Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CAH IRENG (BOCAH HITAM - Part 1)


Mungkin ini akan jadi cerita terahir dari Eyang Arjuna.
Jadi trimakasi buat teman-teman semua yang telah sudi membaca cerita ini dari awal sampai ahir.
Banyak pelajaran yang di dapat petik dari kisah Eyang Arjuna.

Meskipun Beliau penganut Ilmu hitam, tapi ada sisi positifnya, yaitu selalu membelah yang lemah terutama dari keluarganya, atau orang yang dia sayangi.

***

CAH IRENG (BOCAH HITAM)

JEJAKMISTERI - Disuatu malam, dengan suasana hening, ditemani secangkir teh hangat, aku dan eyang raden duduk disebuah bale.

Sebuah percakapan dimulai saat aku mengingat keluarga sulastri. 

"Eyang Raden?" "Ya?" 

"Apa yang dimaksud Cah Ireng oleh suami sulastri itu?"

Eyang Raden meneguk secangkir teh perlahan.

"Cah Ireng, hanya beberapa yang berhasil menjadi Cah Ireng, kamu mau tau bagaimana cara menjadi Cah Ireng?"

"Ya, eyang." "Aku dan Arjuna, dulu pernah bertemu dengan Cah Ireng, saat masa kecil kami.

Disini, cerita itu dimulai.

Desa Kembang.

Itulah nama desa yang perna jadi saksi bagaimana jari Bapak saya terpotong, Cuma gara-gara kecerobohan.

Rumah yang beralaskan tanah, sertah dinding yang terbuat dari kayu terlihat karena lampu petromaks yang tergantung.

Tok tok tok!

Suara pintu terdengar di ketok dari luar, aku segera kearah pintu dan segerah membukanya.

Ternyata yang datang saudara Bapakku.

“Pakde Darsa? Ada apa ?” Tanyaku sambil melihat anak yang ada di sampingnya, yang kira-kira usianya sama denganku.

“Bapakmu ada”?

“Bapak belum pulang Pakde, mungkin sebentar lagi, Pakde tunggu saja sebentar."

“Oh yasudah, bilang aja sama Bapakmu kalau aku nitip Anaku Arjuna untuk beberapa hari disini."

“Emang Pakde mau kemana?”

“Sudah bilang saja begitu”

Darsa kemudian membalikan tubuh dan berjalan pergi meninggalkan Raden dan Arjuna.

Tapi sebelum pergi Darsa menoleh pada Arjuna dan menyentil kupinya.

”Jangan nakal”

Arjuna membalas dengan tatapan tanpa mengaduh sakit, ia tersenyum licik.

Beberapa menit berlalu, Darsa sudah hilang di telan gelapnya malam.

Raden dan Arjuna masih bertatapan, ia sudah bertahun-tahun berteman lebih dari sekedar ikatan sepupu.

Masih ingat bagaimana Raden Menangis dibuat Arjuna, karena kakinya di injak hinggah cantengan.

“Kamu kenapa diam disitu? Kenapa tidak masuk? Tanyaku

“Kenapa kamu berdiri disitu? Dan kenapa pulan tidak menyuruhku masuk? Bukankah aku tamu dan kamu Tuan dari rumah ini?”

Aku terdiam, menyimpangkan tubuhku dan mempersilahkan Arjuna masuk kedalam rumah.

“Lain kali aku gak mau kesini jika berjalan kaki” ucap Arjuna, dan langsung mendarat ditikar merebahkan badanya.

“Salah sendiri mengapa kesini?”

“Bukan salahku, tapi salah ayahku”

Aku menghela nafas panjang, tahu betul bahwa Arjuna memang tidak suka di salahkan.

“Lagian kenapa tidak di pasangi jembatan saja disungai itu biar lebih dekat, dan gak harus memutar kalau mau kesini” Tambah Arjuna.

Cah ireng (anak hitam) yang merusak, karena sepanjang sungai itu miliknya.”

“Darimana kamu tahu?”

