Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CAH IRENG (BOCAH HITAM - Part 2 END)


JEJAKMISTERI - Raden berjalan menuju lampu petromaks yang tergantung, di dinding kayu, berniat untuk menyalakan lampu itu, sebagai penerangan, karena hari sudah semakin gelap, namun ayah Raden tak kunjung pulang. 

Brakkk!!! Brakkk!!! Brakkk!!! Terdengar suara hantaman keras pada meja kayu berkali-kali.

Sebelum menyalakan lampu petromaks, Raden melirik kearah meja tersebut.

"ARJUNA!!!" Kata Raden, setengah berlari kearahnya, karena sekarang kepalanya berdarah, akibat menghantamkan kepalanya sendiri. 

"Aduhhh... bagaimana ini, Hey, Arjuna, sadar..." 

Arjuna terjatuh lemas...

Suasana Hening, setelah beberapa detik yang lalu arjuna terjatuh. 

Kreeeekkk... Terdengar suara pintu terbuka, angin memasuki ruangan ini lagi, terlihat samar-samar seorang lelaki tua. 

"Bapak!!!" begitulah ucap Raden, setelah mengetahui bahwa Ayahnya sudah datang.

Raden berlari kearahnya, dengan nafas yang tersengal-sengal, Raden berhasil berada tepat didepannya. 

"Pak, Arjuna..." 

"Ya, bapak tau. Makanya bapak pulang, sudah tenang, mari kita bantu" Kata Ayah Raden.

Dan ia memulai langkahnya menuju arjuna yang tergeletak dilantai.

"Memang bocah keras kepala, sama kaya bapaknya" Tambah ayah Raden, dan menekan dahi arjuna dengan jempol tangannya, pelan. Seketika itu Arjuna tersadar, dan setengah bingung, lalu berkata. 

"Aku kenapa?" "Tidak apa-apa..." Belum sempat menuntaskan perkataanku.

Ayahku langsung memotong pembicaraanku.

"Kau diganggu Cah Ireng" Memang dasarnya anak bebal, tak mau mendengar perkataan ayahku.

Arjuna malah beranjak berdiri, dan berkata. 

"Alah, itu hanya mitos." Aku hanya menggelengkan kepala mendengar pernyataannya.

"Itu bukan mitos, itu benar adanya" Kata ayahku. 

"Coba buktikan padaku." 

"Bukankah kepalamu itu sebagian dari bukti tentang keberadaannya?" Arjuna terdiam, dan memegang dahinya.

"Bagaimana?" tanya ayahku.

Wajah Arjuna merah padam, ia bersumpah... 

"Aku akan membunuh Cah Ireng!! Berani sekali ia berbuat ini kepadaku!" 

"Kau atau dia yang mati?" Kata ayahku, bersama gelak tawanya yang khas. 

Arjuna terdiam, beringsut mundur ketika sesuatu datang, seperti kepulan asap hitam.

Memasuki ruangan ini melalui pintu rumah yang terbuka lebar.

"Dia datang" ucap ayahku. Mata kami menyoroti kepulan asap itu yang semakin lama membentuk sebuah tubuh bocah hitam legam, dengan mata merah, serta beberapa giginya yang jarang. 

"Ambilkan Pisau, Raden!"

Pernyataan Ayahku, membuat aku dan arjuna menatapnya. 

"Cepat!" Sebelum aku menuruti permintaan ayahku, aku menatap seorang bocah itu, ia tersenyum licik... Aku datang kembali, membawa sebilah pisau. 

Arjuna merenggut pisau ditanganku, dan ia berlari kearah bocah itu.

Lalu saat sampai tepat dihadapannya, ia menghunuskan pisaunya berkali-kali, ketubuh sang bocah. 

Membuat kami tertegun menatapnya, Karena ia seperti bukan manusia lagi, disetiap tusukkan yang dibuat arjuna berubah menjadi asap hitam. Dan tubuhnya kembali seperti semula.

Tak ada bekas tusukan, tak ada teriakan kesakitan. 

"Goblok! Sini pisau itu" kata Ayahku, 

Saat seorang bocah tersebut mengepalkan tangannya, seperti bersiap menghantamkan tangannya ke kepala Arjuna.

Arjuna beringsut mundur, setengah berlari kearah ayahku. Dan memberikan pisau.

"Perhatikan ini, akibat ulahmu, Arjuna" Ucap ayahku, dan memotong jari kelingkingnya perlahan.

Kulihat wajah ayahku seperti menahan sakit, perlahan darah segar mengucur deras. 

