Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 1) - Pagelaran Kaligetih

Pementasan wayang kelompok Ki Joyo Talun berakhir tragis dengan menyebarnya kutukan yang menimpa warga desa.
Konon semua itu ada hubunganya dengan keluarga ningrat.


KUTUKAN SEWU LELEMBUT

Kasta, kehormatan, dan pengabdian…
Manusia membentuk tingkatan derajat untuk menempatkan diri lebih tinggi lewat kebijaksanaan, keterampilan, dan kekayaan yang kemudian menempatkan seorang individu atau kelompok pada posisi yang berada di atas lainnya.

Tujuannya tentu agar mereka bisa membagikan kelebihannya untuk kehidupan manusia yang lebih banyak.
Sayangnya, kasta akan terus melekat pada keturunan-keturunanya, meski kebijaksanaan tidak lagi melekat.

Kehormatan yang semestinya menjadi tanggung jawab moral untuk menjadi bermanfaat bagi sesama malah disalahgunakan sebagai justifikasi untuk menindas.
Hanya garis darah yang menentukan mereka memiliki gelar dan kasta.

Bukan lagi kebijaksanaan yang diturunkan, melainkan pengabdi, ilmu gaib, hingga kutukan yang mereka rawat dan akan terus menjerat.

Dan ketika waktunya tiba, mereka harus menuai apa yang menjadi konsekwensi atas apa telah mereka tabur.
Kutukan Sewu Lelembut.

***

PROLOG

Sebuah panggung pementasan wayang berdiri megah di alun-alun sebuah desa. Set gamelan lengkap dengan hiasan kayu yang tampak kokoh dan elegan.

Pentas wayang akan digelar untuk menemani warga desa menikmati malam yang panjang dengan lakon-lakon yang sudah dinanti.

Bagi para warga desa yang saban hari berkutat dengan arit dan cangkul, pagelaran wayang adalah hiburan murah yang menyenangkan dan menyegarkan pikiran walaupun paginya bangun agak kesiangan. Kapan lagi mereka bisa melihat sinden cantik semalaman suntuk?

Di tengah alun-alun, di antara warga desa yang sedang mengamati instalasi panggung pentas, seorang pria tua yang mengenakan jas resmi tengah berdiri seraya mengelus janggut tipisnya.

Ia memandangi desa itu sebentar, mengamati kehidupan yang mengalir di sana.

Senyumnya tipisnya merekah, tapi kesan jahat begitu kental.

“Tenang saja, akan kusiapkan santapan untuk ilmumu,” bisiknya nyaris setipis angin pada sosok tak kasatmata yang memantau dari kejauhan, di antara bayangan pohon, dan menghindarkan dirinya dari cahaya matahari yang mulai memerah.

Tak ada satupun yang mengetahui wujud sosok itu selain tuannya sendiri. Siapa pun yang berhadapan dengannya akan gentar hanya dengan melihat topeng hitam yang ia kenakan.

Sosok itu menunduk hormat pada tuannya, yang tak lain adalah pria tua itu. Setelahnya, si pria tua itu berjalan ke satu batang pohon dekat alun-alun.

Ia melirik sekitarnya beberapa saat, memastikan tak ada orang yang akan curiga dengan apa yang akan dilakukannya.

Dirasa tak ada barang sepasang mata yang melihatnya, ia pun merogoh kantung jas, mengeluarkan segenggam kain yang lebih mirip dengan tas serut. Pria tua itu membuka ikat kain, meraup isinya, lalu menebarkan bubuk yang sehitam merica ke udara.

Bubuk itu, hanya dalam hitungan sepersekian detik, merupa kabut tak kasatmata yang menjadi awal dari tragedi nahas yang menimpa desa dengan pemandangan indah di hadapannya.

***

BAGIAN SATOE - PAGELARAN KALIGETIH

Desa Dawuilir, desa asri yang menenangkan dengan suara aliran sungai yang mengiringi kegiatan warga desanya. Kekayaan alam berupa sayur mayur yang tumbuh subur membuat desa ini juga menopang kehidupan desa-desa di sekitarnya.

Di alun-alun desa, perhelatan wayang sudah siap untuk digelar sebagai ucapan syukur atas berkah Yang Maha Pencipta. Mereka menyebut acara itu dengan sebutan sedekah bumi.

Terpampang spanduk besar yang menampilkan potret dalang kondang yang akan memimpin pagelaran.

“Ki Arsa Suseno? Dalang anyar, po? ” (Ki Arsa Suseni? Dalang Baru ya?) ucap salah seorang warga yang mengenakan jarik. Ia mengernyitkan dahi melihat spanduk pementasan yang ditancap bambu sepanjang area alun-alun.

“Iyo, nanging katane apik. Sindene yo ayu tenan... ” (Iya, tapi katanya bagus. Sindenya juga cantik banget..) sahut temannya yang memegang cangkul.

“Jelas apik, wong seko padepokan Ki Joyo Talun, anak didik’e Ki Daru Baya juga lan putrane dalang sisan… ”

(Jelas bagus, orang dari padepokan Ki Joyo Talun, anak didiknya Ki daru baya, terus anaknya dalang juga...) sahut satunya lagi.

Mereka buru-buru pulang ke rumah masing-masing untuk mengganti baju yang lebih enak dipandang sebelum begadang semalaman.

***

Saat langit mulai gelap, berbagai pedagang sudah memenuhi alun-alun untuk melengkapi kebutuhan warga agar pementasan wayang lebih nikmat.

Kacang dan jagung rebus tentu jadi primadona yang mengganjal perut agar tidak lapar, lalu pulang dalam keadaan masuk angin.

Tak terlewat kopi saset yang pengaruh kafeinnya tak seberapa, tapi cukup ampuh bikin melek.

“Kacang rebus, jagung rebus… monggo…” seru pedagang camilan yang di lapak mereka.

“Kopi… Kopi panas! Langsung seduh, kopi mix, kopi item, kopilih dia aku mundur!”

teriak pedagang kopi dengan sepeda ontelnya yang di bagian belakangnya penuh kopi renceng dan termos.

Berbagai pedagang bersemangat tarik urat demi menyambut warga yang mulai berdatangan dan memilih posisi duduk ternyaman untuk menonton.

Tak butuh waktu lama alun-alun desa sudah dipenuhi oleh warga dengan raut antusias selepas Magrib. Padahal siang tadi, mereka baru saja berbondong-bondong menyelesaikan ritual sedekah bumi.
Suara gong berbunyi…
Gending gamelan langsung mencuri atensi warga yang sudah berkumpul.

