkin bisa menghapus kutukan mengerikan yang mereka lakukan padaku. “Kami juga manusia sepertimu, hanya saja tubuh kami sudah menghabiskan waktu terlalu lama terpendam di dalam tanah…” balasnya yang tiba-tiba kini berada tepat di hadapanku. Kini wujudnya terlihat jelas. Dia seperti mayat yang tubuhnya sudah membusuk dan sebagian dagingnya sudah habis dimakan belatung. Namun ada kekuatan hitam meluap-luap dari dalam dirinya, terlebih ada sisa-sia pakaian prajurit jaman kerajaan melekat di tubuhnya. “Menyerah saja!” Tidak, aku masih belum mau menyerah. Rasa sakit di tubuh ini semakin menjalar, namun aku masih merasakan ada yang aneh dengan kutukan ini. Sekilas aku teringat dengan Mas Danan dan bagaimana ia mengendalikan Keris Ragasukmanya. Akupun menjaga jarak sejauh mungkin dan menghubungkan sukmaku dengan Keris Ragasukma yang berada di rumah. Prang!!! Dari jauh terdengar suara kaca jendela yang pecah bersama sebuah keris yang sudah terlepas dari sarungnya mengarah ke arahku. Dengan sigap aku mengarahkannya ke makhluk yang berada di dekatku dan…

Brukkk!!! Aku seperti terjatuh dan tiba-tiba terduduk. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Kedua makhluk itu masih berada jauh dariku, Keri Dasasukma jatuh dihadapanku, dan semua kutukan di tubuhku menghilang seolah tidak benar-benar terjadi. Apa itu tadi? Ilusi? Aku melihat kekecewaan di wajah mereka. Sepertinya kedatangan keris Dasasukma memecahkan ilusi yang mereka gunakan padaku. “Kurang ajar!” Aku segera memecah kerisku menjadi tiga dan menyerang mereka berdua. Walau kesal mereka tidak gentar dengan seranganku. “Sing sedo wis wayahe tangi, seng tangi wis wayahe sedo…” Kedua makhluk itu berucap dengan tatapan yang tajam. Kali ini kepulan asap hitam dari tubuhnya meluas dan bahkan hampir menutupi pandanganku. Sebuah serangan melayang ke arahku, aku menangkisnya dengan keris dan menyadari itu hanyalah sebuah potongan tangan yang dilemparkan ke arahku. Aku kembali waspada dengan setiap langkah yang terdengar di sekelilingku. Sayangnya asap hitam semakin pekat hingga menghalangi pandanganku. “Balungan ningrat.. kehkehe…” Terdengar suara mendekat ke arahku, dengan sigap aku melindungi diriku dengan semua pecahan kerisku. Namun setelahnya, berbagai macam dan berbagai jenis serangan bertubi-tubi mencoba menyerangku. Kepulan asap hitam, pukulan, cakaran, bahkan percikan darah yang terasa begitu panas menyerang tubuhku. Sepertinya aku tidak bisa mengambil resiko ini. “Abah!!! Ada serangan!!” Teriakku mencoba menyadarkan Abah maupun siapapun warga desa yang bisa mencarikan pertolongan. Anehnya, saat aku berteriak kedua sosok itu malah tersenyum. Perasaanku benar-benar tidak enak. Rasa sakit mulai terasa di beberapa luka bakar di kulitku, sayatan bekas cakaran yang kudapat dari serangan yang gagal kutahan mulai menahan gerakanku. Entah beberapa kali aku berteriak, tidak ada siapapun yang datang mendekat ke arahku. Jangankan teriakkanku, seharusnya Abah sudah sadar saat keris dasasukma keluar memecahkan kaca rumah. Kecuali… Aku berlari jauh mundur dari kedua makhluk itu. Dengan hati-hati aku mencoba memperhatikan semua hal di sekitarku, tapi semua tidak seperti sebelumnya. Hanya kepulan asap hitam yang berada di sekitarku. Aku tak lagi bisa melihat rumah dan kebun warga desa yang harusnya hanya beberapa langkah dari tempatku berada. “Sial, sejak kapan kalian membawaku ke tempat laknat ini?” Umpatku kesal. Aku lengah, kedua makhluk itu memang tidak berniat menghabisiku di desa. Mereka menjebakku di alam gaib ini. “Kehkehke… ternyata kau bukan bocah yang bodoh!” Nafasku semakin sesak, asap hitam ini terus terhirup ke dalam tubuhku. Setengah mati aku menahan serangan sembari memaksakan nafasku. Samar-samar aku sempat merasakan perasaan yang aneh. Ada sesuatu menembus tubuhku, seperti ada sebuah tangan yang merogoh punggungku. Menyadari hal itu aku melepaskan kempat wujud keris dasasukma dan menghalau segala sesuatu yang mendekat ke arahku. “Apa itu tadi?” gumamku. Aku menoleh ke arah sekitar dan mendapati kedua makhluk itu bersiap kembali menyerangku. Entah aku merasa seolah mereka tidak ingin membunuhku. Dari situlah aku tersadar dan terlambat menyadari. Tanpa sempat ku halau, tiba-tiba aku merasakan kembali beberapa tangan yang menggenggam bagian dalam organ tubuhku. “Jantung dan paru-parunya milikku…” “Aku ingin kedua matanya…” Nafasku tersentak, beberapa organ tubuhku seperti tergenggam sesuatu yang tidak dapat kujelaskan. Seolah ada tangan yang menembus tubuhku. Bila perkataan makhluk itu benar, apa mungkin aku akan mati di tempat ini… “Minggir!!!!” Ditengah kebingunganku tiba-tiba muncul seseorang yang merebut pecahan keris dasasukmaku dan membelah sesuatu yang merogoh ke dalam tubuhku. Brukkk!!! Aku terjatuh, kedua makhluk itu melompat dengan bagian tangan yang terbelah dengan kerisku. “Dirga!”

