Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CANGKANG (Part 1)

Pramono begitu bahagia ketika diminta bekerja di rumah Pak Hartadi dan Ibu Gayatri, pasangan suami istri kaya yang baik hati.

Namun justru di rumah itu, jiwa dan kehidupannya direnggut secara paksa.

Pesugihan? Bukan.

Tapi sesuatu yang lebih mengerikan dari itu..


CANGKANG Bagian 1

Hari menjelang pagi. Aku terbangun saat mendengar suara ibu yang terbatuk-batuk. Sejenak ku menggeliat, lalu bangkit dan melongok ke kamarnya, tapi dia tak ada.

"Ibu kemana?"

Kujumpai dirinya di dapur. Sedang sibuk menyiapkan jamu pesanan para pelanggan. Sesuatu yang biasa dilakukannya demi menyambung hidup sejak bapak meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Pram, nanti sebelum kamu kerja, tolong antar ini ke rumah ibu Gayatri ya. Hari ini ibu nggak bisa antar ke sana, ibu masih pusing." Pinta ibu sambil menyerahkan dua botol penuh berisi jamu beras kencur dan kunyit asem.

"Kalau masih sakit, ibu istirahat saja, nggak usah ngoyo bikin jamu dulu." Balasku sambil memperhatikan wajah ibu yang nampak pucat bercampur peluh.

"Ibu nggak apa-apa kok, cuma rada mumet sedikit. Ya sudah sana, kamu langsung berangkat, ini sudah siang lho."

Aku pun mengiyakan. Bergegas mandi, lalu bersiap untuk berangkat kerja sambil menenteng jamu pesanan sesuai perintah ibu.

"Aku berangkat ya bu." Ucapku pamit sembari mencium tangannya sebelum pergi.

Seperti hari-hari biasanya, aku pergi menuju toko beras milik Pasangan suami istri Pak Hartadi dan ibu Gayatri. Salah satu toko terbesar yang ada di pasar, tempat dimana aku bekerja sebagai kuli panggul.

Sebuah pekerjaan yang remeh. Tapi hanya itu yang bisa didapat oleh seorang pemuda putus sekolah seperti aku.

Sejak bapak meninggal, kehidupan kami yang makin sulit memaksaku berhenti sekolah agar bisa membantu ibu menghasilkan uang untuk makan kami sehari-hari.

***

"Assalamualaikum."

Belum ada jawaban. Kutunggu sejenak di balik pagar besi sambil memandangi rumah besar bercat putih itu.

Lalu muncul mbok Sum, sang pembantu rumah tangga yang langsung membukakan pintu pagar.

"Ada apa Pram? Kok tumben pagi-pagi sudah mampir kemari?" Tanya wanita tua itu.

"Ini mbok, saya mau antar jamu pesanan ibu Gayatri." Balasku sambil menyerahkan botol jamu ke tangannya.

"Lho, kok kamu yang nganter? memangnya ibumu kemana?"

"Ibu lagi kurang sehat mbok."

"Oalah... Ya sudah, makasih ya." Jawab mbok Sum lalu menutup pintu pagar.

***

Kok tumben rada telat Pram?" Tanya Pak Kusno, sang penjaga toko beras ketika aku baru saja tiba.

"Tadi mampir ke rumah ibu Gayatri dulu antar jamu. Ibuku sakit, jadi aku yang antar ke sana."

"Eh, trus kamu ketemu sama ibu Gayatri nggak? atau Pak Hartadi barangkali?" Tanya Pak Kusno lagi.

"Enggak tuh. Mbok Sum yang keluar. Memang kenapa?"

"Ah, aku kira kamu sempet ketemu. Soalnya selama ini, jarang sekali ada orang yang bisa ketemu mereka. Lah wong aku saja baru dua kali bisa ketemu, itu juga cuma sebentar. Misterius banget majikan kita itu." Jawab Pak Kusno.

“Ah maklum saja pak, orang kaya itu biasanya tingkahnya sering aneh-aneh. Yo wes lah, nggak usah kita ngurusi yang begituan.”

Perbincangan kami akhirnya terputus ketika seorang pembeli datang. Dan hari pun di mulai seperti biasanya.

***

Sore itu, sepulang dari toko, kulihat wajah ibu makin pucat, bibirnya kering, tubuhnya panas, batuknya kian nyaring.

