Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK TERATAI PUTIH (Part 27) - Pertempuran


PERTEMPURAN

Malam ini Anggara tengah bersimpuh memohon petunjuk. Tugasnya terasa sangat berat. Apakah dirinya harus menyerah saja? Dimulai dari masjid tiban, lalu Sumirah yang misterius yang telah membuatnya jatuh hati, dan terakhir masalah Lastri. Anggara rasa-rasanya ingin menyerah.

Anggara tanpa terasa tertidur dan bermimpi, dalam mimpinya dirinya bertemu dengan almarhum kakek buyutnya. Sang kakek memberikan sorbannya lalu membisikkan kata-kata. Diakhir pertemuan sang kakek menyuruh Anggara untuk menikah. Dengan menikah Anggara akan terbebas dari godaan perempuan dari desa Kalimas maupun godaan dari lelembut yang menyerupai perempuan. Setelah kata-kata terakhir sang kakek buyut terucap, Anggara terbangun dari tidurnya.

"Jadi aku harus kembali ke pulau seberang untuk menikah?"

Anggara meremas dadanya yang terasa nyeri. Dirinya merasa seolah tak rela, dirinya juga merasa seseorang akan sangat kecewa jika ia menikah.

Anggara yang masih tidak yakin terus melakukan sholat malam dan hasilnya masih tetap sama. Dirinya terus bermimpi agar pulang ke pulau seberang untuk menikah. Akhirnya Anggara memutuskan untuk pulang ke pulau seberang untuk menikah. Namun sebelum itu ia harus berhasil membuka kembali masjid tiban, apapun resikonya.

Anggara memasuki masjid tiban dengan membaca Basmallah. Seperti dugaannya, seekor ular welang melingkar tepat di halaman masjid, seolah menunggu kedatangannya. Lidahnya menjulur-julur, Anggara mendengar suaranya saat berbicara.

"Aku tunggu kau dipesisir pantai segara kidul. Ayo kita beradu ilmu bocah. Siapa yang menang akan memiliki masjid tiban!."

Wussssh...

Ular welang itu berubah menjadi asap dan menghilang.

Anggara memasuki masjid tiban lalu duduk bersila. Tak lupa ia juga memakai sorban pemberian almarhum kakek buyutnya. Tangan kanannya yang memegang tasbih terus berdzikir, memohon perlindungan kepada Allah Swt. Anggara menutup matanya perlahan.

"Bismillah....."

Saat matanya terbuka, Anggara sudah berada dipesisir pantai segara kidul dan dihadapannya telah berdiri seorang perempuan dengan paras yang sangat cantik.

Angin berhembus mengibarkan rambut panjangnya yang tergerai. Suara deru ombak menyambut pertemuan dua makhluk yang tengah berseteru.

"Tinggalkan Kalimas! Aku tak ingin membunuhmu!"

Suara perempuan dihadapan Anggara memecah kebisuan.

"Maafkan aku, tapi aku harus membuka kembali masjid tiban. Masjid tiban adalah rumah Allah, tempat hambanya untuk  menyembah-Nya. Jadi masjid tiban bukan milikmu!"

"Bedebah kau anak bau kencur! Kau tidak tahu siapa aku ini hah!."

"Kau nyai Mutik, istri dari mbah Parman."

"Kenapa kau bisa tahu soal Parman?"

Anggara melempar sebuah bungkusan kearah nyai Mutik.

"Mbah Parman adalah kakek buyutku, sebelum meninggal beliau menitipkan ini untukmu."

Nyai Mutik menangkap bungkusan yang dilempar Anggara ke arahnya.

Nyai Mutik membukanya lalu mengangkat isi dari bungkusan itu. Sebuah mukenah putih pemberian Parman untuknya saat mereka menikah dulu dan sekalipun tak pernah ia pakai dengan semestinya.

Kretesssss....kretekssss....kretesss...

Perlahan mukenah itu terbakar dan hangus tak berbentuk. Nyai Mutik menyeringai mengerikan.

Anggara menggelengkan kepalanya. Sepertinya makhluk dihadapannya ini tak bisa diajak bicara.

"Pergilah kau dari sini! Jangan kau pikir dengan memberikan barang itu aku akan luluh! Masjid tiban selamanya akan menjadi milikku dan tak ada yang boleh menyembah Tuhan didalam masjid itu!"

"Kau hanya cemburu nyai Mutik! Sebegitu irinya kah kau terhadap mendiang nenek buyutku hingga kau mengambil tubuhnya dan mengambil masjid tiban? Aku tahu, masjid itu adalah bentuk rasa rindunya kakek buyutku terhadap nenek buyutku, Martini. Tak bisakah kau lepaskan dendammu itu nyai? Kakek buyutku mbah Parman sudah meninggal. Dia juga sama besarnya rasa cintanya untukmu. Apakah mukenah itu tidak cukup sebagai bukti jika mbah Parman, kakek buyutku tidak pernah melupakanmu."

Wuuush....

Angin kecang berhembus, lagi rambut lurus nyai Mutik yang tergerai berkibar ditiup sang bayu. 

"Mati kau, keturunan Parman!."

Tanpa menunggu lama nyai Mutik langsung mengubah wujudnya menjadi seekor ular welang raksasa. Anggara terkejut, namun ia segera mengendalikan emosinya.