Suara tembang Jawa yang merdu seolah menghipnotis penonton untuk terus terpatri ke arah panggung tepat sebelum sang sang dalang memulai aksinya.

Dok… dok… dok… dok...

Suara dodogan membuka sebuah cerita yang dimainkan oleh Ki Arsa Suseno.

Lakon Wahyu Katentreman dimainkan dengan megah. Ia menggambarkan kisah hilangnya Prabu Puntadewa yang tiba-tiba menghilang dari Kerajaan Amerta.

Para penonton sontak takjub dengan kelihaian Ki Arsa Suseno memainkan gapit wayang dalam genggamannya seakan nyata.

Kisah perjalanan putra-putra Pandawa dalam mencari petunjuk atas masalahnya membuat penonton tak dapat memalingkan mata dari panggung barang sedetik. Bahkan, nyamuk yang mulai mengigit kulit pun tak digubris.

Penampilan Ki Arsa Suseno berhasil memanen decak kagum.

Pengetahuan yang diturunkan oleh gurunya, Ki Daru Baya, dan darah dalang yang diturunkan oleh ayahnya, membuat permainannya tidak kalah mumpuni dengan dalang sepuh lainnya.

Namun di tengah lakon yang sedang seru-serunya berlangsung, sebuah hal tak masuk akal terjadi.

Wayang yang dimainkan Ki Arsa melawan gerakan tangannya. Ki Arsa sempat tersentak kaget.

“Sing ati-ati, Le…” (Hati-hati, Nak...)

Terdengar suara di kepala Ki Arsa yang berasal dari wayang Semar Badranaya.

Ki Arsa terkejut, tapi mencoba tenang dan berusaha melanjutkan permainannya, meski pikirannya berkecamuk. Selang beberapa saat, Ki Arsa dapat kembali menguasainya kembali dan tak ada penonton yang menyadari ‘gangguan’ tersebut.

Saat malam mencapai puncaknya, terdengar lagi suara yang berbisik di telinga Ki Arsa yang berasal dari wayang yang sama.

“Ono sing arep nggawe perkoro...” (ada yang ingin membuat masalah...)

Keringat sebiji jagung menyembul di dahi Ki Arsa yang lantas menoleh ke arah salah satu sinden yang tampil bersamanya, Naya.

Gadis itu sebenarnya sudah menyadari gelagat Ki Arsa yang gelisah. Namun, Naya memberi isyarat lewat anggukan kecil kepada Ki Arsa untuk tetap tenang, sebisa dan secepat mungkin menyelesaikan lakon yang tengah ia mainkan.

Setidaknya setelah itu, mereka bisa memiliki waktu untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi, atau lebih tepatnya, apa dimaksud oleh sosok wayang itu.

Para penonton masih terbius dengan dialog para Pandawa yang memasuki akhir lakon. Namun, sebelum Ki Arsa menutup gunungan, terjadi kericuhan di antara para penonton.

Salah seorang penonton berdiri dan berteriak dengan wajah yang begitu pucat.

Ia kesakitan dan meronta-ronta seperti kesetanan.

Penonton lain pun panik dan mencoba menolongnya. Namun, apa yang terjadi pada orang itu membuat para wiyaga semakin heran sekaligus ngeri.

Mata penonton itu melotok dan memerah, ia memegangi, atau lebih terlihat seperti mencekik tenggorokanya sendiri . Tak ada yang tahu apa yang tengah terjadi atau apa penyebabnya.
Namun itu baru permulaan.

Satu per satu warga yang mencoba menolong tiba-tiba ikut berjatuhan.

Mereka mengalami hal yang serupa dan langsung tak sadarkan diri. Ki Arsa yang sedari tadi berusaha tetap melanjutkan tugasnya pun memutuskan untuk berhenti walau lakon tak selesai.

Naya, Ki Arsa, dan para wiyaga ingin menghampiri warga yang berjatuhan untuk memeriksa mereka. Namun, langkah mereka tertahan oleh kehadiran bayangan hitam dengan aura kecokelatan berwibawa yang tiba-tiba muncul.

Sosok yang mirip tokoh perwayangan itu menghadang mereka tepat di bawah panggung, tapi tak terlihat jelas rupa wajahnya, selain pakaian dengan ornamen emas yang menyilaukan.

“Ojo lungo! Aku ora iso njogo kowe yen kowe ninggalke tataran iki! ,” (Jangan pergi! Aku tidak bisa menjaga kalian kalau kalian meninggalkan panggung ini!) ucap sosok itu dengan suara yang menggema. Seluruh pemain dari padepokan Ki Joyo Talun melihat sosok itu sontak ketakutan.

Mereka benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, mereka menyadari satu-satunya alasan mengapa mereka tidak terpengaruh ‘sesuatu’ yang membuat warga berjatuhan adalah sosok di hadapan mereka saat ini.

Naya benar-benar tidak tega melihat pemandangan di depan matanya, ia tidak tahan dan ingin mencoba membantu warga yang jatuh tetap di hadapannya.

Namun, Ki Arsa yang melihat keraguan di wajah Naya, ia pun menarik tangan Naya sebelum gadis itu nekat menjauh dari panggung.

“Kamu di sini aja, Nay! Biar aku yang periksa!” sergah Ki Arsa.
Sebelum hal itu terjadi, terdengar suara bising yang mendekat ke arah alun-alun.

Ki Arsa yang baru saja hendak meloncat dari panggung pun terkaget. Sementara Naya menajamkan telinganya, ia lalu tersenyum sedikit lega.

***

“Cepetan, Ju!l Selak telat!” (Cepetan, Jul! Keburu terlambat!) Terdengar suara seorang lelaki beradu dengan berisiknya knalpot motor vespa tua yang membelah malam.

“Lha, iki si Mbah wis ngebut lho! Numpak Wanasura wae piye?!” (Lha, ini si Mbah udah ngebut lho! Naik Wanasura aja gimana?) gerutu Cahyo.

Plakkk!!!

“Heh! Ora sopan! Digaruk Wanasura kapok kowe!” (Heh! Nggak sopan! Digaruk Wanasura kapok kamu!) balas Danan setengah sebal.

Danan dan Cahyo memicingkan mata, menyaksikan keadaan di alun-alun yang mengerikan. Tubuh warga desa bergelimpangan.

“Yo, Cahyo…”

Danan menarik jaket Cahyo memarkirkan motor kesayangannya. Cahyo paham, wajahnya pun berubah serius mengetahui keadaan di tempat itu. Sangat kacau.