"Ibu berobat ya?" pintaku pada ibu yang terbaring lemah di kamarnya sambil memegangi dada.

"Nggak usah Pram. Ibu nggak apa-apa kok." Jawab ibu coba terlihat kuat.

Namun ketika ibu terus terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah, membuatku panik dan segera membawanya ke rumah sakit.

Dan bagai mendengar suara sambaran petir, aku terkejut lalu lemas ketika dokter mengatakan kalau ternyata ibu mengidap penyakit kanker paru-paru..

Rupanya ibu telah lama memendam rasa sakitnya. Namun kondisinya itu sengaja dia sembunyikan karena tak ingin membuat diriku jadi khawatir.

Ya Allah, ibu...

***

Aku hanya duduk diam sambil memandangi ibu yang kini cuma bisa terbaring lemah di tempat tidur.

Sebenarnya Dokter meminta agar ibu segera dirawat. Tapi bayangan tentang besarnya biaya yang harus kami tanggung, membuat kami dengan berat hati memutuskan untuk kembali pulang.

Mbok Sum sempat datang menjenguk mewakili keluarga pak Hartadi dan ibu Gayatri sebagai ungkapan rasa prihatin.

Wanita tua itu nampak berbincang-bincang pelan dengan ibu. Aku yang duduk sedikit jauh, sempat mendengar beberapa kalimat dorongan semangat yang diucapkan oleh mbok Sum.

Selama beberapa bulan, kondisi ibu kian memprihatinkan. Sejumlah cara pengobatan alternatif ala kadarnya, tetap tak mampu membendung ganasnya penyakit itu.

Hingga akhirnya tepat di bulan ke lima, ibu pergi menghadap Sang Pencipta..

Menyisakan diriku yang kini tinggal sebatang kara, berhari-hari tenggelam dalam kesedihan meratapi nasib yang terasa sangat tak adil.

Hatiku hancur. Aku bagaikan kehilangan pegangan hidup. Separuh jiwa ini serasa ikut pergi bersama ibu.

Tapi perhatian dan dorongan semangat dari orang-orang di sekitarku, membuatku perlahan mampu bangkit dari keterpurukan dan mencoba melanjutkan hidup walaupun kini terasa tak sama lagi.

***

"Pram, kamu sudah denger kabar belum?" Tanya Pak Kusno pagi itu di sela-sela kesibukan kami di toko beras.

"Kabar apa pak?" Jawabku tanpa menengok sambil menaruh sekarung beras ke lantai.

"Mas Putra, anak angkatnya majikan kita, semalam dia meninggal!" ucap Pak Kusno dengan wajah serius.

"Innalillahi! Mas Putra yang katanya sekolah di kota itu?"

"Iya! Denger-denger dia sudah lulus, sudah beberapa bulan ini pulang ke rumah. Tapi mendadak semalam dia meninggal, serangan jantung katanya." jelas Pak Kusno lagi.

Aku cuma bisa diam mengangguk-angguk. Karena sejatinya, aku tak terlalu mengenal sosok mas Putra, anak angkat majikanku itu.

"Nanti siang, kita diminta untuk ikut bantu-bantu memakamkan jenazahnya. Ini kesempatan kita bisa ketemu majikan kita itu." ucap pak Kusno dengan nada bersemangat.

Aku pun mengiyakannya. Karena sesungguhnya, aku sama penasarannya dengan Pak Kusno.

***

Dan siang itu, toko sengaja tutup lebih cepat. Pak Kusno lalu mengajakku untuk pergi melayat ke rumah majikan kami.

Tapi sesampainya di sana, hati kami jadi bertanya-tanya ketika proses pemakaman ternyata dilakukan secara tertutup di lokasi pemakaman milik keluarga yang letaknya ada di areal halaman belakang rumah.

Hanya beberapa gelintir orang saja yang terlihat hadir di sana. Termasuk 3 orang asing yang berdiri di dekat mbok Sum.

Seorang pria tua penuh wibawa, wajahnya kotak, rahangnya tegas dengan kumis tebal melintang di atas bibirnya. Menggunakan setelan baju hitam-hitam, berdiri sambil bersedekap tangan dengan wajah yang murung.

