Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 3) - Alas Rowosukmo

"Di hutan ini pendekar-pendekar itu dipertemukan.."

***

(Di desa Dirga...) Suara kentongan yang dipukul penuh kepanikan terdengar dari salah satu sisi Desa Dirga. Hari sudah larut malam dan nada yang menjadi pertanda adanya bahaya mengalun nyaring. Beberapa warga berhamburan keluar dari rumahnya untuk mengetahui situasi, sementara sebagiannya memutuskan tetap di rumah untuk saling menjaga anggota keluarganya. Tidur nyenyak mereka berganti dengan kecemasan. “Ira diculik! Ira diculik!” teriak warga yang menjadi petugas ronda sambil terus mengetuk kentongan. “Diculik? Yang bener maneh teh?!” Seorang warga yang baru saja keluar rumah memastikan. Warga lain pun jadi berkerumun penasaran. “Muhun, Pak! Ini saya ngabarin, Bapak-bapak yang lain sama ayahnya Ira lagi ngejar ke dalam hutan!” Mendengarnya, sepuluh warga yang berkumpul pun kembali ke rumah untuk mengambil alat penerangan seadanya. Ada yang membawa senter, ada pula yang memegang obor. Mereka lalu membentuk kelompok di pos ronda ikut menyusul ke hutan.

“Hayu atuh berangkat!” ucap seorang warga. “Sakedap, Pak,” (Sebentar, pak) ucap petugas ronda itu, terlihat ragu. “Ngantosan naon deui?” (Tunggu apa lagi?”) “Yang menculik Ira teh…” “Naon? Ari maneh ngabejakeun urang teh kudu jelas atuh!?” (Apa? Kamu tuh kalau ngasih tau kita harus jelas!) sahut warga lain. “Anu nyulik Teh Ira sigana sanes jelema…” (Yang menculik Teh ira mungkin bukan manusia )ungkap petugas ronda dengan raut khawatir. Demikian, warga yang sudah siap menyusul pun terdiam. Terpancar keraguan di wajah mereka, tapi merasa jumlah mereka banyak, mereka tak berniat mundur.

“Hayu jalan! Ulah sieun!” (Jangan takut) teriak warga yang paling depan memberi komando. Mereka pun saling memberi anggukan, lalu bergegas melangkah menuju jalan setapak yang menuju hutan sambil meneriakkan nama Ira. Nyala kobaran obor dan sorotan senter meneriangi jalan setapak itu. Malam yang biasa hening dan gelap berubah riuh. Sayangnya baru beberapa langkah memasuki hutan, warga desa tiba-tiba terhenti karena keberadaan siluet seseorang yang berdiri di tengah pepohonan. Sosok itu membelakangi mereka, seakan sengaja menjadi penghalang. “Naon eta teh?” (Apa itu?) ucap seorang warga sembari menunjuk sosok itu. Wujudnya memang seperti orang biasa dengan pakaian warga desa pada umumnya, tapi wajahnya ditutupi dengan separuh topeng berwarna hitam.

“Darah perawan atau darah seluruh warga desa, tuanku memang butuh keduanya…” ucap sosok itu. Di balik kegelapan, bibirnya menyeringai. Angin dan suara serangga hutan mendadak menghilang. Suasana tiba-tiba hening begitu saja, seolah memberikan ruang untuk sosok bertopeng hitam itu memulai aksinya. Di punggung belakang, ia menarik sebilah pisau. Obor yang menyala temaram memperlihatkan tangan sosok itu menunjukkan pisau berukir di genggamannya. Saat itu lah warga desa yakin mereka berada dalam masalah. “Dia bukan manusia biasa! Hati-hati!” teriak seorang warga yang menyadari kejanggalan dari sosok itu. Di tengah kebingungan, tiba-tiba mereka terkejut karena tubuh mereka yang kaku dan kaki mereka tidak bisa digerakkan. Seakan kaki mereka terpantek di tanah “Sepuluh orang? Apa akan ada yang datang lagi?” Sosok bertopeng sebelah itu melangkah mendekati para warga. “Lepaskan kami!” teriak salah satu warga desa, lalu tiba-tiba dalam sekejap di lehernya terbeset garis terukir rapi. Darah pun mengucur deras. Ia kejang-kejang karena darah mengucur deras dari luka yang nyaris tak kasatmata di lehernya. Matanya melotot dan terbatuk darah. “KEHED SIA!” (Brengsek kamu!) hardik warga lain. Mereka panik mengetahui nasib mereka akan berakhir tragis. “Tumbal tidak punya hak untuk bicara!” ucap sosok bertopeng itu dengan tenang sembari mengelap pisaunya yang basah dengan darah.

Warga desa yang ketakutan berusaha berlari, tapi menggerakkan jari saja begitu sulit. Nyalang mata mereka membiaskan ketakutan karena akan menerjang kematian yang sia-sia. “Ja—jangan! JANGANNN!!!” Sebelum bilah pisau tajam yang dilesatkan menyentuh leher warga yang menjadi korban berikutnya, tiba-tiba kabut pekat muncul, membuat sosok bertopeng itu menghentikan gerakannya dan berubaah waspada. Brugggh!! Tubuh seorang pria terjatuh dari salah satu sisi kabut. Warga yang menoleh benar-benar bingung dengan situasi itu. “I—itu? Tubuh itu mirip—” ucap salah seorang warga yang menganga memastikan objek yang ia lihat sama dengan sosok bertopeng di depan. Sosok bertopeng itu menoleh ke sekitar, tangannya mengepal di depan topeng yang ia kenakan. Tranggg!

Dalam sepersekian detik, pisau di tangannya beradu dengan keris yang melesat tepat ke wajahnya, membuat sosok bertopeng itu mundur dan lebih waspada dengan lawan yang belum bisa ia identifikasi. “Mas Jagad?! Dirga!” seorang warga terkesiap mengetahui siapa yang datang. Senyuman kecil muncul di bibir warga desa yang tengah menahan kengerian ketika melihat dua pemuda yang hadir dari balik kabut. Sementara sosok bertopeng sebelah itu geram mendapati musuh yang tak terduga. “Kalau dia Baron? Kau siapa?” Jagad menendang tubuh sosok pria bertopeng yang terkulai di tanah. Ia menitipkan tubuh Ira yang tengah dibopong kepada warga di dekatnya. “Tidak mungkin, tidak mungkin di desa ini ada yang bisa mengalahkanku!” tegas sosok bertopeng itu dengan angkuh. “Aku?” Dirga menunjuk dirinya sendiri. Suara langkah kaki yang lain muncul di dekat warga desa yang tengah meregang nyawa. Entah bagaimana sosok itu tiba-tiba bisa berada di tengah-tengah mereka begitu saja. “Itu ajian Pecah Sukmo, Dirga. Jangan terkecoh,” ucap seorang pria baya di belakang Dirga dan Jagad. “Abah? Apa tadi? Ajian Pecah Sukmo?” tanya Dirga. Abah mengangguk, ia sepertinya tidak perlu membahas lebih lanjut dan memilih memfokuskan dirinya menghentikan pendarahan di leher warga sambil membacakan beberapa lantunan mantra penyembuh. Ia berharap apa yang ia lakukan bisa menyelamatkan nyawa warga desa itu. Dirga juga tidak ingin berbincang lebih lama, ia memberikan satu pecahan kerisnya pada Jagad dan bersiap menyerang sosok Baron yang kini di hadapan mereka. “Berarti kita tinggal mengalahkan dia lagi kan, Mas Jagad?” ucap Dirga sebelum menerjang dengan senyum percaya diri. Keris dan pisau kembali saling beradu, tapi kecepatan Baron mampu untuk mengimbangi kecepatan mereka berdua sebelum mereka kembali memasang posisi bertahan. “Jangan lengah, orang ini ahli dalam bertarung,” ucap Jagad pada Dirga. Perlahan, mereka menyadari walaupun memang keadaan gelap, hutan yang kini menjadi arena bertarung mereka terasa semakin pekat. Mereka belum menyadari bahwa sedikit demi sedikit goresan pisau sudah melukai tubuh mereka secara misterius. Dirga membelah kerisnya lagi dan melemparnya untuk menyerang Baron. Namun, kegelapan yang Baron ciptakan dengan ajiannya mengecoh Dirga. Sebaliknya, Dirga malah terjatuh karena kerisnya bak bumerang yang jadi senjata makan tuan. Dirga menghindari kerisnya yang melayang ke arahnya dan tak butuh lama ia kehabisan tenaga dengan luka sayatan yang baru sadar mengenai kulitnya. Dalam sekejap, Dirga jatuh terduduk bersamaan kerisnya jatuh ke tanah.

