Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sang ABDI (Part 2 END)


Lalu, kejadian itu terjadi..

JEJAKMISTERI - Meski si anak tampak tersenyum memamerkan giginya, ia melihat ada air mata keluar dari 2 bola matanya, seakan-akan ia menangis.

Menangis dengan ekspresi wajah tersenyum.

Lalu, si anak membenturkan kepalanya ke lantai, keras sekali, hal itu membuat pak Budi berlari menghentikan si anak.

Ia tidak tahu, saat memegang si anak, anak itu meronta meminta pak Budi melepaskanya. Kuat sekali, cengkraman anak itu.

Hal yang pak Budi ingat adalah, ia melihat perempuan yang menjaga si anak datang dengan ekspresi kaget, melepaskan pak Budi dari si anak dan membawanya pergi.

Sebelum pergi, ada tatapan marah di wajah si perempuan kepada pak Budi, hal itu membuat pak Budi bingung.

Malam kebrangkatan itu pun tiba.

Sebelumnya, bu Asirih sudah memberitahu agar menggunakan mobil lain, mobil yang lebih besar, mobil yang bahkan belum pernah pak Budi sentuh sama sekali. Hal itu tidak menimbulkan kecurigaan apapun. Tidak sampai ia tahu, siapa saja yang pergi.

Malam itu, Pak Budi sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, menunggu kedatangan Ndoro Sasri, dari jauh pak Budi melihat dengan mata kepala sendiri, si anak kecil melihatnya dari jauh, di belakangnya ada si perempuan, tatapan mereka dingin.

Tidak hanya itu saja, pemandangan lain terlihat dari lantai 2, pak Budi bisa melihat dengan jelas, anak lelaki yang lain, ia menatap sama dinginya seperti si anak kecil dari salah satu kamar di lantai 2, seakan-akan mereka memberi salam perpisahan kepada pak Budi.

Tidak beberapa lama, ndoro Sasri keluar, ia di bantu oleh ibu Asirih, melihat itu pak Budi segera membantunya masuk ke dalam mobil.

Ndoro Sasri mengenakan kebaya putih, dengan terusan sewek (selendang batik) dari gaya busananya, seolah ndoro Sasri, akan menghadiri perjamuan.

Tidak ada pertanyaan terlontar dari pak Budi, hanya sekelibat pemikiran liar, saat melihat penampilan ndoro Sasri malam itu yang benar-benar terlihat layaknya bangsawan jawa.

“Berangkat sekarang ndoro” Tanya pak Budi, yang sudah duduk di bangku sopir.

Belum mendapat jawaban apapun, tiba-tiba pintu mobil terbuka dan ibu Asirih melangkah masuk, lalu ikut duduk di samping ndoro Sasri, pak Budi terdiam sejenak sebelum ndoro Sasri mengatakanya.

“Asirih melu yo le” (ibu Asirih ikut nak)

“Nggih” kata pak Budi, gaguk. Ini mengejutkan, baru pertama kali, pak Budi melihat ibu Asirih keluar dari rumah ini, sebagai abdi yang paling tua di rumah ini, pak Budi belum pernah melihat wanita tua itu meninggalkan rumah ini, bahkan untuk belanjapun ia tidak  keluar rumah.

Karena sejatinya ibu Asirih lebih suka menyuruh abdi lain atau pak Sasongko, tukang kebunya untuk menyelesaikan kewajiban bila harus keluar rumah.

Bila di pikir ulang, ibu Asirih juga misterius, sama misteriusnya dengan keluarga ini.

Seakan-akan ada pembatas dirinya dengan beliau, yang tidak dapat menjalin hubungan sebagai sesama pengabdi di keluarga CIPTO ini, namun segera pak Budi menepis pikiran itu.

Mobil pun melaju, setelah ndoro Sasri menyuruh pak Budi berangkat.

Di tengah mobil yang melaju, ndoro Sasri mengatakanya, “Le, mampir dilek nang Yanu yo” (Nak, kita mampir sebentar ke tempat Yanu).

Pak Budi ingat dengan nama itu, cucu beliau yang ada di K********, tanpa pikir panjang, pak Budi segera meluncur menuju kesana.

