Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 2) - Desa Windualit

Makam itu adalah tempat pertama kali Danan bertemu sosok Eyang Widarpa. Seseorang sudah merusaknya, mereka mengincar peninggalan-peninggalan jaman kerajaan untuk dibangkitkan kembali.


TRAGEDI DAN AMBISI

“LONGSOR! TANAH LONGSOR!!!” Suara teriakan penuh ketakutan seorang warga yang tengah berjaga di pos ronda membelah keheningan malam.

Matanya memerah menahan kantuk sontak membelalak ketika mendengar suara gemuruh dari bukit dan rupanya berasal dari bebatuan yang jatuh. Ia segera meraih kentungan dan berlari melintasi jalan setapak desa untuk memberi tahu warga.

TOK! TOK! TOK! TOK!

“LONGSOR!!! TANAH LONGSOR!!! BANGUN!!! SELAMATKAN DIRI!”

Teriakan lantang itu langsung membuat warga lainnya yang tengah tertidur bangun untuk lantas keluar rumah masing-masing dan melihat situasi.

Mereka pun mendengar gemuruh batu semakin besar, lalu segera membangunkan keluarganya untuk segera menyelamatkan diri. Semua orang berteriak panik.

“LARI! CEPAT LARI!”

“NAK, BANGUN, NAK!!!”

“IBUUU!!!”

Hanya dalam hitungan menit warga desa berhamburan meninggalkan rumah mereka tanpa lagi memikirkan benda berharga. Sebab bersamaan dengan itu, ombak tanah longsor ibarat lautan meteor yang menimpa rumah-rumah.

Hanya dalam hitungan jam, sebagian besar pemukiman warga sudah rata dengan tanah. Suara tangis dan teriakan pecah karena banyak warga yang tak menemukan anggota keluarganya. Tak ada yang bisa disalahkan, dan tak ada yang bisa dituntut pertanggung jawaban.

Mereka hanya bisa pasrah menanti bantuan dari perangkat desa sembari berharap masih ada keajaiban yang menyelamatkan anggota keluarga yang tercerai berai. Setelah bencana, para warga berkumpul di balai desa. Dibangun tenda darurat untuk mereka mengungsi sementara.

Malam terasa panjang dan dingin. Trauma terekam begitu nyata di mata warga desa. Mereka berkumpul dan saling menguatkan.
“Ular besar… aku melihat ular besar turun bareng tanah yang longsor itu!” ucap seorang warga yang membalut dirinya dengan selimut.

Matanya menerawang jauh mengamati reruntuhan rumah yang berjarak tak kurang dari seratus meter. Tubuhnya gemetar.

“Iya, aku juga ngelihat, tapi ndak gitu jelas, kayak ular jadi-jadian!” balas warga lain di sebelahnya.

Desas-desus dari dua warga perihal hal di luar nalar itu lantas menggurita ke telinga warga lainnya. Tak banyak mata yang melihatnya, tapi tak juga ada bantahan. Posko pengungsian yang dipenuhi suara muram pun semakin diliputi keresahan.

Seolah bencana yang menimpa bukan murni berasal dari alam.
Terlebih setelah keadaan mulai tenang, ada seorang pemuda yang menyusuri lokasi longsor di kaki bukit untuk memeriksa keadaan rumahnya.

Bermodal senter, ia menapaki langkah demi langkah reruntuhan, tapi yang ia temukan justru sesuatu yang tak pernah terduga. Selain reruntuhan tanah dan batu, ditemukan pula bongkahan candi di lokasi terdampak longsor.

Pemuda itu lantas menghampiri petugas desa dan melaporkannya. Temuan janggal tersebut sontak bikin geger warga. Mendengar adanya candi di lokasi longsor membuat warga lain berbondong-bondong mendatangi reruntuhan yang muncul setelah tanah bukit terkikis.

Mereka tak hanya menemukan candi, tapi juga sebuah kompleks dengan bangunan menyerupai candi yang besar di sana. Beberapa sudah menjadi reruntuhan, sementara beberapa masih berdiri dengan kokoh.

***

Hampir setengah hari warga menelusuri bangunan candi itu sebelum informasi tiba ke pihak berwajib. Entah apa yang mereka cari. Harta yang yang mungkin bisa mengubah nasib mereka setelah bencana? Atau sekedar memenuhi rasa penasaran?

Penelusuran beberapa warga yang diinisiasi oleh seorang pemuda yang kali pertama menemukannya pun sampai pada sebuah bangunan yang menyerupai candi utama berukuran raksasa yang bagian dasar dan sebagian badan utamanya masih tertutup tanah.

Pihak desa mengimbau warga untuk tidak menelusuri lebih lanjut dan tak mengizinkan adanya penggalian mandiri karena khawatir itu situs bersejarah yang berpotensi rusak. Tugas itu kelak diserahkan kepada tangan-tangan ahli.

Namun, pemuda itu diam-diam mengajak empat temannya untuk mencari tahu lebih dalam.

“Apa itu? Singgasana?” tanya salah satu teman si pemuda dengan tatapan heran.

Di hadapan mereka ada kursi batu yang terpampang di ruang besar bangunan itu.

Tertera juga relief-relief kuno yang sudah termakan zaman di tembok yang mengelilingi singgasana.

Mereka pun penasaran dan menghampirinya, tapi sebelum mereka sempat menaiki anak tangga, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan menghadang jalan mereka.

“Ini bukan tempat yang pantas kalian datangi!” Terdengar suara dari dari sekeliling untuk memperingati para warga.

“Si–siapa itu?!” tanya si pemuda.

“Hanya mereka yang berdarah trah keramat yang berhak menjejakkan kaki di sini!” Suara lain terdengar menyusul sosok sebelumnya.

Belum sempat mencari tahu dari mana asal suara itu, seorang teman dari si pemuda tergeletak begitu saja secara tiba-tiba, disusul dengan warga lainya. Di leher mereka terdapat garis luka yang rapi dan dalam hitungan detik memuncratkan darah seger.

“Apa yang kalian mau?!” teriak pemuda itu histeris menyaksikan dua temannya yang meregang nyawa. Ia ingin kabur, tapi kakinya seolah terpantek. Dari belakang terlihat seorang pria yang mengenakan pakaian jas mendekat ke arah mereka.

“Kalau kalian masih takut untuk menunjukkan diri, maka tahta itu memang hanya pantas untukku!” serunya.

Tak jauh di hadapan pemuda itu, di atas candi, terlihat sosok makhluk yang berkelebatan mengenakan topeng hitam.

“Apa yang akan kita lakukan pada warga itu, Keling?” tanya pria berjas itu.

“Baron sudah membereskan mereka.”

Mendapati situasi yang membingungkan, pemuda tadi berlari penuh ketakutan diikuti satu temannya yang tersisa.

Namun, mereka langsung bernasib sama. Darah bermuncratan dari leher mereka karena anak panah yang melesat dan tertancap mulus.
Samar-samar terlihat sosok bertopeng bergerak dengan cepat dan menghilang.

“Kau terlalu gila!” ucap suara tak kasatmata yang menggangung entah dari mana asalnya.
“Kekejaman tidak akan memenangkan apa pun!” balas sosok tak kasatmata lainnya.
Pria berjas itu malah tertawa dan semakin mendekat ke singgasana.

Namun, ia hanya menatap singgasana, seolah tahu bahwa tidak ada artinya bila ia mendudukinya Sekarang tanpa ritual yang membuatnya benar-benar menggenggam tahta.

“Setelah kuambil ‘pangaweruh’ dari bocah itu, aku akan menjadi yang terkuat dari kalian dan menduduki tahta itu!” seru si berjas.

“Jalanmu tidak semudah itu, aku tahu kau mempertaruhkan segalanya demi mendapatkan tahta yang bukan milikmu!” balas sosok-sosok yang masih bersembunyi.

