Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ARI-ARI, EMAK, TUMBAL

3 cerita singkat dalam satu part. To the point, nggak perlu panjang-panjang, apalagi sampai berjilid-jilid.


ARI-ARI

Oek... Oek... Oek...

Terdengar suara bayi yang menangis keras dari dalam kamar.

"Alhamdulillaah..."

Dirman bernafas lega sembari mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ketegangannya menurun drastis. Tapi dadanya masih berdebar-debar.

Hampir dua jam dia menunggu kelahiran anaknya. Tapi dia terpaksa duduk di luar karena dia memang tak kuat bila melihat banyak darah.

Berkali-kali lelaki itu melirik pintu kamar yang tertutup tirai, harap-harap cemas menantikan panggilan mak Sari si dukun beranak yang memintanya untuk masuk ke dalam.

Setelah beberapa saat, mata Dirman berbinar saat mendengar suara mak Sari yang berteriak memanggil.

"Mas Dirman, sini masuk."

Dirman setengah berlari masuk ke dalam kamar. Di situ, matanya disuguhi pemandangan yang begitu mengharukan. Istrinya terbaring kuyu bermandikan peluh sambil tersenyum memandang ke arahnya.

Dirman pun balas tersenyum. Wajahnya sumringah. Lalu matanya tertuju pada dua sosok mungil terbungkus kain yang tergolek di samping istrinya.

"Anak kita kembar mas. Laki-laki semua." Ucap istrinya pelan.

"Alhamdulillaaah..." Ucap Dirman spontan sambil tengadahkan tangan.

Dirman segera mendekat lalu memberikan kecupan lembut di kening istrinya sebagai ungkapan rasa bahagia.

"Kamu nggak apa-apa?"

Istrinya mengangguk dengan senyuman penuh bangga. "Aku seneng banget mas."

"Selamat ya mas Dirman. Anaknya kembar laki-laki, sehat semua." Ucap mak Sari sembari mengeringkan tangannya yang basah dengan kain.

"Iya mak. Terima kasih." Balas Dirman dengan senyum yang tak henti mengembang.

"Itu ari-arinya ada di baskom. Saya minta supaya cepat-cepat dikubur. Jangan ditunda-tunda." Kata mak Sari lagi.

"Iya mak." Sahut Dirman tanpa menoleh sambil terus memandangi kedua anaknya. Hatinya tak kuasa menahan haru. Tak menyangka kalau dirinya dianugrahi dua bayi mungil sekaligus. Luar biasa...

"Lho, kok malah bengong? Ayo cepet diurus itu ari-arinya. Semua kelengkapannya sudah ada kan?" Tanya mak Sari.

"Iya mak. Nanti pasti saya urus. Tapi maaf mak, memangnya nggak bisa besok pagi saja? Ini kan tengah malam? Masa malam-malam begini saya harus gali-gali tanah?" Jawab Dirman coba menawar.

"Eh, harus sekarang! Ini malam satu suro. Anakmu itu anak kembar. Kamu harus cepat-cepat mengubur ari-arinya. Kalau nggak...

Mak Sari menghentikan ucapannya sembari melirik ke arah istri Dirman yang sedang terbaring layu. Wanita tua itu seperti sadar akan situasi hingga dia sengaja tak melanjutkan kalimatnya.

"Kalau nggak memangnya kenapa mak?" Tanya Dirman yang menunggu mak Sari tuntaskan ucapannya.

"Nggak. Nggak apa-apa. Sudah, jangan banyak tanya. Lebih baik kamu nurut apa kata emak." Jawab mak Sari yang membuat Dirman jadi mengerenyitkan dahi.

Tapi Dirman tak berani bertanya lagi. Dia tak ingin memancing perdebatan. Dia merasa berhutang budi pada mak Sari yang sudah mau bersusah payah membantu kelahiran anaknya meski katanya wanita tua itu sedang tak enak badan.

Dirman pun segera membawa baskom berisi ari-ari itu ke belakang rumah. Dia sudah berencana untuk menguburkannya di sana.

Namun terdengar suara mak Sari yang kembali memanggilnya. Dia pun meletakkan baskom itu di meja dapur lalu bergegas kembali ke kamar memenuhi panggilan mak Sari.