Di luar dugaan, kehadiran mereka seakan sudah di tunggu, terlihat di lorong tamu gedung itu, Yanu duduk bersama perempuan yang memberi petuah misterius itu agar meninggalkan pekerjaan ini sebelum tahu apa itu JEJEK, yang sampai sekarang, belum pak Budi pahami.

Pak Budi hanya menunggu di dalam mobil, sementara bu Asirih dan ndoro Sasri pergi menemui Yanu, ada peristiwa yang menarik saat pak Budi melihat apa yang terjadi, ia mendengar lolongan, jeritan dari Yanu, yang membuat bulukuduk berdiri.

Yanu yang sebelumnya ia tahu anak muda berkisar usia 20an, menjerit seperti anak kecil, tidak di ketahui apa alasanya, namun bila di perhatikan dengan seksama, apakah ada hubunganya dengan ibu Asirih.

Setelah kurang lebih 10 menit, bu Asirih, ndoro Sasri kembali ke mobil dengan Yanu di depan mereka, kini mereka bertiga sudah masuk ke dalam mobil. Ada perasaan tidak mengenakan sebelum pak Budi meninggalkan tempat itu, yaitu Tatapan perempuan itu kepada pak Budi.

Seakan-akan perempuan itu mengatakan, “lak wes di omongke, kudune rungokno pisuruhku” (Bukanya sudah ku bilang, dengarkan ucapanku).

Pak Budi pun melanjutkan perjalanan itu, menuju tempat yang ndoro Sasri ceritakan tempo hari.

7 jam perjalanan, jam menunjukkan pukul 2 dinihari. Memasuki sebuah jalanan yang sepi, sunyi, kiri kanan hanya ada pepohonan rimbun, kabut perlahan muncul, dan hanya pak Budi yang terjaga saat itu, setidaknya itulah yang pak Budi pikir, sebelum pak Budi menyadari sesuatu.

Semua mata di dalam mobil  ternyata sama terjaganya dengan beliau.

“Ndoro, ibuk, mboten tilem tah” (Ndoro, ibuk, kenapa belum tidur?) Tanya pak Budi, namun, anehnya, pertanyaan pak Budi tidak di gubris, seakan mata mereka terbuka namun sukma mereka tengah tertidur. Pak Budi mengulang 3 kali pertanyaan itu, namun tetap tidak mendapat jawaban.

Hal itu, menimbulkan ketakutan tersendiri kepada pak Budi

Mungkin karena itu juga, memicu pak Budi sehingga kehilangan fokus, akibatnya, perlahan, di tengah kegelapan jalan dan medan naik turun, terlihat di kiri kanan jalan, tiba-tiba ramai orang berbaris. Membuat pak Budi kaget.

Bagaimana mungkin, di tengah jalan gunung seperti ini banyak aktifitas kiri kanan yang ramai orang, seperti pasar dadakan. Kejadian itu terjadi cukup lama, sampai sentuhan ibu Asirih menghentakkanya, membuat pak Budi memekik kaget dan menginjak rem kuat-kuat.

Ban mobil berdencit keras beradu dengan aspal sebelum berhenti total, bu Asirih melihat pak Budi dengan tatapan dingin.

“Bu, enten nopo buk” (bu ada apa ini?) Tanya pak Budi, kaget, tepat di depan pak Budi  ada sebuah pohon besar, dan mobil sudah keluar dari jalur aspal.

“Wes gak popo. Gak usah di pikirno, wes cedek kok. Ayo lanjutno” (sudah gak papa, gak usah di pikirkan, ayo lanjutkan perjalananya sudah dekat kok)

Bu Asirih kembali duduk. mata Yanu masih kosong, begitu juga dengan ndoro Sasri.

Bingung, pak Budi yakin tadi melihat banyak keramaian orang di kiri kanan jalan, seperti apa yang baru saja terjadi hanya kilasan mimpi, Untuk ukuran peristiwa bahwa mobil akan menghantam pohon, tak ada satupun orang yang berwajah panik. Hanya pak Budi sendiri yang panik.