Di sampingnya, berdiri seorang wanita setengah baya berwajah teduh. Dengan rambut hitam bercampur uban yang tersanggul rapi, menggunakan kebaya, nampak terdiam dengan mata yang basah memerah.

Dan persis di dekat keduanya berdiri, ada seorang gadis berparas ayu, dengan kerudung hitam menutupi rambutnya, sambil sesekali menghapus air matanya dengan sapu tangan.

"Stt.. Pak.. Apa itu mereka? Majikan kita?" Tanyaku lirih di dekat telinga Pak Kusno yang nampak khidmat berdiri di sampingku sejak tadi.

Dia sejenak melirik ke arah yang kumaksud, lalu balas berbisik..

"Iya.. Itu Pak Hartadi dan Ibu Gayatri. Nah, gadis yang ada di samping mereka itu, dia yang namanya Gendis, anak angkat mereka juga."

Namun aku yang tadinya sempat menatap tak berkedip ke arah mereka, spontan menunduk ketika mereka balas menatap, seolah menyadari kalau sedang kami perbincangkan.

Tapi aneh, kemudian mata Pak Hartadi dan Ibu Gayatri seolah tak lepas memandangiku yang kian menunduk dengan perasaan yang kini jadi tak nyaman.

Sesaat kuberanikan diri untuk kembali melirik. Nampak keduanya kini berbisik-bisik sambil terus menatap ke arahku.

Lalu terlihat mereka berbicara pelan dengan mbok Sum yang juga langsung ikut menatapku dengan wajah serius sambil terus manggut-manggut.

***

Setelah beberapa saat, proses pemakaman pun selesai. Satu persatu pelayat pun pamit pulang, termasuk aku dan Pak Kusno.

Tapi belum sempat aku pergi, mbok Sum mendekatiku lalu langsung mengajakku bicara...

"Pram, kamu jangan pulang dulu. Pak Hartadi dan Ibu Gayatri mau bicara sama kamu.." Pinta mbok Sum yang langsung membuatku gugup dengan batin menduga-duga.

"Aduh.. jangan-jangan mereka marah tadi?"

Akhirnya aku diminta untuk menunggu di ruang tamu. Rasa gelisah bercampur takut mengisi benakku yang coba menyiapkan ucapan permintaan maaf bila ternyata dugaanku benar.

Setelah beberapa lama menunggu, jantungku makin berdebar-debar ketika melihat Pak Hartadi dan ibu Gayatri datang mendekat lalu duduk di hadapanku.

"Kamu yang namanya Pramono? anaknya ibu Lastri?" tanya Pak Hartadi dengan suara berat sambil menatapku dalam-dalam.

"Iya pak." Jawabku singkat sambil menunduk.

"Kamu yang biasa bantu-bantu pak Kusno di toko beras?" Tanya pria itu lagi.

"Betul pak." Sahutku pelan.

"Saya boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Tanya apa pak?"

Dia tak langsung membalas. Sejenak dia melempar pandangan ke arah istrinya yang langsung mengangguk pelan seolah meyakinkan suaminya itu untuk lanjut bertanya.

"Apa benar kamu lahir Sabtu Pahing?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang tak kusangka-sangka. Untuk apa dia menanyakan hal itu? Lalu darimana dia bisa tau? Aku yang tadinya mengira bakal kena marah, malah jadi kebingungan sendiri.

"Iya betul pak. Saya lahir hari sabtu pahing."

Pria tua itu nampak manggut-manggut. Wajahnya terlihat puas dengan jawabanku barusan.

Lalu ibu Gayatri ikut angkat bicara..

"Setelah ibumu meninggal, sekarang kamu tinggal sama siapa?"

"Saya tinggal sendiri bu."

"Saudaramu yang lain?"

"Nggak ada bu. Saya nggak punya siapa-siapa lagi."

Mendengar jawabanku itu, ibu Gayatri pun ikut manggut-manggut sambil menatap suaminya seolah sepakat akan sesuatu.

"Maaf kalau saya boleh tanya lagi, apa betul ibumu meninggal karena sakit?" tanya pak Hartadi lagi.

"Betul pak."

"Bagaimana dengan kamu? Apa kamu punya penyakit juga?"