Rasa cemas Danan muncul mengingat Naya ikut dalam pementasan itu, tapi saat mereka masuk ke dalam gedung, ia bernafas lega karena mendapati Naya dan yang lainnya dalam keadaan aman di atas panggung.

“Naya!” teriak Danan sambil melambaikan tangan. Naya yang tengah celingak-celinguk pun menoleh dan tampak kelegaan pada wajahnya yang kemudian membalas lambaian itu.

“Hati-hati, ada sesuatu di tempat ini,” ucap Cahyo kepada Danan. Instingnya memperingatkan akan keberadaan sesuatu yang menyebabkan kekacauan ini terjadi.

Sebuah ajian dibacakan oleh Danan, ia berharap ajian itu bisa melindungi mereka berdua dari fenomena yang menyebabkan warga desa bergelimpangan.

Setelahnya, Danan dan Cahyo menemui Naya dan Ki Arsa untuk menanyakan penyebab semua ini, tapi keduanya hanya menggelengkan kepala.

Sama sekali tidak tahu menahu, apalagi menjelaskan sesuatu yang mungkin bisa menolong.

“Kalau bukan karena bantuan penunggu wayang keramat ini, mungkin kami sudah sama seperti mereka,” ucap Ki Arsa dengan raut tegang dan prihatin.

Danan yang mengamati sekitar memang merasakan ada sosok yang berusaha menjaga para pemain dari kutukan yang menyerang warga desa, tapi sepertinya itu juga tidak bertahan lama.

Ia membuka mata batinnya, lalu melihat sosok berwujud seorang kakek berpakaian Jawa kuno.

Sosok kakek itu menghampiri Danan, ia tak berkata sepatah kata pun, tapi memberi isyarat bahwa ia hanya bisa melakukan hanya sampai di sini dan menyerahkan sisanya kepada mereka. Danan mengerti dan kembali memasang ajian untuk semua yang berada di panggung pentas.

Lalu, Danan dan Cahyo mencoba memeriksa seorang warga yang seolah seperti tengah sakaratul maut. Di sebelahnya, Naya meringis,
“Mereka tiba-tiba kesakitan, satu per satu terjatuh nggak sadarkan diri,-

tapi Naya dan Ki Arsa sama sekali nggak melihat ada sosok gaib yang menyerang mereka.”
Danan mengangguk sembari memeriksa beberapa warga yang masih sadarkan diri.

Akan tetapi, mereka tak bisa merespons kecuali mengeluarkan suara layaknya tercekik karena tenggorokkan mereka terasa begitu panas. Danan menoleh kepada Cahyo, tapi yang dilirik hanya menggeleng karena tak mampu mendeteksi apa yang menyiksa warga desa saat ini.

“Apa ada yang bisa kami lakukan, Mas Danan?” tanya Ki Arsa.

“Bantu beri mereka minum dan pastikan nggak ada yang berhenti bernafas, Sa. Kalau bisa panggil bantuan medis dan segera informasikan kalau ada yang nggak selamat,” balas Danan masih terus mengamati situasi.

Ki Arsa paham dan segera memerintahkan teman-teman padepokannya yang sudah dalam proteksi Danan untuk mengurus warga. Kemudian, Danan mengangkat tangannya sembari terpejam penuh fokus untuk mendeteksi ada apa gerangan di balik semua ini.

Cringg!!!

Di tengah kebingungannya, Danan mendengar suara gemerincing gelang yang dikenakan oleh Naya. Suara itu mengingatkannya akan sebuah pusaka yang dimiliki oleh Gama.

“Wewangian itu…” Danan teringat wewangian pemberian Gama yang pernah menyelamatkan dirinya dari sosok makhluk yang sama sekali tidak bisa ia sentuh. Mungkin saja kali ini benda itu akan berguna sekali lagi.

“Kenapa, Nan?” tegur Cahyo yang heran dengan gelagat Danan yang buru-buru mencari sesuatu dari dalam tasnya.
Danan mendudukkan salah seorang warga lelaki dan menciumkan aroma wewangian dari botol kaca kecil di genggamannya.

“Uhuk... uhukkk….” Lelaki itu terbatuk dan lebih terdengar seperti tersedak. Aroma yang diciumnya dengan sesuatu yang tak kasatmata, tetapi mulai terlihat melayang-layang di sekitar mereka.

“I–ini?” Cahyo kaget melihat butiran-butiran bubuk melayang-layang di udara di sekitar mereka.
Ada kabut berkekuatan hitam yang bercampur dalam setiap butiran yang merasuk ke dalam tubuh warga desa.

Menyadari marabahaya yang terlihat, Danan lantas merapalkan ajian yang untuk menangkal butiran-butiran agar menjauh dari mereka.

“Sepertinya ini penyebabnya,” gumam Danan.

“Ini apa? Santet?” tanya Cahyo bingung.

Danan menggeleng, ia masih belum bisa menyimpulkan dengan jelas dan tepat mengenai kabut butiran gelap yang menari-nari di udara.

“Mas Danan bisa menghilangkan ini semua?” tanya Naya penuh harap.

Danan mengangguk. “Mas akan coba.”

Danan lalu membacakan ayat-ayat suci yang mengalun indah bagaikan puisi. Layaknya menjawab panggilan ajian gambuh rumekso, angin pun mulai datang berembus ke sekitar mereka.

Danan mengangkat tinggi-tinggi wewangian pemberian Gama dan membiarkan angin yang berembus membawanya menyapu butiran-butiran terkutuk itu keluar dari gedung.
Semua anggota padepokan takjub dengan apa yang terjadi.

Udara yang terhirup pekat dan menyesakkan berubah menjadi wewangian yang nyaman dan menenangkan.

Setelah Danan memastikan tidak ada lagi butiran hitam dan kabut yang melayang-layang di sekitar mereka,

Cahyo dan Ki Arsa pun langsung menuruni panggung untuk kembali memeriksa warga desa. Bantuan medis datang dari anggota padepokan yang menemukan tabung gas di dalam ruangan gedung yang tersedia P3K.

Berkali-kali mereka mencoba membantu warga bernafas dengan oksigen murni dengan amalan penyembuh yang dirapalkan Danan, tetapi mereka tak kunjung menunjukkan tanda-tanda mereda. Kutukan itu sudah melekat di dalam tubuh mereka.
“Sa—sakittt!!!”
“Aaarrrgghhh!!! PANAS!!!”