Setelah menempuh 1 jam perjalanan lagi, mereka melihat sebuah gapura, tidak di ketahui ada gapura di tanah gunung ini, ibu Asirih yang menyuruh masuk ke gapura itu, seakan ibu Asirih sudah seringkali melewati jalanan ini.

Tanpa bertanya, pak Budi menurut saja. Meski jalanan tidak beraspal, tanahnya tampak sering di lewati oleh mobil, dengan samping kiri kanan masih pohon lebat. Cukup jauh dari jalan utama, sebelum mencapai sebuah gerbang singgah. Berdiri sebuah Vila besar, di depanya ada tulisan.

“Vila Th***S”

Pak Budi melirik tulisan pada papan tua yang di buat dari papan kayu yang sudah tua.

Bangunanya menyerupai bangunan belanda. Yang pak Budi pertama pikirkan tentang bangunan itu mungkin adalah bangunan milik pribadi dari ndoro Sasri.

Yang menjadi masalah adalah, di luar Vila, sudah ada mobil lain terparkir.

Vilanya bagus sekali, hanya pencahayaanya yang kurang disana-sini. Pak Budi memarkir pelan. Dari luar ada lelaki yang membukakan pintu, membantu ndoro Sasri keluar, lirikanya membuat pak Budi merinding, karena dari caranya melihat seperti bukan ndoro Sasri yang pak Budi kenal.

Bukan hanya ndoro Sasri, Yanu juga dibantu keluar, mereka membawanya masuk ke Vila, sementara ibu Asirih meminta pak Budi menunggu di dalam mobil.

Tidak lama kemudian ibu Asirih masuk ke Vila.

Pak Budi berdiam sendirian, melihat bahwa samping Vila hanya ada pepohonan gelap.

Pak Budi keluar dari mobil, ia duduk di atas kap mobil, menyalakan sebatang rokok, ia merasa ngeri bila memperhatikan sekitar. masih bingung, siapa pemilik mObil lain disini, dan apa yang sebenarnya di lakukan majikanya di tempat seperti ini.

Tidak beberapa lama, terdengar suara orang memanggil, pak Budi pun melihat dari jauh, ibu Asirih memanggilnya. melambaikan tanganya, pak Budi pun bersiap menuju kesana. sebelum, ada seseroang tiba-tiba keluar dari mobil terparkir, rupanya sedari tadi di dalamnya ada orang lain.

"Jangan mendekat mas" kata orang asing itu. logatnya seperti logat orang Ja***ta. 

"Gimana mas, itu, teman saya yang memanggil"

Orang asing itu masih diam, lalu berujar dengan nada bertanya. "Yakin itu temanmu yang baru keluar dari mobil mas?"

Ucapan orang itu membuat pak Budi bingung, tepat ketika melihat ibu Asirih lagi, tidak ada orang yang berdiri disana, hanya lorong Vila yang gelap.

"Di tempat seperti ini, hal seperti itu sudah biasa mas. Anggap saja, ada yang ingin kenalan"

Pak Budi pun mendekati orang itu.

Orang itu memberitahunya, kalau dia memang dari kota Ja***ta, alasan kenapa dia ada disini, karena ia baru saja mengantarkan majikanya.

Di tengah percakapan itu, pak Budi tiba-tiba bertanya. "tempat apa sih ini mas. Kok pelosok sekali untuk ukuran Vila pribadi"

Orang itu, diam lama. Mengamati, kemudian melihat pak Budi sembari berkata "Anda sopir baru ya?"

Pertanyaan itu membuat pak Budi merasa aneh, seolah-olah ia baru saja melontarkan pertanyaan yang salah, namun pak Budi menjawab sejujurnya.

"Nggih mas"

Orang itu, terdiam lama.

Ia menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum melepaskanya, sampai asap putih mengepul di udara. Seolah bingung dengan apa yang harus di katakan, orang itu berkata "bila belum jauh, lebih baik berhenti saja. Pesan saya cuma itu saja mas, anggap saja, itu cara saya kenalan sama anda"

"Maksudnya gimana mas?" tanya pak Budi, dan tiba-tiba, seseorang menepuk bahu pak Budi, itu adalah bu Asirih, seraya melihatnya dengan tatapan tidak mengenakan.