"Kenapa mak?"

"Aku mau pamit dulu. Barusan ada panggilan mendadak. Besok pagi-pagi aku ke sini lagi."

"Apa perlu saya antar mak?"

"Nggak usah. Kamu jaga saja istrimu dan anakmu baik-baik. Jangan lupa ari-arinya."

"Iya mak. Terima kasih."

Mak Sari pun akhirnya pergi. Dirman ingin melanjutkan niatnya mengurus ari-ari. Namun mendadak ponselnya berbunyi. Ada nama ibu yang muncul pada layarnya.

"Halo Man. Gimana? Sudah lahir anaknya?" Tanya sang ibu di sebrang sana.

"Sudah bu. Alhamdulillah. Anaknya kembar! Laki-laki semua!" Jawab Dirman dengan bangganya.

"Alhamdulillah! Maaf ibu belum bisa ke sana, mungkin besok. Soalnya malam ini bapakmu belum bisa ditinggal, masih sakit. Ini ibu baru selesai ngerokin bapakmu, trus dia muntah-muntah. Kayanya bapak masuk angin."

"Iya bu. Nggak apa-apa." Balas Dirman lalu mengakhiri pembicaraan telponnya.

"Mas, aku haus mas. Tolong ambilkan air minum." Pinta istrinya.

Dirman pun segera mengambilkan apa yang istrinya minta. Dirman lalu duduk di samping sang istri sambil terus memandangi kedua anaknya.

Sebentar kemudian, istrinya yang kelelahan nampak mengantuk. Dirman pun membiarkannya tidur. Tapi Dirman yang juga merasa lelah akhirnya malah ikut tertidur.

Entah berapa lama keduanya terlelap hingga tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbanting dengan keras!

BRAK!

Dirman dan istrinya seketika kaget hingga terbangun. Tapi belum sempat apa-apa, kembali terdengar suara baskom yang terbanting dari dalam dapur.

Grompyang!

"Apa itu mas?" Tanya sang istri kebingungan sembari berusaha tenangkan kedua anaknya yang menangis.

"Nggak tau." Jawab Dirman sambil menggeleng.

Namun keduanya kembali heran begitu mendengar derai tawa dari arah sana. Dari suaranya, sepertinya lebih dari satu orang.

Dengan hati penuh tanya, Dirman pun segera bangkit lalu melangkah cepat menuju dapur. Masa iya maling? Tapi sepertinya itu suara perempuan? Batin Dirman menduga-duga.

Namun ketika dia sampai di situ, betapa dia terperangah hingga membelalakkan mata...

"Allahuakbar!"

Di dapur, ada 3 perempuan menyeramkan berbaju lusuh berambut panjang yang sedang berebut memakan ari-ari anaknya!

Mulut ketiganya nampak berlumuran darah bercampur lendir lalu menyeringai ke arah Dirman!

Seketika Dirman tersurut mundur hingga merapat ke dinding. Namun matanya tak kuasa berpaling untuk terus melihat ketiga sosok perempuan menakutkan itu!

Lalu tiba-tiba ketiga perempuan itu melesat melayang keluar melalui pintu belakang yang terbuka diiringi derai tertawa yang melengking!

Salah satunya nampak menggondol ari-ari dengan mulutnya, meninggalkan sisa-sisa yang berceceran kemana-mana.

Dirman terduduk lemas menyaksikan semua itu. Setelah ketiganya pergi, Dirman seolah mendapatkan tenaganya kembali. Dia pun segera lari berhamburan kembali masuk ke dalam kamar.

"Kenapa mas?" Tanya sang istri melihat suaminya yang datang berlarian dengan wajah yang teramat pucat.

"Kuntilanak bu! Ari-arinya digondol kuntilanak!" Jawab Dirman dengan suara yang bergetar.

"Ya Allah! Trus gimana mas??" Sahut sang istri sembari memeluk erat kedua bayinya.

Dirman pun segera menghubungi mak Sari yang ternyata baru saja sampai di rumahnya.

"Ada apa mas Dirman?" Tanya mak Sari di sebrang sana.

"Kuntilanak mak! Ari-arinya digondol kuntilanak!"