“Itulah yang terjadi berkali kali kata warga sekitar”

“Halah itu Cuma mitos, Mitos yang di dengar oleh telinga, sedangkan fakta dilihat oleh mata, maka seringkali berubah cerita karena tidak bisa membedakan apa yang kita dengar dan apa yang sedang kita lihat.”

“Jikalau mitos, kenapa jembatan itu tak perna terwujud sampai sekarang?”

Arjuna terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu, matanya menatap langit-langit Rumah Raden.

“Memang belum, tapi nanti kita buktikan kebenaran dari perkataanmu, Cah ireng itu ada atau Cuma mitos, bagaimana?”

Aku menelan ludah sambal merasa takut dan berkata.

“Bod..“

Belum sempat menuntaskan perkataanya, Raden dan Arjuna menatap pintu.

Karena seseorang baru saja datang dan memasuki rumah itu, seorang pria tua berkisar 54 tahun, dengan janggut putih serta beberapa uban yang ada di kepalanya.

“Bapak.” begitu panggil Raden kepada Pria itu yang sedang menaruh cangkul tepat disamping pintu rumahnya.

Arjuna dan Raden beranjak dari tempatnya, menghampiri Bapak Raden yang bernama Mahesa, seola ingin membantu apa yang sedang di pikul oleh Mahesa.

“Sini tak bantu pak” Tawar Arjuna.

“Oalah ada Arjuna toh di sini, gak usah, biar Raden saja” Katanya, sambal memberikan sekarung beras.

“Taruh di dapur ya.”

“Baik pak” Ujar Raden, lantas pergi kedapur meninggalkan Bapaknya dan Arjuna.

“Sudah lama disini Arjuna? Ayahmu mana?”

“Bapak menyuruh tinggal disini dulu sementara waktu, karena ia ingin pergi ke tempat Mbah Dewandaru untuk beberapa hari kedepan.”

“Ooo… Baiklah, kamu sudah makan Arjuna?”

Arjuna memang sedikit pemaluh, ia ingin menolak, namun apa daya perutnya berbunyi keroncongan karena perjalanan kesini yang menguras tenaga, hinggal menelan semua isi perutnya.

“Hahahhahaha, yasudah kita makan dulu” Ucap bapak Raden, Sambil melangkahkan kakinya mendahului Arjuna.

Malam itu setelah makan, Arjuna dan Raden saling bercerita sampai ahirnya tertidur, sampai pagi harinya Arjuna dan Raden ikut Bapaknya Raden ke sawah, dan sampainya di sawah, Raden dan Arjuna terlihat bermain dengan kerbau yang di pakai membajak sawah, yang di penuhi lumpur, tanah liat yang basah sudah memenuhi tubuh keduanya, bahkan hampir tak terlihat bahwa itu adalah Arjuna maupun Raden, mungkin bagi Raden, Arjuna anak iblis yang tak perna menangis.

“HAHAHHAHAH, Sudah kubilang, Kau ini lemah” Kata Arjuna sambal berdiri didepan Raden yang menangis sesenggukan.

Tangisan langsung berhenti, ketika Bapak Raden menghampiri keduanya.

“Ada apa ini?”

Enggak pak, Raden di seruduk kerbau tadi, ahirnya menangis seperti itu” Jawab Arjuna.

Raden merasa malu menjawab pertanyaan Bapaknya, karena kalah dalam pertarungan tadi. Raden tidak ingin mendapat pembelaan dari Bapaknya.

Ia hanya menjawab dengan tangisan tanpa satu katapun keluar dari mulutnya, walaupun Bapaknya tahu, bahwa mereka habis bergulat.

“Sudah-sudah, kalian pulang, sudah sore, tapi sebelum pulang mandi duluh di sungai”

“Baik pak” Jawab Arjuna sambil melihat Bapaknya Raden pergi menjauhinya.

“Ayo kita mandi, sudah jangan menangis, aku hanya bercanda tadi, memukulmu pun pelan sekali tadi, dasar emang kamunya yang cengeng.”

Sambil mengulurkan tangan pada Raden yang masih menunduk sambil memeluk kedua lututnya.