“Gusti, tolong kami….”
Satu per satu warga desa yang masih tersadar berteriak kesakitan karena merasa tenggorokan seperti semakin terbakar. Mereka menggelepar sambil memegangi leher dan menjulurkan lidah.

Serangan kutukan dari udara itu kian ganas seolah sudah bersiap menghabisi nyawa mereka.
“Tinggalkan mereka! Mereka adalah persembahan untuk ilmu tuan kami…”
Danan tersentak mendengar suara gaib itu. Tanpa mereka sadari suasana desa sudah berubah seketika.

Alun-alun yang berisi warga desa yang bergelimpangan kini berubah mengerikan dengan keberadaan berbagai sosok gaib yang mengepung alun-alun.
“Po–pocong?!” salah satu pemain karawitan yang terjatuh karena menyadari keberadaan puluhan pocong yang mendekatinya.

Sementara itu langit-langit sudah dipenuhi roh gentayangan yang melayang-layang, menanti kematian warga desa.

“Siapa tuan kalian??!!” seru Cahyo penuh emosi.

“Khekhekhe… bukan urusan kalian. Apa pun pertolongan yang kalian lakukan, mereka tetap akan mati!”

Tangan Danan mengepal, ia tidak tahu di mana keberadaan di balik sosok makhluk hitam yang terlihat dari penglihatan batinnya. Ia hanya melihat sosok itu ada di satu tempat yang tak jauh dari alun-alun, tapi sepertinya tidak berniat menyerangnya secara langsung.

“Mas Danan!” teriak Naya.
Danan menoleh dan mendapati seorang warga yang nafasnya tersengal-sengal seolah sedang menjemput ajal. Beberapa warga yang menderita karena menahan rasa sakit, dari ekor mata mengalir darah segar. Mereka menggelepar.

“Sial!” rutuk Danan frustasi, ia akhirnya tak punya opsi pilihan yang lebih baik selain menarik keris Ragasukma dari dalam dirinya, lalu berseru kepada Cahyo. “Yo! Tolong jaga mereka!"

Cahyo mengangguk dan melihat roh Danan mulai terpisah dari tubuhnya.

Naya pun mengerti maksud Danan.

“Wanasura!” Cahyo berteriak kencang untuk membangkitkan sosok yang bersemayam dalam dirinya. Suara raungan kera raksasa pun terdengar menggema ke seluruh desa.

Dalam sekejap, setan-setan yang mengerumuni alun-alun mundur dan gentar dengan kehadiran Wanasura yang muncul dari tubuh Cahyo.

“Jangan pernah sedikit pun menyentuh mereka!” ancam Cahyo entah tertuju kepada siapa.

“Bodoh! Tanpa kami melakukan apa pun, mereka tetap akan mati!” balas sosok hitam yang mengawasi mereka.

“Hanya Tuhan yang berhak menentukan hidup dan mati mereka!” balas Cahyo.

Beberapa makhluk gaib mencoba menyerang salah satu dari anggota padepokan yang mencoba menolong warga, tapi raungan Wanasura yang marah segera membuat mereka ciut niatnya. Tak satupun makhluk-makhluk itu lolos dari pandangan Cahyo dengan bantuan Wanasura.

Hingga dalam beberapa saat setelahnya, mata Ki Arsa terbelalak karena ada kobaran api jatuh yang dari langit dan dalam hitungan detik, membakar satu per satu tubuh warga desa.

“Mas Cahyo?!” Ki Arsa panik menyaksikan tragedi di hadapannya, berbeda dengan Cahyo tetap tenang mengawasi setan-setan yang siap menyerang.
Naya akhirnya tersenyum lega. “Jangan khawatir, mereka sudah kembali. ini ilmu Geni Baraloka Paklek,” jelasnya kepada Ki Arsa.

Warga yang sedari tadi berteriak kesakitan perlahan berangsur tenang. Saat itu, Danan tersadar setelah rohnya kembali ke tubuhnya.

“Jengges…” ucap Paklek yang hadir dalam bentuk sukma saat selesai memeriksa salah satu dari korban itu.

“Jengges? Apa itu, Paklek?” tanya Cahyo.

Paklek menggeleng sembari memeriksa beberapa korban lainya. “Ini… kutukan… kutukan mengerikan yang hanya dimiliki oleh salah satu yang terkuat di keluarga ningrat. Ilmu hitam ini merasuk melalui perantara benda yang disebar ke udara. Sudah lama Paklek tidak melihat ini.”

“Benar, Paklek, tadi dengan bantuan wewangian pemberian Gama, butiran-butiran hitam itu sudah dijauhkan dari tempat ini,” ucap Danan.

Mengetahui Geni Baraloka milik Paklek ampuh memurnikan kutukan itu, setan-setan yang masih tersisa pun geram dan akhirnya mulai menyerang.

Namun, Cahyo tetap pada posisinya dan tak membiarkan mereka mendekat.

“Mereka bisa ditolong dengan Geni Baraloka?” tanya Ki Arsa pada Paklek.

“Tidak, Geni Baraloka hanya mampu menahan rasa sakit untuk orang sebanyak ini, tapi tidak bisa bertahan lama,” balas Paklek.

“Terus gimanam Paklek?” Naya cemas. Paklek menghela nafas dan menatap ke seluruh warga yang bergelimpangan. “Jul! kowe nduwe tugas penting! ” (Jul kamu punya tugas penting)

Cahyo pun menoleh pada Paklek. “Apa, Paklek? Siapa yang harus aku tangani?” tanyanya sembari meregangkan otot-ototnya.

Sepertinya ia sudah kesal menahan diri hanya untuk berjaga tanpa melawan setan-setan itu.
“Tangani gundulmu! Sana cepet jemput Paklek!” balas Paklek.

“Lah, kan, Paklek udah di sini?” protes Cahyo.

“Ndak cukup cuma dengan sukma Paklek, bawa tubuh Paklek dan keris Sukmageni. Mungkin itu bisa menolong mereka,” tegas Paklek.

Cahyo mendesah tapi menuruti walau dengan wajah kecut.

“Udah keren-keren ujungnya jadi tukang ojek,” gerutunya sembari meninggalkan Paklek.

Paklek yang mendengar gerutuan itu bersiap mencopot sandalnya dan melempar ke arah Cahyo, tapi ia lupa saat ini hadir dalam wujud sukma.

“Untung kowe, Jul! nek ono sendal wes tak kaplok kowe!” (Untung kamu, Jul! kalau ada sandal sudah tak pukul mukamu)

Cahyo menirukan ucapan Paklek dengan cibiran, lalu bergegas menuju motor vespanya di area parkir. Namun, tak lama setelah kepergian Cahyo, tiba-tiba sosok ular piton besar berada di tengah-tengah warga desa dan melilit mereka.

