Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 10) - Palung Kematian


Part 10 - Palung Kematian

Sreeeekkkk.... sebuah senjata mengenai pipi Sembojo. Darah hitam memercik mengenai muka Dewi. Sembojo seketika melihat kearah belakang.

“Ckkkk... emang kudune koe tak tangani disik” (Ckkk... memang seharunya kamu ku tangani dulu) ucap Sembojo geram.

Dewi membuka matanya, dia mengerang lemah. Dilihatnya Bima tengah berdiri beberapa meter tidak jauh dari tempatnya. Dan sungguh ajaib, bukan merasa ketakutan tapi expresi wajah Bima malah terlihat bahagia.

“Kenapa dia nyengir seperti itu” batin Dewi keheranan.

“Bocah pekok, ngopo koe mrene?” (bocah bodoh, kenapa kamu kesini?) geram Dewi.

“Kau tahu? Sudah beberapa kali nenek itu menjambak rambut Maya. Aku tidak terima” ucap Bima sambil menunjuk kearah Sembojo.

Dewi terkesima, bagaimana mungkin Bima melempar tombak miliknya hanya untuk membalas Sembojo yang sudah menjambak rambut Maya.

Dewi mengedarkan pandangannya, mencari keberaan Nakula dan Arif. Namun keduanya tidak nampak dimanapun.

“Pergi dari sini, dasar bocah gendeng”(Pergi dari sini, dasar bocah gila) ucap Dewi memohon.

Bukan menuruti perintah Dewi. Justru Bima mengeluarkan energinya. Dewi sedikit tersentak, dia tidak menyangka Bima bisa mengeluarkan energi sebesar ini.

“Sudah sedari lama aku menahan, kemarin kau membuat temanku menjadi buruk rupa. Ditambah kau juga berani menjambak kepala saudari ku” ucap Bima geram.

Sembojo tersenyum, “Terus koe arep ngopo? Dikiro koe bakal iso mateni aku?” (Terus kamu mau apa? Kamu pikir bisa membunuhku) ucap Sembojo geli.

Dia benar-benar tidak habis pikir dengan bocah satu ini, meski darah Sangaraja mengalir ditubuhnya, tapi sepertinya tidak dengan kecerdasannya... pikiran bocah ini sudah terganggu.

“Mateni koe? Ora, aku ra bakal mateni koe. Tapi aku pengen ngepras rambutmu ben gundul... Koyo Banaspati” (Membunuhmu? Tidak, aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku ingin memotong rambutmu biar gundul, seperti Banaspati) ucap Bima.

Sembojo menggeram, taringnya benar-benar terlihat menyeramkan. “Bocah tengik” ucapnya langsung menerjang kearah Bima.

Sontak Bima bergerak kearah samping. Dilemparnya bola energi kearah tanah. Sengaja dia membuat debu yang ada berasal dari tanah agar menutupi pandangan Sembojo.

“Sekarang” teriak Bima.

Sontak, Nakula langsung muncul di sisi Dewi dan membawanya pergi ke sisi Maya. Sedang Bima lari tunggang langgang meninggalkan Sembojo yang masih mencoba mencari keberadaan Bima.

“Bocah-bocah gendeng, koe do ngopo?” (Anak-anak gila, kalian pada ngapain)” ucap Dewi kaget dengan kelakuan Nakula dan Bima.

“Dingapuro, Mbak yu... Aku dipekso bocah kui” (Maaf, Mbak... Aku dipaksa anak itu) ucap Nakula Singkat. Sedang Dewi hanya menghela nafas, melihat kearah Bima yang kini tengah berlari menuju arahnya.

“Arif dimana?” tanya Dewi saat Bima sudah didepannya dengan nafas terengah-engah.

“Sedang membantu Kromosengkono” ucap Bima ngos-ngosan. Seharusnya tadi dia meminta Nakula juga membawanya pergi daripada harus berlari seperti ini.

“Tunggu, sebentar” ucap Bima mencoba mengatur nafasnya.

Dewi terdiam, memandang Bima. Bibirnya tersenyum geli. “Pantas, Simbah sangat menyukai bocah ini” batin Dewi.

“Huh... Banaspati” Bima menghela nafas keras.