Itu Mas Jagad! Aku selamat! “Berani-beraninya membuka gerbang gaib di wilayahku!” Bentak Mas Jagad. Sepertinya ia menyadari keberadaanku karena bisa merasakan ada gerbang gaib yang terbuka di desa ini. Beruntung Mas Jagad berinisiatif untuk memeriksa tempat ini. Aku memeriksa tubuhku dan mencoba untuk bernafas. Sepertinya mereka belum melakukan apapun pada tubuhku. “Pengganggu!!! Brengsek!! Aku ingin mendapatkan tubuhku!!!” Teriak sosok bertubuh mayat itu dengan murka. Melihat keadaanku Mas Jagad terlihat marah. Ia sudah menggenggam beberapa benda seperti batu bulat di tangan dan membacakan sebuah ajian. “Berani-beraninya kalian!” Teriaknya sembari melemparkan batu itu dan menyelimutinya dengan Ajian Watugeni. Blarrr!!

Suara ledakkan terdengar dari tempat makhluk itu berada. Asap hitam beterbangan menghilang dari pandangan kami, namun kedua makhluk itu juga sudah berpindah. Blarrr!! Mas jagad yang dipenuhi emosi melemparkan serangannya itu ke berbagai arah tempat dimana makhluk itu menampakkan diri. “Brengsek!! Ilmu gila!” Keluh kedua makhluk itu. Asap hitam mulai menghilang berganti dengan asap dari ledakan serangan Mas Jagad. Tak hanya itu, kedua sosok itu mulai terlihat kewalahan. … “Kalau kalian sebodoh itu, kalian tidak akan mendapatkan tubuh kalian!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang menggema di sekitar kami. “Ma—maaf Raden! Sebentar lagi kami selesaikan!” Ucapnya sosok itu dengan cemas. “Jangan mempermalukan kebangkitan pendekar Pakujagar!” Gema sosok itu lagi. Aku merasakan genggaman di salah satu lenganku. Dengan sigap aku menggenggam keris dasasukma untuk menghadapi serangan berikutnya. Tapi asap putih menyelimutiku… Ini ulah Mas Jagad… Tanpa sadar aku sudah berada di sebuah hutan yang begitu dingin dan dipenuhi kabut tipis. Kami melarikan diri…

“Mas? Nggak kita lawan saja mereka?” Tanyaku bingung dengan keputusan Pakdeku itu. “Nggak, terlalu berbahaya. Untuk melawan mereka berdua mungkin kita sanggup, tapi sosok yang berbicara tadi bisa datang kapan saja dan aku yakin dia bukan lawan yang mudah,” Balas Mas Jagad. Aku mengangguk menghela nafas mengerti dengan keputusan mas jagad. Akupun mengambil posisi duduk bersila dan membacakan amalan pembersih untuk membersihkan diri dari kutukan dan luka gaib yang melukaiku. “Lukamu tidak sedikit,” Ucap Mas Jagad yang membantu pemulihanku. “Iya mas, nanti akan pulih setelah diobati,” Balasku. Kami menghabiskan beberapa waktu di hutan yang ternyata tidak jauh dari desaku itu, namun Mas Jagad melarangku untuk kembali dulu. Ia masih merasakan keberadaan sosok itu di sana. “Kalau kita terlalu lama, Abah pasti khawatir,” ucapku pada Mas Jagad. “Sudah pasti. Kau pikir selama kita berada di alam itu kita sudah menghabiskan waktu berapa lama?” Balas Mas Jagad. Aku menoleh memperhatikan ke arah Mas Jagad untuk segera mendapatkan jawaban darinya. “Berapa lama?” “Sekitar tiga hari....” Tiga hari? Sial… aku memang mengerti bahwa jalan waktu di alam manusia dan alam gaib berbeda-beda. Abah pasti benar-benar khawatir dengan keadaanku. “Aku sudah ngabarin Abah, tenang saja..” Ucap Mas Jagad yang baru saja menutup teleponnya. “Alhamdulillah, Mas. Abah pasti khawatir,” “Benar, tapi barusan Abah juga ngasih kabar tentang Danan dan Cahyo,” Aku meninggalkan posisi dudukku dan menghampiri Mas Jagad.