“Pusaka itu cocok untuk tuanku.” Baron menyeringai melihat keris itu. Kesadaran Dirga teralihkan dengan munculnya pengelihatan kerisnya melayang-layang menghabisi warga desa. Ia pun, dalam ketidakberdayaannya, panik melihat pemandangan sadis itu sementara ia tak bisa bergerak sedikitpun. Baron menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Dirga. Ia melesat cepat sembari menghunuskan bilah pisaunya yang membelah udara. Akan tetapi, sesaat sebelum Baron berhasil menerjang ke arah Dirga, sebuah batu menyala melayang ke arahnya dan seketika meledak. Baron pun terpental ke belakang sembari memegang pundak kirinya. Darah segar menetes ke tanah, ia meringis kesakitan. “Kami sudah mengalahkanmu satu, menghabisimu bukan perkara sulit,” ucap Jagad dengan nada dingin. Dirga berusaha bangkit dan menyadari bahwa apa yang tadi dilihatnya hanyalah ilusi yang dibuat oleh ajian Baron. Sosok itu pun geram mengetahui Jagad tidak bisa diremehkan, ia membacakan sebuah ajian. Sesuatu mulai bergetar dari arah tanah. Dirga dan Jagad menyadari datangnya petaka jika sedikit saja mereka lengah. “Tidak mungkin, dia juga menguasai ilmu seperti ini. Jagad! Dirga! Mundur!” teriak Abah mendadak panik. Namun, sebelum ilmu itu dilepaskan Baron, tiba-tiba satu pecahan sukmanya yang tak berdaya menghilang begitu saja bagai kabut hitam, menyusul sosok Baron yang tengah merapalkan ajian. Keduanya melesap jadi kabut hitam yang menguap sebelum menghilang.

“Apa yang terjadi?” Dirga bingung menatap Abah dan Jagad. Jagad menggeleng, tak tahu dan tak bisa mengira. Sedangkan Abah mengerutkan dahinya, berkata, “Sepertinya terjadi sesuatu dengan tubuh aslinya yang memaksa dia untuk mundur.” “Benar, Bah?” Dirga memastikan. Abah menoleh ke sekitar dan mencoba menelaah kondisi yang sebenarnya sebelum akhirnya mengangguk yakin. Melihat anggukan Abah, Dirga pun terduduk di tanah, disusul Jagad yang juga menarik nafas lega. Mereka menengadah. Warga yang sedari tadi terjebak dalam ajian yang membuat mereka tak bisa bergerak akhirnya bebas. Mereka saling memeriksa satu sama lain. “Gila! Satu saja sosok itu aja sudah menghabiskan tenaga. Harus melawan satu lagi dan dia jauh lebih kuat rasanya benar-benar keterlaluan…,” keluh Jagad menyeka keringat di keningnya. “Sudah, ngeluhnya nanti saja. Antar gadis itu dulu, baru habis itu obati luka kalian,” perintah Abah. Jagad dan Dirga patuh. Dibantu warga, mereka kembali ke desa membawa dua orang yang berada dalam keadaan kritis. Ira, seorang gadis perawan yang diincar oleh sosok Baron, dan seorang warga yang menjadi korban Baron. Beruntung warga sigap memanggil petugas kesehatan puskesmas untuk memberikan pertolongan pertama.

Tragedi tak diharapkan itu benar-benar membuat warga desa semakin waspada. Beruntung saat itu Jagad dan Dirga yang sedang berlatih merasakan ada hal yang tidak beres ketika petugas ronda memukul kentongan. Terlambat sedikit saja, mungkin nyawa warga desa sudah tak dapat lagi mereka selamatkan. Saat akan kembali ke rumah Jagad, Dirga, dan Abah beberapa kali terhenti karena beberapa bayangan yang berkelebatan di tengah jalan. Abah mendapati firasat yang tidak beres mengenai desa ini, begitu pula Jagad. Mereka berdua tahu ini bukan hal yang biasa, tapi mereka tak bisa gegabah untuk menyimpulkan dan mengambil tindakan. Cring… Mereka bertiga mencari asal suara itu dan melihat bayangan seekor kucing hitam yang berjalan pincang di atap rumah warga. Saat menoleh ke arah lain, samar-samar mereka melihat bayangan kecil melintas seperti seekor kera yang melesat dari pohon ke pohon. Abah mendadak khawatir. “Sepertinya mereka akan terlibat tragedi besar lagi,” ucap Abah mengenali kedua sosok itu.

Jagad hanya memberikan anggukkan kecil sebagai tanggapan. Pikirannya juga mengkhawatirkan yang sama. Sementara itu, Dirga masih melamun mengingat penglihatan yang muncul saat berhadapan dengan Baron tadi. Ajian macam apa yang bisa menciptakan ilusi dan membuat gempa?

Bagian Tiga : ALAS ROWOSUKMO (Sudut Pandang Danan…) Sudah hampir satu minggu sejak warga Desa Dawuilir tak sadarkan diri. Walau Paklek dan Naya sudah mengusahakan berbagai cara baik secara medis maupun gaib, tetap saja usaha mereka tidak berdampak banyak. Tiap manusia memiliki satu raga dan empat sukma. Keempat sukma itu konon mewakili kalbu atau nurani, nafsu atau niat, roh atau kehidupan, dan cahaya atau jati diri yang menghubungkan dengan ketuhanan. Kekurangan salah satunya akan membuat seorang manusia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Mereka akan terlihat seperti linglung dan bila sukma yang direbut itu adalah roh, maka manusia tersebut tidak lagi mampu menguasai kesadarannya. Walaupun bisa memulihkan raga, bila sebagian sukma mereka masih tak bisa kembali, mereka tak akan sadarkan diri, bahkan kemungkinan terburuknya, mati dalam kurun waktu tertentu.

Sementara itu, warga Desa Windualit harus menghadapi kutukan kuno dari makam keramat yang bangkit akibat dari ilmu tuan dari pendekar keluarga ningrat bernama Baron. Kutukan itu terus menggerus makam dan menarik berbagai benda keramat yang dikutuk di makam itu dan berdampak kepada warga. Kutukan itu seperti wabah gaib yang menjadi tak dapat dihentikan kecuali menghentikan pelaku yang mengaktifkan kutukan itu sendiri. Dan ini masih di luar kendaliku, Danan, dan Paklek. “Berapa banyak warga desamu yang selamat, Mas Cipto?” tanya Cahyo pada Cipto yang duduk di depan kami. Kami tengah menaiki bus yang menuju ke arah barat untuk nantinya berjalan menyusuri ke sungai. Cipto tengah menuntun kami ke arah sebuah tempat yang menurutnya adalah lokasi dalang di balik bencana ini.