Putaran api yang melingelilingi Maya melambat, Sosok Banaspati berdiri memandang Bima penuh dengan raut wajah curiga.

“Opo?” (apa?) ucap Banaspati, selalu saja perasaannya menjadi tidak enak ketika Bima memanggil namanya.

“Berputarlah lebih luas, biar kami semua masuk kedalam lingkaran apimu” ujar Bima, cepat. Dia melihat Sembojo sudah menatap mereka semua dari kejauhan.

“Biangan e, koe pengen gawe aku babak belur?” (Sialan, kamu mau membuatku babak belur) ucap Banaspati yang juga sudah melihat Sembojo.

“Tulung” (Tolong) ucap Bima memohon.

Belum sempat Banaspati menjawab, sosok Sembojo dengan cepat bergerak kearah mereka. Bima dan kedua saudara Dewi sudah bersiap untuk bertarung. Namun tiba-tiba saja ada kobaran api besar, sosok Banaspati berputar mengelilingi mereka semua.

Sembojo berhenti, menatap kearah mereka semua dengan pandangan kesumat. Terutama kepada Bima yang sudah berniat membuat kepalanya menjadi botak. Belum pernah dia merasa dihina sekeji itu.

“Nakula, Sadewa berjagalah, aku ingin memastikan sesuatu” ucap Bima yang langsung duduk bersila.

Ngguuuuiinggg... terdengar suara benda yang melesat dengan cepat kearah Bima. Untung Dewi sadar dan langsung menggeser tubuhnya.

Dengan kecepatan luar biasa, sebuah mata tombak jatuh didepan Bima dan menancap ditanah. Dewi melihat Bima tersenyum. Dia tahu apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu.

Langit tiba-tiba saja menghitam, suara gemuruh guntur saling bersahutan. Sembojo yang merasa ada perubahan medan energi, sekilas memandang langit.

Dahinya bekerut, “Apa yang sedang dilakukan bocah itu?” batin Sembojo.

“Percuma, ora ana sek bakal iso metu seko panggonan iki” (Percuma, tidak ada yang bakal bisa keluar dari tempat ini) ucap Sembojo membahana.

Dalam hati Dewi membenarkan apa yang sembojo ucapkan. Mereka bisa masuk ketempat ini karena dipanggil oleh Bima dan Maya. Sedang untuk keluar saat ini mereka tidak mungkin bisa. Karena masih terhalang oleh pagar gaib yang dibuat oleh Sembojo.

“Mbak Yu, sembuhkan lukamu dulu. Biar kami yang sementara menggurusnya” ucap Nakula dengan masih memandang kearah Sembojo.

Dewi mengangguk, kemudian ia langsung duduk bersila dan mencoba untuk menyembuhkan luka-lukanya.

Sementara itu, Bima terus diam. Dia mencoba mencari keberadaan Cempoko Kuning. Meskipun terakhir kali sosok demit wanita itu mengatakan kalau dia akan mengilangkan hawa keberadaannya. Bima yakin dia masih bisa berkomunikasi dengan Cempoko Kuning.

Suara gamelan mulai melemah, seolah para penabuh sudah kelelahan.
“Bawa mereka semua menggunakan keris Gondolrogo milik Ki Ganang” bisik suara wanita yang terdengar di telinga Bima.

“Bawa kemana Nyai?” tanya Bima memastikan. Bima ingat dulu Ki Ganang pernah mengeluarkan keris Gondolrogo saat dirinya tengah bertempur dengan Gendiswari.

“Sendang Pitu” ucap Cempoko Kuning.

Bima membuka matanya, nampak Sembojo masih diam mengawasi mereka.
“Nakula, Sadewa... kemarilah” ucap Bima.

Kedua sosok demit identik itu lantas berjalan kearah Bima.

“Ada yang ingin kusampaikan....” ucap Bima yang langsung menyampaikan rencana yang ada dikepalanya.

***

“Sengene tok?” (Segini saja?) kata Kromosengkono mengejek kearah Buto Ireng.

Sedari tadi mereka saling menghantamkan pukulan. Bahkan pohon-pohon sampai ikut terbakar hasil dari pertempuran mereka.