"Di celok ket mau kok gak njawab, ayok melbu" (di panggil dari tadi kok tidak menjawab, ayok masuk)

Pak Budi mengangguk, bersiap berpamitan dengan orang itu, tapi, anehnya, tidak ada siapapun disana. Hanya pak Budi sendirian, dengan ibu Asirih yang masih menunggu pak Budi melangkah dari tempat itu

"Golek opo?" (cari apa kamu)

Pak Budi pun hanya diam sembari berjalan mengikuti.

Selama di perjalanan masuk Vila, ibu Asirih mengatakan hal-hal yang pak Budi tidak mengerti, tentang unggah ungguh menjadi abdi sebuah keluarga, tentang sejarah dan bagaimana adat istiadat dijaga disebuah keluarga, dan berakhir di kalimat. Sesajen (sesaji)

"Budi" kata ibu Asirih, nadanya dalam dan dingin "awakmu percoyo ambek ndoro Sasri?" (Budi, kamu percaya dengan ndoro Sasri)

"Nggih ibuk"

"Bagus. Awakmu siap dadi abdi nang keluarga iki" 

Pak Budi terdiam lama, ia mencoba mencerna kalimat itu.

"Abdi sing yok nopo buk maksud njenengan" (Abdi yang bagaimana maksud anda buk)

"Abdi sing bakal nuruti kemauan junjungan" (Abdi yang harus mengikuti majikan apapun itu)

Pak Budi tidak menjawab. Ia masih mencerna setiap kalimat itu, sampai suara teriakan dari Yanu terdengar.

Ibu Asirih langsung berlari, penasaran, pak Budi mengikutinya. Ia masuk ke dalam Vila yang rupanya dari dalam seperti bangsal, banyak lorong dan pintu kamar di sepanjang jalan. 

Di dalam begitu lembab, sampai pak Budi bisa mencium bebauan kemenyan disana-sini.

Ibu Asirih berhenti di sebuah bangsal kecil, setelah menuruni anak tangga. Disana ada pintu tua, lengkap dengan kotak dengan besi layaknya pintu penjara, di dalamnya, ada ndoro Sasri, duduk di kursi goyang dengan rambut terurai berantakan yang menutupi wajahnya.

Ibu Asirih mendekati ndoro Sasri, yang terus menerus menggoyangkan kursinya, pak Budi hanya diam termangu melihatnya, di samping kiri kanan, banyak sekali sesajian, lengkap dengan bunga dan dupa disana-sini. Ibu Asirih mengambil sekerawuk (sekepal) bunga 7 rupa.

Dengan talaten (sabar) menyuapkanya ke mulut ndoro Sasri, semua yang pak Budi lihat, benar-benar di luar logikanya. Ia tidak pernah melihat hal segila ini di depanya. Sebelum matanya teralihkan pada sosok dengan kain kafan yang ada di atas ranjang bangsal.

"Le" terdengar suara ndoro Sasri memanggil pak Budi "Mreneo le" (kesini nak)

Ndoro Sasri melambai-lambaikan tanganya yang keriput, disampingnya, ibu Asirih berdiri menatap pak Budi dingin, namun, mata pak Budi tertuju pada seonggok kain kafan yang menggeliat di atas ranjang.

"Yanu" kata pak Budi, gemetar. Ia tahu itu Yanu yang di ikat diatas ranjang, namun pak Budi tidak mengerti apa yang terjadi disini.

Anehnya, ketakutan yang pak Budi rasakan, malah menuntunya mendekati ndoro Sasri yang terus melambai-lambaikan tanganya.

"Le, gelem dadi Abdi si mbah yo" (nak, kamu mau jadi Abdinya mbah)

"Mbah" kata pak Budi mengulangi.

Ndoro Sasri tidak pernah menyuruhnya memanggil si mbah, beliau lebih suka dipanggil ibuk. Pikir pak Budi, dan setelah memikirkan itu, ndoro Sasri tertawa, membuat pak Budi begidik.