Ia mendangan, menatap Arjuna dengan penuh amarah di wajahnya.

“Pelan? Kepalamu pelan, setan! Lihat dahiku.”

Arjuna tertawa terbahak-bahak, karena melihat benjolan sebesar kedondong yang ada di dahi Raden.

“HAHAHAHHA, maafkan aku.”

“Lain kali aku yang akan buat kepalamu benjol sebesar kelapa” jawab Raden.

Arjuna terdiam, bukan karena pernyataan Raden, tapi karena ada sesuatu yang ia tanggkap melalui dua bola matanya, sekilas disana dekat hilir sungai, sebuah bayangan hitam dibalik pohon bambu yang rindang dan berbaris rapi, berlari cepat, bahkan sangat cepat.

Tanpa komando Arjuna melesat, dia hendak mencarinya.

Raden terteguh sejenak, sebelum ia ahirnya berlari mengejar Arjuna.

“Kamu ngapain?”

“Tadi ada yang memata-matai kita dibalik pohon bambu ini.”

“siapa?”

"Entahlah."

Sebuah bayangan hitam, berlari sangat cepat kearah hutan itu."

Jawab Arjuna sambil menunjuk kearah Hutan yang tak boleh dimasuki siapapun.

"Ya, memang benar, karena hutan ini di juluki HUTAN KERAMAT, entah atas dasar apa nama itu disematkan pada Hutan tersebut, namun konon katanya,, barang siapa yang memasuki Hutan tersebut dia tak akan perna kembali” saut Raden.

“Ooo ini yang di katakana Hutan keramat?”

“Ya” jawab Raden.

“Lalu siapa yang memasukinya?”

Raden menaikan bahunya seakan tak tahu, merasa tidak perduli.

Arjuna terdiam sekarang, karena merasa tidak menemukan siapapun dibalik pohon bambu itu.

“ya sudah kalua gitu mending kita mandi disini saja.”

“jang...“

Belum sempat Raden menuntaskan perkataanya, Arjuna sudah melompat kedalam Sungai itu yang di aliri air yang sangat segar.

“Bodoh! naik, naik Arjuna cepet!!! jangan mandi di sungai ini!!!

“Lho kenapa? Ayahmu yang menyuruh mandi di sungai kan?”

“Bodoh! bukan sungai ini yang Ayahku maksud!cepat kita pergi dari sini.”

Sayang sekali himbauan Raden tak Arjuna Dengar, ia asik menyelam kesana-kemari tanpa peduli, suara Raden hampir habis karena berteriak pada Arjuna.

“CAH IRENG” Pernyataan Raden yang sempat Arjuna dengar, hingga membuat Arjuna menuju tepi sungai.

“Ini masih satu aliran dengan sungai yang katanya milik Cah Ireng?”

“Ya, makanya kita cepet pergi dari sini sebelum malapetakan datang.”

Alih-alih pergi dari sungai, Arjuna malah makin menjadi-jadi, ia malah berenang kesana kemari.

“Anak setan!” umpat Raden kesal.

Raden tak tahu harus berbuat apa lagi, ia hanya duduk memandangi Arjuna yang sesekali mengeluarkan kepalanya dari dalam air tersebut, hingga waktu suda sore.

Arjuna menyerah, badanya kedinginan karena terlalu lama di air, membuatnya harus beranjak ketepian.

“Jika terjadi sesuatu padamu, jangan salahkan aku dan Bapakku, aku sudah memperingatkanmu.”

“Sudahlah, itu hanya mitos lama, Cah ireng hanya dongeng belaka buat nakut-nakuti warga desa” Ucap Arjuna, dengan rasa bangga, bahwa dirinya baik-baik saja setelah berenang di sungai tadi.

“Terserah kamu lah” Kata Raden, dan beranjak berdiri lalu melangkahkan kakinya mendahului Arjuna.

“Kamu tidak mandi?”

“Tidak! aku tidak mau mati, lebih baik aku mandi di rumah saja.”

“HAHAHAH, lemah.”