"Nggak pak. Selama ini nggak ada yang serius, paling cuma masuk angin saja."

Aku makin heran dengan semua lontaran pertanyaan mereka. Apa maksudnya? Namun aku tak berani protes. Cuma berusaha menjawab sejujur mungkin.

Dan ternyata semua pertanyaan itu berujung pada sebuah tawaran. Tawaran yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, tawaran yang akhirnya akan mengubah jalan hidupku...

***

"Jadi begini Pram, apa kamu mau kerja di rumah ini?"

"Maksudnya bagaimana ya pak?"

"Iya, kamu nggak usah lagi kerja di toko beras. Mulai sekarang, saya tawarkan kamu untuk kerja di sini, ikut bantu-bantu mbok Sum. Bagaimana?"

Aku terdiam tak langsung menjawab. Permintaannya yang datang secara tiba-tiba, membuatku tak tau harus menjawab apa.

"Kalau kamu mau, nanti akan kami beri upah 3 kali lipat. Dan kamu juga bisa ikut tinggal di sini. Bagaimana? Mau ya cah bagus?" Ucap ibu Gayatri menambahkan dengan nada sedikit membujuk.

..."Ya ampun! 3 kali lipat? apa aku tak salah dengar?"...

"Ini serius pak?" Tanyaku kepada pak Hartadi coba memastikan kembali tawaran menggiurkan itu.

"Iya, serius. Kalau kamu mau, besok kamu sudah bisa mulai. Selebihnya biar nanti mbok Sum yang jelaskan apa saja tugas-tugasmu." Jawab pak Hartadi coba meyakinkanku.

"Iya pak, saya mau.." Aku mengangguk pelan dengan hati yang sumringah masih tak percaya dengan semua ini.

"Ya sudah, sekarang kamu boleh pulang. Besok pagi, kamu bisa langsung datang kemari."

Pak Hartadi lalu bangkit dari duduknya diikuti ibu Gayatri dan pergi meninggalkanku yang masih duduk terpaku.

Belum sempat aku beranjak, terlihat mbok Sum datang mendekat lalu langsung bertanya..

"Gimana? Kamu siap kerja di sini?"

"Siap mbok. Tapi saya masih bingung."

"Lho? bingung kenapa?"

"Tadi mereka sempat tanya hari lahir saya. Kok mereka bisa tau?"

"Oh.. itu aku yang kasih tau mereka. Aku tau dari ibumu yang dulu sering cerita-cerita soal kamu."

"Tapi maksudnya apa mbok?"

"Ya nggak ada maksud apa-apa. Pak Hartadi dan Ibu Gayatri itu sangat hati-hati dalam memilih orang yang boleh ikut tinggal di sini. Mereka masih kental hitung-hitungan jawanya. Biasalah itu, nggak perlu kamu pikirkan."

Aku cuma bisa manggut-manggut. Mbok Sum ada benarnya. Untuk apa aku memikirkannya? Yang penting sekarang aku punya kesempatan untuk mendapat pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih baik.

***

Keesok harinya, sebelum berangkat ke rumah majikanku, aku sengaja mampir ke toko beras untuk pamit kepada Pak Kusno.

"Serius Pram? Wah, beruntung banget kamu!" Komentar pak Kusno dengan mata berbinar seolah tak percaya.

"Iya pak, malah Pak Hartadi dan Ibu Gayatri yang ngomong langsung!" Balasku dengan nada tak kalah antusias.

"Wah, aku ikut seneng dengernya! Yo wes, kamu jaga diri baik-baik ya? Kerja yang bener.." Nasihat pak Kusno sambil menjabat erat tanganku.

Usai berpamitan, aku segera pergi menuju tempat kerjaku yang baru. Sesampainya di sana, aku langsung disambut gembira oleh mbok Sum.

Lalu dia menjelaskan tentang tugas-tugas baruku.

Tapi aku sedikit heran, karena ternyata, aku hanya ditugasi untuk membersihkan dan merawat seluruh area halaman yang ada di sekeliling rumah ini.

Sebuah tugas yang terbilang ringan untuk upah yang akan kuterima.

Wanita itu juga langsung mengantarku ke kamar yang akan jadi tempat tinggal baruku.

Sebuah kamar bagus yang isinya terbilang lengkap, termasuk sejumlah pakaian yang ada dalam lemari.