"Innalillahi! Kok bisa? Memangnya belum kamu kubur?"

"Belum mak. Tadi saya ketiduran."

"Astaga! Kan tadi aku bilang apa? Cepat urus ari-arinya! Ya sudah, sekarang kamu tenang dulu. Apa kuntilanaknya sudah pergi?" Tanya mak Sari.

"Iya mak. Mereka sudah pergi."

"Syukurlah. Sekarang cepat kamu bersihkan semuanya. Jangan sampai ada yang tertinggal. Sisa-sianya cepat kamu kubur. Kalau nggak, kuntilanak itu bakal datang lagi!"

"Astaga! Masa iya mak?"

"Iya. Asal kamu tau, ari-ari anak kembar itu aromanya lain. Baunya bisa mengundang para kuntilanak untuk datang. Apalagi ini malam satu suro. Bagi mereka, aroma benda itu seperti bau makanan yang lezat. Mereka akan kembali kalau sampai baunya masih tercium."

"Ya Allah.. I-iya mak. Nanti saya bersihkan." Jawab Dirman terdengar gugup lalu menutup pembicaraan telponnya.

Dirman pun segera kembali ke dapur demi melakukan perintah mak Sari. Dengan terburu-buru, dia kumpulkan sisa ari-arinya lalu segera dikuburkan.

Sepanjang malam Dirman dan istrinya tetap terjaga. Mereka begitu ketakutan dan khawatir kalau para kuntilanak itu benar-benar datang lagi.

Hingga akhirnya terdengar suara adzan Subuh yang membuat pasangan suami istri itu bisa bernapas lega. Dirman pun segera pergi ke dapur untuk memastikan kalau semuanya baik-baik saja.

Sejenak dia termenung disitu, masih tak percaya dengan apa yang telah dia alami. Dia jadi sedikit menyesal karena telah lalai hingga mengakibatkan semua ini terjadi. Suatu peristiwa yang seumur hidup takkan bisa dilupakannya.

----- SELESAI -----


EMAK

"Ayo dong mak! Ini tinggal dua suap lagi! Kerjaanku banyak! Bukan cuma ngurusin emak!" Teriak Erna dari dalam sana. Lalu disusul suara dentingan sendok yang dibanting beradu dengan piring.

TRANG!

Seketika aku menoleh. Nampak Erna yang keluar dari dalam kamar emak dengan wajah bersungut kesal.

"Kenapa sih?" Tanyaku sampai berhenti mengikat tali sepatu.

"Capek bang! Capek aku kalau begini terus!" Sahut Erna merajuk dengan wajah super cemberut.

"Kamu yang sabar dong, emak kan lagi sakit? Kamu harus maklum." Ucapku coba tenangkan istriku itu.

"Iya, aku ngerti! Tapi kenapa harus kita sih yang mengurus emak? Kenapa bukan abangmu saja?" Sahut Erna tak mau kalah.

"Lho? Kamu kan tau sendiri? Bang Rizal itu anaknya banyak. Dia pasti kerepotan kalau harus mengurus emak juga. Ini kan sudah sering kita bahas? Masa kamu nggak paham juga?" Jawabku coba menasehatinya.

"Huh! Tau begini, lebih baik aku ikut Reni saja kerja di Malaysia! Setidaknya di sana aku dibayar untuk jadi pembantu! Kalau disini aku dapat apa?" Protes Erna dengan sengitnya.

"Heh! Bisa-bisanya kamu ngomong begitu! Kamu nggak ikhlas ngurusin emak? Kok kamu perhitungan sama mertua sendiri?" Hardikku sambil melotot. Aku benar-benar tak bisa terima ucapannya.

Tapi Erna malah membalas dengan hentakkan kaki sebelum akhirnya dia melangkah masuk ke dalam kamar lalu membanting pintunya keras-keras.

BRAK!

Aku hanya bisa geleng kepala melihat tingkahnya yang kelewatan. Hampir tiap hari adegan ini terjadi. Erna tak henti protes dan menggerutu sejak emak tinggal bersama kami.

Tapi mau bagaimana lagi? Hanya aku dan bang Rizal yang emak punya, sedangkan bapak telah lama meninggal dunia.