Radenpun pulang duluan, dan tinggal arjuna di sungai itu.

Tanpa sadar mata Arjuna sempat melihat ikan LELE yang ada di sungai itu, tanpa pikir panjang, Arjuna langsung menangkap ikan itu, tapi ikan itu agak susah di tangkap, agak lama Arjuna menangkapnya dan ahirnya dapat juga ikan lele itu, lalu di bawahnya pulang.

Arjuna dengan senangnya membawah ikan itu sambil berlari, hampir sampai di rumah, sambil berlari Arjuna memanggil Raden.

"DEN, RADENNNN...." teriak Arjuna dari kejauhan. Raden yang sedang duduk diteras rumah, harus mendengar teriakan itu. Dan segera beranjak berdiri, seorang anak kecil yang berteriak tadi, sudah mulai terlihat batang hidungnya dari tempatku.

"Ada apa, Arjuna?"

"Aku dapat ikan Lele disungai." Kata Arjuna, dan kedua tangannya memegang seekor ikan lele yang cukup besar. 

"Mari kita goreng" Tambahnya, "Tunggu dulu, kau dapat ikan ini dari sungai yang berada dimana?" 

"Sungai yang tadi."

"Bodoh! Itu sungai tempat mandinya Cah Ireng!!"

"Lho, memangnya kenapa? Itu hanya mitos!" 

"Matamu!! Sudah kembalikan ikan itu!"

"Gak mau, aku akan tetap memakannya."

"Terserah kamu aja, Arjuna. Tapi kalau terjadi apa-apa denganmu, bukan salahku." 

"Hahaha, dasar penakut! Sudah, aku mau goreng ikan ini, minggir."

Arjuna menyenggol tubuhku, "Awas ya, kamu ikut makan."

"Kau makan lah kenyang-kenyang ikan itu sendirian, Arjuna" Kataku. Ia hanya tertawa, dan berjalan menuju dapur.

Sedangkan aku terdiam melihat langkahnya yang semakin jauh dariku. 

"Bocah Bodoh!" umpat Raden.

Hari semakin petang, tidak ada keanehan didalam diri Arjuna. Aku terus mengamatinya, takut sesuatu hal terjadi padanya, terlebih, ayahku belum pulang dari ladang. 

"Kenapa kamu, Raden?" 

"Lho, gapapa." 

"Ya, kalau gapapa, gausah tatap aku seperti itu dong."

"Aku takut, ada sesuatu yang terjadi padamu." 

"Hahaha, Raden,, raden, mana Cah ireng itu? Itu hanyalah mitos, bodoh mempercayai mitos itu!" 

"Kamu tau dari mana itu mitos?" 

"Halah Raden, kamu ini bodoh atau gimana...? Buktinya, tidak terjadi apa-apa denganku."

"Hmm, mungkin kamu masih dimaafkan olehnya." 

***

"Lebih baik tak usah dimaafkan, biar kita tau, itu bukan mitos atau cuma mitos." 

Selesai masak ikan lele itu dan menyiapkan di meja, serta bakul yang berisi nasi, dan dua gelas air di hadapanya, dua bocah yang saling berhadap-hadapan, bersama nasi yang sudah berada di hadapan mata keduanya.

“tidak menunggu Bapakmu pulang dulu?”

“Sudah makan dulu sebentar lagi Bapak juga pulang, lagi pula gak baik menahan lapar lama-lama.”

Tiba-tiba angina masuk kedalam ruangan ini melalui pintu rumah”

Raden merasakan firasat yang tak enak.

“Kamu gak makan?” kata Arjuna.

“Kamu yakin mau makan ikan tadi? kamu gak takut sama Cah ireng?”

Dengan tenang Arjuna bilang.
“Sudah itu hanya mitos belaka, buktinya ikanya suda aku masak.”

Bersama itu datang suara..

Jderrr!!! Suara petir bersama beberapa kali kilatannya. 

"Lihat, alampun tak suka kau berucap begitu." Arjuna terdiam mendengar perkataan Raden.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close