“Dan trah keramat bukan hanya berasal dari trah ningrat. Kau tidak tahu apa yang terjadi saat kau mengusik mereka!”

Setelah suara, terdengar langkah kaki yang menjauh terburu-buru dari berbagai sisi reruntuhan.

Pria itu menyeringai, matanya menyalang.

“Hahaha… Aku tidak sepengecut kalian!” hardik pria berjas itu sebelum menghilang dari reruntuhan.

Jauh dari salah satu sisi reruntuhan, terlihat beberapa warga yang berteriak mencari warga lainnya yang tak kunjung kembali ke tenda pengungsian.

Mereka lalu terbelalak dan menahan tangis karena melihat yang mereka cari mati dengan cara yang mengenaskan.

Mereka melihat ke arah sekeliling reruntuhan untuk mencari-cari pelaku yang mungkin bisa mereka tangkap dan adili. Akan tetapi, mereka pun merasakan ada sosok yang menutupi keberadaan mereka dari sosok pembunuh yang dikenal dengan nama Baron.

“Pergilah sejauh mungkin dari tempat ini. Bersembunyilah, siapa pun yang mengetahui tentang hal ini nyawanya akan terancam!”

Sosok tak kasat mata yang memperingati mereka pun menghilang dengan suaranya yang menggema bersama deru angin yang berembus dari pelataran penuh genangan darah itu.

Mendengar peringatan akan ancaman mara bahaya yang mereka tahu tak bisa diantisipasi, amblaslah nyali untuk menempuh keadilan karena mereka hanya bisa bergidik ketakutan.

Mereka buru-buru lari menyelamatkan diri meninggalkan pelataran candi.
Mereka tak mengindahkan mayat warga yang mulai dinikmati burung pemakan bangkai.

***

KUTUKAN DESA WINDUALIT

(Sudut Pandang Danan…)
Hitam dan putih, baik dan jahat, hidup dan mati, alam ini tercipta dengan dua hal yang saling berdampingan, meski bertolak belakang. Semuanya, tak lain sebagai penyeimbang yang tak dapat dihindarkan.

Lantas apa gunanya manusia memberantas kejahatan apabila sudah dipastikan bahwa kejahatan tidak akan sirna dari muka bumi ini?
Pertanyaan itu acap kali menjadi jebakan untuk manusia untuk menyerah untuk mencoba bertindak melawan kezaliman.

Aku mengamati pemandangan hijau jalan dari balik jendela seiring bus yang aku dan Cahyo tumpangi menuruni kaki gunung. Pepohonan yang rindang begitu menyejukkan pikiranku yang akhir-akhir ini dihinggapi pemikiran semacam itu.

Lalu aku bergumam, “Kira-kira sampai kapan ya kita harus ngurusin masalah perdemitan?”

Cahyo, di sebelahku, melirik, “Lha, kira-kira kapan ya kita nggak perlu repot-repot cari makan lagi?”

“Dasar Panjul! Ditanya serius malah mikirin makanan terus!” protesku.

“Lha, jawab aja,” ucap Cahyo dengan raut yang entah benar-benar serius atau benar-benar dibuat seolah serius.

“Ya pas kita mati, lah! Selama masih hidup kita pasti laper terus dan butuh makan.”

Cahyo lantas mengangguk.
“Ya sama! Kita harus ngurusin masalah beginian sampai kita mati. Kita makan karena akan laper, dan kita ngurusin masalah perdemitan karena akan selalu muncul manusia-manusia yang kemakan rayuan setan.

Emangnya kalau laper, kamu nggak makan? Emangnya kalau ada orang yang mau ditumbalin buat pesugihan kita bisa diam?” Ia membalas jawabanku dengan pertanyaan serius.

Aku terdiam sejenak, tak kusangka Cahyo tidak ragu dan tidak mengeluh atas bahaya yang ia rasakan selama ini dan ke depannya, padahal dipikir-pikir, kami tidak ada kewajiban untuk melakukannya.

Aku memegang dahi Cahyo, ia pun mengernyitkan dahinya dan menyingkirkan tanganku dari dahinya.
“Ngapain sih?”
“Nggak demam?” tanyaku memastikan.
“Maksudmu opo?”
“Tumben jawabanmu gak ngawur!” balasku.

Seketika sarung keramat yang melingkari tubuhnya mendarat di wajahku berupa selepetan yang tak dapat kutangkis. Beruntung hanya aku dan Cahyo yang duduk di kursi belakang. Para penumpang kebanyakan sudah turun di terminal sebelumnya.

“Asu!Bercanda, Jul! Jangan diambil hati! Gorengan aja biar murah,” kataku.
“Iya, gorenganya sewajan. Kamu yang bayar,” balas Cahyo yang kembali menikmati perjalanan.
Kali ini Cahyo lama terdiam dan terlihat gusar.

Bukan hanya karena kejadian kemarin, tapi juga karena desa tempat tujuan kami kali ini.
Desa Windualit…
Setelah diskusi panjang dengan Paklek, kami benar-benar tidak menemukan petunjuk bagaimana cara kami menemukan sosok yang mengirim kutukan itu.

Namun, Paklek teringat bahwa ada benda yang mungkin bisa memiliki kekuatan yang sama kuatnya dengan benda itu.
Tabuh Waturingin.
Sebuah pemukul gamelan yang terbuat dari kayu akar beringin berumur ratusan tahun.

Benda yang juga menjadi kunci untuk menghentikan kutukan yang meneror Desa Windualit, yakni Gending Alas Mayit.
Kami turun dari bus, lalu menyambung dengan angkutan umum yang mengantarkan kami pada jalan yang mengarah ke Desa Windualit.

Jalan yang sudah terbentuk dan jembatan yang sudah terbangun dengan kokoh membuat kami lebih mudah tiba ke desa yang dulu bahkan kami harus menelusuri hutan terlebih dahulu untuk sampai.
Walau sudah banyak perubahan, entah mengapa aku merasa tempat ini masih terasa seperti dulu.

Bangunan-bangunan kayu tidak banyak berubah, tapi beberapa rumah sudah memiliki kamar mandinya sendiri yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah. Kabel listrik sudah terlihat di atap rumah.

Tapi cara berpakaian warga desa, keramahan, dan hawa dingin yang selalu membuatku nyaman masihlah sama di ingatanku.
“Kamu grogi?” tanyaku pada Cahyo setelah mengamati mimik wajahnya yang tampak jelas ada kecemasan.

“E—enak aja, mana mungkin seorang Cahyo grogi!” balas Cahyo refleks.

Aku mengangguk-angguk dengan memasang raut meledek. Cahyo membuang muka sementara kami terus melanjutkan perjalanan.

“Eh, Sekar! Kok bisa ada disini!” celetukku tiba-tiba sembari melambai di sisi cahyo.

Wajah Cahyo mendadak panik, ia menoleh ke arahku melambai, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. Ia menoleh ke segala arah mencari keberadaan Sekar dan aku mempercepat langkahku meninggalkanya.

“Heh! Asem!!! Mentang-mentang abis ketemu Naya jadi iseng ya!” teriak Cahyo mengejarku.

Aku menghindar dari sabetan sarung Cahyo sembari menertawakannya. “Yeee, bilang aja emang ngarep ketemu!”

“Mboh!”

“Lha emang kalau beneran ada Sekar mau ngapain?” Tanyaku iseng.

“Yo terserah aku, mau nyapa, mau meluk, kan, terserah!”

“Emang berani?”

“Ya jelaslah! Sejak kapan seorang Cahyo jadi pengecut?” Cahyo membusungkan dadanya dan memukul dadanya sendiri tiga kali.

“Mas Cahyo?!” Terdengar suara teriakan seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari salah satu sisi jalan.
“Eh?”
Aku dan Cahyo sontak menoleh ke arah itu. Aku memicingkan mata, lalu mataku membulat ketika mendapati bahwa pemilik suaranya tak lain adalah Sekar.