Anggara menutup matanya dan berdoa memohon perlindungan kepada Allah Swt.

"Bismillah....."

Petempuran tak lagi terhindarkan.

Nyai Mutik melilit tubuh Anggara menggunakan ekornya. Lalu membuka mulutnya lebar-lebar hendak menelan Anggara.

"Aku berikan kau satu kesempatan lagi. Pergilah dari Kalimas dan lupakan niatmu untuk membuka masjid tiban. Maka akan aku ampuni kau bocah!"

Sssssst.....ssssst.....sssst.....

Anggara tersenyum tenang lalu menggelengkan perlahan kepalanya.

"Demi Allah, aku harus membuka kembali masjid tiban. Aku harus melaksanakan amanah dari kalek buyutku."

"Bedebah.. Mati kau, keturunan Parman!."

Nyai Mutik membuka mulut ularnya lebar-lebar dan menelan Anggara.

Huup...

Tubuh Anggara ditelan nyai Mutik dalam sekali suapan.

Sssssst.....ssssst.....sssst.....

"Ha...ha...ha... Andai kau menuruti perintahku pasti kau tak akan mati sia-sia anak muda."

Sssssst.....ssssst.....sssst.....

"Aaaaaarggggght....!!!"

Bruught..

Byuuuuuur....

Tubuh ular welang jelmaan nyai Mutik menggelepar, menabrak apapun yang ada disekitarnya. Kepalanya menabrak batu karang sementara ujung ekornya bergerak-gerak menyapu air laut dan menimbulkan gelombang besar yang menghantam apapun dipinggir pantai.

"Aaaaaargght....!!"

Kepala ular jelmaan nyai Mutik tergeletak lemah dipasir. Perlahan mulutnya terbuka, lalu keluarlah Anggara tanpa ada luka sedikitpun ditubuhnya.

Nyai Mutik kembali merubah wujudnya menjadi manusia saat Anggara sudah sepenuhnya keluar dari mulut ularnya.

"Jangan besar kepala kau bocah, akan kubunuh kau!."

Nyai Mutik mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menyerang Anggara. Satu persatu serangan nyai Mutik ditepis oleh Anggara.

"Aaaarght.....!"

Nyai Mutik terpental dan memuntahkan darah saat salah satu pukulan Anggara mengenai tubuhnya.

"Hmmmp...! Akan aku keluarkan jurus pamungkasku!"

Nyai Mutik mengambil seluruh rambut panjangnya kearah depan, lalu dalam sekali tebas menggunakan telapak tangan rambutnya terpotong hingga batas telinganya.

"Akan aku korbankan keabadianku demi membunuhmu! Setidaknya rasa haus akan dendamku terhadap Parman akan sedikit berkurang dengan membunuh salah satu keturunannya, yaitu kamu Anggara!"

Nyai Mutik mengangkat tinggi-tinggi rambutnya lalu melemparkannya kedalam air laut. Matanya terpejam dan detik kemudian terbuka, menatap tajam kearah Anggara dengan pupil ularnya.

"Musnahlah kau!"

Dengan cepat nyai Mutik menyerang Anggara, hingga akhirnya Anggara terpukul mundur dan memuntahkan darah setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari nyai Mutik.

Anggara mengangkat tangannya, dirinya masih ingin bernegosiasi dengan perempuan yang pernah menjadi istri kakek buyutnya itu.

"Tenanglah nyai! Mari kita bicarakan baik-baik. Sungguh aku tak ingin menyakitimu!"

"Ha...ha...ha.... Masih berlagak kau bocah! Kau akan mati ditanganku!"

Anggara memegang dadanya yang terasa sangat sakit karena muntah darah. Dirinya tidak yakin akan selamat jika menerima serangan selanjutnya dari nyai Mutik.

"Maaf kakek, aku terpaksa menggunakannya!"

Anggara melepas sorban pemberian dari sang kakek buyut, mbah Parman. Saat nyai Mutik sudah didepannya dan akan mencekiknya dalam sekali hentakkan Anggara mengibaskan sorbannya tepat ke tubuh nyai Mutik.

"Ohoook....!"

Nyai Mutik terlempar dan muntah darah. Dirinya terduduk sambil memegangi dadanya.

"Sorban itu...!"

"Ya, ini sorban milik kakek buyutku, mbah Parman. Sejujurnya aku tak ingin menggunakannya. Sekarang aku mohon padamu nyai, tinggalkan masjid tiban dan hapuskan dendammu terhadap kakek buyutku, mbah Parman."

"Ha..ha..ha... Kau bercanda bocah? Bahkan jika aku terbakar di neraka aku akan tetap mencari keberadaan Parman! Ohoook.....!."

Kembali nyai Mutik mengeluarkan darah, waktunya telah habis. Perlahan rambutnya memutih, tangannya keriput, wajahnya menua.

"Akan aku bantu kau lepas dari penderitaanmu nyai Mutik. Akan aku lepaskan sukma mu dari wadah yang kau ambil paksa itu, agar kau tenang. Itu perintah terakhir kakek buyutku, mbah Parman!"

Perlahan Anggara mendekati nyai Mutik yang terduduk lemas. Saat tangannya terulur dan sudah berada diatas kepala nyai Mutik, seseorang mencekal pergelangan tangannya.

Anggara menghentikan gerakannya.

"Kau....!"

BERSAMBUNG
close