Ibu Sasri mendekati pak Budi, kemudian menuntunya mendekati Yanu. ia benar-benar di ikat dengan 5 titik tali pocong, sudah menyerupai jenazah.

"Adusono yo" (mandikan)

Tempat disamping ranjang, ada sebuah genok (kendi besar) berisi air, lengkap dengan gayung dari batok kelapa.

Pak Budi menyiramkan air itu ke tubuh Yanu, wajahnya di tutup dengan kain, sehingga kemungkinan ia kesulitan untuk bernafas, air yang di siramkan terdapat bunga 7 rupa, tidak hanya itu, di bawah ranjang rupanya ada sepotong ayam cemani yang kepalanya sudah dipenggal.

Tidak mengerti namun pak Budi menurut saja, ia begitu ketakutan malam itu.

Tidak beberapa lama, ndoro Sasri turun dari kursi goyangnya, ia berjalan tertatih-tatih menuju pak Budi, caranya berjalan nyaris seperti cara berjalan orang tua pada umumnya, hanya saja ia lebih bungkuk.

Tepat ketika ndoro Sasri sudah di depan pak Budi, ia melihat Yanu, kemudian menangis di atasnya. 

Pak Budi beringsut mundur. Masih tidak mengerti, dengan cekatan ia melepaskan satu persatu ikatan tali pocongnya, kemudian menelanya bulat-bulat.

Pak Budi yang melihatnya, mual.

Yanu yang sedari tadi menggeliat, tiba-tiba terbujur kaku. Ia tidak lagi bergerak sama sekali.

Ndoro Sasri kemudian mendekati pak Budi, membawanya keluar dari ruangan itu, ia menutup pintu, menuntun pak Budi menjauh dari tempat itu.

Disebuah tempat yang jauh dari ruangan itu, ndoro Sasri duduk di depan pak Budi yang tampak shock.

Ia tidak tahu apa yang ia perbuat malam ini.

"Sak iki, takokno opo sing kepingin mok takokno le" (sekarang tanyakan semua pertanyaan yang ingin kamu tahu?)

"Sinten njenengan asline" (siapa anda sebenarnya)

"Liane isok" (tanyakan yang lain saja)

"Sinten sing ngerasuki ndoro ibuk" (siapa yang ada di dalam tubuh ibuk)

"Liane" (yang lain)

"Yanu sedo?" (Yanu meninggal?)

Ibu Asirih menggelengkan kepala, "gak. Ragane tok sing mati"

"Kulo yok nopo buk" (saya bagaimana buk)

Ibu Asirih tersenyum melihat pak Budi, ia tahu pemuda di depanya sudah ketakutan setengah mati.

"Tergantung"

Ucapan itu membuat pak Budi menatap ibu Asirih lama, sebelum akhirnya ibu Airih pergi.

"Mene moleh, nek wes mari kabeh" (Besok kita pulang. kalau semuanya sudah selesai)

Pagi hari, ibu Asirih datang menemui pak Budi, kemudian ia mengatakanya "di enteni ndoro nang teras" (kamu di cari ibuk di teras)

Pak Budi berdiri, kemudian melangkah menuju ndoro Sasri.

Ndoro Sasri diam menatap Taman di teras Vila.

"Wes eroh kabeh awakmu le" (kamu sudah tahu semuanya nak)

Pak Budi hanya menggelengkan kepala.

"Asirih gorong cerito tah" (Asirih belum cerita ya)

"Dereng buk" (belum buk)

"Mari iki, ayok muleh" (habis ini, kita pulang)

Selama perjalanan, pak Budi tidak bisa melepaskan matanya dari Yanu, tubuhnya dibalut dengan selendang, matanya sayu, kosong seperti tidak bernyawa.

Di dalam batin pak Budi, bergemuruh keinginanya untuk berhenti dari pekerjaan ini, namun ia terganjal bagaimana bila hal buruk menimpanya. Apa yang akan terjadi dengan keluarganya. Bagaimana bila ia menceritakan ini kepada orang lain, adakah yang percaya. Bukti apakah yang bisa ia buktikan.