"Mak, Samsul berangkat dulu ya? Jangan diambil hati kelakuan Erna tadi." Ucapku pamit pada emak yang tak menggubris. Matanya terus menatap pintu kamar yang barusan Erna banting.

Hatiku mengiba. Emak bagai tanpa jiwa. Sejak kios daging emak di pasar musnah terbakar bersama puluhan kios lainnya 6 bulan yang lalu, emak jadi begini. Seharian hanya diam melamun tak mau bicara, bahkan tak mau makan hingga harus dipaksa.

Tak jarang pula emak bertingkah aneh. Dia sering terlihat linglung lalu tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Sesekali juga dia nampak mengasah kapak kecil dan pisau daging miliknya. Sepertinya dia ingin kedua benda kesayangannya itu selalu terjaga ketajamannya.

Hatiku jadi nelangsa. Aku tau kalau emak rindu akan kios kebanggaannya. Kios daging yang dia rintis bersama bapak puluhan tahun yang lalu, namun kini terbengkalai karena belum ada kejelasan kapan pasar akan dibangun kembali.

"Erna! Abang berangkat dulu ya!" Teriakku pada Erna.

"Bodo amat!" Sahut Erna dari dalam sana. Aku hanya bisa mengelus dada. Sikap Erna makin hari makin menguji kesabaranku saja.

***

Di tempat kerja, seharian pikiranku jadi tak fokus. Terngiang kembali ucapan Erna yang tadi bilang kalau dia mau jadi TKI di Malaysia mengikuti jejak Reni, sahabatnya.

Aku tau Erna tak main-main. Niatnya itu sudah sering dia lontarkan karena tergiur dengan gaji besar yang acap kali Reni gembar-gemborkan.

Namun berkali-kali pula aku larang. Meski kami serba kekurangan, tapi aku masih sanggup menafkahinya. Lagi pula bagaimana kami bisa punya anak kalau dia malah berangkat ke Malaysia?

Malam hari sepulang kerja, rumah nampak sepi. Hanya ada emak yang tengah duduk sambil melamun di depan meja makan.

“Assalamualaikum..” Ucapku memberi salam lalu mencium tangan emak.

"Erna kemana mak?" Sambungku bertanya. Tapi emak hanya menggeleng tanpa menengok barang sedikit.

"Na! Erna!" Teriakku lantang. Namun tak ada jawaban.

Kulongokkan kepala ke kamar, Erna tak ada. Kemana dia? Di kamar mandi pun tak nampak. Lalu cepat kuhubungi ponselnya bersiap untuk memaki, namun hanya nada tak tersambung yang kudapatkan. Sialan!

Timbul pikiran yang tidak-tidak. Apa jangan-jangan dia minggat? Bukan apa-apa, sebelumnya Erna sering mengancam kalau dia akan pulang kembali ke rumah orang tuanya. Tapi aku tak menyangka kalau kali ini dia benar-benar buktikan ancamannya.

Ah, masa bodoh! Biar saja dia begitu! Biarkan dia menumpahkan kekesalannya pada orang tuanya. Toh nanti dia bakal balik lagi, aku yakin itu. Sekarang lebih baik aku mandi. Mungkin guyuran air di kepala mampu dinginkan hatiku yang serasa panas terbakar.

Tapi belum sempat apa-apa, diriku malah terpesona saat emak membuka tudung saji memamerkan hidangan yang siap untuk disantap.

Lalu emak diam menunggu. Dari sikapnya, aku paham kalau dia ingin makan malam bersamaku.

"Mak? Emak masak?" Tanyaku berbasa-basi sambil memperhatikan semangkuk gulai dengan aroma yang menggugah selera.

Tapi emak hanya diam. Tanpa bicara apa-apa, dia mengambil piring lalu menyendok nasi kemudian menyodorkannya padaku.

Kusambut piring itu lalu duduk dan mulai mengangsur gulai dari mangkuk. Selain piawai memotong daging, emak juga koki terbaik di dunia. Dari tampilannya saja, masakan itu sudah terlihat gurih menerbitkan air liur. Tak terbayangkan bagaimana nanti rasanya.

Tak perlu lama, suap demi suap nasi berpadu gulai segera berpindah masuk ke dalam perutku.