"Ini pakaian siapa mbok?" Tanyaku sedikit heran.

"Oh.. Itu pakaian punya almarhum mas Putra. Pak Hartadi bilang, kamu boleh pakai semuanya, daripada mubazir."

"Yang bener mbok? Ini semua masih bagus-bagus lho!" ucapku kegirangan sambil mengambil beberapa helai pakaian lalu membolak-baliknya.

"Iya bener. Ya bagus lah kalau kamu suka. Kelihatannya ukurannya pas sama kamu."

Dan hari itu, aku mulai menjalani pekerjaan baruku. Sebagai langkah pertama, segera kubersihkan halaman depan rumah itu dengan penuh semangat, seolah ingin menunjukkan kalau mereka tak salah pilih.

"Ini yang namanya mas Pramono ya?" Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menyapa dari arah belakang.

"Eh, iya mbak, saya Pramono. Ini mbak Gendis ya?" ku jawab dengan sopan sambil mengusap-usap tangan ke baju lalu menyodorkan jabatan tangan.

"Eh, nggak usah panggil mbak. Panggil Gendis saja. Mas Pramono biasa dipanggil apa? Kalau Pramono, kok rasanya kepanjangan ya?" Balas Gendis.

"Saya biasa di panggil Pram." sahutku sambil tersenyum.

"Ah kurang sreg! masa cuma Pram? Saya panggil mas Mono saja ya?" Gendis ikut tersenyum.

"Terserah Gendis saja." balasku kembali.

"Mas Mono nanti tinggal di sini juga kan?" Tanya Gendis lagi.

"Iya, tapi rencananya baru besok saya pindah ke sini."

"Oh gitu.. mudah-mudahan mas Mono betah ya di sini. Sudah dulu ya mas, saya mau bantu mbok Sum beres-beres buat tahlilan nanti malam." ucap Gendis lalu masuk ke dalam rumah.

***

Setelah 40 hari, masa berkabung keluarga pak Hartadi pun usai.

Aku yang telah pindah ke rumah mereka, perlahan-lahan coba menyesuaikan diri.

Tapi aku tak mau hanya mengurusi halaman rumah saja, aku coba menawarkan diri ikut membantu mbok Sum mengerjakan pekerjaan lain yang aku bisa.

"Itu lukisan siapa mbok?" Tanyaku kepada mbok Sum saat membantunya membersihkan ruang tamu.

"Oh.. Itu lukisan Raden mas Joyodiningrat dan istrinya, Gusti ayu Probowati. Mereka itu orang tua angkatnya pak Hartadi."

"Orang tua angkat?" Tanyaku kembali sambil terheran-heran.

"Iya. Dulu Raden mas Joyodiningrat dan istrinya nggak punya keturunan. Akhirnya mereka angkat pak Hartadi jadi anak.."

"Kalau Ibu Gayatri itu dulunya putri dari sahabatnya mendiang Raden mas Joyodiningrat. Tapi setelah kedua orang tua ibu Gayatri wafat, Raden mas Joyodiningrat akhirnya menjodohkannya dengan pak Hartadi." jelas mbok sum panjang lebar.

"Wah, kok bisa kebetulan gitu ya mbok kalau pak Hartadi dan ibu Gayatri juga tidak punya anak?"

Mbok Sum tak membalas. Dia cuma tersenyum lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Tanpa terasa, 2 bulan sudah aku bekerja dan tinggal di rumah ini. Aku masih tak menyangka kalau aku yang dulunya hidup miskin, kini bisa hidup lebih layak di tengah-tengah keluarga berada.

Sikap pak Hartadi dan ibu Gayatri yang sangat baik terhadapku, membuatku merasa seperti bukan orang lain.

Bukannya mau besar kepala, tapi aku merasa mereka memperlakukanku layaknya anak mereka sendiri. Dan itu membuatku makin kerasan.

Apalagi Gendis. Gadis itu nampak senang dengan kehadiranku di rumah ini. Dia bagai menemukan sosok kakak pengganti bagi mas Putra yang telah wafat.

Usia kami yang terpaut tak terlalu jauh, membuat kami dengan mudahnya menjalin keakraban dalam waktu singkat.