“Tidak sampai separuhnya, Mas. Mereka langsung pergi menjauh meninggalkan desa setelah banyak warga yang terbunuh,” ujar Cipto dengan suara yang menyiratkan kesedihan mendalam. “Keluarga Mas Cipto?” tanyaku. “Pergi bersama warga lain. Setelah mengetahui orang-orang mengerikan itu, saya ndak berani menemui mereka. Saya merasa kemunculan saya di hadapan anak dan istri saya akan membahayakan mereka.” Keputusan yang bijak, pikirku. Namun jelas itu bukan keputusan yang mudah. Terlebih rasa khawatir Cipto akan keluarganya pasti benar-benar menyiksa dirinya. Sebelumnya, Cipto mengaku sampai di Alas Mayit dengan menebeng truk sayur, lalu berjalan kaki menelusuri hutan. Ia benar-benar tak bertemu siapa pun sampai melihat pertarungan kami melawan Baron. Bus yang mengantar kami memasuki daerah yang dikelilingi oleh pegunungan. Di sinilah kami turun dan harus melintasi beberapa hutan kecil yang benar-benar bukan jalur yang nyaman dilalui manusia. Petang mulai menggelap dan kami harus segera beranjak. “Benar ini jalurnya, Mas Cipto?” tanya Cahyo memastikan. “Benar, Mas. Sejak longsor jalan menuju desa benar-benar tertutup, ini satu-satunya jalan yang saya ketahui.” Cahyo menatap ragu pada jawaban Mas Cipto, tapi sayangnya jawabannya memang masuk akal. Tak jauh dari langkah kami menapaki pinggir hutan, terlihat reruntuhan batu yang tanpa perlu dipastikan adalah sisa-sisa longsor. Aku menarik nafas panjang. Penelusuran ini akan melelahkan dan sangat berbahaya. *** Kami sudah berjalan memasuki hutan lebih dari tiga jam. Ada sebuah bukit yang telah kami sebrangi, bahkan perbekalan yang kami bawapun tinggal sedikit. Jelas saja, kami tidak mengira akan melalui perjalanan sejauh ini.

Sejak memasuki area dalam hutan yang minim cahaya, sebenarnya aku merasakan perasaan yang aneh. Seperti ada perasaan dejavu, hingga muncul pengelihatan sekelebatan yang tidak dapat kuikuti. Aku menduga mungkin ini terjadi karena kami mulai mendekati reruntuhan keramat itu. Ada residu energi besar yang berasal dari sana. “Mas Cipto, apa mau istirahat dulu?” Cahyo mencoba memecahkan keheningan karena terlihat jelas Cipto berjalan setengah melamun. Namun baru saja Cahyo menengok ke arah Cipto, tiba-tiba wajah Cipto tidak terlihat. Blughhh… Sebuah kepala terjatuh ke tanah tepat di hadapan mata Cahyo. Cipto masih berdiri seolah belum sadar kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Darah bermuncratan dari leher Cipto, lalu tubuhnya terjatuh begitu saja. “Mas?! Mas Cipto!!” Cahyo panik. Terlihat amarah yang membara di mata Cahyo. Trang!!! Aku menghalau sebuah serangan yang memanfaatkan kelengahan Cahyo. Aku segera waspada karena pelakunya berada di tengah kegelapan hutan. “Keluar kau! Jangan seperti pengecut!” teriakku penuh amarah. Aku yang masih mencoba mengendalikan diri akan kematian Cipto berusaha mencari keberadaan makhluk yang dengan sekejap dapat memisahkan kepala seorang manusia. Hening… Hutan ini begitu hening tanpa ada satu pun tanda-tanda sosok yang akan menyerang kami. Tak ada suara apa pun selain pohon yang bergemerisik karena angin malam.

Cahyo berdiri setelah membacakan doa singkat untuk mengantar kepergian Cipto. Matanya penuh dengan amarah, tubuhnya diselimuti aura merah karena tenaga Wanasura meluap-luap dari dalam dirinya. Cahyo menatap ke salah satu sisi hutan dan mengepalkan tangannya. “Keluar kau berengsek!” Satu pukulan ke tanah tiba-tiba menumbangkan pepohonan yang berada tak jauh di hadapannya. Dari tumpukan pohon-pohon yang tumbang muncullah sosok yang tidak asing. “Baron…” Cahyo geram. Giginya gemeretak menahan amarah. Dalam sekejap, Cahyo sudah ada di dekat sosok Baron dan bersiap menghantamkan sebuah pukulan, tapi dalam satu kedipan mata Baron sudah berpindah tak jauh di belakang Cahyo. Aku sudah mengantisipasi hal itu dan melemparkan keris Ragasukma tepat di tempat Baron muncul, tapi ia dengan mudah dapat menghindar dan menepis dengan pisaunya. Tepat saat keris kembali ke tanganku, aku segera mengambil alih pertarungan jarak dekat dengan Baron, sementara Cahyo mengawasi sekitar. Sial, ini berbeda… Kemampuan Baron yang kami lawan saat ini jauh berbeda dari yang kami lawan di Alas Mayit. Kelincahannya, daya serangnya, dan aura yang terlihat dari tangan yang memegang pisau sangat drastis. “Jadi ini tubuh aslimu?” tanyaku sambil terus menyerangnya bertubi-tubi. “Kenapa tidak kau cari tahu sendiri?” balas sosok bertopeng sebelah itu dengan seringaian. Cahyo tiba-tiba menghantamkan kedua tangannya ke tanah hingga membuatku dan Baron tak mendapat pijakan dari tanah yang bergetar. “Kendalikan dirimu, Jul!” teriakku. Cahyo tak mempedulikanku melesat menghantamkan pukulannya pada Baron yang tak sempat memijakkan kakinya di tanah. Brakk!!! Baron terpental dengan tubuhnya yang menghantam pohon. Mulutnya memuntahkan darah hitam dan sekali lagi tubuhnya menghilang menjadi kabut hitam. “Cahyo! Awas!” Cahyo lengah ketika merasa dirinya berhasil menyerang Baron. Sebuah tendangan melayang menghantam wajah Cahyo sehingga membuatnya berguling di tanah.

Itu Baron lagi? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa serangan Cahyo yang sekuat itu tidak berdampak sama sekali? Atau itu adalah pecahan sukma Baron yang lain? Aku tidak dapat mencari jawabannya saat ini. Baron membuka tangannya, lalu mengarahkan pisau yang terjatuh dari tubuhnya yang dihajar Cahyo melesat ke arah Cahyo. Dengan sigap aku menghalangi pisau. Keris Ragasukma beradu kembali dengan pisau milik Baron hingga suara senjata yang beradu menggema di antara pepohonan. Seolah tidak ingin melakukan gerakan yang sia-sia, Baron mundur dan kembali menghilang dalam bayangan hutan. Aku dan Cahyo saling membelakangi, memasang posisi waspada bersiap menghadapi kemunculan Baron. Cahaya matahari mencapai batasnya, kegelapan malam mulai menyelimuti hutan. Ini akan menguntungkan posisi Baron yang bermain dengan bayangan. “Hati-hati, Cahyo. Dia diuntungkan di sini,” ucapku yang masih khawatir Cahyo belum dapat mengendalikan emosinya. Cahyo mendengus. “Mau pembunuh, penjahat, penjahit, gak penting! Apa yang dia lakukan pada Mas Cipto harus mendapatkan balasannya!” . Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban Cahyo. Sepertinya ia sudah bisa mengatur emosinya. Sebuah pisau melayang ke arah kami, kami menghindar dengan cepat, tapi ada sosok di tujuan pisau itu yang segera menangkapnya dan kembali menyerang kami. Hanya satu orang, tapi aku dan Cahyo seolah sedang melawan banyak orang yang bergantian menyerang kami dari berbagai sisi. Walau saling menjaga punggung masing-masing, aku dan cahyo benar-benar kewalahan. Bahkan Cahyo pun tak sempat membuat ayunan lebar untuk melontarkan pukulannya yang kuat. “Bayangan! Baron menggunakan bayangan untuk menyembunyikan dirinya!” ucap Cahyo yang mulai membaca situasi. Aku pun membacakan sebuah ajian pada keris Ragasukma. Ajian yang membuat keris ini menyala dengan cahaya putih dan menimbulkan kilatan. Seketikan wujud Baron terlihat jelas dengan cahaya yang menerangi hutan ini. “Ini balasan untuk Mas Cipto!” teriak Cahyo yang sudah memusatkan kekuatan Wanasura di kepalan tangannya dan sekali lagi menghempaskan Baron hingga ke pepohonan.