“Kabar apa, Mas?” Mas Jagad mengurungkan niatnya untuk menunggu di tempat ini sebentar lagi dan menceritakan padaku sembari berjalan pulang. “Mereka butuh bantuan kita, ada teman mereka yang terjebak di alam gaib yang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Dan orang itu adalah kunci dari bencana yang satu persatu berimbas pada kita juga,” Jelas Mas Jagad. Aku menghela nafas, persis seperti dugaanku bahwa keadaan semakin gawat bila kami mengulur waktu sedikit saja. “Kita harus menyusul mereka, Mas!” ucapku. “Benar, tapi kali ini Abah akan ikut kita. Sepertinya ada sesuatu yang harus Abah lakukan sendiri,” jelas mas jagad. Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan itu. Jarang sekali Abah memutuskan untuk ikut turun tangan atas kemauan sendiri. Jelas aku penasaran dengan apa maksud Abah. Kepulangan kami disambut oleh Abah dan Emak yang terlihat begitu cemas. Aku pun menceritakan apa yang terjadi, dan Abah juga sudah memastikan bahwa kedua sosok yang menyerangku sudah menjauh dari desa. Menurutnya yang diincar hanya aku pemilik darah bangsawan dengan tubuh yang masih muda. “Mereka jasad yang hidup kembali. Trah Pakujagar tidak membiarkan pendekarnya mati dan mengutuk mereka untuk bisa dibangkitkan saat dibutuhkan…” Jelas Abah. “Gila! Tapi untuk apa?” Mas Jagad penasaran. “Kita akan mengetahuinya saat bertemu Danan dan Cahyo nanti,” Jawab Abah. Emak membantu membersihkan dan mengobati semua lukaku. Sementara Mas Jagad bersiap-siap aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beristirahat dan memulihkan tenagaku. … “Hentikan!!!” Keris Dasasukma terpecah begitu banyak dan melesat tak karuan. Entah sudah berapa warga desa yang dilukainya, tapi yang aku khawatirkan salah satu dari pecahan kerisku mengarah ke arah emak. Jlebb!!!

Keris itu menancap tepat di dada… Bukan di dada emak, tapi Abah menghadang kerisku yang tak terkendali demi melindungi Emak. Darahpun termuntahkan dari mulut Abah yang tak mampu lagi mempertahankan kesadarannya. “Abah!!!!” …. Sontak aku terduduk tersadar dengan keringatku yang mengucur deras. Aku terbangun. Itu mimpi… Sekali lagi aku mendapatkan penglihatan itu. Aku menoleh pada keris dasasukma yang sudah kukembalikan ke sarungnya. Jantungku berdetak begitu kencang. Apakah mimpi itu benar akan terjadi? Bila hal iya, aku mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.

