Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GELAP (Part 2 END)


"Kamu kenapa, Nak?" 
"Itu ada orang buk!" 
"Dimana?"

Aku tak menjawab pertanyaan ibuku, dan hanya melirik pintu masuk, seolah ibuku akan mendapatkan jawabannya sendiri.

*****

JEJAKMISTERI - Tidak ada siapapun disana, membuatku semakin heran, aku yakin, aku tak sedang berhalusinasi.

"Mana? Gaada kok" Ucap ibuku, sambil melangkahkan kaki perlahan menujuku.

Hampir sampai didepanku, namun tiba-tiba, lampu ruangan ini padam.

Gelap, suasana hening.

"BUKKK!!! IBUK DIMANA??!!" Teriakku memecah keheningan.

Tak ada jawaban, tapi terlihat samar-samar sebuah baju berwarna putih, membuatku yakin, itu adalah ibuku, langkahnya semakin dekat, hingga tiba-tiba ia memelukku erat sambil berjongkok.

Aku belum mengenali wajahnya, tapi aku merasa asing dengan orang yang sedang memelukku ini.

Dan aku baru menyadari, ketika lampu ruangan ini menyala kembali.

Karena yang memelukku, bukan ibuku, melainkan sesosok berwajah menyeramkan, wajah yang dipenuh darah kental, bersama bau amis yang menyengat, ada sebuah ulat sebesar kepalan tangan mengitari wajahnya, membuatku harus berteriak.

"Aaaaa...."

Saat itu, aku tak sadarkan diri, dan tak ingat apa yang terjadi lagi.

Selain keesokan harinya, aku sudah berada dirumah.

Pagi itu..
Didalam kamarku, ada sebuah belaian pada rambutku, membuatku harus membuka mata, yang ternyata ibuku.

Kulihat raut wajah ibuku bercampur aduk, wajah seperti senang karena ia melihatku bangun, dan wajah seperti ada sesuatu yang di cemaskannya.

Entah itu apa, tapi aku lebih mengenal ibuku.

"Ada apa, Buk? Aku kenapa?"

"Kamu pingsan semalam dirumah sakit" 

Aku terdiam sejenak, memikirkan kejadian semalam.

"Aku takut, buk!"

"Sudah, gapapa, ada ibu disini" Kata ibuku, sambil mendekapku dalam pelukkannya.

"Buk, tolong jawab, sebenarnya ini ada apa?"

Ibuku melepas dekapannya. 
Dan menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kamu belum siap, untuk tahu apa yang terjadi sekarang ini" 

"Kenapa?" 

"Maafkan ibu" 

"Aku perlu tahu, buk" 

Ibuku lebih memilih diam, air matanya perlahan menetes, membasahi pipinya.

Aku segera memeluk ibuku erat.

"Buk, hanya ibu yang aku punya sekarang. ayah? Ayah sudah meninggal sejak aku lahir, itu yang ibu katakan sejak dulu saat aku menanyakan dimana keberadaan ayah"

Tak terasa aku terhanyut dalam kesedihan, tangisku tak bisa kutahan, aku dan ibu sedang dalam suasana haru.

"Maafkan ibu" Kata itu, berulang-ulang kali diucapkan oleh ibuku.

Aku sendiri tidak tahu menahu, untuk apa ibuku mengulang kalimat itu.

Tok... Tok... Tok...

Terdengar suara ketukan pintu kamarku.

Membuatku dan ibuku, harus mengusap bekas air mata dipipi.

"Masuk" Ucap ibuku.

Kreeekkk... 

Suara pintu kayu yang khas harus terdengar, bersama langkah kaki seseorang yang perlahan memasuki kamarku.

"Buk, sarapannya sudah siap" Ucap seorang wanita.

"Ya, Mbok. Sebentar" Kata ibuku, lalu bangkit dari tempat tidurku. 

"Ayo, Nak Gilang" Tambah Si Mbok,

"Aku nanti aja" Kataku, sambil menarik selimut.

"Eh makan dulu, kamu itu belum makan dari kemarin" Kata ibuku, menarik tanganku, lembut.

"Aaa ibuuu, aku belum laper"

"Pokoknya kamu harus makan ya, karena nanti kita akan pergi" 

"Kemana buk?" 

"Sudah ikut saja"

Aku hanya mengangguk, dan beranjak dari tempat tidurku, menuju ruang makan, bersama Ibu dan Mbok.

Kulihat diruang tamu ada seseorang termenung, menatap sebuah bangku didepannya dengan tatapan yang kosong.

Aku mengenal pria itu..

"Loh kok dia disini? Memangnya pak Dany tidak dirawat dirumah sakit?"

"Tidak, ia dibolehkan pulang" 

"Memangnya ini rumahnya?"