Kemudian jari kelingking tersebut, dilemparkan pada bocah itu, ia menangkapnya dengan mudah.

Dan saat itu juga, ia memakan jari kelingking ayahku dengan lahap. 

Kretekk... Suara ia mengunyah dengan mata yang masih menatapku, tapi tak lama, kepulan asap itu menghilang perlahan. 

Ayahku menghela nafas. 

"Ambilkan aku kain untuk menutup luka ini, Raden."

Arjuna menahan rasa tak enak, itu terlihat dari wajahnya...

"Siapa Cah Ireng itu? Mengapa harus memberikan jari kelingking padanya?" Kata Arjuna, sambil mengelap bekas darah didahinya. 

"Kamu mau tahu, siapa Cah Ireng itu?" "Ya." "Baiklah."

"Begini,,

"Ia adalah manusia, seorang bocah. Yang dipaksa oleh seseorang yang sakti, untuk menjadi Cah Ireng, yaitu yang mempunyai segala Ilmu Hitam, aku pernah melihat seseorang bocah sedang berhubungan intim dengan 100 Kuntilanak, bergantian." 

"100 Kuntilanak?"

"Ya"

Aku menggeleng kepala, seolah tak percaya. 

"Untuk apa itu dilakukan?" Tanya Arjuna. 

"Untuk menjadi Cah Ireng ada beberapa syarat yang tidak masuk akal.

Syarat pertama, harus seorang bocah berumur 9 tahun, lahir dihari selasa kliwon, harus memakan kulit kerbau selama 100 hari.

Dan terakhir, ia harus menyetubuhi 100 kuntilanak, setelah itu ia harus memotong kelaminnya, dan memakannya."

"Mengerikan sekali, dan apa yang didapat setelah itu, apakah ia tetap menjadi manusia normal?" 

"Tidak, ia memang masih bisa memasuki dimensi manusia. Seperti halnya Jin sakti, yang bisa berubah menjadi padat ketika memasuki alam manusia, tapi itu dibutuhkan energi yang besar, maka tak sembarang bila Jin memasuki alam dunia manusia, sedangkan Cah Ireng, ia bisa memasuki keduanya tanpa energi yang harus dikeluarkannya."

"Untuk apa seseorang yang menyuruhnya menjadi Cah Ireng?" Tanya Arjuna. 

"Biasanya untuk melindungi seseorang itu, karena ia tahu begitu besar kesaktian Cah Ireng, namun itu semua tidak mudah, ada beberapa perjanjian didalamnya, yang hanya seseorang yang mengasuh Cah Ireng yang tahu perjanjian itu." 

"Lalu bagaimana mengalahkannya?" Ayahku terdiam sejenak.

"Cari tahu perjanjiannya, dan putuskan perjanjian itu, kemungkinan itu kelemahannya." 

"Lalu untuk apa jari kelingking diberikan padanya?" Ayahku menatap Arjuna.

"Itu makanan favoritnya."

"Ketika ia marah, ia hanya mau diberikan 2 penawaran, jari-jemari atau kau yang mati" tambah ayahku,

Arjuna menelan ludah. "Ia tidak boleh dibiarkan hidup, karena akan banyak korban yang berjatuhan." Kata Arjuna. 

"Tidak, selagi kita tidak melakukan apapun yang membuat ia marah"

"Apakah tidak ada cara lain untuk membunuhnya selain mencari perjanjian itu?" Ayahku terdiam, seperti memikirkan sesuatu. 

Aku dan Arjuna menatap ayahku, ketika ia berkata. 

"Pagaduh."

"Apa itu Pagaduh?" 

"Orang yang memiliki Pagar Tubuh Putih."

"Siapa yang memiliki itu?" 

"Entahlah, orang yang memiliki Pagaduh selalu tertutup, dan tidak ada yang tahu bahwa ia memiliki Pagaduh." 

Pernyataan itu membuatku menghela nafas, karena tak dapat jawaban yang memuaskan. 

"Lalu bagaimana menjadi Pagaduh?"

"Ia bisa menahan dirinya ketika marah, dan lahir di Selasa Legi, ia tak menikah, tak mempunyai sanak saudara, hidup sendiri, berkelana hingga ajal menjemputnya, ia mau membantu bila benar-benar dalam keadaan terdesak, jika tidak, ia lebih memilih diam dan pergi."

"Tapi Bapak pernah bertemu dengan Pagaduh?" 