“Alhamdulillah, ternyata beneran Mas Cahyo sama Mas Danan!” Sekar berlari menghampiri kami dengan senyum lebar. “Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?”

“Eh, Se—Sekar? Kok bisa ada di sini?” Cahyo mendadak gagap.

“Kebetulan aja, ini aku habis dari warung Mbah Samin beli bumbu,” balas Sekar.

Aku mengangguk dan menyalami Sekar, sementara Cahyo masih terdiam dalam tundukkan. Wajahnya memerah bak udang rebus. Sekar menunggu jawaban.

“Peluk... peluk…” bisikku pada Cahyo.

Cahyo melirik kesal kepadaku.

“Peluk.., katanya berani, seorang Cahyo katanya nggak takut apa pun,” ledekku dengan cengiran.

Cahyo lalu mengapit leherku, mengarahkanku untuk berbalik. Tiba-tiba saja perutku dihantam oleh sikutnya dengan kekuatan penuh.

Aku pun meringis kesakitan memegangi perut. “Mas Danan? Kenapa?” Sekar terkejut.

“Oh, enggak! Dari tadi Danan nahan mules, kita ke rumah aja yuk, kasihan Danan,” balas Cahyo dengan senyum puas.

Aku memelototi Cahyo, dan ia membalas menutupi wajahku dengan sarungnya.

“Tak bales kowe, Jul!” ucapku pada Cahyo. Sekar masih memandangku heran, tapi Cahyo segera mengajak gadis itu berjalan, meninggalkanku yang masih memegangi perut.

Aku pun terbatuk sedikit dan mengekori mereka. Firasatku mengatakan, kedatangan kami kali ini akan berhadapan dengan musuh yang lebih besar.

***

Kami sampai di rumah Sekar dengan Pak Sardi yang sedang bersantai di teras rumahnya bersama secangkir kopi. Saat mengetahui kedatangan kami, ia segera berdiri dan memastikan pandanganya.

“Sekar? Itu Danan sama Cahyo?” tanya Pak Sardi.

“Iya, Pak! Kaget kan? Tadi kami papasan di depan gang warung Mbah Samiin,” balas Sekar.

“Owalah, ayo masuk-masuk! Monggo…,” sambut Pak Sardi. “Bu! Ada tamu istimewa!” teriaknya.

Ibu Sekar pun keluar menyambut kami, lalu hendak mempersiapkan suguhan.

Aku lantas merasa tak enak. “Ya ampun, bggak usah repot-repot, Bu.” ucap Cahyo.

“Iya, Bu, nggak usah repot-repot. Pisang sama singkong goreng cocok,” tambahku.

Cahyo menyenggolku. “Heh! Yang sopan.”

“Lho, gantian tak wakilkan isi hatimu, Yo. Emang nggak mau?” tanyaku cengengesan.

Cahyo berbisik. “Ya mau, tapi rumah calon mertua nih. Agak diperhalus dikit.”

Aku membentuk simbol oke di tanganku memberikan kode bahwa aku mengerti maksudnya.

Ibu Sekar tersenyum sembari geleng-geleng melihat tingkah kami.

“Rumah apa, Mas?” Sekar mencoba memperjelas apa yang ia dengar dari ucapan Cahyo.

“Eh nggak, nggak papa kok, Sekar. Eh itu Mas bawain bakpia oleh-oleh dari Bulek, dibawa masuk aja,” balas Cahyo mengalihkan pembicaraan.

“Wah repot-repot, Mas.” Sekar memberikan seulas senyum manis.

“Nggak kok, Bulek yang repot. Mas Cuma nganter aja.” Cahyo membalas senyum itu.

“Ehem…” Pak Sardi berdeham.

Aku cekikikan melihat Cahyo yang mendadak salah tingkah mendapati dehaman itu. Menikmati raut salah tingkahnya benar-benar menggelitik urat ketawa. Wajahnya tampak bodoh sekali dan aku berusaha menahan diri untuk tidak meledeknya lagi.

“Mas Danan, katanya mules? Kamar mandinya kosong kok?” ucap Sekar.

“Eh, i—iya, eh, enggak, Sekar. Mulesnya udah hilang,” balasku kikuk sembari menggaruk rambut yang tidak gatal.

“Iya apa enggak, nih? Jadi orang mbok ojo plin-plan!” Cahyo berusaha meledekku.

“Enggak, nggak,” balasku kecut sembari melirik Cahyo. Ia pun menahan tawa seolah merasa menang dariku.
Cukup banyak waktu yang kami gunakan untuk berbincang mengenai banyak hal.

Sebagian besarnya tentang bagaimana Desa Windualit yang berkembang cukup pesat daripada desa-desa lainnya. Ditemani bakpia dan pisang goreng, Sekar menjelaskan,

“Ada yang bilang, Pak Kades yang dulu sengaja mengisolir Desa Windualit dengan maksud agar tidak ada yang mengganggu rencana ritualnya,”

“Benar, setelah saya komunikasikan ke kabupaten, kami baru tau ternyata Pak Kades sialan itu ndak pernah menerima tawaran fasilitas dari pemerintah. Padahal sudah dianggarkan, Mas.

Makanya, pasca kejadian itu, ndak butuh waktu lama desa ikut program pemerataan kesejahteraan,” tambah Pak Sardi, senyumnya merekah walau matanya menyiratkan kenangan pahit mengenai kejadian silam.

Aku mengangguk. Masih segar ingatanku mengingat bagaimana dulu sempat tinggal sementara di Desa Windualit saat listrik belum masuk dan akses menuju desa harus melalui jalan setapak hutan yang motor pun sulit melaluinya. Kali ini jelas sudah berbeda.

“Sekarang anak desa sudah berani bermimpi besar, Mas. Bahkan ndak sedikit yang merantau ke kota untuk sekolah dan kuliah. Pak Kades yang sekarang benar-benar memperhatikan kami dan selalu menghubungi pusat untuk meminta bantuan atau sekadar rekomendasi,” jelas Pak Sardi.

Di tengah perbincangan, Ibu Sekar menghampiri kami dan membawakan sebuah peti kayu. Aku agak kaget dengan yang Pak Sardi ucapkan setelahnya, seolah ia sudah tahu maksud kedatangan kami.

Pak Sardi tersenyum menatapku. “Kami kira benda ini sudah ndak akan digunakan lagi, Mas Danan” Ia mengeluarkan tabuh pemukul gong dari peti tersebut dan sebuah gong kecil yang disimpan menjadi satu.

Tabuh Waturingin, mungkin sekarang kami bisa menyebutnya sebagai sebuah pusaka. Sebuah pemukul gong yang menciptakan suara untuk menghalau kutukan Gending Alas Mayit yang dulu menjadi petaka bagi Desa Windualit.

Benda ini disimpan oleh almarhum Ki Rusman Basukarna yang dulunya adalah penduduk desa ini yang akhirnya merantau. Kini, Tabuh Waturingin disimpan oleh Pak Sardi sebagai pusaka desa sekaligus kenangan akan keberhasilan desa melewati masa sulit itu.

“Kami boleh pinjam dulu ndakapa-apa, Pak Sardi?” tanyaku, meminta izin.
“Bawa saja, Mas. Saya lebih tenang dan merasa benda ini berada di tangan yang tepat, apalagi Mas yang lebih membutuhkan,” balas Pak Sardi.

Tanpa ragu, aku pun menerima Tabuh Waturingin itu. Cahyo memasukkannya ke dalam tas. Kami berencana menginap satu malam sebelum melanjutkan perjalanan kami sembari menunggu petunjuk dari Paklek.

“Mas Danan dan Mas Cahyo monggo istirahat saja dulu. Pasti capek, kan, perjalanan ke sini?”

“Iya, Pak. Saya ingin rebah-rebahan aja,” kataku.

“Kalo saya mau jalan-jalan sebentar lihat desa sama Sekar, boleh, Pak?” celetuk Cahyo tiba-tiba dan tanpa kusangka.