“Jangan berani-beraninya kau sentuh mereka!” ancam Danan yang segera menghampiri ular itu dan menancapkan kerisnya tepat di kepalanya. Ular itu menggeliat kesakitan, tapi bukannya gentar, ia malah memanggil pasukannya dan mengajak setan-setan untuk menyerang Danan dan yang lain.

“Monyet itu sudah tidak ada, kita habisi mereka sebelum rencana tuan kita gagal,” teriak sosok ular yang kemudian berubah wujud menjadi nenek dengan tubuh bagiannya bawahnya masih berupa ular.

Mendengar komando, seketika setan-setan yang sedari tadi bergentayangan mendekat dan bersiap menyerang warga desa. Salah seorang pemain karawitan kesurupan, ia mencoba membunuh teman-temannya dengan gerakan layaknya seekor hewan yang mengamuk.

Paklek dengan sigap membacakan ajian pemanggil Geni Baraloka dan membakar seluruh setan yang berani mendekat. Danan menyadari bahwa ini akan menjadi pertarungan yang sengit dan mungkin akan memakan korban.

Lagipula seandainya ada seseorang yang mampu membantu Paklek menangani keadaan warga desa mungkin hanyalah dirinya, dan ia pun memiliki keterbatasan.

Sosok siluman nenek ular yang Danan Ssrang memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi Danan.

Namun, Danan lantas mengambil jarak dan membuat kuda-kuda. Ia tidak lagi berusaha menghadapi semua setan-setan itu.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan asa tekan sedanten…

Danan membacakan mantra yang diturunkan oleh leluhurnya. Sebuah mantra yang memanggil sosok yang mampu membuat setan-setan itu gentar. Perlahan, rintikan turun dan berubah deras. Sesosok makhluk melayang dari derasnya rintikan hujan dan mendarat di hadapan Danan.

Sosok yang yang tak lain adalah Nyi Sendang Rangu.
Sontak seluruh setan-setan di tempat itu ketakutan dan menjauh dari sosok Nyai yang mereka tahu kesaktiannya.

“Kau tidak memanggilku hanya untuk mengurus makhluk-makhluk remeh ini, kan, Danan?” tanya Nyi Sendang Rangu yang merasa tidak sepantasnya ia dipanggil hanya untuk peperangan receh.

Danan menggeleng, “Nggak, Nyi! Mereka—” Ia bergeser dari tempatnya dan menunjukkan warga desa yang sudah sekarat.

Nyi Sendang Rangu mengamati warga desa yang berada di ambang kematian.

Menyadari Geni Baraloka yang memurnikan kutukan mulai melemah, ia pun mencari keberadaan Paklek.

Paklek lantas tiba dan merunduk sopan kepadanya.
“Maaf, Nyi, bahkan apiku ndak mampu memulihkan mereka.”

Nyi Sendang Rangu mengerti. Ia mengibaskan selendangnya ke arah langit hingga air turun dengan semakin deras. Geni Baraloka milik Paklek mulai padam seiring dengan tenaga Paklek yang mulai habis, tapi digantikan dengan hujan Nyi Sendang Rangu.

Akan tetapi, ternyata masih tidak mampu memulihkan warga desa dari kutukan itu.

“Danan, aku kesal melihat mereka!” keluh Nyi Sendang Rangu sembari melirik ke arah setan-setan yang masih mencari celah untuk menyerang.

“Sama, aku pun, Nyi,” balas Danan. Ia pun mengambil posisi duduk bersila dengan memegang kerisnya. Ia memanggil Naya.

“Naya, titip tubuhku, ya!” Naya mengangguk sembari tetap berjaga di dekat tubuh Danan.

Sekali lagi sukma Danan meninggalkan tubuhnya dan kali ini dalam wujud putih seperti kilatan cahaya.

Sukma dDnan melesat layaknya kilatan cahaya yang menembus setan-setan yang berada di tempat itu. Lantunan doa-doa terdengar di setiap gerakannya.

“Tidak mungkin!” Siluman nenek ular itu panik. Ia menarik mundur pasukannya, tapi sudah terlambat. Sukma Danan sudah ada tepat di hadapan wajahnya dan menembus tubuhnya.

Pocong-pocong dan roh penasaran sirna bersamaan dengan alunan doa yang membuat mereka tenang, sementara siluman yang sejak awal berniat jahat terbakar hingga musnah.

Tak ada satu pun dari makhluk itu yang berkutik dengan serangan Danan.

“Kalian akan berurusan dengan tuan kami, makhluk rendah seperti kalian tidak akan mampu menghadapi kesaktian darah ningrat!” Terdengar suara angkuh dari sosok hitam besar yang melihat sekutunya dihabisi.

Muak dengan ocehan makhluk itu, sukma Danan melesat ke sebuah titik tersembunyi di luar gedung alun-alun. Keris Ragasukma tiba-tiba sudah menancap tepat di dahi makhluk itu.

Dalam sekejap, tubuh makhluk hitam itu terbakar dan sirna. Lalu sukma Danan kembali ke tubuhnya.

Tak ada sedikitpun senyum di bibir Danan atas keberhasilannya menghabisi setan-setan itu. Danan tahu, musuh sebenarnya saat ini bukanlah mereka, melainkan kutukan yang mungkin akan mencabut nyawa warga desa sebelum subuh datang.
Kutukan yang Paklek kenal dengan sebutan “Jengges”.

“Hujanku hanya mampu menahan rasa sakit dan menenangkan mereka, tapi kutukan itu masih tetap menggerogoti sukma mereka.

Kalaupun ada yang bisa menolong, mungkin hanyalah pusaka yang berasal dari zaman yang sama dengan kutukan ini,”

jelas Nyi Sendang Rangu sembari menatap ke arah Paklek yang masih berusaha mempertahankan sukmanya untuk tetap berada di sini walaupun seluruh energinya hampir habis.

“Mas…” Ki Arsa berusaha menenangkan Danan yang tengah merenung di bawah derasnya hujan.

“Kita sudah menggunakan seluruh usaha yang kita bisa untuk menolong mereka. Jangan cemas.”

“Iya, Mas, apa pun yang terjadi pasti seizin Yang Maha Kuasa,” tambah Naya, menenangkan.