"Ia tak punya siapa-siapa Nak" 

"Ibu tak pernah cerita tentang dia, kalau dia adalah saudara ibu...?" Kataku, sambil menarik bangku yang berada dikolong meja makan, lalu duduk.

Ibuku lebih memilih diam, tak menjawab, lalu mengambil nasi yang berada dibakul, kemudian ia taruh dalam beberapa piring.

Dan memberikan salah satu padaku.

"Makan yang banyak yak, Nak." 

Aku menatapnya dan mengangguk.

"Mbokkk..." Panggil ibuku.

Selang beberapa menit, si Mbok datang perlahan menghampiri ibuku.

"Ya, Buk?"

"Tolong suapin Pak Dany ya" Ucap ibuku, sambil memberikan piring berisi nasi beserta lauk pauknya.

Si Mbok, meraih piring itu.

"Baik Buk" 

Aku menatap si Mbok, yang mulai menyuapi Pak Dany.

"Gamau! Aku mau anakku! Anakku mana!"

Aku menatap heran Pak Dany.

"Lho katanya Pak Dany, amnesia, kok dia inget anaknya?"

"Ya, ibu pun heran, dia hanya ingat anaknya" Kata ibuku, dan menghela nafas panjang.

"Bapak, makan. Nanti biar ketemu anaknya" Tambah ibuku.

"GAMAU!! SAYA MAU KETEMU ANAK SAYA!!" Kata Pak Dany, dan tangannya membuang sendok yang hampir menyentuh mulutnya.

Kepalanya tiba-tiba menunduk, menatapku dengan kepala setengah miring kekanan.

"DIMANA ANAK ITU?" 

"ANAKMU KAN SUDAH KAU AMBIL SAAT ITU!!" Kata ibuku.

Pak Dany menatap tajam ibuku.

"TIDAK!"

Sebelum ibuku beranjak pergi dari meja makan ini, ia menatapku.

"RAMAA..." Panggil ibuku, setengah berlari, meninggalkan aku, mbok dan pak dany.

Aku masih menatapnya, aku baru menyadari, disebelahnya, siluet hitam, mataku mengamati dengan tajam sekedar memastikan.

Seketika, aku tersentak kaget, disana, disampingnya, siluet hitam itu berubah menjadi sosok menyeramkan.

Sesok dengan giginya yang tak beraturan namun sangat besar nan panjang, itu menumpuk dimulutnya.

Dagunya hancur, beberapa kali meneteskan darah, sama seperti kedua bola matanya, hancur, hingga tak terlihat seperti mata.

Yang paling membuatku mual, ketika mataku menatap perutnya, ada sebuah lubang besar diperutnya, usus dari dalam perutnya keluar, 
serta beberapa belatung keluar dari sana.

Dan ia sedang merangkul pak dany, setengah mencekik.

"Aku akan terus menggentayangi, bahkan membunuh, atau membuat keluargamu hancur! Seperti saat kau dulu menghancurkan keluargaku" ucap seseorang itu, pada Pak Dany.

Pak Dany masih terdiam dan masih dengan tatapan kosongnya.

"Bawa Dany, sekarang! Rama!" Ucap ibuku, yang sudah berada didepan pak dany, bersama si supir.

"Nenek tua itu, hanya mau untungnya saja! Tidak bisa diharapkan lagi." 

"Terus kita kemana Buk?"

"Sudah ikut aku saja."

"Baik buk."

Kami sudah berada didalam mobil, yang membuatku teringat bahwa, saat kecelakaan itu, hanya bemper depannya saja yang penyok.

Bahkan tidak ada kerusakan berat dimesin, bahkan kami hanya luka-luka ringan, tapi tidak dengan Pak Dany.

"Kearah barat, Rama" Kata ibuku. diikuti mobil yang perlahan melaju.

Aku duduk menyebelahi si pria yang bernama Dany, aku rasa ia bukan amnesia, ia seperti sedang dikendalikan, tapi oleh siapa? Entahlah.

Ia membuatku menatapnya, karena ia memainkan jari-jemarinya, sambil tersenyum sendiri.

Aku tersentak kaget ketika ia mematahkan jari jemarinya sendiri,

Kretekk...

"BUK!" Kataku.

Ibuku mungkin mendengar patahan tulangnya, karena sedari tadi suasana hening, jadi tidak mungkin ia tak mendengarnya, namun ia hanya menoleh pada kaca spion tengah.

Kretekk...

Terdengar lagi suara patahan tulang jari-jemarinya, ia tak merasa sakit sedikitpun, dan masih tersenyum licik.

"Ia akan mati" Ucap seseorang yang merasuki tubuh pak dany, dengan nada lirih.
 "Hahahaha..." tambahnya, dan lagi-lagi ia mematahkan tangannya.