Pak Sardi memandang Sekar dan Cahyo bergantian, seakan sama kagetnya denganku. Sementara aku menunggu jawaban dari Pak Sardi.

“Boleh, tapi tetap saya temani, ya.”

Aku pun menahan tawa melihat raut kecewa Cahyo karena ia tak mungkin menolaknya.

***

Saat langit menjelang petang, ada beberapa pemuda yang mendatangi rumah Pak Pardi. Mereka dengan sopan memberi salam padaku yang baru saja mengenakan baju setelah membersihkan diri. Pak Sardi, Sekar, dan Cahyo sedang menikmati kacang rebus dan teh panas yang dibuatkan Ibu Sekar.

“Ngapunten, Pak Sardi, maaf kalau lancang,” ucap seorang pemuda desa, dari rautnya ia tampak sungkan mengutarakan maksudnya mendatangi kami.

“Iyo, Le, ada apa?”

“Begini, Pak. Mumpung ada Mas Danan dan Mas Cahyo, boleh ndak kami minta tolong sebentar untuk memeriksa ke Alas Mayit?” ucapnya sopan.

Alas Mayit? Aku segera bertanya, “Memangnya ada apa dengan Alas Mayit, Mas?”

Mereka pun menoleh ke arah Pak Sardi seolah meminta perizinan beliau untuk bercerita, tapi Pak Sardi lebih memilih untuk menceritakannya sendiri.

“Kalian ingat di sana ada makam yang berumur ratusan tahun dan sudah ada sejak zaman kerajaan?” tanya Pak Sardi kepada aku dan Cahyo.

Aku mengangguk, di sanalah tempat pertama kali aku bertemu dengan sosok Eyang Widarpa sebelum saling mengenal.
Pak Sardi bercerita bahwa ada beberapa makam yang tampak aneh.

Ada yang terbuka begitu saja seperti dibongkar, ada yang melihat makam itu terbakar, bahkan ada yang melihat makam yang menyala terang pada suatu malam.

Biar bagaimanapun, Pak Sardi dan warga desa harus mencari tahu penyebabnya sebagai antisipasi kalau-kalau ada kejadian buruk lagi yang terjadi. Namun, mereka tetap tidak mendapat petunjuk secuil pun atas apa yang terjadi dengan makam-makam itu.

“Kami takut adanya pencurian jenazah, Mas. Terlebih kalau jasad-jasad yang dikeramatkan malah digunakan oleh oknum untuk ilmu hitam yang mungkin tujuannya mencelakai,” jelas Pak Sardi.
Aku dan Cahyo saling bertatapan, kami pun memiliki ketakutan akan kemungkinan yang sama.

Tidak menutup kemungkinan bahwa makam keramat seperti itu mungkin saja menyimpan pusaka pemiliknya yang dikubur bersamaan..

“Itu terjadi begitu saja atau terlihat ada pemicunya, Pak?” tanyaku.

Pak Sardi dan para pemuda itu saling bertatapan, seolah saling berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

“Cukup lama… cukup lama sebelum terjadi keanehan pada makam, warga sempat melihat ada orang asing yang memasuki hutan tanpa izin atau sekadar menyapa warga.

Tapi kami ndak bisa memastikan apakah dialah penyebabnya,” jawab Pak Sardi.

“Orang itu sudah keluar?” tanya Cahyo yang tampak serius.
Pak Sardi menggeleng.

”Ndakada yang melihatnya keluar, Mas. Mungkin masih di sana, tapi di sana juga buat apa? Atau memang sudah keluar tanpa sepengetahuan kami.”

Sepertinya memang tidak ada cara lain untuk mengetahui apa yang terjadi di Alas Mayit jika tidak aku dan Cahyo pastikan sendiri.

Mengenai kutukan yang menyerang Desa Dawuilir memang penting, masalah yang ada di hadapan kami juga tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Dan mungkin saja masalah di Alas Mayit berhubungan dengan tujuan kami. Aku dan Cahyo tidak bisa membuktikan prasangka jika tidak segera bergegas ke sana.

***

Di hadapanku berjejer pepohonan yang tumbuh rindang dengan liar. Vegetasi hutan yang subur tapi juga menyimpan misteri, bahkan menjadi saksi dari bencana gaib yang memakan banyak korban.

Alas Mayit…

Matahari masih terang di atas kami, tapi di Alas Mayit, rimbunnya pepohonan membuat cahaya sulit untuk menembusnya. Mataku menyusuri setiap penjuru hutan di tengah udara dingin yang lembap.
Di belakangku, Cahyo dan Sekar melangkah beriringan.

Sedari memasuki area hutan, Sekar terlihat sekali tak nyaman dengan suasana sekelilingnya. Wajar, ia punya pengalaman yang sangat buruk tentang hutan ini.

“Sekar, selama ini sudah nggak pernah ada hal-hal aneh dari hutan ini kan?” tanya Cahyo sambil merapatkan jaketnya.

“Nggak mungkin kalau nggak ada, Mas. Namanya juga alas suwung begini. Tapi paling hanya kejadian aneh biasa, nggak sampai yang makan korban seperti kejadian dulu,” jelas Sekar.

Aku mengangguk mengerti maksud dari Sekar. Hutan bukanlah habitat manusia saat ini. Alam punya cara tersendiri untuk melindungi kelestarianya dari makhluk yang mungkin merusaknya, salah satunya dengan bantuan sosok gaib yang berdiam di sana.

Cerita dari Pak Sardi tentang pergolakan makam benar-benar membuatku gelisah. Aku tidak tahu mengenai siapa gerangan sosok yang diduga oknum penyebab makam-makam itu bernasib seperti yang dilaporkan warga.

Beberapa menit kemudian, kami tiba pada area makam yang dimaksud. Beberapa makan tua dan dianggap keramat yang terbuka dan amblas ke dalam tanah—yang biasanya diakibatkan oleh hujan, tapi keanehan lain seperti yang diceritakan tidak terlihat di sekitar makam ini.

Sejenak aku berpikir, dulu aku pernah bertemu dengan Eyang Widarpa di pemakaman ini. Ia sempat tinggal di makam ini cukup lama. Apa saat itu ia memang mencari keberadaan makam Prabu Arya Darmawijaya? Atau memang ada maksud lain? Baru terlintas pertanyaan ini.

“Nggak ada yang aneh, kita kembali saja yuk!” ajak Cahyo. “Daripada main di hutan serem begini mending ngicipin masakan Sekar.”
“Setuju! Kita harus menguji masakan calon menantu Paklek!” balasku penuh semangat.

Seketika sarung kumal Cahyo sudah menampar wajahku tanpa aku sempat menghindar. Sekar pun tampak kaget dengan itu.
“Yang bener kalo ngomong!” Cahyo melirik malu ke arah Sekar.
“Lah emang nggak mau?” balasku lagi.

“Nggak lah! Nggak mungkin, nggak mungkin aku nolak!” jawab Cahyo yang segera bergegas berjalan duluan di depan dengan salah tingkah.
Aku menoleh ke Sekar yang tahu-tahu merunduk dengan wajah yang memerah karena ucapan Cahyo barusan.

“Mas Danan nih bisa aja!” ucap Sekar dengan memukul lenganku.
Sekar pun berjalan meninggalkanku. Sementara itu aku sedikit melirik ke arah salah satu sisi hutan. Aku melirik punggung Cahyo dan ia tiba-tiba menoleh dan tatapan kami bertemu.

Ia memberikan anggukkan. Rupanya Cahyo juga merasakan keberadaan seseorang atau sesuatu yang tengah mengintai kami.
Tidak mungkin kami mengajak Sekar untuk memastikan jika itu mengantarkan kami ke dalam situasi yang berbahaya.

Aku dan Cahyo akan kembali ke tempat ini malam nanti saat semua sudah terlelap.
Sesampainya di depan rumah Pak Sardi, Sekar langsung melangkah ke dapur bersama Cahyo. Aku pun menemui Pak Sardi yang tengah menyiram tanaman di belakang rumah.