"Pernah, ketika Cah Ireng dan Cah Leuwih bertengkar hebat ditanah lapang didesa, saat itu Cah Ireng dan Cah Leuwih menewaskan puluhan orang sakti yang memisahkan mereka, puluhan rumah pula terbakar, akibat pertempuran itu. Tidak ada yang menang diantaranya, mereka berdua sama-sama kuat." 

"Cah Leuwih, aku pernah mendengar nama itu. Yang katanya seseorang wanita rela disetubuhi 1000 pocong, demi mempunyai anak Cah Leuwih, anak ini memang sakti, tapi lebih kepada kekayaan yang didapat setelah itu. Dan ia pun tak bisa mati, benarkan?" Ayahku mengangguk mendengar pernyataannya Arjuna. 

"Lalu setelah itu bagaimana Pak?" 

"Cah Leuwih dan Cah Ireng sama-sama tak mau mengalah, masalahnya jika dibiarkan bertengkar, itu akan membahayakan penduduk desa disini.

Karena mereka bertengkar, seperti melempar bola api dan bola api tersebut mengenai rumah warga.

Dalam beberapa detik saja, rumah itu menjadi Abu, dan saat itu datang seorang pemuda tampan, ia duduk disebuah pos menatap keduanya bertengkar, ketika warga berteriak minta tolong.

Ia melayang terbang seperti mempunyai ilmu lumumpat, dan menangkap keduanya dengan mudah, lalu mengurungnya dengan pagar berwarna putih terang.

Keduanya berteriak kesakitan, ketika pagar itu mengecil lalu menghilang, warga menyoroti pemuda itu dengan seksama. Lalu tak henti-hentinya berucap terimakasih, termasuk para warga yang sakti, ia harus bijak menggunakan Ilmu itu, ia diberikan kepercayaan oleh para penghuni alam ghaib, untuk memegang ilmu itu, karena bila orang yang tak bijaksana memegang ilmu itu, pastilah Ia akan membuat kekacauan didunia ghaib." 

"Sungguh hebat orang itu" kataku.

"Sudah, mari kita tidur, sudah malam" Ucap ayahku, dan langkahnya pergi meninggalkan Arjuna dan Raden. 

Arjuna menatap Raden.

"Aku masih merasa kesal dengan Cah Ireng itu." 

"Sudahlah, jarimu nanti hilang."

"Aku harus cari tahu perjanjian itu, agar bisa mengalahkannya." 

"Bodoh, kau jangan ceroboh, beruntung kau masih hidup, ingat kata ayahku, orang sakti pun tak mampu menandinginya." 

Arjuna terdiam menatapku, yang pergi meninggalkannya. Sebelum memasuki kamarku.

Aku menatapnya yang masih termenung dibangku kayu, Aku tahu sekali sifatnya, dia adalah anak yang ceroboh, dan mempunyai beberapa pikiran gila, yang sekiranya akan membahayakan dirinya..

Pagi Hari, Aku dan Arjuna bersiap mengikuti kegiatan Ayahku diladang.

Ia hanya mengangguk, dan mengikuti langkahku menuju ladang bersama ayahku. 

Perjalanan yang singkat, tapi aneh, Arjuna lebih banyak diam, tak seperti biasanya.

"Kamu kenapa, Arjuna?"

"Gapapa." 

Aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

Sore hari, setelah membantu Ayahku diladang, aku dan arjuna memilih bermain bola ditanah lapang samping ladang.

Bersama anak-anak lainnya, Arjuna lebih senang bermain disini, daripada dirumahnya didesa sebelah, karena anak-anak kecil disana lebih suka mencari ilmu.

Kamipun selesai bermain, seharian main di ladang tanpa ingat kejadian kemarin yang hampir merenggut nyawa Arjuna.

Sesampainya di rumah  sudah di sambut oleh Ayah arjuna yang sudah menunggu.

“Pakde Darsa” sudah lama?

“Gak barusan datang!"

Arjuna kelihatan senang dengan kedatangan Ayahnya yang akan menjemput dirinya.

“Aku mau jemput Arjuna”

“Tapi nunggu Ayahku datang dulu ya pakde, bentar lagi ayah datang kok!"

"Baiklah"

Setelah menunggu beberapa saat.

Terlihat dari kejahuan seseorang datang dengan membawa cangkul.

“Itu ayah kayaknya datang pakde"

Ayahku datang dan duduk.

“Aku kesini mau jemput Arjuna, terimakasih sudah menjaganya.

Ahirnya Arjuna dan Ayahnya berpamitan pada Ayahku dan aku

Sore itu juga Arjuna dan Ayahnya pulang.. 

-SEKIAN-

close