***

SANG PELINTAS ALAM (Sudut pandang Danan…)
Secepat mungkin kami melintasi hutan untuk mencapai sebuah desa tempat kami akan menunggu Mas Jagad dan Dirga. Dengan mobilnya, Mas Jagad tidak akan bisa mencapai warung Bah Jajang. Desa inilah tempat terdekat untuk kami kembali ke hutan menyusul Gama dan yang lain. Sebuah gapura berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Nama Desa Leuwijajar terpampang di gapura tersebut. Tapi… ada yang aneh di desa kecil ini. Baru saja Adzan maghrib berkumandang namun sudah tidak ada satupun orang yang terlihat di jalan. “Nggak ada suara manusia sama sekali, Nan” Cahyo menajamkan pendengarannya dan sama sekali tidak menemukan suara langkah kaki maupun aktivitas warga desa. “Pintu-pintu rumah terkunci, tapi sepertinya tidak ada orang di dalam,” Ucapku menyadari tentang keadaan di sekitarku. Kami melihat keadaan sekitar dan menyadari bahwa telah terjadi sesuatu di desa ini. “Warga desa ini sepertinya sudah mengungsi. Sepertinya desa ini juga salah satu tempat yang terkena serangan,” Ucap Cahyo. Aku sependapat. Ada begitu banyak bendera kuning yang terpasang di beberapa gang. Ini menandakan sebelum mereka pergi, sudah banyak warga yang meninggal. Ada beberapa sisa noda darah di dinding-dinding bangunan yang sebagian sudah dibersihkan. Aku pun berpikir, ada berapa banyak lagi desa yang terkena imbas dari ulah keluarga ningrat ini? Semoga saja banyak warga desa ini yang selamat. Cahyo merasakan sesuatu, ia memanjat ke tiang rumah dan menaiki salah satu atap rumah. “Sepertinya kita mendapatkan pelakunya…” Cahyo menunjuk ke salah satu arah. Aku menoleh ke sebuah jalan yang cukup besar dan mendengar langkah kaki mendekat. Dari jauh aku mendengar suara geraman yang mengerikan. “Hrrr….” Itu seekor macan atau harimau putih… Sosok itu berbelok ke arah kami dan menunjukkan wajah yang mengancam. “Hati-hati, Nan!” ucap Cahyo yang segera melompat turun dan menghampiriku. Aku menelan ludah melihat sosok harimau yang bertubuh besar dengan warna putih dan memiliki luka di dahinya. Jelas makhluk ini bukan hewan buas. Dia adalah makhluk jadi-jadian. Keris Ragasukma sudah tergenggam di tanganku, Cahyo sudah memanggil kekuatan Wanasura, namun saat sosok itu mendekat tiba-tiba aku tidak lagi merasakan ancaman. Kami tetap waspada, namun sosok itu melewati kami begitu saja. Kami pun membuka jalan dan membiarkan hewan itu meninggalkan desa menjauhi kami. “Sepertinya bukan makhluk itu biang keladinya,” ucapku. “Benar, mungkin saja justru makhluk itu yang membereskannya,” balas Cahyo. Aku dan Cahyo terus menatap ke macan putih besar itu. saat semakin jauh, samar-samar terlihat sosok macan itu berdiri dan berjalan dengan dua kaki seolah menjelma menjadi manusia dan menghilang.

Seketika aku dan Cahyo saling bertatapan. Tidak ada sepatah katapun keluar dari kami mengenai sosok itu. Satu hal yang kami harap, semoga dia tidak akan menjadi musuh kami. Ditengah kecemasan kami, suara berisik knalpot mobil pick up tua yang mendekat adalah sebuah hal baik. Kamipun segera berlari menghampiri mobil itu dan menghentikanya tak jauh dari gapura pintu masuk. “Danan!” Mas Jagad segera menghampiriku dan Cahyo seolah sudah memahami urgensi permasalahan ini. “Dirga? Abah?” Sambut Cahyo yang tak menyangka bahwa Abah akan ikut dengan mereka. “Kita bicarakan nanti, Jelaskan apa situasinya Pada Jagad dan apa yang harus ia lakukan?” Ucap Abah. Aku pun menceritakan tentang seseorang bernama Kimpul atau Raden Rahardian yang sedang diincar oleh salah satu pimpinan keluarga ningrat yang bernama Raden Sengkuni. Kemampuan pangaweruhnya menjadi kartu untuk Raden Sengkuni menjadi yang terkuat diantara keluarga Ningrat untuk menduduki Tahta. Bila Raden sengkuni berhasil merebut tahta itu dan melakukan ritual. Ia akan mampu membangkitkan kutukan yang bisa menghabisi ratusan dan bahkan ribuan nyawa dalam waktu singkat. “Siti Kawaruhan?” Tanya Jagad. Aku mengangguk dan menyerahakan potongan kayu bertuliskan aksara jawa kuno kepada Mas Jagad. Ia pun mengambil posisi duduk bersila dengan meletakkan potongan kayu itu diantara kedua telapak tangannya. Keringat menetes dari pelipis Mas Jagad. Matanya terpejam tidak tenang. Sepertinya ia merasakan sesuatu yang tidak baik. “Sepertinya pemuda yang kau maksud berhasil,” ucap Mas Jagad. “Maksudnya apa , Mas?” Tanya Cahyo. Mas Jagad menceritakan bahwa ia berhasil menemukan sisi alam gaib yang dimaksud oleh kami. Dan ia melihat pemuda itu seorang diri. “Pemuda itu berhasil mengalahkan lawannya, sosok bertopeng hitam. Ia tidak bisa keluar dari alam itu, sepertinya aku hanya perlu menjemputnya,” Jelas Mas Jagad. Kami sedikit bernafas lega mendengar ucapan itu. Kali ini ia berdiri dan mencari tempat yang cukup lapang. Ia Pun menggenggam potongan kayu itu dengan membacakan aksara yang tertulis diantaranya. “Aku pergi dulu…” Ucapnya bersamaan dengan munculnya pusaran hitam sama seperti saat Keling menculik Kimpul dari hadapan kami. “Mas! Hati-hati, jangan lengah!” Teriak Dirga. Jagad mengangguk dan pergi meninggalkan kami masuk ke dalam pusaran itu. Kamipun menunggu dengan cemas tanpa tahu apa yang terjadi di tempat yang dimasuki oleh Mas Jagad. … “Abah? Kenapa Abah sampai ikut ke sini?” Tanyaku penasaran dengan kedatangan Abah. “Firasat, Nak Danan. Abah merasa ada yang harus Abah lakukan. Kita akan tahu saat menuju reruntuhan nanti,” Jelas Abah. Sebenarnya aku belum bisa menerima jawaban itu. Tapi Abah begitu yakin, ia bahkan membawa sebuah kujang pusaka yang dulu pernah ia gunakan saat membantu kami ke kediaman sisa-sisa Trah Darmawijaya. “Tubuhmu banyak luka, sepertinya terjadi sesuatu?” Cahyo tersadar dengan luka yang banyak di tubuh Dirga. Walau sudah diobati, luka itu tetap terlihat dengan jelas. “Iya, Mas. Sepertinya ada hubunganya juga dengan apa yang Mas Cahyo dan Mas Danan hadapi,” ucapnya. Dirga pun menceritakan dengan singkat kejadian di desanya saat ada seorang anak gadis yang diculik oleh sosok yang kami duga adalah pecahan sukma baron. Ia juga bercerita sebelum ke tempat ini ia diserang oleh orang-orang yang mengaku sebagai pendekar dari Trah Pakujagar yang bangkit kembali. Aku dan Cahyo benar-benar tak habis pikir. Akan ada berapa desa atau berapa tempat lagi yang akan terimbas bencana ini? … Brukkk!!! Terdengar suara seseorang terjatuh dari salah satu sisi desa. Kami segera berlari dan mendapati Mas Jagad telah kembali dari pusaran hitam itu. Ada seseorang bersamanya, kami memastikan bahwa orang itu adalah Kimpul.