"Mas Mono, di panggil ibu!" teriak Gendis pada suatu pagi dari depan pintu rumah.

Aku pun segera menyusulnya masuk menghadap ibu Gayatri.

"Pram, tolong kamu ke pasar ya, ini daftar belanjaannya. Biasanya yang belanja mbok Sum, tapi dia sedang ada urusan lain." Pinta ibu Gayatri.

"Baik bu." Sahutku sambil menerima catatan belanjaan dan langsung membacanya..

Sebuah catatan berisi sejumlah barang yang harus kubeli. Berbagai jenis kue jajanan pasar, kembang 7 rupa, ditambah sejumlah dupa dan kemenyan.

Gendis bilang, semua itu untuk sesaji yang akan disediakan setiap hari Rabu Legi, bertepatan dengan hari weton dirinya dan juga ibu Gayatri yang kebetulan jatuh pada hari yang sama.

Sedikit aneh atau bahkan berlebihan. Tapi aku tak mau banyak bertanya. Aku memang tak pernah mau lancang mencampuri urusan orang lain, terutama yang menyangkut keluarga ini.

Tapi di balik itu semua, tetap ada satu pertanyaan yang mengganjal, mengapa keluarga ini seperti membatasi diri dari dunia luar?

Selama aku tinggal di sini, jarang sekali atau bahkan tak pernah aku melihat mereka keluar atau berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sehari-hari mereka hanya berdiam diri di rumah.

Segala sesuatunya diurus oleh mbok Sum. Dari hal yang terbesar, hingga yang terkecil.

Tapi aku tak mau terlalu memikirkannya, dan tetap fokus dalam melaksanakan semua tugas-tugasku sebaik mungkin.

***

Hingga pada suatu hari, ibu Gayatri jatuh sakit...

Entah apa penyakit yang diderita beliau sehingga dalam waktu singkat, kondisinya terus menurun hingga hanya mampu berbaring di tempat tidur.

Namun yang membuatku tak habis pikir, dengan segala harta kekayaannya, pak Hartadi tak pernah membawa ibu Gayatri berobat ke rumah sakit.

Selama sakit, ibu Gayatri hanya dirawat oleh mbok Sum seorang diri. Aku yang pernah coba menawarkan diri untuk membantunya, langsung ditolaknya mentah-mentah.

Dan sejak saat itu pula, suasana rumah ini perlahan-lahan mulai berubah...

Rumah yang tadinya begitu nyaman, kini menjadi terasa dingin dan mencekam.

Hari ke hari, kian banyak kutemui keanehan yang membuat hatiku mulai bertanya-tanya.

Sering terdengar suara-suara orang berbisik-bisik di balik dinding...

Bau menyengat dari dupa dan kemenyan yang dibakar ketika lewat tengah malam...

Serta Lukisan Raden mas Joyodiningrat yang matanya seolah hidup, membuatku tak berani berlama-lama melihatnya.

Pak Hartadi yang biasanya selalu terlihat tenang dan berwibawa, kini jadi nampak gelisah dan tegang.

Dia sering menghabiskan waktu berjam-jam berdiam diri di dalam satu kamar khusus, dimana aku tak diperbolehkan untuk mendekat, apalagi masuk.

Ibu Gayatri yang kabarnya makin lemah, kini telah dipindahkan ke dalam sana. Dan sejak saat itu, aku tak tau lagi bagaimana kondisi wanita itu. Semoga beliau baik-baik saja.

Gendis pun jadi mengurung diri di dalam kamarnya. Entah kapan terakhir kali kami sempat bertegur sapa.

Tapi beberapa kali sempat kuketahui kalau dia melakukan ritual mandi kembang saat tengah malam dengan dibantu oleh mbok Sum.

Sedangkan mbok Sum sendiri makin sibuk dengan sejumlah kegiatan aneh yang dulunya tak pernah dia lakukan.

Selama tugasnya merawat ibu Gayatri di dalam kamar khusus, dia beberapa kali terpergok mondar-mandir masuk ke dalam sana sambil membawa sesuatu.

Membawa obat?

Bukan. Tapi membawa sesaji. Membuatku makin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?

Namun semua kejanggalan itu tak berani ku pertanyakan. Demi rasa hormatku pada keluarga ini, ku putuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu dalam-dalam.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close