Walau kami menyembunyikan hal ini dari Sekar, kami tetap menceritakan rencana kami pada Pak Sardi.
"Monggo, Mas. Jika perlu, saya dan beberapa warga akan membantu Mas ke Alas Mayit malam nanti,” ucap Pak Sardi.

“Nggak usah, Pak. Saya hanya mau observasi dulu tanpa niat untuk ambil tindakan lebih lanjut. Terlalu berbahaya jika warga dilibatkan tanpa ada persiapan matang,” balasku.

“Baik, Mas. Tapi apa ada yang perlu saya bantu siapkan?”

“Cukup obor dan kopi panas saja, Pak.”

“Gampang itu, saya kira lebih susah persiapannya.” Pak Sardi tertawa renyah.

Aku hanya tersenyum. Walau Pak Sardi tampak biasa saja, aku yakin ia menyimpan kekhawatiran yang besar.

Ia sebagai perwakilan desa pasti ingin mencegah hal yang mungkin akan terjadi menimpa desa ini.

***

Tepat jam sepuluh malam, aku dan Cahyo kembali memasuki Alas mayit berbekal sepasang obor yang diberikan oleh Pak Sardi. Untuk di hutan sebesar dan seluas ini, penerangan obor jauh lebih efektif daripada senter yang disimpan di jaket Cahyo untuk berjaga-jaga.

Aku dan Cahyo melangkah dengan kehati-hatian sembari memberikan fokus yang lebih kepada telinga. Di tempat gelap, kejelian menangkap bunyi lebih berguna daripada melihat objek.
Langkah kami terus masuk ke dalam hutan, hingga tiba di area pemakaman.

Di bawah pohon yang menjadi semacam penanda batas area, aku ternganga.
Benar ucapan Pak Sardi, memang ada keanehan di makam-makam itu.

Aku dan Cahyo menggeleng tak percaya saat makam yang amblas mengeluarkan api yang seolah membakar habis sisa-sisa apa pun yang berada di makam itu.
Sementara makam yang lain sudah terbuka kembali dan mengeluarkan hewan-hewan menjijikkan seperti ular, lipan, dan berbagai serangga.

“Apa ini semua? Siapa orang di balik ini?” bisik Cahyo menggeleng heran.

Aku hanya ikut menggeleng tak mengerti dengan apa yang terjadi di hadapan kami. Kami hanya bisa memastikan langsung dengan melangkah ke sana dengan nyali yang sudah kami kumpulkan.

“Keluar! Kami sudah mengetahui keberadaanmu!” teriakku pada sosok yang bersembunyi di gelapnya hutan itu.

Sayangnya bukanya menampakkan diri, sosok itu malah melesat pergi dari balik pepohonan yang gelap gulita.

Dari gerakannya yang gesit, kami tahu bahwa ia bukanlah manusia biasa. Tidak mungkin manusia biasa bisa dengan leluasa berlari dengan kecepatan tinggi membelah tanah lembap tanpa penerangan.

Spontan aku dan Cahyo berpencar dengan mengambil jalur berbeda untuk mengejar sosok itu. Walau ia sangat cepat, aku dan Cahyo sudah mengetahui seluk beluk Alas Mayit.

Pengejaran dilakukan cukup melelahkan dan dramatis. Cahyo sempat beberapa kali tergelincir karena permukaan tanah yang licin, sementara aku tak bisa menangkap suara langkah karena tampaknya sosok itu tahu kelebihan kami.

Namun, dengan strategi yang sudah kami siapkan, akhirnya aku berhasil menghadang sosok itu tepat di ujung makam.

Seorang pria, mengenakan topeng hitam yang sudah terbelah.

“Jul! Apa dia adalah orang itu?” tanyaku penuh kewaspadaan kepada Cahyo.

Aku seketika teringat dengan sosok pendekar yang berasal dari desa yang sama dengan Cahyo. Pendekar bertopeng hitam yang dikenakan ludruk yang menjadi pelaku pembantaian di desa Cahyo.

Cahyo memperhatikannya dan menggeleng, “Bukan, dia jelas sangat berbeda. Siapa kamu?!” bentaknya.
Pria bertopeng sebelah itu menatap kami dengan tatapan dinginnya.
“Kalau saja kalian memilih untuk pergi, mungkin kalian tidak akan mati di sini,” balasnya.

Ancaman itu membuatku dan Cahyo semakin waspada. Itu sama saja menyatakan bahwa apa yang terjadi setelah ucapan itu adalah pertarungan.

Tanpa sempat berkata, tiba-tiba sosok bertopeng sebelah itu sudah ada di belakangku dan bersiap menghantamkan tangannya di punggung leherku.

“Danan, Awas!”

Dengan sigap aku berjongkok dan mengambil momentum melompat ke depan untuk menjauh darinya. Namun belum sempat aku menoleh, sosok itu sudah berada di atasku dan siap dengan tendangan yang ia arahkan ke punggungku.

Brakkk!!!

“Jangan lengah!” Cahyo menendang sosok itu tepat sebelum seranganya mengenai tubuhku.
Aku selamat, tapi kecepatan orang itu benar-benar luar biasa. Fisiknya yang cukup berisi memiliki kecergasan yang hanya dimiliki oleh seseorang pemilik ilmu silat.

Kali ini aku dan cahyo yang bergantian menyerang sosok bertopeng hitam itu. Namun, dengan mudah setiap serangan kami dapat dihindarinya dengan sempurna.

“Jelas dia bukan pendekar biasa!” ucapku.

“WANASURAAA!!!!” seru Cahyo yang tak menahan kekuatannya lagi. Ia mengerahkan tenaga Wanasura di kakinya untuk mengikuti kecepatan sosok bertopeng itu.

Cahyo saling beradu serangan dengan sosok bertopeng, sementara aku berkonsentrasi mencari celah untuk menghujamkan keris Ragasukma

Dooom!!! BLARRR!!!

Terjadi benturan energi yang keras saat pukulan Cahyo dan sosok itu beradu.

Aku menyusulnya agar tak memberi celah pada sosok bertopeng yang terpental itu. Namun, belum sempat aku mengenainya, sosok itu sudah menghilang di balik bayangan bersama sebuah pukulan dari belakang yang membuatku tersungkur ke tanah.

“Danan!”

Aku segera berguling menghindari serangan berikutnya dan menangkap lengan sosok bertopeng itu. Dengan cepat aku membalas seranganya dengan keris di genggamanku.

Sialnya, seranganku hanya menggores bahu sosok itu sebelum ia dengan mudah melepaskan diri dan mundur ke kegelapan hutan.

“Kejar!” teriakku yang segera direspons oleh Cahyo. Kami pun mencabut obor kami dan mengikuti kemana arah sosok itu pergi.

Suara gemerisik dedaunan dan ranting-ranting yang patah terdengar bersahutan dengan langkah yang melesat. Gerakannya begitu cepat dan sulit kami imbangi.

Namun, belum sempat kami mengejarnya lebih dekat, tiba-tiba tercium bau aneh dari salah satu sisi hutan.

Asal bau itu berbeda dari arah sosok itu pergi, tapi instingku dan Cahyo mengarahkan kami untuk berhenti dan lebih memperhatikan asal bau aneh itu.

“I–ini? ini nggak salah lagi, Nan!” Cahyo panik.

“Bener, ini bau jenazah yang hampir membusuk!”

Kami pun memutuskan menghentikan pengejaran dan berlari mengikuti asal bau yang sangat menyengat. Benar saja, satu sisi Alas Mayit sudah benar-benar berubah. Sisi hutan itu disulap menjadi gunungan jenazah.

“Apa-apaan ini?!” Cahyo terbelalak menyaksikan pemandangan yang sungguh di hadapan mata kami.

“Apa ini ulah orang itu?”