“Kimpul?!” Aku dan Cahyo segera menghampirinya dan mendapati banyak luka di tubuhnya. Ia terlihat begitu lelah hingga sulit untuk berdiri. Tapi walau begitu ia masih terus menggenggam sebuah pisau pusaka yang kami tahu bahwa itu adalah pusaka kerangkeng sukmo yang berbahaya. “Aku gagal…” Ucap Kimpul lemas. “Gagal? Kamu berhasil mengalahkan Keling seorang diri kan? itu hal baik!” Balasku yang segera mendudukkannya di salah satu teras rumah. Kimpul menggeleng. Air mata mulai menetes di pipinya. Wajahnya begitu Frustasi. “Benar aku mengalahkan Keling, tapi aku gagal melindungi ilmu pangaweruhku. Ilmuku sudah direbut…” Mendengar ucapan itu aku dan Cahyo pun terdiam. Kami tidak bisa berbicara apapun dan tidak bisa menyalahkan Kimpul atas apapun. Ia benar-benar sudah melakukan apa yang ia tidak biasa. Akupun memutuskan untuk duduk di sampingnya untuk menemaninya. “Bapak saya pernah bilang. Kalau saya tidak bisa bertarung tanpa pusakaku, itu artinya aku memang tidak pantas memilikinya..” ucapku. Kimpul menatapku mencoba mencerna apa yang kukatakan. “Maksudku, tanpa pangaweruhmu kamu tetaplah Raden Rahardian. Tidak ada yang bisa mengubahnya kecuali kau yang memutuskan untuk menyerah..” Kimpul mengusap air matanya dan menatap pusaka Kerangkeng Sukmo di tangannya. “Walaupun aku bisa bertarung, tapi Raden Sengkuni akan menjadi tak terkalahkan dengan pangaweruh di tanganya,” Ucapnya. Kini giliran Cahyo yang mendekat ke arah Kimpul. Ia menepuk pundaknya berusaha menenangkannya. “Paklek pernah bilang, tidak semua hal di dunia itu bisa kita cegah. Itu namanya takdir. Tapi Tuhan tidak pernah memberikan masalah tanpa jalan keluar. Kita cuma perlu menghadapinya saja dengan semua yang kita miliki…” Ucap Cahyo. Mendengar ucapan Cahyo Kimpul menarik nafas menenangkan pikiran. Sepertinya ucapan Cahyo sedikit membuatnya lebih tenang. “Istirahatlah dulu, sepertinya ada teman kalian yang membutuhkan pertolongan Danan dan Cahyo,” ucap Jagad pada Kimpul, Abah,dan Dirga. Sepertinya kami mengerti maksud mas jagad. Ia merasakan keberadaan lain yang sedang bertarung di hutan. Kamipun bergegas mengikuti langkah Mas Jagad. “Jul, emangnya Paklek pernah ngomong gitu?” Bisikku pada Cahyo sambil mengikuti mas jagad yang menggunakan ilmu lintas jagatnya. “Yo Ndak lah! Ra mungkin! Aku ikut-ikutan aja. Masak kamu ngasih wejangan, akunya nggak. Harga diri nih…” Balas Cahyo dengan raut wajah yang mulai membuatku kesal.