Ibuku dan rama seolah tak menggubrisnya, sampai ketika mobil memasuki hutan belantara.

Disana terlihat dari kejauhan oleh lampu mobil, sebuah rumah luas, gelap, tak ada penerangan, dan mobil berhenti tepat didepan rumah itu.

Ada seorang remaja, duduk dibangku disebelah pintu masuk.

Ia memakai penutup kepala berwarna merah, dengan pakaian berwarna hitam.

Ia berdiri, terdiam, seolah menunggu kami memberi tahu apa kedatangan kami ke sini.

"Saya ingin bertemu Pak Raden." Kata ibuku, seraya membungkuk, dan bersamaan dengan lampu petromaks yang menyala dengan sendirinya.

Yang awalnya gelap, sangat gelap, kini sudah mulai jelas nampak beberapa bagian rumah ini.

Seorang remaja itu membuka pintu perlahan.

Ternyata didalamnya adalah sebuah lorong panjang, aku baru menyadari, ketika didalam lorong itu penuh dengan makhluk halus.

Menyeringai, tangannya melambai pada kami, membuatku ngeri.

Segala sosok mengerikan yang belum pernah kulihat, ada disini.

Wanita bergaun putih dengan lidah yang menjulur kebawah, ditangannya sedang menggendong bayi tanpa kepala.

Seorang pria, berbungkus kain mori, wajahnya hitam pekat, saat melewatinya tercium bau busuk menyengat.

"Buk, aku takut." 

"Gapapa, Nak" Kata ibuku, berusaha menenangkan.

Hingga sampai disebuah ruangan yang cukup besar.

Seorang remaja itu membuka pintu ruangan tersebut, perlahan.

Disana, didalam ruangan itu, ada seorang kakek tua, seperti manusia kerdil, atau seukuran tubuh bocah 12 tahun.

Duduk, disebuah bangku, membelakangi kami.

Mataku memeriksa segala sudut diruangan ini, dimana, disegala sudut ruangan ini, tertempel pusaka-pusaka, yang dimana membuat suasana didalam ruangan ini sangat berbeda, yaitu sangat dingin.

Beberapa kali sentuhan dileherku membuatku merinding sekaligus ngeri, entah siapa dia, dan entah tempat apa ini, yang jelas aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.

"Ada tamu ya, Budi?" Kata kakek tua itu, dan membalikan tubuhnya menghadap kami, dan membuat kami tersentak kaget, karena mata kirinya hilang, dan mata kanannya berwarna putih.

"Ya, Eyang."

"Bagaiamana? Nikmat toh mempunyai uang banyak dan mempunyai ilmu? Hahaha" Kata kakek tua itu, pada ibuku.

Ibuku hanya terdiam.

"Sudah, mari kita kerumah lasmi, aku ingin beri ia pelajaran" Tambah kakek tua itu, 
dan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju kami.

"Budi, ayo ikut" Ucap kakek tua itu sambil melirik seorang remaja.

Dan seorang remaja itu mengangguk, lalu mengiringi langkah kakek tua itu.

***

Kami semua sudah berada didalam mobil, mobil melaju dengan cepat, namun semuanya dalam keadaan tenang.

Tak ada percakapan diantara kita, semua terpaku dengan apa yang ada didepan, jalanan yang berkelok serta dikiri dan dikanan pohon-pohon rimbun. 

Hari semakin gelap, kami melewati beberapa desa, jalanan mulai bebatuan, hingga mobil terparkir didepan rumah yang aku kenal.

Ya, ini adalah rumah nenek tua itu.

"Kita sudah sampai, Pak Raden" Kata ibuku, menengok kearah spion tengah.

Dan membuat kami semua bingung setengah mati, karena kakek tua itu, tidak ada.

Tok.. Tok... Tok...

Terdengar suara ketukan pada kaca mobil, membuat kami semua menoleh pada suara tersebut, damn!

Ternyata kakek tua itu sudah berada diluar.

"Ngapain masih didalam?" Kata kakek tua itu, yang hanya terlihat bagian kepalanya saja dari dalam mobil.

Sebelum keluar dari mobil, kami menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kakek tua itu, yang perlahan berjalan memasuki rumah itu.

"LASMIII!!!!" Teriak dari kakek tua itu, dan mendobrak pintu itu.

Brakkk!!!

"Mati kau biadaabbb!!!!" Kata Lasmi, yang sedari tadi sudah bersiap menghunuskan parang kearah kakek tua itu.

Kami semua menatap dengan mata yang melotot, karena kakek tua itu tak berhasil mengelak dari serangan itu, akibatnya, parang itu berhasil menusuk kepala kakek tua itu.