Baron kali ini segera berdiri dan kembali mencoba bersembunyi, tapi Cahyo tak tinggal diam dan bergegas memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerangnya lagi. “Jangan kabur!” Cahyo mengejar Baron, tapi Baron justru berlari masuk ke dalam hutan. Dengan kekuatan Wanasura, Cahyo melompat dari pohon ke pohon mengejar keberadaan Baron. Aku tidak dapat mengimbangi kecepatan mereka. Namun anehnya, justru aku melihat Baron berlari ke arah yang berbeda dengan arah Cahyo berada. Akup un memutuskan untuk mengejar baron yang terus berlari menyibakkan semak-semak yang tumbuh liar di hutan itu. “Sampai kapan kau mau lari?!” teriakku. Baron tidak menjawab dan malah menghilang begitu saja di antara gelapnya hutan. Tunggu? Apa ini jebakan? Aku berhenti sejenak dan berusaha menenangkan diri. Tidak ada pertanda siapa pun di dekatku saat ini. Suara yang terdengar pun hanya suara angin, serangga, dan suara nafasku sendiri. “Sial!” umpatku karena tidak menyangka akan berada di posisi ini. Tak mau membuang waktu, aku pun mencoba duduk bersila dan menenangkan diri. Seharusnya aku bisa merasakan kehadiran sosok lain di dekatku. Hutan ini cukup aneh, seolah ada aliran energi yang terlepas begitu saja dari tiap tanah dan pepohonan di tempat ini. Mungkin hal ini yang membuat Baron unggul. Sementara mata batinku dan Cahyo punya keterbatasan dalam menyusuri area. Setelah mendapatkan konsentrasiku, samar-samar aku merasakan keberadaan seseorang yang berlari dengan cepat tak jauh dari tempatku berada. Tak hanya itu, di ujung pengejaran orang itu terlihat seseorang yang mungkin merupakan target incarannya. “Cahyo?” Aku bergegas meninggalkan posisiku dan berlari mengikuti petunjuk keberadaan yang kurasakan. Sepertinya Baron sengaja membuatku terpisah dengan Cahyo agar dia bisa menghadapi kami satu per satu. Benar saja, tepat saat aku sedang menyibakkan semak, Baron terlihat sedang mengintai dari dalam bayangan pepohonan dan melompat menghujamkan pisaunya saat kesempatan datang. “Awas!” Trang!!! Aku sekali lagi menghalau serangannya dan mencoba untuk menyerang balik dengan kerisku. Aku berhasil membuat luka kecil di dada Baron, dan bajingan itu kembali bersembunyi. “Danan?”

Terdengar suara seseorang yang kukenal dari belakang. Itu bukan suara Cahyo. Suara itu berasal dari seorang pria yang mengenakan Jaket dan sudah memegang sebuah gelang pusaka di tangannya. “Ga—Gama?” Mataku melotot. ***

(Sudut Pandang Cahyo…) Mengenakan topeng hitam yang pecah sebelah? Apakah sosok Baron ini memiliki keterkaitan dengan ludruk topeng ireng atau penerusnya? Aku terus memikirkan hal itu walaupun menyadari bahwa tidak ada satupun hal yang menunjukkan kemiripan antara Baron dan mereka selain perbuatan jahat dan topeng yang mereka kenakan. Ludruk topeng ireng menggunakan kesenian ludruk untuk memancing tumbalnya, penerusnya yang bertopeng sebelah menggunakan wayang untuk media pemanggil Jogorawu. Namun, Baron benar-benar membunuh untuk memenuhi keinginan tuannya. “Jangan lari! Tunjukkan nyalimu kalau kau memang pendekar!” teriakku. Setelah teriakan itu tiba-tiba sosok Baron yang berlari di hadapannya menghilang begitu saja. Aku mencoba tidak berhenti, tapi di tempat Baron menghilang benar-benar tidak ada jejak petunjuk ke mana perginya sosok itu selainr residu samar. “Pendekar?” Bugggh!! Sebuah pukulan menghantam wajahku sebelum kembali menghilang dalam gelap. “Kami bukan orang seperti kalian yang senang berlagak seperti jagoan. Membunuh atau dibunuh, itulah cara hidup kami…” Suara itu menggema dari salah satu sisi hutan. Benar ucapan Danan, Baron memang pembunuh terlatih yang tidak berperasaan. Dia tidak peduli dengan harga diri ataupun rasa malu. Tujuannya hanya membunuh sesuai perintah tuannya, apa pun caranya. Pendekar budak! Aku menoleh ke segala arah dan tidak mendapati keberadaan Danan di sekitarku. Aku terlalu mengikuti amarah sehingga terus mengejar Baron dan membuat Danan tertinggal. Suara gemerisik dedaunan mulai terdengar, aku mencoba tenang untuk menebak dari mana Baron akan muncul. Aku pun menutup mata menajamkan semua inderaku. Dalam hitungan detik, aku merasakan seseorang yang melesat ke arahku. "Di sana!” batinku. Sebuah pukulan diarahkan kepadaku, aku tidak sempat menghindar, tapi aku bisa membalasnya dengan pukulan yang membuat kami berdua sama-sama terpental. “Brengsek!” ucap sosok itu.

Kami bersiap mengadu pukulan kami lagi, tapi belum sempat pukulan kami mendarat aku tersadar sesuatu. Itu bukan suara Baron! Itu…. “Mamang Gondrong!!!” teriakku. Tidak salah lagi! Itu adalah Budi sahabat dekat Gama! Aku pun menahan pukulanku dan menyadarkan Budi yang masih berusaha memukulku. “Heh, Mamang Gondrong! Ini aku Cahyo! Jangan mukul lagi!” ucapku. “Justru karena tahu itu kamu, makannya harus kupukul!” balas Budi. “Astaga, masih galak aja. Nanti bulu hidungmu gondrong, lho!” candaku. “Apa?!” Budi terlihat semakin geram, tapi aku menahan pukulannya dan melompat menjauh. Ia melihat ke seluruh penjuru hutan yang gelap. “Mana orang itu?!” “Orang itu? Siapa?” “Pria bertopeng sebelah.” Aku mengernyitkan dahi dan mendekati Budi lagi. “Baron? Kau juga berurusan dengan dia?!” Belum sempat menjawab, tiba-tiba sebuah tendangan menghantam tubuhku. Aku terpental cukup jauh. “Sialan?! Masih mau adu pukul?!” hardikku kesal. Tenyata Budi yang menendangku. “Terserah, mungkin kau lebih suka terkena serangan pisau itu daripada tendanganku,” balas Budi. Aku menoleh dan mendapati sebuah pisau sudah menancap pada sebuah pohon. Sudah jelas itu adalah pisau milik Baron. Rupanya Budi menyelamatkanku. Sepertinya aku tidak punya waktu untuk bercanda. Sosok pria bertopeng sebelah itu sudah menghampiri pisaunya dan mengincar kami lagi. “Kita urus dia dulu!” ucapku. Budi terkekeh. “Kau pikir sejak tadi aku sedang apa?” Aku sedikit melirik pada Budi sembari sedikit berpikir, bagaimana bisa ada orang sedingin dan seketus ini. Mungkin sekali-kali aku harus menceburkanya ke sungai agar bisa akrab sama onggo-onggi yang sama-sama gondrong. Dari dalam bayangan, Baron muncul dengan pisaunya, aku dan Budi melompat menjauh dengan penuh kewaspadaan terhadap setiap titik gelap yang ada di hutan ini.