“Asemm kowe, iso-isone,” (Sial, bisa-bisanya) Baru berjalan beberapa langkah tiba-tiba kami memasuki alam yang berkabut. Jagad memimpin jalan mengikuti suara raungan dan pertarungan.

“Di sana!” Tunjuk Jagad. Benar, dari balik kabut terlihat ratusan kelelawar beterbangan mengikuti perintah sosok yang lebih besar. “Lowo ireng..” Ucapku. “Biar aku aja, Nan!” Cahyo berlari lebih dulu dengan semangat. Sepertinya ia tidak sabar untuk ikut dalam pertarungan itu. “Wanasura!!!!” Dengan sekali lompatan Cahyo sudah tiba di hadapan makhluk berwujud manusia kelelawar besar itu. Bruakk!!! “Mamang Gondrong! Terima itu!” Teriak Cahyo yang mengarahkan pukulanya ke arah Budi yang tengah sibuk menghalau kelelawar yang mengalihkannya dan meong hideung yang mereka panggil. “Berisik! Memangnya kalau tanpa berteriak kepalamu bisa botak!” Umpat Budi membalas Cahyo sembari menangkap siluman lowo ireng yang terpental oleh serangan Cahyo. Dengan beringas, Budi menggunakan kesempatan itu untuk merobek sayap dari makhluk besar itu dengan pisaunya hingga terkoyak dan meneteskan darah. “Jangan sadis-sadis, Mang!” Teriak Cahyo yang berlari menghampiri Budi. Merasa terancam, siluman itu mengeluarkan suara yang tak dapat kami dengar namun benar-benar membuat kepala kami begitu sakit. “Sial!!” Cahyo dan Budi tak mampu menahan rasa sakit itu hingga siluman itu memiliki kesempatan untuk terbang dengan sayapnya yang terkoyak. “Gama? Kalian nggak papa?” Ucapku menghampiri gama sembari menahan rasa sakit dari suara gelombang siluman itu. “Nggak, nggak papa. Kami malah berhasil menolong warga desa kami. Murni,” jelas Gama. Aku tak menyangka dengan apa yang mereka lakukan. Sepertinya mereka memancing siluman itu untuk menunjukkan tempat dimana mereka menyimpan korban-korbannya. “Jul! jangan lama-lama!” Teriakku. Aku sudah menggenggam Keris Ragasukma di tanganku. Suara kerincing gelang gengge juga sudah terdengar bersama hentakan kaki gama. Dalam wujud roh aku melesat sekuat tenaga menyerang satu sayap siluman itu hingga ia tidak lagi bisa terbang dengan sempurna. Cahyo menggunakan kesempatan itu dengan melompat dan menghantamkan siluman itu ke tanah. Siluman itu mengerang kesakitan. Namun itu baru awal. Budi segera menangkap kembali siluman itu dan kali ini ia benar benar memutilasi sayapnya dan membuangnya. “RRRRRGGGGHHH!!!” Sekali lagi gelombang itu menyakiti Budi. Lowo ireng itu berusaha melarikan diri dengan mengelilingi tubuhnya dengan ratusan kelelawar. Namun baru saja beberapa langkah melewati Budi, Cakar dari makhluk berwujud kucing hitam besar sudah menantinya dan membelah tubuh siluman itu menjadi dua. Tubuh siluman lowo ireng itupun berserakan tak berdaya di hadapan kami. “Selesai?” Tanyaku. “Iya, terima kasih. Dengan bantuan kalian kita bisa mengalahkan dia lebih cepat,” ucap Gamma. Budi dan Cahyo Pun menghampiri kami, sementara Mas Jagad masih mengumpulkan tenaganya untuk membawa kami kembali ke desa Leuwijajar untuk kembali berkumpul bersama Kimpul. “Mang? Tadi kenapa sayapnya di robekin? Siapa tau dipake sama mamang gondrong nanti bisa terbang,” canda Cahyo. “Yang terbang kepalamu! Mau?” Umpat Budi. Cahyo merespon ucapan itu dengan tawa sembari bersembunyi di belakang Gama. Aku menggeleng melihat tingkah Cahyo yang tak pernah puas menggoda Budi. Sepertinya ada kecocokan aneh diantara mereka. “Danan…” Gama memanggilku dan memberi isyarat ke arah langit. “Kenapa, Gam?” Aku menoleh ke arah dimana Gama menunjuk. Aneh, walau siluman Lowo Ireng itu sudah mati, tapi masih banyak ratusan kelelawar yang beterbangan tanpa henti di langit hutan ini.