Mereka hanya bisa merenung di bawah hujan deras memandangi warga desa yang tak berdaya dan kini terbaring lemah seperti dalam keadaan koma. Danan merasa dirinya tak berdaya saat detik-detik malam mulai menghampiri penghujung.

Entah apa yang mereka rasakan saat seharusnya matahari terbit membawa ketenangan, kini berganti dengan mimpi buruk yang akan terus menghantui.

***

Tin!!! Tin!!!

Suara klakson motor vespa terdengar bersamaan dengan cahaya lampu yang menembus hujan. Baru kali ini suara knalpot berisik itu sangat ditunggu oleh Danan dan yang lainnya.

Sukma Paklek menghilang dan kembali ke tubuhnya yang kini bersama dengan Cahyo, lebih tepatnya di belakangnya.

“Cepetan! Sudah mau subuh!” teriak Paklek yang sudah kembali ke tubuhnya.

Baru saja Cahyo ingin memarkirkan motornya, Paklek sudah melompat dari jok untuk segera menolong desa.

Brakkk!!!
Motor cahyo terjatuh bersama dengan Paklek dan Cahyo.

“Paklek iki piye to? Mbok yo sabar! masih diiket ini!” gerutu Cahyo yang mengelus kakinya yang tertimpa motor.

“Wadoh! Opo iki, Jul?!” (Waduh! Apa ini, Jul?!) Paklek kaget dengan sesuatu yang melingkar di pinggangnya.

“Sarung!” teriak Cahyo kesal.

Rupanya Cahyo mengikat sarung di tubuh Paklek dengan tubuhnya agar tidak jatuh saat di perjalanan menuju alun-alun.

“Bocah iki, aneh-aneh wae…” (Bocah ini, aneh-aneh saja..) Paklek berdecak sebal.

“Tau gitu tak glundungin aja di jalan tadi,” gumam Cahyo.

“Opo?” (Apa?!) Paklek memicingkan mata.

“Ndak! Ndak Paklek! Mau main gundu habis ini!” balas Cahyo.

Danan dan Naya tertawa melihat kelakuan mereka. Sepertinya selalu saja ada tingkah mereka yang bisa mencairkan suasana.

Paklek pun mengeluarkan keris Sukmageni dari tas kainnya yang dibawakan oleh Cahyo. Sebuah keris peninggalan leluhur yang hanya dapat digunakan oleh Paklek.

Di tengah derasnya hujan, Paklek menggoreskan bilah putih keris Sukmageni di tangannya sehingga darahnya berubah menjadi tetesan api putih. Ia meneteskannya pada warga yang sudah tak sadarkan diri di hadapannya.

Api putih itu membakar tubuh para warga dan percikan-percikan hitam mulai keluar, lalu menguap di udara.

“Berhasil?” tanya Danan penasaran.

Nyi Sendang Rangu yang sudah berada di antara mereka mengangguk, tapi terlihat masih ada kecemasan di wajahnya.

Terlebih para warga belum tersadar meski kutukan sudah keluar dari tubuh.

Berkali-kali Paklek meneteskan api putih ke tubuh warga. Kutukan jengges itu pun sirna dan menguap dari tubuh mereka. Namun, mereka mulai sadar dengan apa yang dicemaskan Nyi Sendang Rangu.

Korban yang berjatuhan terlalu banyak. Terlalu banyak darah yang dibutuhkan untuk menyelamatkan mereka semua. Wajah Paklek berubah pucat. Tidak hanya darah, ajian keris Sukmageni juga memakan begitu banyak kekuatan dari tubuh dan sukma paklek.

“Sudah, Paklek,” Nyi Sendang Rangu menahan tangan Paklek yang terus kembali meneteskan darahnya untuk menolong warga.

“Tidak! Tidak kubiarkan satu pun orang mati di tempat ini!” Paklek bersikeras, ia terus menggores tangannya dengan keris Sukmageni.

Semua yang berada di tempat itu merasa dilema dengan apa yang mereka lihat.

Di satu sisi puluhan warga harus diselamatkan, tapi di satu sisi bila diteruskan nyawa Paklek juga terancam.

Danan dan Cahyo yang sudah mengetahui batas Paklek bergegas melompat dan menahan kedua tangan paklek agar berhenti.

“Sudah, Paklek!” tahan Danan.

“Cukup!” Cahyo benar-benar tidak berniat melepas tangan Paklek.

Paklek menatap kedua lelaki yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu. “Jangan bodoh! Puluhan nyawa dipertaruhkan disini!”
Sekali lagi Paklek mendekatkan kerisnya ke telapak tangan. Namun kali ini Danan benar-benar menahan tangan Paklek sekuat tenaga.

“Apa yang kita lakukan selama ini akan percuma bila kita membiarkan mereka mati!” teriak Paklek.

“Tapi Paklek juga pasti mati kalau memaksakan diri!” segera Danan.

“Itu harga yang pantas untuk nyawa mereka!” bentak Paklek. Wajahnya yang pucat memerah karena emosi dan kekecewaan terhadap batas dirinya sendiri,
Cahyo tak berkata apa pun. Ia pun merunduk di bawah guyuran hujan sembari memegang dengan kuat tangan paklek.

“Jul! Lepasin!” tegas Paklek.

Cahyo menggeleng, ia terus merunduk mencoba menutupi air mata yang menetes di wajahnya.

“Paklek nggak boleh mati,” ucapnya lirih.

“Kalian mengorbankan warga desa!” ucap Paklek.

“Biar aku yang menanggung dosa itu!” ucap Cahyo dengan mata yang tajam.

Setelah kehilangan kedua orang tua semasa kecilnya, Cahyo tidak bisa kehilangan Paklek yang merawatnya hingga besar.

Suara petir menyambar beradu dengan hujan Nyi Sendang Rangu. Tak ada suara lain yang terucap lagi setelahnya.

Tak satu pun dari mereka yang di sana yang mampu menilai mana langkah yang paling tepat yang harus mereka lakukan.

***

Duooongggg!!

Di tengah kebingungan mereka tiba-tiba terdengar suara gong gamelan yang berbunyi dengan sendirinya dari atas panggung.

Setelahnya, bersahutan terdengar suara gending gamelan yang sayup-sayup menyatu dengan suara hutan yang entah dari mana asalnya.

Mereka semua mencoba mencari asal suara itu, tapi yang mereka temukan adalah gelagat aneh dari Ki Arsa. Ia memegang sebuah wayang berwujud salah satu Pandawa, yaitu Sadewa.

Ki Arsa berusaha menahan wayang yang terus bergetar dengan kekuatan yang meledak-ledak dari wayang itu.