“Mamang Gondrong! Di Belakangmu!” teriakku yang segera direspon dengan pukulan memutar dan segera di tahan oleh Baron. Aku menyusul mereka dan ikut ambil peran dalam pertarungan itu. Dengan kekuatan Budi, aku bisa mengimbangi tenaga Baron. Tapi sayang, tidak dengan ilmu dan kecepatannya. Baron pun kembali menghilang, kini ia muncul cukup di tempat yang jauh dari hadapan kami. Aku mencoba memahami situasi ini dan dengan kekuatan Wasura, aku melangkah di permukaan pohon yang cukup besar di sekitarku. “Jangan pernah berpikir manusia rendahan seperti kalian bisa mengalahkan kami keturunan ningrat yang terberkati!” ucap Baron geram, dari suaranya, ia sepertinya mulai kesal karena belum bisa menumbangkan kami. Budi tidak peduli dengan ucapan Baron dan terus mencoba menyerangnya, tapi Baron kembali menghilang. Walau begitu, kali ini Budi selalu bisa menebak di mana kemunculan Baron. Sedikit demi sedikit, Budi mulai bisa mengimbangi Baron. Aku sangat terbantu. “Memang dasar, binatang hutan! Yang kau tahu pasti hanya mengais kotoran sisa-sisa kami! Bagaimana kau bisa mengimbangi ilmuku?!” seru Baron di tengah kegelapan. Ia ingin memprovokasi kami. Walau Budi tidak membalasnya, aku geram mendengar ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Budi berlari. “Trah ningrat, trah keramat, trah keparat atau apalah itu... pengetahuan kalian tentang sudut-sudut hutan tidak lebih darinya! Yang kau hadapi bukan sekedar trah sekarat! Tapi keturunan dari keluarga pelindung hutan keramat, Leuweung Sasar! Jalu Kertarajasa!” ucap Budi sambil menerjang ke arah pohon. Pukulan dari Budi ternyata mengenai Baron hingga terpental jauh dan berguling-guling ke tanah. Ia terbatuk dan kesulitan berdiri. Aku tersenyum. Baron seharusnya tidak meremehkan Mamang Gondrong, Budi, atau ia yang memegang nama lahir Jalu Kertarajasa. Aku pun berkata kepada Baron, “Kau tidak tau siapa lawanmu, Baron pengecut! Budi, orang yang kau lawan ini orang yang lahir dari keluarga yang tinggal di hutan keramat Leuweung Sasar. Merekalah yang menjaga manusia dari ganasnya hutan itu sampai dia memutuskan menyegel hutan itu lagi.” “Jadi, kau mau bertarung atau hanya mengoceh dari atas pohon,” ucap Budi dingin. “Heh, aku ini lagi belain kamu lho.. Terima kasih gitu!” “Nggak butuh!” Sekali lagi Baron menghilang sesaat sebelum menampakkan dirinya dengan beberapa tubuh untuk menyerang budi, tapi kali ini aku sudah menyadari sesuatu. “WANASURAAA!!!” Dalam sekejap kekuatan besar mengalir ke tubuhku dan membantuku melesat ke arah sisi pepohonan di sekitar kami sementara Budi tengah menghadapi serangan Baron. Duaagg!! Duaaggg!!!

Satu per satu tubuh pecahan Baron terpental dari arah pepohonan yang hendak ke arah Budi. Tak hanya satu, ada empat pecahan sukma Baron yang bersembunyi dan bergantian menyerang kami. “Mamang Gondrong! Habisi yang di hadapanmu! Dia yang terakhir!” teriakku. Menyadari pertanda dariku, Budi akhirnya mengamuk. Tangannya semakin berurat dan kuku-kukunya menajam. Ia tidak lagi menghantam Baron dengan pukulan, tapi mencekik Baron hingga kuku-kukunya menancap disekitar lehernya. Baron mencoba menyerang Budi dengan pisaunya, tapi Budi menahan dengan tangan satunya. Baron berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia. Ia hanya memiliki kecepatan tak masuk akal, tapi tidak memiliki fisik yang bisa mengimbangi Budi urusan kekuatan. “Bagaimana mungkin kalian bisa menyadarinya?!” hardik Baron dalam cekikan Budi. Urat-urat lehernya nampak dan ia sebentar lagi mati karena kehabisan nafas. “Tidak mungkin ada manusia biasa yang bisa bertahan dari pukulan kami terus menerus! Yang terjadi kau hanya kabur karena sukma yang lain memulihkan diri dengan energi yang memancar dari hutan ini,” balasku. “Khekehke, sayangnya kalian tidak akan bisa keluar dari hutan ini hidup-hidup!” Baron menyeringai. Belum sempat membalas umpatanya, Budi mecengkeram kepala Baron dan menariknya hingga terpisah. Ia menendang tubuh tanpa kepala itu hingga ambruk ke tanah dan membuang kepala Baron dengan raut jijik. “Tidak harus sekejam itu kan, Mang…” ucapku setengah melongo. “Berisik!” Sesuai dugaanku, semua sosok Baron yang ada di tempat ini tidak lain hanyalah pecahan sukma saja. Termasuk yang kepalanya terpisah oleh perbuatan Budi juga menguap bagai asap hitam tanpa jejak. “Pecahan sukma lagi…” keluhku. “Berarti di hutan ini masih ada pecahan sukma Baron yang lain?” tanya Budi. “Mungkin saja..” Mendengar jawabanku, Budi bergegas untuk berlari lagi. “Gama bisa saja dalam bahaya,” ucapnya. Mendengar ucapannya, aku mengikuti Budi. Bila benar Gama ada di sini, mungkin saja mereka bisa membantuku dan Danan untuk mengalahkan tubuh asli Baron. *** Suara auman gaib dari makhluk menyerupai macan memudahkanku dan Budi untuk menemukan Gama. Beruntung, Danan juga berada di sana dan tepat saat kami datang, kuku-kuku makhluk yang dipanggil oleh Gama, Meong Hideung tengah menembus tubuh Baron dan mengalahkannya. Sayangnya, sekali lagi itu hanya pecahan sukma Baron seperti apa yang kami lawan tadi. “Mereka gak ada habisnya,” ucapku ketika Danan dan Gama mengakhiri pertarungan. “Benar, ini juga sudah yang keberapa kali kami mengalahkan Baron,” ucap Gama sebelum menjabat tanganku.

“Jangan lengah, aku merasakan sosok lain yang mendekat.” Budi memperingatkan. Aku mengangguk dan mulai memperhatikan setiap sisi hutan. Sementara itu, Danan dan Gama saling bertatapan dan melirik ke arah kami. “Kayaknya ada yang makin akrab nih,” goda Gama. “Jelas dong, kita kan sahabat baik!” Balasku sembari merangkul Budi yang wajahnya tetap saja datar. “Singkirkan tanganmu dan jauhkan sarung baumu dariku!” balas Budi Ketus. “Ah, Mamang gondrong malu-malu gitu nanti kalau jauh kangen lho sama bau sarung keramatku,” balasku sambil cengengesan. Wajah Budi terlihat aneh sementara Gama dan Danan tertawa melihat ekspresi wajah Budi yang konon sulit untuk tertawa itu. Tiba-tiba ada angin kencang berembus di sekitar kami. “Mereka datang…” ucap Danan. Kami pun memilih berdiri di tempat yang cukup lapang dan berada di bawah terang bulan yang juga tidak terlalu banyak bayangan pepohonan. Dengan posisi melingkar saling membelakangi, kami menjaga setiap sisi dari kemunculan pecahan sukma Baron akan menyerang kami. “Menyerah saja, di Alas Rowosukmo ini ilmuku tidak memiliki kelemahan.” Suara Baron terdengar di antara batang pohon yang berjarak beberapa meter di hadapan kami. Jelas ucapan itu bukan ancaman. Saat ini dari sela-sela pepohonan terlihat bayangan manusia yang mendekat. Tidak hanya satu, tapi begitu banyak sosok yang menyebar mengerubungi kami. Itu adalah sosok yang sama. Seorang pria, bertopeng sebelah. Pecahan sukma baron dan kami tak tahu berapa jumlahnya. “Gila, sebanyak ini…” ucap Gama menelan ludah.. Meong Hideung sudah menggeram, hendak menghabisi mereka, tapi Gama menahannya sampai mereka benar-benar mengerti situasi. “Apa rencananya?” tanya Gama. Danan bergumam. “Kita tunggu mereka menyerang dan—” “WANASURAAA!!” seruku. Aku dan Budi melesat menghajar satu per satu pecahan sukma Baron yang juga menerjang kami. Kulirik ke arah Danan dan Gama, mereka hanya menggeleng melihat tingkah laku kami.