“Kelelawarnya tidak pergi?” tanya Cahyo. Aku mengangguk dan meminta semua untuk waspada. Jagad pun meninggalkan posisinya dan mendekat ke arah kami. “Ada yang mendekat…” ucapnya. Kami berlima pun semakin waspada. Dan mendapati sosok yang terbang ke arah kami dan menjadi satu dengan kelelawar-kelelawar itu. “Siluman lowo ireng lagi?” Tanya Cahyo yang menyadari keberadaan sosok itu. Benar… itu siluman yang serupa. Namun tubuhnya jauh lebih besar dengan beberapa banaspati berada di punggung. “Bukan! Dia berbeda! Makhluk ini jauh lebih berbahaya!” Ucapku mengikuti firasatku. Makhluk itu terbang diatas kami bersama seluruh kelelawar mengitarinya. “Siluman bodoh! Menjaga tumbal saja tidak becus!” Ucap sosok lowo ireng itu. Bicara? Makhluk itu bisa bicara? Tidak seperti siluman lowo ireng sebelumnya? “Lari! Lari, Nan! Dia Berbahaya!” Jagad terlihat cemas dan segera menarik kami semua. Kami segera menuruti firasat Mas Jagad dan memasuki gumpalan kabut yang ia panggil dengan ilmunya. Aku tak melihatnya dengan jelas, sekilas siluman lowo ireng raksasa itu menggunakan api di punggungnya untuk menyelimuti tubuhnya. Dalam hitungan detik, hawa berubah menjadi sangat panas hingga beberapa pohon terbakar dalam sekejap. “Lari!! Jangan menoleh!” Teriakku yang menyadari kemungkinan apa yang akan terjadi. Kami berlari secepat mungkin, dan setelah berlari beberapa saat tiba-tiba kami tiba di sekitar rumah-rumah kayu di desa kecil yang sudah kami kenal. Blarrrr!!! Tepat setelah gerbang gaib Mas Jagad tertutup tiba-tiba dari kejauhan terlihat salah satu sisi hutan yang berada dibukit terbakar dengan begitu cepat. Begitu besarnya api itu hingga terlihat dari desa yang berada jauh di luar hutan. “Gi—gila! Itu ulah makhluk itu?” Tanya Cahyo. “Tidak salah lagi,” Balas Gama. Abah, Dirga, dan Kimpul menghampiri kami yang tengah terpaku menatap salah satu sisi bukit yang terbakar. “Itu Alas Rowosukmo, sebagian hutan itu terbakar begitu saja,” ucap Budi menyadari posisi tempat ini. “Bagaimana bisa, Mas?” Dirga cemas melihat pemandangan itu. “Ulah siluman. Ada siluman lowo ireng raksasa dengan beberapa banaspati di punggungnya. Aku melihat bagaimana ia menggunakan api itu untuk menghanguskan hutan itu hanya dalam beberapa menit,” Jelasku. Mendengar ucapanku Dirga dan Abah tak mampu berkata-kata. “Rupanya makhluk seperti itu yang akan kita lawan,” ucap Abah. Kimpul mendekat ke arahku dengan wajah pucat. “Siluman lowo ireng raksasa? Banaspati di punggung?” Tanya Kimpul.

“Iya, Kenapa Pul?” Balasku. “I—itu… Itu wujud siluman Raden sengkuni. Ia pasti tengah mengeksekusi tumbalnya,” jelas Kimpul cemas. Aku dan Cahyo saling bertatapan. Raden Sengkuni? Rupanya itulah sosok yang mengutuk desa Dawuilir dengan Jenggesnya. Aku tidak menyangka ia semengerikan itu. “Setelah mengeksekusi tumbalnya, ia pasti akan ke reruntuhan untuk melakukan ritual. Setelahnya, ia tidak akan bisa dikalahkan,” Jelas Kimpul. “Denger kan omongan Kimpul? Berarti sekarang Raden Sengkuni masih bisa dikalahin” ucap Cahyo. “Bu—bukan itu maksudku…” “Benar, kita hanya harus mengalahkan Raden Sengkuni sebelum ia selesai melakukan Ritual kan?” Tambah Gama. “Ta—tapi…” Kimpul tidak mengerti maksud kami. Kami hanya berusaha mengambil kemungkinan terbaik dari ucapan Kimpul. Sebelum ritual itu selesai, kami masih punya kesempatan untuk mengalahkan Raden Sengkuni dan menghentikan ini semua.