Aku hanya bisa mengacuhkan pertanyaan Cahyo sembari memikirkan semua kemungkinan yang ada.

“Aku tahu hutan ini disebut Alas Mayit, tapi bukan berarti harus seperti ini…” balasku sembari mengepalkan tangan.

“AARRGHHHH!!!” Aku benar-benar mencoba menahan amarah yang bercampur dengan rasa mual yang datang bersamaan.

Bagaimana tidak, di hadapan kami terlihat beberapa kayu yang ditumpuk menyerupai keranda sederhana. Di tengah-tengahnya bertumpuk mayat-mayat yang keadaanya jauh lebih mengenaskan.
Kami mengelilingi tempat itu dan memeriksa satu per satu mayat yang terbaring.

Beruntung tidak ada satu pun dari mereka yang kukenal dan aku yakin bukan berasal dari Desa Windualit.
“Benda ini apa, Nan?” Cahyo mengangkat beberapa benda yang diletakkan di balik mayat-mayat yang ditidurkan di atas kayu.

Aku mendekatinya dan menemui beberapa macam benda. Tulang belulang, pusaka, tengkorak, dan benda-benda yang seharusnya berada di dalam makam. Aku mencoba membagi dugaanku pada Cahyo yang sepertinya menyimpulkan hal yang sama. Untuk ritual! Tapi untuk apa?

“Kalian sudah melihat terlalu banyak!” seru seseorang dengan berang.
Brakkk!!!
Tiba-tiba Cahyo terpental hingga menabrak sebuah pohon. Terlihat sosok itu muncul lagi dengan menggenggam sebuah pisau dan bersiap menghujamkan ke jantung Cahyo.

Sebelum itu terjadi, aku melemparkan keris Ragasukma ke arahnya yang dengan mudah dapat sosok itu hindari. Setidaknya aku bisa memberi waktu untuk Cahyo bangkit dan melarikan diri.

Sosok bertopeng itu mengejar Cahyo, sementara aku menarik kembali Keris Ragasukma bersiap untuk serangan berikutnya.

“Siapa mayat-mayat ini?!” tanya Cahyo yang menghentikan larinya. Ia benar-benar tampak geram.

“Bukan urusanmu!” balas sosok itu dingin.

Sayangnya Cahyo sudah terlanjur marah. Ia mengalirkan kekuatan Wanasura di telapak kakinya dan menghujamkan ke tanah tepat saat sosok bertopeng sebelah itu memijakkan kakinya. Sosok itu kehilangan pijakannya dan tersungkur di tanah.

Tepat saat Cahyo hendak menyusulkan seranganya pada sosok yang tengah lengah itu, tiba-tiba saja...

Trang!!!

Kerisku menahan sebuah pisau yang hampir membelah leherku dari belakang.

“Bagaimana kau bisa tahu?!” Aku terbelalak.

Sosok bertopeng sebelah itu berada tepat di belakangku. Ia mengunci ruang gerakku dan aku melompat mendekat ke arah Cahyo untuk saling memunggungi. Kami berbagi fokus dan energi. Bukan tanpa alasan, di hadapan kami ada dua sosok makhluk bertopeng sebelah.

“Ada dua?” ucap Cahyo bingung sekaligus waspada.

Aku mengangguk. “Dia nggak hanya cepat, alasan kita nggak bisa mengikuti kecepatanya karena mereka ada dua orang.”

Dua sosok bertopeng sebelah itupun tak lagi menyembunyikan keberadaanya.

Kini, mereka saling mendekat dan sulit sekali untuk dibedakan.
“Aku sempat melukai salah satunya, dan yang ingin menusukmu dengan pisau itu bukan dia. Dari situ aku segera sadar, bahwa ada sosok lain dengan wujud serupa,” jelasku pada Cahyo.

Sosok bertopeng sebelah itu melihat darah dari goresan luka di bahunya yang memang tak seberapa. Anehnya, seketika muncul luka serupa di bahu kembarannya. Sosok itu seolah benar-benar menyerupai wujud lainnya. Menjadi satu kesatuan.

“Hebat… jarang ada yang bisa membongkar ilmuku dalam kegelapan malam. Tapi ada satu kesalahan besar dalam ucapanmu,” salah satu sosok bertopeng.”

“Kami tidak berdua..” ucap satunya lagi.

“Kami satu…” ucap mereka berbarengan.

Aku tidak langsung mengerti dengan apa yang mereka katakan. Kedua sosok di hadapan kami mengaku sebagai satu orang? Membelah diri? Itu mustahil!

“Pecah Sukma! Aku pernah mendengar ilmu seperti itu dari Paklek,” Cahyo juga tercengang mendengar ucapannya sendiri.

Ia tampaknya mengingat sebuah ilmu sakral dan langka yang mustahil manusia biasa bisa dipelajari. Pecah Sukma? Aku benar-benar tidak menyangka ilmu itu benar-benar ada dan berhadapan dengan sosok yang memilikinya.

Lalu bagaimana sosok itu bisa mengendalikan kesadaran lain dalam wujud yang lebih dari satu? Belum sempat kami menghilangkan kebingungan, kedua sosok bertopeng itu mulai menyerang kami secara membabi buta.

Kerisku saling beradu dengan pisaunya, sementara cahyo dengan susah payah menghalau serangan serupa dari sosok itu.
Sayangnya walau sudah berusaha mengimbangi, berbagai luka sayatan tercipta di tubuh kami yang tak mampu mengikuti kecepatan tinggi kedua sosok itu.

Aku dan Cahyo hanya bisa menghindar, tapi tak mungkin kami menang kalau kami tidak bisa menyerang balik.
“Nggak bisa begini terus, Nan! Kita harus melakukan sesuatu!” ucap Cahyo.
Aku mengangguk dan menarik nafas sebelum membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganku.

Sedangkan, Cahyo juga memusatkan kekuatan Wanasura di kepalan tanganya.
“Sekarang!” teriakku.

Kami lantas menerjang kedua sosok itu secara bersamaan. Aku dan Cahyo bertukar serangan. Cahyo menangkis serangan pisau dari sosok bertopeng pertama,

sementara kerisku hendak beradu dengan sosok bertopeng yang menyerang Cahyo.

Aku mengincar sosok kembaranya yang berada beberapa langkah dariku dengan melemparkan sebuah pukulan jarak jauh. Ajian lebur saketi. Kedua sosok itu terpental ke tanah karena seranganku.

Aku langsung terengah-engah setelah mengerahkan semua kekuatan pada pukulan itu.
“Orrrgghh..”
Darah bermuncratan dari mulut sosok bertopeng satunya, mereka masih belum mampu untuk berdiri.

“Ajian lebur saketi... sudah kuduga kalian bukan orang biasa. Dari trah mana kalian?!” tanya sosok bertopeng yang batuk darah.

“Trah kami bukan urusanmu! Tapi semua perbuatanmu itu urusan kami, kau harus bertanggung jawab!” teriakku tegas.

“Jangan naif! Kalian pasti juga menggunakan segala cara untuk mendapatkan tahta itu! Sayangnya, singgasana tahta itu akan menjadi milik tuan kami, dan kutukan terkuat keluarga ningrat akan berada di tangan kami!”

Tahta? Kutukan? Apa yang sosok itu maksud? Ia menyebutkan tentang keluarga ningrat yang tak kumengerti.

“Danan, awas!!!”

Cahyo menendangku hingga terpental dan sebuah pisau menghujam bahu Cahyo untuk melindungiku yang tengah lengah.

“Cahyo!” Aku panik.
Aku menoleh ke arah kedua sosok bertopeng yang masih tak berdaya di tanah, tapi aku tidak menyangka dengan keberadaan sosok ketiga yang menyerangku tiba-tiba itu.

Sekali lagi sosok itu mengarahkan pisaunya ke arah Cahyo, kali ini aku melesat menghindarinya dan memberi waktu pada Cahyo untuk berpindah.