Tak ada pilihan lain, keris Ragasukma Danan sudah menyala dan Meong Hideung sudah dilepaskan oleh Gama. Puluhan sosok yang sama mengeroyok kami berempat. Namun berbeda dengan sebelumnya, karena keberadaan kami berempat, kami bisa mengimbangi puluhan sosok Baron yang sebelumnya, satu sosok saja membuat kami kuwalahan. “Nggak perlu dicopot, kan, kepalanya?!” teriakku yang masih tidak nyaman dengan cara bertarung Budi. “Urus saja musuhmu!” balasnya “Birisik! Iris siji misihmi,” cibirku meledek Budi. “Apa?!” Budi melotot ke arahku “Eh, eng—enggak!” Aku pun menjauh dan menghadapi sosok Baron di sisi lain. Entah sudah berapa lama kami bertarung, tapi pecahan sukma Baron masih terus bermunculan dan membuatku mulai terengah-engah. “Sosok bernama Baron itu pasti punya batas untuk memecah sukmanya kan?” teriak Gama. “Benar, seharusnya begitu… kecuali…” Danan seperti menyadari sesuatu. Danan menyingkir dari pertarungan dan melimpahkan musuhnya pada Meong hideung. Ia menyimpan kerisnya dan meletakkan tangannya di tanah. Ada beberapa bait doa yang ia bacakan dengan lantang hingga terdengar ke telingaku. Sepertinya Danan menyadari sesuatu di hutan ini, doa-doa yang ia bacakan adalah ritual untuk meruwat sesuatu. Apa mungkin ia mencoba meruwat hutan ini?

“Apa yang temanmu lakukan?” tanya Budi. “Hutan ini memberikan energi yang tak terbatas untuk ajian Pecah Sukma milik Baron, kalau kita gak menghalanginya kita gak akan bisa bertahan karena mereka gak abis-abis, apalagi sampai lewat tengah malam,” jelasku. Baru saja menyelesaikan penjelasan, tiba-tiba aku melihat Danan terpental. “Gak bisa, energi hutan ini terlalu kuat!” ucap Danan. “Lantas apa yang harus kita perbuat?” tanya Gama. Melihat hal itu, aku ingin mencoba kemungkinan lain. Dengan meniup dua jari di bibirku aku memanggil salah satu temanku yang kuketahui sudah berada di tempat ini sejak tadi. Auranya terasa, tapi ia belum menampakkan diri. Suara daun saling bergesekan bersama sosok kecil yang berlari dengan lincah menghindari berbagai sosok yang bertarung bersama kami. Ia menghampiriku dan segera menaiki bahuku. “Bisa cari tahu cara menangani hutan ini atau menemukan tubuh asli Baron?” tanyaku pada Kliwon. Kliwon melompat ke hadapanku dan menunjukkan beberapa gerakan sembari mengeluarkan suara layaknya kera. “Apa katanya ?” teriak Danan. “Tubuh Baron gak bersembunyi di tempat biasa, entah di lindungi energi gaib atau memang berada di alam berbeda…” “Kau mengerti bahasanya?” Budi keheranan. “Lah emang aneh?” balasku. Budi menggeleng sembari terus menahan serangan Baron. Sepertinya kali ini, ia menganggapku lebih aneh lagi. Setelah beberapa saat, Kliwon pergi meninggalkanku dan melesat menembus kegelapan hutan. Danan menoleh ke arahku, menunggu kabar dariku. “Menurut Kliwon ada seseorang di hutan ini yang mungkin bisa membantu kita, kita harus bertahan sekuat mungkin,” jelas pada Danan. Entah kami bisa bertahan sampai kapan, sepertinya Baron juga tidak berniat mengendurkan serangannya, apalagi membiarkan kami melarikan diri dari hutan ini.

Saat ini kami menunggu Kliwon menemukan orang yang mungkin bisa menolong kami. Semoga saja kami bisa bertahan. ***

Langit malam yang cerah dengan cahaya rembulan terus memantulkan kilatan puluhan pisau yang beterbangan ke arah kami. “Ke sini!!” teriakku mengambil salah satu batang pohon yang tumbang dan menghalau semua pisau itu sekaligus untuk menjadikannya perlindungan untuk Danan dan yang lain. “Kekuatan yang gak masuka akal!” balas Gama. Walau berhasil menyapu semua pisau itu, semua pertarungan ini membuatku sangat kelelahan hingga kesulitan untuk berdiri lagi. “Cahyo!” Danan khawatir dan menghampiriku, tapi aku memberi isyarat baik-baik saja kepadanya. Tak hanya aku, Budi juga sudah hampir kehabisan nafasnya. Keris Danan tak lagi bersinar, dan entah berapa lama lagi Gama bisa mempertahankan keberadaan Meong hideung. “Apa sebaiknya kita melarikan diri?” tanya Danan yang khawatir dengan kondisi kami. Tak ada satupun dari kami yang menjawab, sepertinya memang kami belum ingin menyerah. Di tengah kebingungan kami, tiba-tiba aku merasakan sesuatu di tempat yang tidak begitu jauh. Samar-samar terdengar suara raungan yang tidak begitu asing. “Tahan! Tahan sedikit lagi!” ucapku. “Kamu yakin, Jul?“ tanya Danan ragu. Aku mengangguk. “Raungan itu! Dia sudah menemukan apa yang dia cari!” Itu adalah suara dari wujud asli Kliwon, Wanasudra. Saudara kembar dari Wanasura, Monyet kembar penjaga Alas Wetan.

“Akhirnya…” ucap Budi yang juga menyadari raungan itu. Tengah malam telah terlewati, hanya sedikit dari sisa tenaga kami untuk terus bertahan melawan serangan pecahan sukma Baron. Hanya dengan kemunculan Kliwon lah kami terus membakar harapan kami untuk terus berkobar agar bisa memenangkan pertarungan. Derap langkah kaki yang berlari terdengar mendekat menembus jalur hutan. Berbagai serangan diarahkan kepadannya, tapi Kliwon berhasil menghalaunya hingga membawa sosok itu kepada kami. “Siapa itu?” tanyaku. Kliwon membawa seorang pemuda yang terkejut melihat pemandangan di sekitar kami. “A—apa ini? Kalian melawan ini semua?” ucap pemuda yang tak percaya dengan apa yang ia lihat. Aku pun menjemput pemuda itu dan membawanya ke dekat kami untuk melindunginya. “Jangan jauh-jauh dari kami,” ucapku. “Kalau Kliwon membawamu? Seharusnya kamu punya cara untuk membantu kami mengalahkan mereka kan?” Tanya Gama. Pemuda itu mengatur nafasnya, ia masih mencoba mencerna pertanyaan dari Gama. “Setelah pecahan sukma yang dibunuh Kang Sukri, masih ada pecahan sukma Baron sebanyak ini?” ucapnya khawatir. “Tenang… jangan panik, tenangkan dirimu dulu, siapa namamu?” tanya Danan. Pemuda itu pun menarik nafas singkat dan mencoba menjawab pertanyaan Danan. “Ki—kimpul,” balasnya singkat. “Mas Kimpul, apa Mas sekiranya memiliki ilmu atau informasi untuk setidaknya menghentikan serangan ini?” tanya Danan lagi, ia tampak tak ingin bertele-tele. Kimpul berpikir sejenak. Sepertinya ia memikirkan kemungkinan yang mungkin terjadi. Ia menatap ke arah kami seolah meyakinkan diri apakah kami dapat dipercaya. “Satu-satunya cara adalah mencari tubuh asli Baron,” balas Kimpul. “Itu juga yang sedang kami lakukan dari tadi!” ucapku kesal. Namun ucapan itu ternyata berbuah sebuah sepatu melayang ke arahku yang dilemparkan oleh danan.