“Mas Arsa?!” Naya bingung dengan gelagat Ki Arsa. Ia belum pernah melihat Ki Arsa bertingkah seperti ini sebelumnya.

Duonggg!!!

Suara gamelan kembali terdenger bersama terpentalnya Ki Arsa dari tempatnya. Sosok roh pria berpakaian kerajaan muncul dari wayang Sadewa itu.

Wajahnya hitam, tubuhnya yang sangat besar memancarkan aura yang seolah menyiratkan kekuatan yang adidaya.

Nyi Sendang Rangu yang menyadari kekuatan besar dari makhluk itu segera berdiri di hadapan Paklek, Danan, dan Cahyo untuk menghadang makhluk itu.

“Jangan takut! Mungkin bisa kupinjamkan sedikit kekuatanku...,” ucap sosok itu, suaranya yang bak bariton menggelegar, tapi tak terdengar menakutkan, justru tersirat kebijaksanaan.

“Siapa dirimu?” tanya Nyi Sendang Rangu yang berusaha sopan.

Hanya Danan yang tidak begitu khawatir. Ia sadar saat wujud Nyi Sendang Rangu tidak berubah menjadi menyeramkan, itu artinya sosok itu tidak berniat jahat.

“Paklek, ikuti saja ucapan makhluk itu,” ucap Danan.

Mereka pun menyingkir dari kumpulan korban kutukan jengges. Makhluk itu mengangkat telapak tangannya ke arah mereka dan mengumpulkan api yang sudah mengorbankan begitu banyak darah Paklek di tangannya.

Mereka cemas, tapi saat mengetahui Danan percaya dengan sosok itu, mereka pun hanya memperhatikannya sembari berdoa dan berharap. Tangan makhluk itu berkobar dengan api Geni Baraloka yang terus membesar dan berputar seperti naga api,

bahkan semakin meraksasa tanpa membutuhkan darah Paklek lagi.

Senyuman mulai terpancar dari bibir Cahyo. Tepat sebelum matahari menunjukkan sinarnya,

api raksasa yang dikobarkan oleh makhluk itu membakar semua tubuh warga dan menghanguskan kutukan jengges yang nyaris merenggut nyawa mereka. Wajah Danan, Cahyo, Nyi Sendang Rangu, Paklek, dan yang lainnya takjub dan terbit senyum lega.

“Terima kasih, tuan ksatria,” ucap Nyi Sendang Rangu yang seketika begitu hormat.

“Aku hanya bisa membantu ini. Kutukan itu sudah menggerogoti sukma mereka. Mereka tidak akan sadar sampai kalian menemukan pelakunya dan menghancurkan ilmunya…”

ucap sosok wayang Sadewa yang kemudian berpaling menuju ke tubuh Ki Arsa yang belum tersadar.

“Maaf, apa tuan tahu siapa pelakunya?” Danan mencoba menggali lebih jauh.

“Aku tidak boleh terlalu ikut campur dengan urusan manusia. Lawan kalian adalah trah ningrat terkutuk yang sudah menghabisi ribuan nyawa, bahkan anggota keluarganya sendiri. Kalian harus menemukannya sendiri. Hanya itu yang bisa aku sampaikan.”

Danan menelan ludah mendengar informasi itu. Sudah banyak makhluk mengerikan yang mereka lawan, tapi rasa takut yang ia bayangkan kali ini berbeda. Belum pernah mereka menghadapi kutukan semengerikan ini. Bahkan Paklek dan Nyi Sendang Rangu pun tidak dapat berbuat banyak.

Ia yakin trah yang dimaksud pasti memiliki kemampuan jauh lebih berbahaya dan ini hanya permulaan.

Di tengah rintikan dan bias hujan, sosok Sadewa itu pun menghilang.

Benar ucapannya, warga desa yang terkena kutukan bisa melewati masa kritis dan mereka bernafas lagi.

Namun tak satu pun dari mereka yang tersadar. Naya dan teman-teman padepokannya memindahkan warga ke balai desa dan merawatnya.

Saat pagi menyingsing, ada beberapa warga yang terbangun. Mereka kaget dengan kekacauan yang terjadi dan mereka alami.

Brukkk!!!

Paklek ambruk terjatuh. Tubuhnya begitu lemah dan wajahnya semakin pucat. Danan dan Cahyo sontak panik.

“Paklek!” teriak mereka.

“Paklek hanya kelelahan,” ucap Nyi Sendang Rangu yang mengusap telapak tangan Paklek. Seketika pendarahannya berhenti.

Setelahnya, hujan pun berhenti bersamaan dengan Nyi Sendang Rangu yang berpamitan sebelum hilang dari pandangan tak lama ketika semestinya suara adzan dikumandangkan.

Mereka pun menarik nafas lega setelah mengetahui keadaan Paklek yang tidak terlalu parah dan segera membawa Paklek ke tempat yang lebih nyaman di salah satu ruangan balai desa.

***

Sinar mentari yang cerah menelusup di antara pepohonan rindang di sekitar alun-alun. Angin sejuk menerpa setiap rumah-rumah sederhana yang beralaskan tanah.

Pagi yang cerah dan tenang untuk membumbung tinggi harapan, tetapi peristiwa di pagelaran wayang menyisakan nuansa yang mencekam. Tak terlihat ada warga desa yang biasanya memulai aktivitas dengan senyum optimis.

Di dalam gedung balai desa, beralaskan kursi seadanya Danan, Cahyo, Paklek tertidur lelah setelah kejadian semalam. Warga desa yang selamat bersama Naya dan kelompok Padepokan Joyo Talun dengan hati-hati merawat warga lain yang belum sadarkan diri.

Naya menyadari bahwa Danan, Cahyo, dan Paklek tidak benar-benar bisa tidur tenang. Sepertinya kutukan yang menyebabkan warga desa hingga seperti ini membuat mereka cemas bahkan di luar alam sadarnya.

Danan terjaga dari tidurnya, wajah yang terlihat lelah, ia menguap dengan mata yang masih memerah, lalu menoleh ke ara Naya. “Jam berapa, Naya?”

“Jam delapan, Mas Danan mau mandi dulu apa makan dulu?” Naya segera menghampiri dan duduk di samping Danan.

“Makan dulu saja. Kalau bocah kethek itu keburu bangun bisa-bisa aku nggak kebagian,” gurau Danan.

“Heh, aku krungu, lho!” Tiba-tiba Cahyo menyahut dalam posisinya yang masih meringkuk.