“Gggrrrrr... bariki nyai bakal duweni panggonan iki. Koe koe kabeh bakal mati” (Gggrrrrr... setelah ini nyai bakal jadi pemilik tempat ini. Kamu semua akan mati) ujar Buto Ireng kepada Kromosengkono.

“Halah... Siluman kae dadi rojo neng panggonan iki yo tetep koe dadi kacung e dekne” (Halah... Siluman itu jadi raja ditempat ini ya tetap kamu jadi kacungnya dia) ejek Kromosengkono.

Geram dengan ucapan Kromosengkono, Buto ireng mengangkat kedelapan tangannya dan langsung menyerang kearah Kromosengkono.

Melihat lawannya marah, Kromosengkono terlihat senang. Dia suka sekali dengan makhluk-makhluk yang mudah diprovokasi seperti ini.

Kromosengkono mengunggu, hingga saat Buto ireng dalam jangkauannya dia langsung menyabetkan tombak yang ia pegangi.

Craaattt... terdengar suara tebasan yang dibarengi dengan teriakan kesakian.

“Arrrrgggg. Bajingan...” umpat Buto Ireng saat merasakan kesakitan karena salah satu tangannya putus tertebas tombak Kromosengkono.

“Kui jeh siji, jeh ana 7 maneh hahaha” (itu baru satu, masih ada 7 lagi) tawa Kromosengkono senang dan langsung mengarahkan serangan bertubi-tubi kearah Buto Ireng.

Sementara itu...

Ki Ganang mulai kuwalahan dengan sosok yang ia hadapi... Berkali-kali dia menyerang Jegrik namun tidak ada satupun serangannya yang mampu menembus kulit tebalnya.

“Kekeke... kulitmu kandel yo” (kekeke... kulitmu tebal ya) ucap Ki Ganang terkekeh.

Jegrik tidak menjawab, dia terus menggeram mengikuti arah kemana saja Ki Ganang berpindah. Ki Ganang sadar seharusnya dia melawan Buto Ireng ketimbang demit satu ini. Kekuatan yang dimilikinya tidak cocok untuk bertarung melawan Jegrik.

Bruaaakkk... Tanpa Ki Ganang sadari, sebuah pukulan telak dilakukan oleh Jegrik. Melihat Ki Ganang yang tumbang. Jegrik langsung membabi buta memberikan serangan.

Saat Jegrik hampir memutuskan leher Ki Ganang, tiba-tiba saja ada serangan dari arah samping. Jegrik menjatuhkan Ki Ganang dan bergerak mundur.

“Ojo wanine karo wong tuo” (Jangan beraninya sama orang tua) ucap Arif yang sudah berada didekat Ki Ganang.

“Tuo? Opo maksudmu tuo?” (Tua? Opoo maksudmu tua?) ucap Ki Ganang yang tidak terima dikatakan tua oleh manusia didepannya.

“Rasah kakean omong Ki, encene awakmu wes ringkih. Daripada bariki pijetan mending koe liren sek” (Jangan banyak omong Ki, memang badanmu sudah ringkih. Daripada setelah ini pijitan lebih baik kamu istirahat sejenak) kata Arif.

Tidak terima dengan ucapan Arif, bukannya beristirahat, justru Ki Ganang berdiri.

“Bar rampung ngentek i demit kae, awakmu sek tak lumat” (Setelah selesai menghabisi demit itu, dirimu yang ku lumat) ucap Ki Ganang yang langsung bergerak kearah Jegrik.

Pertarungan seru terjadi diantara mereka. Pukulan demi pukulan Ki Ganang lancarkan sambil berpindah-pindah tempat. Arif yang melihat itu sedikit kagum.

“Memang benar kata Kromosengkono... Gengsi mereka besar sekali” ucap Arif yang melihat pertarungan didepannya.

Entah apa yang terjadi dengan Ki Ganang dia terlihat terburu-buru melancarkan serangan.

“Ki... jangan memaksa” teriak Arif saat mendapati Ki Ganang melancarkan serangan membabi buta.

Teriakan Arif tidak ditanggapi oleh demit itu. Hatinya begitu marah, dia tidak suka disepelekan oleh manusia.