Alamak! Lezat nian masakan emakku kali ini! Bukan karena sudah lama emak tak membuatnya, tapi gulainya kali ini rasanya memang sungguh berbeda.

Semangkuk gulai dengan cepatnya ludes hingga meninggalkan sedikit kuah.

Tapi mataku melihat ada yang aneh. Seperti ada benda berkilau di dasar mangkuk dalam sisa kuah yang bersantan.

Penasaran, kuambil benda itu dengan sendok, lalu diriku terheran-heran sambil memandangi benda itu lekat-lekat.

Cincin? Ini kan cincin kawinnya Erna? Bagaimana bisa?

Kutatap mata emak seolah bertanya dalam diam. Tapi emak tak berucap sepatah kata pun. Dia malah melirik ke arah kantong plastik sampah ukuran besar yang ada di dekat tempat cucian piring.

Mataku ikut melirik ke arah yang emak tuju.

DEG!

Leherku tercekat. Dadaku berdegup keras. Sekujur tubuhku terasa lemas.

"Enak?" Tanya emak dengan mata berbinar sembari tersenyum dingin.

"I--iya mak... Enak.." Jawabku sambil menahan diri agar tak muntah melihat kepala Erna dan isi perutnya yang nampak tersembul keluar dari dalam kantong plastik.

----- SELESAI -----


TUMBAL

Sarwono merunduk menahan napas. Dadanya berdegup keras. Tengkuknya merinding diterpa angin malam yang berhembus. Sementara matanya jelalatan mengintai kian kemari.

Sambil membungkuk dia mulai mengendap-endap. Kakinya yang telanjang melangkah hati-hati di antara patok-patok kuburan yang tersembul.

Hujan gerimis mendadak turun. Tanah pun jadi licin dan lengket. Namun itu tidak menyurutkan langkah Sarwono. Tekadnya sudah membulat. Tak ada ruang untuk keraguan.

Sarwono berhenti di depan sebuah makam dengan taburan bunga yang telah layu. Sebentar kepalanya celingukan memindai sekitarnya. Dia harus yakin kalau tak ada orang yang menyaksikan kegilaan yang akan dia lakukan.

Dipandanginya nama yang tertulis pada patok kayu yang basah. Hatinya nelangsa. Dadanya sesak oleh sesal yang menggumpal. "Maafkan aku Nur." Gumamnya pelan.

Cangkul kecil yang dibawanya segera menghujam tanah menggali tergesa-gesa. Air matanya mulai meleleh membasahi wajahnya bercampur air hujan.

Getaran rasa iba coba menyusup ke dalam relung hatinya, namun segera ditepisnya jauh-jauh. Sarwono terus menggali, meski hatinya perih.

Dug!

Mata cangkul menghantam papan penutup. Sarwono sigap membungkuk. Tangannya gemetar menyingkirkan dua lembar papan hingga nampak sosok jenazah terbungkus kain kafan yang kotor kecoklatan.

Sarwono menahan napas saat bau busuk menyelinap masuk rongga hidungnya. Disingkirkannya sisa papan yang masih menutupi, hingga terlihat utuh sosok jasad yang terbaring miring dengan perut membuncit.

Untuk sesaat Sarwono terdiam. Dipandanginya jasad itu dengan tatapan nanar. Sarwono menggeleng dua kali demi menghilangkan rasa ragu. Lalu tangannya mengusap-usap perut jasad itu.

"Aaarrghhh!"

Setengah mati Sarwono mengangkat jasad itu keluar dari dalam liang lahat. Tanah yang licin membuat usahanya jadi sulit.

Susah payah akhirnya Sarwono berhasil juga. Sekujur tubuh dan pakaiannya jadi belepotan. Tapi dia tak perduli. Yang ada di benaknya kini adalah bagaimana caranya membawa jasad itu cepat-cepat.

Sarwono berjalan mundur setengah membungkuk sambil menyeret jasad itu. Benturan dengan gundukan makam serta patok-patok nisan sedikit menghalangi lajunya.

Sepanjang jalan Sarwono terus menangis. Dia lelaki tegar. Namun apa yang dilakukannya akan membuat siapapun menangis, tak terkecuali dirinya.