Naya tertawa geli melihat Cahyo yang masih betah dengan posisinya nyamannya. Terang saja, semalaman suntuk ia melawan makhluk tak kasatmata yang membahayakan warga desa.

“Tenang, Naya masak banyak. Dibantu warga desa juga. Naya siapin dulu ya,”

Naya tersenyum sebelum meninggalkan mereka berdua.

Danan dan Cahyo pun beringsut bangun dan keluar dari gedung balai desa. Danan memicingkan matanya, seseorang sedang duduk termenung sendiri di bawah salah satu pohon.

“Ngelamun aja, mikirin apa, Sa?” Danan menepuk pundak Ki Arsa, lalu duduk di sebelahnya. Cahyo tak ketinggalan mengambil posisi duduk sembari bersandar di batang pohon itu.

“Eh, Danan? Cahyo? Kalian sudah sehat?” tanya Ki Arsa, terdengar khawatir.

“Lumayan, buat ngabisin nasi sepanci masih kuat,” gurau Cahyo.

“Makan melulu pikiranmu, Jul!” tegur Danan.

“Ya gimana, jauh dari Sekar sambil nonton kamu dan Naya romantis-romantisan itu menghabiskan energi banyak,”

balas Cahyo sembari mereganggakan tubuhnya dan menikmati embusan sejuk angin.

Ki Arsa tertunduk, ia kemudian sedikit tersenyum. Ada rasa optimis yang mulai tumbuh dalam pikirannya.

“Kalian hebat ya, bisa berusaha tenang padahal kita semua tahu masih ada marabahaya yang harus kalian hadapi.”
Danan dan Cahyo saling berpandang seolah saling memberi isyarat untuk memberi tahu sesuatu pada Ki Arsa.

Danan terkekeh pelan. “Nanti kamu juga mengerti, Sa. Terutama saat semua ini sudah selesai dan mendapati orang-orang yang kita sayang selamat dan masih menyambut kita.”

“Betul, apalagi disambutnya pake sayur lodeh sama ikan asin. Nikmat dunia mana lagi yang kau dustakan?” tambah Cahyo.

“Wah, untuk itu aku sepakat, Mas.” Akhirnya Ki Arsa ikut terkekeh.

Perbincangan di bawah pohon pagi itu menjadi asa yang menggeser ketakutan mereka akan kekacauan tadi malam. Danan menatap Ki Arsa yang menatap lurus ke arah desa di hadapannya.

“Oh iya, Sa...,” ucap Danan seperti teringat sesuatu.

“Eh, kenapa, Mas?” Ki Arsa menoleh.

“Kamu kenal sosok yang muncul dari wayang Sadewo-mu itu?” tanya Danan.

Ki Arsa bergumam sebentar diikuti gelengan.

“Sebagian dari wayang-wayang milikku ini jimat warisan Bapak. Ki Darmo Suseno. Memang aku sering mengalami hal-hal aneh yang berasal dari wayang itu, entah sekadar mendengar suara atau melihat sekelebat bayangan.

Bagiku itu wajar karena benda warisan pasti keramat dan punya tuah, apalagi mengingat kejawaan Bapak.” Sorot matanya menegaskan kekaguman sekaligus kengerian.

“Tapi baru kemarin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sosok-sosok yang mendiami wayang Bapak. Aku ditolong oleh mereka,” jelasnya dengan suara bergetar.

Danan mengangguk paham.

Sebenarnya ia sudah menduga Ki Arsa belum bisa mengenal, apalagi mengendalikan pusaka peninggalan ayahnya itu.

“Mungkin bila aku ikut dengan Mas Danan dan Mas Cahyo, aku bisa belajar agar lebih mahir memahami wayang-wayang bapak?” ucap Ki Arsa sembari menatap ke arah danan dan Cahyo.

“Jangan!”

“Iya, jangan!”

Danan dan Cahyo kompak tegas menolak keinginan itu, membuat Ki Arsa mengernyitkan dahinya. Heran sekaligus ada tersemat kekecewaan.

Danan berdeham, mencoba merendahkan nada bicaranya. “Bukan maksudku ingin mematahkan semangatmu, Sa, tapi terlalu berisiko. Apa yang kami lakukan sangat berbahaya.”

Cahyo lantas mengangguk. “Bukan nyawamu saja yang dipertaruhkan, tapi orang-orang terdekatmu. Malah kami juga sering nggak tahu apa yang akan kami hadapi. Kupikir kamu bisa belajar memahaminya lewat cara-cara bapakmu terdahulu, Sa. Bukan dengan ikut kami.”

Ia tersenyum meyakinkan.

Ki Arsa melihat respon kedua orang itupun merasa tidak mungkin menawar ucapan mereka. Ia pun mengangguk kecil dan memaklumi.

Biar bagaimanapun, Danan dan Cahyo memiliki kenangan buruk tentang kematian kedua dalang dari padepokan Ki Joyo Talun,

padepokan tempat Ki Arsa dan Naya saat ini. Bukan keputusan yang bijak melibatkan seorang dalang muda yang berbakat dari padepokan itu dalam pertarungan.

“Ndak perlu ikut dengan mereka, Sa. Di sini saja. Siapa tau Paklek bisa ngebantu kamu memahami kelebihanmu…”

Danan, Cahyo, dan Ki Arsa menoleh ke asal suara yang berasal dari belakang mereka. Paklek berjalan pelan menghampiri dengan senyum bijaknya.

“Paklek...” sambut Danan dengan mata berbinar. Ia lega Paklek sudah bisa bangun dan tak terlihat ada luka serius.

“Bentar… berarti Paklek nggak ikut sama kami?” tanya Cahyo.

Paklek menghela nafas sebelum menjawab dengan anggukaan. Ia sudah memikirkan keputusannya dengan matang.

“Warga desa belum selamat, hanya ilmu Paklek yang bisa diandalkan untuk menolong mereka bila terjadi sesuatu lagi. Terlebih Paklek masih butuh waktu untuk,” jelasnya.

Danan dan Cahyo setuju walau mereka tahu tanpa adanya Paklek, langkah mereka akan semakin berat.

“Untuk saat ini, mungkin kalian butuh bantuan mereka lagi,” ucap Paklek pelan.

“Mereka siapa?” Alis Danan terangkat.

“Paklek sudah menghubungi Ki Duduy. Sepertinya mereka juga menghadapi masalah serupa. Firasat Paklek, kalian akan bertemu dengan mereka saat mengikuti petunjuk tentang siapa dalang di balik kutukan jengges ini…”

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close