“Menengo sek! ” (diem dulu) “Keno meneh... ” keluhku yang akhirnya memilih untuk diam dan menyerahkan komunikasi pada Kimpul itu pada Danan. “Apa ada cara untuk menemukan tubuh aslinya?” tanya Danan, kali ini suaranya lebih bersabar. “Mungkin saya bisa membantu, ada sebuah ilmu yang diturunkan kepada saya. Ilmu yang sebenarnya diincar oleh tuan dari sosok Baron itu, ilmu pangaweruh,” Kimpul menjelaskan bahwa ia bisa mencari keberadaan tubuh asli Baron dengan ilmunya yang mampu menerawang beberapa saat ke depan. Kami pun sepakat memberikan ruang pada Kimpul dan melindunginya dari serangan pecahan sukma Baron. “Percuma, Raden Sengkuni akan segera menemukanmu!” ucap pecahan sukma Baron. “Ilmu itu adalah haknya, dia akan menjadi yang terkuat di antara trah ningrat setelah mendapatkan pangaweruh untuk segera menghabisi kalian.” “Pengecut sepertimu takkan bisa berbuat apa-apa!” sahut pecahan sukma Baron yang lain. “Berisik!” teriakku yang menghantam pecahan sukma Baron yang mencoba mengganggu Kimpul. Kimpul terlihat kesakitan karena wajahnya terkena sayatan pisau, ia memegangi pipinya. Namun sebelum kami menghampirinya, ia membuka matanya dan bernafas dengan terengah-engah. “Ketemu!” ucapnya. “Di mana?” Danan bergegas menghampiri. “Satu kilometer di tengah hutan, tapi dia dijaga oleh puluhan… nggak—ratusan pecahan sukmanya!” “Kita ke sana! Kami akan melindungimu dari mereka,” ucap Gama sambil membantu Kimpul berdiri. “Mang? Masih kuat?” Tanyaku pada Budi yang sedari tadi tak bersuara. “Kau bercanda?” Tanpa menoleh, Budi menghantam pecahan sukma Baron dengan pukulannya dan membolongi tubuhnya dengan cakarnya. Sepertinya aku tidak perlu khawatir dengan monster ini… Kami berlari menuju arah yang ditunjukkan oleh Kimpul. Ia menuntun kami masuk lebih dalam ke dalam hutan yang semakin gelap. Walau berlari sekuat tenaga, pecahan sukma Baron terus mengejar kami. Dan yang diincari saat ini bukan lagi kami, melainkan Kimpul. “Jangan lengah!” teriak Danan yang memimpin di depan. Aku menjaga di belakang sementara Budi dan Meong Hideung menjaga sisi samping. Kami membentuk formasi persegi dengan Kimpul berada di tengah-tengah. Gama terus mendampingi Kimpul untuk menunjukkan arah.

“Kalau kalian bisa menahan semua pecahan sukma Baron, mungkin aku bisa membunuh tubuh aslinya!” ucap Kimpul. “Mas Kimpul serius? Mas Kimpul punya kekuatan untuk itu?” Gama memastikan. Sembari berlari, Kimpul mengeluarkan sebuah pisau dengan ukiran ular. Pisau itu terlihat kusam dan tak pernah dirawat, tapi auranya besar sekali. Wanasudra langsung menoleh, merasa sesuatu yang sama seperti reaksi Danan yang memegang keris Ragasukma. Sepertinya pisau pusaka itu memiliki energi yang menakjubkan. “Ini pusaka Kerangkeng Sukmo, dengan ini aku bisa menyegel sukma Baron. Terlebih saat memecah sukma sebanyak ini, dia pasti sedang dalam posisi yang mudah untuk diserang,” ucap Kimpul. Masuk akal, sepertinya kami mendapatkan petunjuk untuk menyelesaikan perkara Baron ini. Benar, sesuai ucapan Kimpul, kami akhirnya tiba di salah satu bagian hutan yang sudah dikepung dengan ratusan sosok yang sama. Aku menelan ludah, ini seperti benteng manusia yang tak terhitung jumlahnya. Saat ini kami hanya bisa percaya dengan Kimpul. Entah sisa-sisa energi kami sanggup atau tidak. Aku menelan ludah. “Kalau takut, sana pulang saja jadi tukang topeng monyet!” ledek Budi yang tiba-tiba sudah di depan kami. “Jangan, nanti pada takut sama monyetku,” balasku yang segera memanaskan semangat Wanasura dan Wanasudra untuk melakukan pertarungan penghabisan. Gama dan Danan langsung memulai pertarunganya, sementara Kimpul tengah menjura, ia tampak fokus mencari keberadaan tubuh asli Baron yang seharusnya berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Puluhan, mungkin ratusan pukulan saling beradu di tempat ini. Harapan kami hanya agar Kimpul segera menyelesaikan tugasnya. Tak butuh waktu lama pohon-pohon mulai tumbang dengan amukan Meong Hideung, kepala-kepala beterbangan dan menghilang karena kegilaan Budi. Namun aku yakin, ini semua adalah kekuatan terakhir mereka. Begitu juga aku dan Danan. “Danan, Nyi Sendang Rangu?” tanyaku yang berharap ia meminta bantuan dari sosok itu. “Gak bisa, setelah dari Desa dawuilir, Nyi Sendang Rangu berkelana mencari petunjuk untuk membantu kita di pertempuran setelah ini..” jawab Danan. “Masih ada pertempuran lebih dari ini?” tanyaku panik. “Ada, Ki Duduy juga sudah memberi petunjuk. Keberadaan Kimpul di sini sudah menjawab semuanya,” tambah Gama. Aku menoleh ke arah Kimpul yang masih terpejam tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya. “Ada apa?” tanyaku. “Tidak mungkin, batu itu…” Kimpul membuka mata dan menatap batu gunung sebesar dua kali manusia biasa di hadapannya. “Batu itu kenapa?”

“Tidak mungkin menghancurkan batu itu dengan tangan kosong, wujud asli baron bersembunyi di dalam….” Brakkk!!! Dalam sekejap batu itu hancur dengan pukulanku dan Budi secara bersamaan. “Ealah Mang, nggak usah ikut-ikutan!” ucapku. “Berisik!” ucap Budi yang kembali ke pertarungan. Walau bertarung dengan bengis, sepertinya ia memperhatikan setiap ucapan kami. “Ka—kalian ini sebenarnya siapa?” ucap Kimpul kaget. Namun benar ucapan kimpul, batu itu rupanya adalah sebuah pintu goa. Aku memang merasakan ada keberadaan seseorang di dalamnya. Hancurnya batu itu membuat pecahan sukma Baron semakin menggila. Mereka tidak segan membunuh dirinya sendiri untuk menggandakan kekuatan demi berhasil menancapkan pisau ke tubuh kami. “Kau pikir bisa membunuhku?” hardik pecahan sukma Baron. Pecahan sukma Baron itu lolos dari pandangan kami dan mendekat ke arah kimpul, taoi keris Ragasukma sudah melayang dan menembus wajahnya lebih dulu. “Kimpul! Selesaikan!” teriak Danan. Kimpul menoleh dan mengangguk. Ia masuk ke dalam goa itu seorang diri dengan menggenggam pisau pusaka di tangannya. Baru saja Kimpul masuk bergerak beberapa langkah, tiba-tiba sebagian pecahan sukma Baron menghilang secara bersamaan. “Gawat!” teriak Danan. Aku yang menyadari hal itu segera menyusul ke dalam goa. Aku berlari sekencang-kencangnya dalam suasana remang sebelum mendapati Kimpul dan wujud asli baron tengah tersadar tepat saat pusaka Kerangkeng Sukmo menghujam ke arahnya. “Kau akan mati lebih dulu!” Baron dengan tubuh aslinya menyeringai. Aku menoleh dan mendapati ada satu pecahan sukma Baron di sudut goa yang menghunuskan pisaunya ke arah Kimpul. “Awasss!!!” teriakku menerjang ke arah Kimpul Aku menyilangkan tanganku dan menahan pisau yang hendak menusuk Kumpul hingga menembus pergelangan tanganku. Sementara itu, tubuh asli Baron yang bagian punggung sebelah kirinya tertancap pisau Kerangkeng Sukmo berdiri dari posisi meditasinya dengan wajah geram.