Namun dia harus melakukan hal itu. Suka tak suka, mau tak mau, dia harus membawa jasad itu menuju tempat dimana dia akan menunaikan janjinya...

***

Sementara di tempat lain, Suminah nampak resah. Wanita tua itu tak henti melongok ke luar rumah seolah sedang menantikan sesuatu.

Sejak sore tadi Sarwono pamit pergi. Tapi hingga lewat tengah malam, anak lelakinya itu belum juga kembali.

Apakah dia berhasil?
Apakah puteranya itu berani melakukannya?

Begitu banyak pertanyaan memenuhi isi kepala Suminah yang sarat dengan uban. Kalau sampai gagal, nyawa Sarwono yang jadi taruhannya.

Dipandanginya kalung emas yang ada dalam genggamannya. Kalung itu milik Nurhayati, menantunya yang meninggal seminggu yang lalu dalam kondisi hamil tua.

Kemarin Sarwono telah membuat sebuah pengakuan. Pengakuan tentang dirinya yang diam-diam telah bersekutu dengan setan.

Tapi semua itu menjadi rumit ketika Nurhayati meninggal dengan membawa serta kandungannya ke dalam liang lahat.

Suminah hanya bisa pasrah. Sebuah kegilaan telah dilakukan anaknya tanpa dirinya tau. Kini Suminah hanya bisa menunggu. Semoga Sarwono berhasil menuntaskan apa yang telah dia mulai..

***

Bruk!

Sarwono meletakkan mayat itu di depan sebuah pohon beringin tua. Napasnya tersengal-sengal. Disekanya sisa air mata dari wajahnya yang kuyup.

"Aku datang menepati janjiku." Ucap lelaki itu entah pada siapa. Tapi dia tau kalau suaranya bakal didengar.

Sesaat sunyi. Sarwono menelan ludah demi membasahi kerongkongannya yang kering. Ditatapnya lekat-lekat jasad yang ada di hadapannya. Kain kafan yang sedikit tersibak memperlihatkan perut buncit dari sang mayat.

Srek.. Srek..

Dari atas pohon, terdengar suara sesuatu yang bergesekan dengan dedaunan. Sarwono mundur dua langkah. Dia tau siapa yang bakal datang, dan dia tak ingin ada di dekatnya.

Dua tangan kurus dengan jari-jari berkuku hitam nan panjang nampak tersembul dari rimbunnya daun dan ranting. Pelan tapi pasti, muncul sosok hitam berkulit licin yang merayap turun bagaikan cicak.

Sarwono bergidik ngeri. Tapi dia coba benamkan rasa takutnya dalam-dalam. Dia paksakan nyali untuk tetap berdiri saat sosok hitam itu merangkak mendekati jasad yang tadi dia bawa.

Kuku tajam sang mahluk merobek kain kafan hingga koyak. Sarwono tak kuat lagi menahan pilu. Biar bagaimanapun, itu adalah jasad istrinya.

Air mata Sarwono kembali mengalir saat melihat kuku sang mahluk merobek perut istrinya lalu menarik keluar jasad bayi dari dalamnya.

Sarwono tak sanggup lagi melihat. Dia palingkan wajah sambil merinding ngilu ketika mahluk itu melahap jasad bayinya hingga menimbulkan bunyi mulut yang mengecap.

Andai saja Sarwono tak terlahir miskin, dia takkan sudi membiarkan semua ini terjadi. Tapi kesulitan hidup membuat Sarwono tergoda untuk bersekutu dengan iblis tanpa istri dan ibunya tau.

Dia gadaikan bayi dalam kandungan istrinya sebagai imbalan atas harta yang kelak dia dapatkan. Namun segalanya jadi sulit ketika sang istri sakit hingga akhirnya meninggal sebelum sempat melahirkan.

Tapi janji adalah janji. Mahluk itu tetap menginginkan bayi Sarwono, hidup atau mati...

----- SELESAI -----

Terima kasih telah menyimak cerita ini. Semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya. Maafkan bila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Nantikan kisah-kisah selanjutnya. Silahkan follow akun ini untuk bisa terus update cerita-cerita yang pastinya seru dan menegangkan

Wassalam.



close