Sesampainya di Griya, ndoro Sasri mengajaknya ke gazebo yang di larang itu.

"Awakmu pensaran to ambek nggon iku" (kamu pensaran kan dengan tempat itu)

Anehnya pak Budi menjawab, ia tidak penasaran lagi. "mboten buk" (tidak buk)

"Kok ngunu" (kok begitu)

"Oh iyo" (oh iya) awakmu wes eroh opo sing onok nang kunu" (kamu sudah tahu apa yang ada disana)

"Nggih buk. Kulo nebak, niku cucu mbarep sampeyan buk, mas'e yanu" (iya buk, saya menebak, itu cucu pertama ibuk. Kakaknya Yanu)

"Dadi wes eroh kabeh sak iki." (jadi kamu sudah tahu semuanya)

Pak Budi mengangguk.

"Tetep bakal metu awakmu le" (kamu tetap mau berhenti)

"Nggih buk" kata pak Budi, "kulo dereng ngomong nggih ten sabda sak wisi ibu Asirih nawani kulo" (saya belum berjanji untuk mau saat ibu Asirih menawari permintaanya mengabdi pada ibuk)

"Aku wes eroh," (saya sudah tau)

Hari itu, pak Budi meninggalkan tempat itu.

Ia bercerita kepada keluarganya, namun anehnya, semua yang pak Budi ceritakan seperti tidak di gubris oleh keluarganya, seakan-akan semua orang sudah tahu, bapaknya, menyuruh pak Budi bertemu dengan seseorang. saudara jauhnya.

"Awakmu kudu di pageri le mulai sak iki" (kamu harus di lindungi mulai hari ini)

Berangkatlah pak Budi menemui saudara jauh atas perintah bapaknya, disana rupanya ia sudah di tunggu, namun ada kejadian yang hampir menghilangkan nyawa pak Budi saat menuju kesana.

Ia hampir saja di hantam Truk dari depan, saat sepeda motor RC'nya kehilangan kendali, untungnya pak Budi masih di beri selamat, karena ia bisa langsung berdiri dan menghindar.

Detik itu ia tahu, apa maksud ucapan bapaknya, bahwa ia harus di pagari mulai sekarang.

Saat motornya di periksa, di antara ban luar dan ban dalam, ditemukan potongan bambu kuning, sehingga ketika motor bergerak, membuat ban menjadi selip dan akhirnya hilang kendali. Bahkan, saat dilihat, orang yang memeriksanya ikut kaget.

"Mas, njenengan di incer wong ya" (mas, anda di incar orang ya)

"Kok ngunu pak?" (kok bisa bilang begitu pak?)

"Mana bisa orang memasukkan benda seperti ini ke dalam ban, kalau bukan ilmu hitam"

Pak Budi hanya bisa berdoa, di berikan selamat sampai tujuan.

Dan ketika ia sampai disana. Pak Budi menceritakan semuanya kepada saudaranya itu.

Saudaranya hanya mengangguk, mengerti, bahkan ia tahu di belakang pak Budi, ada puluhan jin mengikutinya, namun sudah di usir saat menginjak perkarangan rumah ini. Disanalah, pak Budi di beritahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga itu.

"Sosok yang kamu lihat di malam itu, adalah kepala keluarga, ia selalu ikut kepada keturunanya, atas perjanjian yang ia buat dengan jin yang selama ini menjadi satu ikatan dengan keturunan-keturunanya. Kain kafan, hanya simbol, ia hidup dari memakan sukma keturunanya"

"Kalau saya tanya, ada yang aneh gak sama keluarganya, sama anak-anaknya, sama cucu-cucunya?" tanya saudara pak Budi.

"Enten mas, cucune roto-roto, aneh kabeh" (semua cucuya sikapnya aneh semua)

saudara pak Budi tersenyum kecut mendengarnya.