Duaaarrrr.... Ki Ganang mencoba untuk menembus kulit Jegrik dengan memukulkan tongkat yang ia pegangi. Namun bagai sebuah tumbuhan yang terkena angin. Jegrik hanya sedikit bergerak, bahkan luka pun tidak tertoreh di kulitnya.

“Sialan” ucap Ki Ganang, bagaimanapun juga dia harus bisa menumbangkan demit ini. Kalau sampai dia kalah pasti mereka akan mengejeknya habis-habisan. Terutama Kromosengkono dan Banaspati.

Hati Ki Ganang bertambah murka, dia terus saja mencoba untuk menyerang Jegrik dengan berpindah-pindah tempat. Hingga...

Saat Ki Ganang ingin memukul Jegrik dari arah samping. Tangan Jegrik langsung mengarah keleher Ki Ganang dan membantingya ke tanah.

“Arrrrggg” erang Ki Ganang saat tubuhnya memental ke tanah.

Melihat musuhnya sudah melemah, Jegrik dengan membabi buta memukulkan kepalan tangannya berkali-kali kearah tubuh kecil Ki Ganang.

Suara yang ditimbulkan oleh Jegrik membahana, bagai suara gemuruh bencana tanah longsor. “Mati...mati..mati” ujar Jegrik terus saja memukulkan tangannya.

Pak Arif yang melihat kengerian itu langsung memusatkan energi ditelapak tangannya. Terus saja dia memusatkan energi itu hingga memadat.

“Percuma kalau aku harus melawannya menggunakan kekuatan fisik” ucap Pak Arif yang langsung melempar bola energi berwarna putih miliknya ke arah Jegrik.

Diaaaang.... Jegrik terlempar menjauh dari Ki Ganang. Melihat itu, Arif segera berpindah tempat mendekat kearah Ki Ganang.

“Wes dadi Demit koe?” (Sudah jadi demit kamu?) ucap Ki Ganang lemah saat melihat Arif sudah berada di sisinya.

“Jangan banyak bicara, focus sembuhkan luka-lukamu” ucap Arif. Kini dihadapannya sosok Ki Ganang benar-benar terlihat mengenaskan.

Kakinya sudah remuk, salah satu tangannya terlepas dari tubuhnya. Ada setitik nyeri yang muncul dihati Arif saat melihat sosok yang dulu pernah ia lawan.

Dari arah kejauhan, Arif merasa ada energi yang bergerak. Sontak kepalanya langsung menengok kearah Jegrik. Benar saja, sosok siluman itu tengah berdiri sambil mengumpulkan tenaga.

“Pergilah, selamatkan dirimu dan bocah ingon-ingonku” ucap Ki Ganang lemah sambil menyemburkan darah dari mulutnya.

“Sembuhkan lukamu” ucap Arif yang langsung berdiri menatap kearah Jegrik. Dia berfikir untuk mengarahkan Jegrik ketempat yang jauh dari Ki Ganang.

“HEh Siluman kebo, beraninya sama orang tua” ucap Arif mulai memprovokasi Jegrik.

Jegrik menelengkan kepalanya, mulutnya sedikit terbuka. Seolah tidak mengerti apa yang Arif katakan.

“Sial sepertinya dia tidak pernah bersekolah” ucap Arif yang menyadari kalau Jegrik tidak mengerti apa yang dia maksud.

Karena tidak ada pilihan lain, Arif menghela nafas dalam-dalam. Dikumpulkan energi kedalam kedua tangannya. Dengan sekali kedipan mata, Arif langsung menghilang dan sudah berdiri dibelakang Jegrik dan langsung membuat pukulan mematikan.

Jegrik yang mendapat serangan kuat, nyaris terpental. Namun dengan segera dia langsung menyeimbangkan tubuhnya dan membalas serangan Arif.

Beruntung Arif bisa menghindar, “Gila, demit seperti itu lahir dari apa” ucap Arif saat mendapati tanah yang ada didepannya sudah remuk terkena pukulan Jegrik.

Terus saja Arif membuat serangan jarak jauh, mencoba menjauhkan sosok Jegrik dari Ki Ganang. Sampai Arif melihat Nakula muncul di sisi Ki Ganang dan membawa pergi demit laki-laki itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close