“Aku nggak papa! Fokus, Nan!” seru Cahyo yang memegangi pundaknya, berusaha menghentikan pendarahan.

“Keluarga ningrat? Berarti kalian ada hubunganya dengan kutukan jengges di desa Dawuilir?” tanyaku geram.

“Jengges? Hahahaha…. ternyata kalian sudah berurusan dengan tuan kami!” jawabnya dengan jumawa.

“Berarti itu benar?” Aku memastikan sekali lagi.

“Lihatlah mayat-mayat ini! Mereka adalah korban kutukan jengges hadiah tuan kami sebagai bayaran atas ilmu-ilmu yang kami miliki demi mengabdi kepadanya.” Sosok itu tertawa penuh kepuasan.

“Sekarang saatnya kami membalasnya dengan memberikan pecahan sukma pendekar-pendekar masa lalu untuk dibangkitkan menjadi abdinya!” Pendekar masa lalu? Abdi? Sepertinya aku harus mengesampingkan soal itu terlebih dahulu.

Saat ini amarahku tak lagi terbendung saat mengetahui ada korban lain dari kutukan jengges, selain Desa Dawuilir.
Aku membacakan mantraku lagi, bukan lagi ke kepalan tanganku, tapi pada keris Ragasukma dalam genggamanku.

Dengan cermat aku memperhatikan serangan sosok bertopeng sebelah itu dan menghindarinya sebisaku.

Belasan luka sayat menerpa tubuhku, tapi aku belum puas sampai aku bisa menumpahkan amarahku pada satu serangan yang kukumpulkan sebagai serangan terakhir.

Jleb!

“DANAAANNN!!!” teriak Cahyo histeris.

Kali ini tusukkan pisau itu menusuk di sisi bahuku. Sosok bertopeng itu tersenyum seolah menyatakan kemenangannya, tapi ia salah.

Aku mencengkeram tangannya dan tak membiarkannya mencabut pisau itu dari bahuku hingga ia tak memiliki kesempatan untuk lari.

“Kau anggap apa nyawa manusia?!”

“Pertanyaan bodoh macam apa itu?!”

“ARRGHHH!!!!” teriakku penuh amarah sembari menusukkan keris ragasukma yang telah diselimuti cahaya putih ke dadanya. Serangan itu dengan mudah menembus dan mengoyak jantungnya.

“KU–KURANG AJAR KAU BAJINGAN!!!!”

Sosok itu memuntahkan darah, tapi reaksi itu hanya sementara sebelum pecahan sukmanya berubah menjadi asap hitam.

Tubuhku terbaring tak berdaya, tapi bukan berarti aku berhenti. Kedua pecahan sukma yang tak berdaya itu bersembunyi di balik kegelapan hutan untuk melarikan diri.

Namun aku langsung memisahkan sukmaku untuk melayang demi melesatkan keris Ragasukma ke tubuh mereka satu per satu.

Sama seperti sosok yang kuhabisi tadi, mereka semua hanyalah pecahan sukma yang kembali menjadi asap hitam saat aku berhasil mengenainya.

Sebelum kembali ke tubuhku, aku melayang setinggi-tingginya mencari keberadaan tubuh asli dari sosok bertopeng itu. Sialnya, tak ada tanda-tanda mencurigakan di hutan ini.

Hanya ada dua kemungkinan; tubuh asli dari sosok bertopeng itu mengendalikan sukmanya dari jauh atau sudah lebih dahulu melarikan diri sejak kami menemukan keberadaannya.
Aku tak mampu mempertahankan wujud ini dengan lebih lama.

Luka di tubuhku membuatku benar-benar kehabisan tenaga. Cahyo menyeret dirinya untuk menghampiriku.

“Sudah, Nan, jangan memaksakan diri. Biarkan dia lolos saat ini, seenggaknya kita sudah dapat petunjuk,” ucap Cahyo lemah.

“Nggak bis…”

Aku akhirnya ambruk. Kami terbaring lemah di antara mayat-mayat yang membusuk. Sembari mengatur nafas, kami membacakan amalan penyembuh yang kami harap dapat membantu memulihkan luka kami.

Aku tidak mau mati di sini meskipun sekujur tubuhku terasa perih dan terbakar akibat luka sayatan yang entah berapa jumlahnya.

***

Tap..tap..tap…
Terdengar suara langkah kaki mendekat di saat kesadaranku masih mengawang-awang. Aku merasakan kehadiran seseorang, aku hanya bisa pasrah jika memang ini waktunya. Beberapa detik aku merasakan ada sesuatu yang menekan luka di pundakku.

Sekar? Pak sardi? Aku mencoba menebak siapa sosok yang menolongku untuk menghentikan pendarahan. Namun saat aku membuka mata, orang itu bukanlah mereka berdua. Ia adalah seorang pemuda yang terlihat begitu cemas dan terus menoleh ke arah sekitar sembari menolongku.

“Si–siapa kamu?” tanya Cahyo dengan suara yang begitu lemah.

Pemuda itu masih belum menjawab dan terus masih memastikan keadaan sekitar. “Syukurlah kalian masih hidup. Dia sudah ndakdi sini, kan? Pecahan sukma Baron benar-benar sudah dihabisi?” tanyanya gelisah.

“Baron? Sosok bertopeng sebelah itu? Kamu tahu?” Tanya Cahyo.

“Nyawa saya juga terancam karena dia. Saya berniat bersembunyi di hutan ini setelah selamat dari pembantaian yang dilakukan Baron terhadap desa saya.

Tapi ternyata makam keramat di hutan ini juga incaran Baron,” jelas pemuda itu sambil menahan tangis.

Sembari merawat luka kami, ia pun menceritakan tentang dirinya dan apa yang terjadi dengan desanya.

Namanya Cipto, ia menceritakan desanya terkena bencana longsor yang begitu besar hingga sebagian bangunan di desanya hilang. Namun bukan itu masalahnya,

longsor itu ternyata membuka reruntuhan candi misterius yang cukup besar dengan satu singgasana yang berdiri di altar bangunan berornamen relief kuno.

“Saat warga desa ingin memeriksa reruntuhan karena ada beberapa warga yang ndak pulang ke posko, ada banyak sosok misterius yang datang ke tenda,” ungkap Cipto.

“Mereka ndak terlihat jelas penampakannya, Mas. Hanya suara mereka yang terdengar.

Mereka memperingatkan warga untuk ndak menyelamatkan diri, tapi belum sempat kami memastikan, Baron dan tuannya hadir. Mereka menghabisi warga desa…” Ia terisak.

“Tapi Mas Cipto bisa selamat?” tanya Cahyo.

“Ada salah satu dari sosok misterius itu yang akhirnya menampakkan diri ketika saya dan beberapa warga berlari, Mas.

Dia menolong kami yang selamat, Mas. Dia menyembunyikan keberadaan kami dan menyuruh kami pergi sejauh mungkin agar tidak terendus oleh Baron dan tuannya,” jawab Cipto.

“Memangnya apa yang kalian lihat sampai Baron dan tuannya membantai warga desamu, Mas?” tanyaku sambil berusaha duduk dan menahan rasa sakit luka yang mulai kebas.

Cahyo pun mencoba berdiri, dan Cipto membantunya berjalan untuk duduk dengan posisi yang lebih nyaman.

Kami bertiga bersandar di salah satu pohon. Sepertinya, ia masih akan menceritakan sesuatu yang panjang.

“Sebelumnya, saya mohon apabila terjadi apa-apa karena saya menceritakan ini, saya minta tolong cari anak dan istri saya di desa sekitar reruntuhan itu dan lindungi mereka,

Mas. Anak saya Noto, dan istri saya namanya Sarpani…,” ucap Cipto penuh ketakutan.

“Kami nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu di sini,” balasku.

Cipto kembali menceritakan informasi yang ia ketahui.