“Gagal?!” Aku melotot sambil menahan sakit. Kimpul mundur beberapa langkah dan terlihat membacakan sesuatu dari bibirnya. Tak lama, pecahan sukma Baron yang menghujamkan pisau ke tubuhku menghilang bersamaan dengan munculnya darah yang bermuncratan dari mulut tubuh asli Baron. “Khok….” Baron terbatuk-batuk mengeluarkan darah segar. “Tuanku akan membalas kematianku dan menjadi penguasa tahta ini! Kalian akan mati dengan rasa sakit yang tak pernah kalian bayangkan. Ha…ha..ha…” ucapnya sebelum terjatuh. Melesat asap hitam yang tersedot masuk ke pusaka Kerangkeng Sukmo. Angin kencang berputar di dalam goa, menimbulkan gempa. Asap hitam terus masuk ke dalam keris itu, dari arah pintu goa. Tampaknya semua pecahan sukma milik Baron diperangkap dan tak lama kemudian, tubuh asli Baron menganga. Seuntai asap hitam muncul dari mulutnya dan ikut tersedot. Ia tak lagi bernyawa. Kimpul terengah-engah, lalu tak membuang waktu membantuku berjalan keluar goa. Di sana, Danan segera menghampiriku dan segera mencari perlengkapan di tasnya untuk menghentikan pendarahanku. Budi tak berbicara apa pun dan terbaring begitu saja di tanah yang dipenuhi dedaunan kering. Sementara Gama bertatapan degan Meong Hideung dan mengizinkannya untuk kembali. Sosok makhluk kucing hutan raksasa itu berubah menjadi sosok kucing hitam yang berjalan dengan pincang. Siapa sangka, wujud aslinya adalah makhluk yang mengerikan. “Sepertinya ada yang membedakan pusaka itu dengan pusaka pada umumnya,” ucap Danan dengan raut takjub. Kimpul tersenyum. “Ini pusaka yang dipercayakan padaku, aku tidak harus bertarung sengit bila menggunakan pusaka ini. Sekali goresan, pusaka ini menyegel sukma seseorang.” Benar dugaan kami, senjata itu bukanlah pusaka biasa. Beruntung Kimpul ada di pihak kami. Aku membayangkan bila Kimpul menguasai pangaweruh-nya dan memanfaatkanya untuk menghadapi musuhnya dengan pusaka Kerangkeng Sukmo itu. Ia akan sulit untuk dikalahkan dan mungkin tak akan kalah. Setelah membebatkan perban di tanganku, Danan berdiri. “Ayo kita per—” ucapannya terhenti. Aku pun hendak melangkah, tapi entah mengapa tubuhku tiba-tiba kaku dan tak bisa bergerak. “Siapa kau?” teriak Budi menyadari sesuatu. Namun sayangnya, tubuhnya juga sama. Tak bisa berdiri. Dari salah satu pohon, berdiri seorang yang mengenakan topeng hitam. Kali ini tidak hanya sebelah, ia mengenakan topeng hitam yang utuh. “Sial, itu Keling…” guman Kimpul panik. “Siapa dia?” tanyaku. “Tuan dari Baron, tangan kanan Raden Sengkuni yang mengincarku. Ilmu Waringin Sukmo yang ia miliki sedang mengikat sukma kita.” Sosok Keling melompat dari batang pohon. “Aku akan menghabisi kalian nanti,” ucapnya sambil masuk ke goa.

Sementara itu, kami semua berusaha untuk bergerak, tapi sekeras apa pun usaha untuk berdiri, kami hanya membuang tenaga. “AARGHHH!!!” Budi berteriak, tapi ia tetap saja tak bergerak sedikit pun. Ia terengah-engah. Keling kembali muncul dari dalam goa, tangannya mengambil topeng milik Baron, lalu membuangnya. “Raden Rahardian, sang raden muda pengecut yang bersembunyi dari desa ke desa… Cih…” Keling terkekeh, lalu telunjuknya mengarah ke Kimpul. “Aku tidak lagi bisa menarik ilmu ajian Pecah Sukmo dari tubuh Baron, pasti ini ulah pusakamu.” “Bukan urusanmu!” teriak kimpul. “Memang bukan, karena sekarang kau akan mati bersama mereka!” balas Keling. “Jangan!!” teriakku, tapi kekuatan dari hutan ini juga memperkuat ajian Waringin Sukmo milik Keling. Sebelum sempat melukai Kimpul, tiba-tiba sebuah keris muncul dari tanah bersama seseorang yang menggenggamnya. Itu roh Danan! Sebuah goresan terbentuk di lengan Keling dan membuat kami terlepas dari ilmunya. Kami segera pasang badan. “Kalau hutan ini memperkuat ajian sukma kalian, seharusnya hutan ini juga memperkuat ajian Rogosokmo-ku!” ucap Danan geram. “Sekarang nggak ada yang perlu ditakutin lagi, kami nggak akan lengah!” Aku menemani Danan, begitu juga Budi dan Gama yang segera masuk ke barisan kami. Keling menantap kami semua dan melompat mundur. “Dengar Raden Muda! Kau tidak akan bisa selamat dari tuanku, Raden Sengkuni! Akan ada waktunya kita akan berhadapan lagi. Dan saat itu akan kupastikan setiap bagian tubuhmu akan terpisah dengan begitu menyakitkan,” ancam Keling. Aku sempat khawatir dengan Kimpul yang gentar dengan ancaman itu, tapi ternyata aku salah. Kimpul maju dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Pangaweruh-ku menjadi kenyataan, mereka semua adalah pendekar yang diramalkan untuk menghabisi kekejian Raden Sengkuni dan antek-anteknya! Buat apa aku takut dengan ancamanmu?!” balas Kimpul. Gama menggenggam erat bahu Kimpul memberinya semangat. Sementara Keling memutuskan menghilang kembali bersama kegelapan malam. “Sepertinya pertarungan ini baru permulaan,” ucap Danan yang kembali pada tubuh aslinya.

Gama mengangguk setuju. “Sekarang, sebaiknya kita segera keluar dari hutan ini dan mencari tempat yang nyaman untuk Mas Kimpul atau Raden Rahardian, sang Raden muda ini menceritakan semuanya…” ucapku dengan senyum meledek dan merangkul bahu Kimpul. “Ba—baik…” Kimpul mendadak salah tingkah. “HAHAHAHAHA!” Budi tiba-tiba terbahak. Kami semua sontak kaget dan menoleh dengan tatapan heran ke raut wajah Budi yang biasanya terlihat dingin itu. BERSAMBUNG (Part 4) - Astana Giridanyang Cuplikan: Dengan cerdik Keling berhasil menculik Kimpul ke sebuah dimensi keramat "Siti Kawaruhan". Kalaupun ada yng bisa menyelamatkanya, mungkin hanya Jagad. Namun Abah mengatakan bahwa Jagad dan Dirga sudah menghilang selama beberapa hari...

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah mengikuti bagian ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.
close