***

TAHTA TERKUTUK (Reruntuhan candi…) Sosok Siluman Lowo Ireng terlihat mendarat dan merubah wujudnya kembali sebagai manusia. Ia mengenakan pakaian jas kebanggaanya dan berajalan menuju altar. Ada begitu banyak mata yang mengawasi dan mengancam keberadaannya, tapi dalam sekejap mereka menyadari sesuatu. “Ti—tidak mungkin! Ia mendapatkan Ilmu pangaweruh itu!” Ucap salah satu utusan trah ningrat lain yang bersembunyi. “Mundur! Dia semakin berbahaya,” ucap yang lain. Dalam sekejap keberadaan orang-orang yang memata-matai reruntuhan itu mulai menarik diri. “Kenapa kalian pergi? Seharusnya kalian menemaniku hingga menyelesaikan ritual. Aku butuh lawan untuk menguji ilmuku nanti!” Ucap Raden Sengkuni yang berjalan dengan sombong menuju sebuah kursi batu besar di reruntuhan itu. “Dia sudah gila!” ucap sosok lain. Mendengar ucapan itu senyum di bibir Raden sengkuni menghilang begitu saja. Ia pun berhenti sejenak dan melihat sekitarnya. “Dengan sempurnanya ilmu yang kumiliki sekarang, artinya aku pantas menduduki tahta ini. Apabila ada yang keberatan, lawan aku sekarang!” teriak Raden Sengkuni. Terlihat beberapa pendekar dari berbagai trah bersembunyi di sana. Mereka tidak lemah, namun melawan Raden Sengkuni dengan kemampuan pangaweruhnya, jelas-jelas sebuah tindakan bunuh diri. Raden sengkuni pun berjalan dan kembali tertawa. Kini ia duduk di singgasana batu di reruntuhan candi itu dengan puas. Dari tempat itu ia bisa melihat sebuah gunung di hadapannya dan beberapa reruntuhan yang terdapat berbagai ukiran yang sepertinya memiliki arti sendiri. Ia memperhatikan dan membacanya dengan ilmu kebatinannya. Dalam waktu sekejap, ia tertawa begitu puas. “Aku dapatkan! Aku dapatkan kekuatan untuk menaklukan segalanya! Ritual ini akan membangkitkan apa yang ingin kumiliki. Sebuah kutukan! Sebuah kutukan yang membuat perapalnya menjadi yang terkuat! Kutukan Sewu lelembut…” Rasa kecewa muncul dari setiap orang-orang suruhan trah ningrat yang mengawasi tempat itu. Mereka semua memutuskan untuk mundur dan bersiap dengan apa yang akan Raden Sengkuni lakukan pada trah mereka setelah menguasai kutukan itu. “Lebih baik kita persiapkan segala cara untuk menjauh dari Raden gila itu,” ucap salah seorang mata-mata yang bergegas menjauh. Yang terkuat di trah ningrat… Ilmu Pangaweruh… Kutukan Sewu Lelembut… Tidak ada yang cukup bodoh untuk berani melawannya. Seluruh Trah Ningrat gentar dan memutuskan untuk menjauh sejauh mungkin dari sosok bernama Raden Sengkuni itu. Tapi ada sosok yang tidak mundur dari tempat itu. Ia mengawasi Raden Sengkuni dari dalam hutan. Tidak seorang diri… Ia disana bersama pasukannya yang belum disadari oleh Raden Sengkuni. Tak ada yang menyadari kehadirannya. Di mata seorang manusia yang jumawa. Sosok itu hanyalah seekor kera kecil yang terlihat lemah. Namun tidak ada yang menyadari bahwa keberadaanya di sana memimpin begitu banyak pasukan yang mematikan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Spoiler : Yang ada di hadapan Danan dan Cahyo saat ini bukan lagi sekumpulan orang berilmu hitam. Melainkan pasukan sosok yang bangkit kembali seolah siap untuk memulai peperangan. Melawan mereka begitu saja sama saja meyerahkan nyawa. Kemunculan Ki Langsaman dan Nyi Sendang Rangu menahan mereka untuk bertindak bodoh dan meminta mereka mengumpulkan orang-orang yang mampu menghadapi pasukan dedemit itu.
close