"Keluarganya tidak akan bisa utuh. Mereka harus menanggung konsekuen dari perjanjian, entah harta, entah nyawa. yang paling kecil, tunawicara, kakaknya, ia buta, kakaknya lagi, mengalami gangguan kejiwaan, dan yang kamu pikir ada di gazebo itu anak pertama, dia lumpuh"

"Maksud'e sampeyan, arek sing ndelok aku iku gak isok ndelok mas, tapi arek e sering nontok aku" (maksudnya gimana, anak yang mas kira buta itu bisa lihat aku loh) ucap pak Budi.

"Kemungkinan, ia hanya bisa merasakan kehadiranmu, karena cuma kamu yang belum mengabdi pada keluarga itu" "kamu sering di perlakukan tidak menyenangkan oleh mereka kan?" "Mereka sedang mencoba ngasih tahu kamu, biar segera pergi meninggalkan keluarga itu. Paham" ucap lelaki itu.

"Tapi onok cucu'ne siji seng normal mas" (tapi ada satu anak yang normal)

"Ya" kata lelaki itu. "dia yang nanti akan jadi pewarisnya, dan keturunanya juga yang akan terus menanggung akibatnya. Ini semacam, nandor balak" (menanam perkara) "dan akan terus mengikuti"

"Pernah dengar, kalau pesugihan itu sebenarnya mengambil rejeki dari keluargamu sendiri, dari darah dagingmu sendiri. Baiklah, jin bisa membuat dagangan kamu laris, yang sebenarnya terjadi, rejeki yang kamu dapat dari cara sesat ini, hanya mengambil jatah milik keturunanmu"

"Seperti itu cara kerja pesugihan"

"Pesugihan nopo niki mas jenenge?"

"Pesugihan 'Dolor renca' pesugihan yang menggunakan keluarga sendiri sebagai tumbal, ganti rugi atas apa yang mereka dapat, bisa berupa harta yang melimpah, namun sebagai gantinya, saudaranya harus rela mati sukmanya"

"Tahu siapa orang yang menjaga agar tradisi ini tetap ada di keluarga ini?" tanya lelaki itu pada pak Budi.

"Siapa mas?"

"Wanita tua yang selalu di samping majikan kamu" "siapa namanya, Asirih!!"

"Mas mau ngomong, nek aku di perlakukan ngunu, cekne sadar, aku gak terikat ambek keluarga iki, terus piye ambek cah wedok sing dadi abdi gawe cucu'ne" 

(Masnya tadi bilang, kalau aku di perlakukan seperi itu biar sadar, dan tidak terikat dengan keluarga ini, lantas, bagaimana dengan perempuan yang sudah mengabdi untuk cucunya)

"Mati" kata lelaki itu. "Semua manusia nantinya kan mati, jadi ya semacam ikatan batin, bila sukma majikanya sudah mati, ya, dia ikut mati dengan cara yang aneh-aneh, bisa penyakit, bisa kecelakaan, bisa bunuh diri juga"

"Sebenarnya kamu beruntung. Majikan kamu tidak mau kamu terikat juga, yang jahat itu si Asirih, dia yang ingin kamu mati, tapi tidak apa-apa, mulai sekarang lebih dekat lagi sama tuhan, umur manusia tuhan yang pegang, bukan wanita itu"

Hari itu pak Budi belajar banyak. Ia tahu apa yang terjadi di keluarga itu, potongan pertanyaan yang selama ini tertanam di kepalanya kini terjawab. sejak saat itu, kemanapun pak Budi pergi, ia selalu menceritakan cerita ini, kepada sahabatnya, tetangganya, saudara-saudaranya.

Ia tidak mau lagi, melihat ada seseorang yang ia kenal mengikuti jejak pesugihan yang bukan hanya menyengsarakan pelakunya, namun berimbas pada semua keluarganya.

-TAMAT-

Sejak awal, sudah ku bilang, cerita ini adalah cerita yang sering buyut ku ceritakan kepadaku.

Aku cuma berharap, ada pelajaran yang bisa di petik dari cerita yang ku sajikan ini.

Tak ada pesan lagi yang bisa ku sampaikan, karena aku yakin kalian tahu apa hikmah yang bisa di ambil dari segelitir bukti bahwa kadang manusia bisa menjadi serakah hanya karena setitik harta.
SEKIAN

close