Darah segarnya menyembur, namun ia tetap berdiri tegak, malah ia masih bisa berbicara.

"Lasmi... Lasmi... Tak ada yang menandingiku, walau kau sesakti apapun kau tetap tidak ada apa-apanya bagiku" Kata kakek tua, dan menarik keluar parang yang tertancap didahinya, bersama luka yang tiba-tiba tertutup rapat.

"Coba aku mau tahu, apa benar kau mempunyai Ilmu rawa rontek...?" Tambahnya, sambil melayangkan parang, kearah tangan nenek tua itu.

Dan berhasil membuat tangan kanan nenek tua itu putus, bersama darah segar yang mengucur deras.

Namun ia tidak berteriak, dan membuat kami tersentak kaget, kecuali kakek tua itu.
Karena tak lama, tangannya menyatu kembali.

"Hebat! Tapi lihat ini." Ucap kakek tua itu, sambil memejamkan mata dan merapalkan mantra,..

Lalu mulai melayangkan parangnya lagi, kearah tangan kiri nenek tua itu, dan berhasil membuat tangan itu putus, tapi kali ini bersama teriakan kesakitannya.

"Aaaa...."

Kami menyoroti tangannya yang terjatuh dilantai, bersama darah yang berceceran.

"Ampunnn..." kata nenek tua itu, seraya memohon ampun.

"Hmmm... Baiklah karena ini salah sulastri juga" Ucap kakek tua itu, sambil melirik ibuku.

"Salah Ibu? Apa maksudnya ini semua?"

Semua mata, menatapku.

"Kau ingin tahu, Nak?" Jawab kakek tua itu..

Tak lama aku mengangguk.

"Baiklah, ia sudah harus tahu, tentang apa yang terjadi sebenarnya, sulastri" 

Ibuku meneteskan air mata perlahan, bersama kakek tua itu yang memejamkan dan merapalkan mantra, tangannya seperti menarik sesuatu, dan di hempaskan ketanah.

Menjadi seorang lelaki, sangat mirip denganku. 

"Ini Ayahmu" kata kakek tua itu.

"Ayah?"

"Ya, aku ayahmu, yang dijadikan tumbal oleh ibu demi meraih kekayaan dari Lasmi, dan tujuan Lasmi demi mendapatkan Ilmu Rawa Rontek, dan anak kecil itu adalah anakku, alias kakak kandungmu Gilang, ia sekarang menjadi Cah Ireng, dan Pria yang disebelah ibumu itu adalah Dany, dia lah yang menyuruh untuk menumbalkanku, dan setelah aku mati, ibumu menikah lagi dengannya, ini semua demi harta, benarkan Sulastri?" Kata lelaki itu.

"Benar itu yang dikatakannya, Buk?"

Ibuku hanya diam, sambil menangis.

"BENAR, BUK?" 

Dan kali ini ibuku mengangguk.

Tangisku tak bisa tertahan, air mata mengalir begitu deras.

"Ayahhh..." Kataku, dengan tangis yang membasahi pipi, dan setengah berlari kearah lelaki itu, lalu memeluknya erat.

"Sulastri, sekarang aku mau dia, Dany, ikut bersamaku, ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya" Kata lelaki itu, sambil menatap ibuku.

"Sekarang, kau tidak bisa menolak, Sulastri." Tambah kakek tua.

Ibuku hanya menangis, tanpa sepatah katapun diucapkannya.

"Nak, sudah jangan menangis, aku tahu ini berat untuk kamu tahu yang sebenarnya, tapi ini yang ayah harus katakan padamu, sejujurnya. Karena ibumu pasti tak akan mau bercerita tentang semua ini, semoga kamu bisa memaafkan Ibumu, Nak.

Atas segala perbuatannya, atau kebodohannya" Kata ayahku, dan melepaskan pelukanku.

Lalu berlari kearah tubuh Pak Dany, dengan cepat, seperti ingin merasuki.

Pak Dany berjalan perlahan dengan sendirinya, meninggalkan kami, menuju luar rumah ini.

Dengan langkahnya yang begitu berat, kami terus mengamati.

Ia menoleh sejenak padaku, dan berkata.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Karena setelah ini aku akan hidup tenang dialam sana."

Lalu berjalan lagi, hingga menembus gelapnya malam.

"Budi, ayo kita pulang." Kata kakek tua itu, diikuti anggukan remaja tersebut yang bernama Budi.

"HEY, KAKEK TUA, BAGAIMANA DENGAN TANGANKU INI?"

"Itu untuk pelajaran bagimu, agar kau cepat sadar, sesakti apapun kau, tetap ada yang jauh lebih sakti darimu."

Bersama langkah kakek tua dan remaja itu meninggalkan rumah ini.

-SEKIAN-

close