Reruntuhan di Desa Dawuilir menunjukkan sebuah singgasana yang merupakan tahta tertinggi yang dapat dicapai oleh trah keramat. Menurutnya, bila salah satu trah bisa memenuhi persyaratan untuk menduduki tahta itu,

maka ia akan mendapatkan kekuatan yang memastikannya sebagai yang terkuat di antara trah yang lain.

“Kutukan terkuat trah ningrat…” Cahyo bergumam. Benar, itulah yang diucapkan oleh pecahan sukma Baron tadi.

Cipto melanjutkan ceritanya di mana para trah keramat itu akan saling bertarung untuk memperebutkan tahta. Dan itu artinya, setiap trah akan berusaha mencari cara untuk mendapatkan ilmu yang bisa menyaingi trah lainnya.

Bayaran terbaik untuk menguasai ilmu hitam adalah nyawa manusia. Sudah jelas, akan ada pertumpahan darah dan korban bergelimpangan yang tak terhitung setelah ini.

“Dari mana kamu tau informasi ini, Mas Cipto?” tanyaku.

“Dari sosok yang menyelamatkan kami, Mas,” jawabnya lirih.

Aku juga penasaran dengan sosok-sosok tak kasatmata yang Cipto maksudkan, tapi itu soal lain.
“Kita harus memberitahukan ini kepada Paklek dan yang lain,” ucapku kepada Cahyo.
Cahyo mengangguk. Kami pun memaksakan diri untuk berdiri untuk meninggalkan Alas Mayit.

Belum sempat berjalan lebih jauh, kami melihat beberapa orang berjalan menuju makam keramat.
“Mas Danan? Mas Cahyo?”
Itu Pak Sardi, ia berada di antara beberapa warga yang tampaknya berinisiatif memeriksa keadaan kami.

“Apa yang terjadi, Mas? Kok kamu terluka begini?” tanya Sekar khawatir dan memeriksa lukaku dan Cahyo.

“Ceritanya panjang. Sebaiknya kami ceritakan di rumah saja. Tapi kenapa Pak Sardi dan warga sampai datang ke sini?” tanyaku.

Wajah Pak Sardi terlihat cemas, ia berkata, “Terjadi sesuatu di desa, Mas. Tadi tiba-tiba beberapa warga terbujur kaku dengan wajah pucat. Mereka ndak bisa bergerak, kaku seperti kayu.

Dan jumlah warga yang mengalami hal itu semakin bertambah. Saya dan warga yang ingin menolong ndak bisa berbuat banyak, makanya kami berinisiatif ke sini.”
Aku menatap Cahyo, ia hanya memberikan gelengan.

Kami benar-benar tak tahu apa yang tengah terjadi pada warga Desa Windualit dan hubunganya dengan pertarungan kami bersama sosok Baron.

Akhirnya, kami menceritakan Pak Sardi tentang keberadaan mayat yang dibawa oleh Baron dan tentang keberadaan benda-benda pusaka,

tulang belulang, dan berbagai benda yang diambil oleh Baron dari makam keramat.

“Baron menggunakan ilmu pemberian tuannya untuk menarik pusaka dari makam itu, apa itu ada hubunganya?” ucap Cipto yang ternyata memantau kejadian itu.

“Celaka!” Pak Sardi menepuk keningnya dengan raut penuh kengerian. Ia berpaling dan mempercepat langkahnya menuju makam keramat yang sebagian masih terbuka dengan nyala api di dalamnya.

“Apa Pak Sardi? Apa terjadi sesuatu?” tanyaku sambil berlari.

Pak Sardi tampaknya mulai membaca apa yang tengah terjadi. Ia berkata, “Makam-makam orang sangat sakti zaman dulu bukan makam sembarangan.

Terkadang, ada kutukan yang disemayamkan bersamanya. Bila benar apa yang dikatakan pemuda itu,

berarti ia ndak hanya melepaskan pusaka dari jasadnya, tapi juga kutukannya,” jelas Pak Sardi. Keterangan Pak Sardi jelas saja membuat kami khawatir dan panik. Cahyo bertanya, “Apa ada cara untuk menghentikannya?”

“Seharusnya Tabuh Waturingin bisa menolak kutukan dan memulihkan warga desa, hanya saja ilmu yang digunakan oleh orang bernama Baron untuk menarik pusaka dari makam itu masih berada di sana dan terus menggerus semakin dalam, Mas.”

Kami pun memeriksa ke dalam makam dan mencoba membacakan mantra pemutih untuk menghapuskan ilmu yang digunakan Baron, tapi dengan mudah kami menyadari bahwa kami gagal. Api di dalam makam masih terus menyala berkobar, perlahan membebaskan kutukan dari makam orang-orang sakti itu.

Pak Sardi Pun terlihat frustrasi. “Sepertinya hanya dengan melumpuhkan pemilik ilmu itulah kita bisa menghentikan kutukan. Kalau tidak, kita hanya bisa menunggu mana yang lebih dulu. Habisnya kutukan makam keramat ini, atau habisnya warga Desa Windualit.”

Mendengar ucapan itu, Cahyo semakin geram. Ia segera berpaling dari makam itu dan menghampiri Cipto.

“Antar kami ke tempat itu, Mas Cipto. Tempat orang-orang brengsek memperebutkan tahta bodoh itu,” ucap Cahyo penuh amarah..

“Jul, jangan gegabah. Nyawa Cipto juga bisa dalam bahaya,” sergah.

“Ndak, Ndak apa-apa, Mas! Saya sudah melihat kemampuan Mas-masnya. Kalau ada kesempatan saya untuk menyelamatkan keluarga dan warga desa saya, maka nyawa saya yang ndak seberapa ini juga akan saya pertaruhkan,”

ucap Cipto penuh keyakinan walau ketakutan masih tersorot dalam binar matanya. Sepertinya aku terlalu memandang rendah nyali pria ini. Aku pun menghela nafas dan tak lagi menghalangi niat Cahyo.

“Saya ndak tahu apakah ini ada hubunganya atau tidak…” Pak Sardi menghampiriku dan Cahyo. “Saat saya sedang wirid, tiba-tiba saya mendapat pengelihatan tentang sosok bergamis dan berjubah putih yang menyampaikan sebuah pesan…”

Mendengar ucapan Pak Sardi, aku dan Cahyo saling bertatapan seolah sama-sama menyadari sosok yang dimaksud oleh Pak Sardi.
“Beliau bilang apa, Pak?” tanyaku tak sabar.
“Sepertinya penglihatan itu benar-benar bukan bunga mimpi semata,” balas Pak Sardi mengartikan tatapan kami.

Ia menarik nafasnya dalam-dalam, suaranya gemetar. “Beliau bilang kepada saya, ‘Sampaikan kepada mereka, jangan ragu mendatangi tempat terkutuk itu. Kalian tidak sendiri, cucuku dan dia yang menjadi kunci dari bencana ini ada di sisi kalian…’ begitu beliau bilang.”

Mendengar pesan itu, seketika aku dan Cahyo tersenyum sedikit lega. Pak Sardi sontak heran melihat reaksi kami.

Tak salah lagi, itu adalah petunjuk dari Ki Langsamana. Ini artinya, kami akan bertemu kembali dengan kedua orang-orang hebat dari tanah Pasundan. Tak ada lagi alasan kami untuk takut dan menahan diri. Karena aku dan Cahyo tidak sendiri.

Ada warga Desa Dawuilir yang tak sadarkan diri dan harus dikembalikan sukmanya, ada kutukan makam keramat di Desa Windualit yang harus dihentikan, dan ucapan Ki Langsamana seolah menunjukkan bahwa keberadaan kami adalah bagian dari takdir untuk menghentikan bencana ini.

Aku dan Cahyo sekali lagi harus siap mempertaruhkan nyawa demi orang-orang tak bersalah yang menjadi korban dari kompetisi bodoh atas tahta yang diperebutkan trah-trah terkutuk itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah mengikuti bagian ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.
close