Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 7)


JEJAKMISTERI - Malam itu ketakutan Mbah Han kembali memuncak. Apa yang selama ini ia khawatirkan, benar-benar terbukti dan sudah barang tentu bakal banyak hal yang terjadi. Sebab, sosok wanita berkebaya batik corak, adalah sosok yang selama ini dirinya paling takuti kemunculannya.

Mbah Han melangkah lunglai. Menyeret kakiknya yang sudah seperti mati rasa. Meski sosok wanita itu telah menghilang, meninggalkan kalimat-kalimat sanepo bermakna sebuah pengingat dan peringatan.

Perlahan Mbah Han meraba sebentar bawah bantalnya. Memastikan benda pipih pemberian Mbah Malik masih ada, sebelum membaringkan tubuhnya yang masih gemetar dan tercekam.

Lama Mbah Han terpaku menatapi langit-langit kamarnya. Memikirkan tentang siapa yang telah mengundang kembali sosok wanita, salah satu perewangan atau ingon Sanusi.

Sampai kemudian, satu suara berderit dari pintu depan, membuyarkan lamunannya.

Wajah Mbah Han seketika menciut, dengan kening berkerut. Mendengar derap langkah tergesa masuk ke dalam.
Sempat berpikir jika itu Zul, tapi tidak! Suara langkah itu tak hanya satu, melainkan milik dua orang. 

Mbah Han semakin penasaran, saat derap langkah itu melewati kamarnya dan terus menuju belakang. Membuatnya bangkit dari pembaringan, sekedar ingin tau siapa tamu di malam sedingin itu.

Selangkah kaki Mbah Han keluar kamar, jantungnya mulai berdegup kencang. Melihat dua bayangan lelaki masuk ke dalam kamar Wiwik. 

Rasa penasaran Mbah Han semakin menguat, hingga tanpa sadar, menuntun kakinya mendekat ke kamar Wiwik dan Zul. 
Sedikit terperanjat Mbah Han. Manakala baru sampai di depan pintu, ia sudah di sambut aroma dupa menyengat. 
Sekilas, Mbah Han tertunduk, menyesapi wangi dupa hingga beberapa saat. Namun tak lama, tiba-tiba tubuhnya terjingkat dengan wajah memucat. Kulit tubuhnya menebal dan merinding hebat, mendengar suara dari dalam terdengar lirih tapi jelas di telinganya.

Suara lebih mirip sebuah gumaman, berirama. Melantunkan barisan mantra yang masih ia hafal betul tiap baitnya. Mengingatkan kembali pada sosok Sanusi, saat melakukan sebuah ritual persembahan tumbal.

Marah, takut, ngeri, bercampur dalam benak Mbah Han. Ingin ia mendobrak pintu itu, namun tubuhnya terasa lemah. Membuatnya hanya terdiam kaku sampai suasana dalam kamar terasa hening.

Akan tetapi, keheningan itu tak berlangsung lama. Lantunan bait mantra kembali terdengar. Bahkan lebih keras dan lebih cepat, seirama degup jantung Mbah Han. 
Apalagi, saat itu, bukan saja bacaan mantra yang di dengarnya, melainkan di barengi jeritan seorang wanita, melengking, menyayat, semakin membuatnya bergidik ngeri.

Sempat terpikir aneh oleh Mbah Han di sela-sela kengeriannya. Dari suara lelaki yang membaca mantra dan suara jeritan wanita, ia seperti kenal. Tapi bukan suara Wiwik maupun Zul.

Lagi-lagi, di dalam kamar suasana hening dan sunyi. Setelah lengkingan panjang ikut menutup lantunan mantra. Menyadarkan Mbah Han, untuk segera kembali ke kamarnya. 
Sayang, baru saja ingin membalikkan badan, tiba-tiba pintu kamar Wiwik dan Zul terbuka.

Dua lelaki tampak sudah berdiri menatap Mbah Han yang masih berdiri dengan raut pucat.
Bukan hanya terkejut saat itu Mbah Han. Tapi rasa tak percaya seketika menjamah batinnya. Medapati salah satu lelaki yang berdiri memergokinya, adalah sosok sangat di kenalnya.

"Mas Yuda!"
Berat suara Mbah Han, meski lirih menyebut nama sosok di samping Zul.

"Apa kabar, Mbah?" 
Terdengar dingin, suara lelaki berkemeja dan berjas hitam, yang tak lain Yuda, adik kandung dari Diyah.

"Baik," jawab Mbah Han datar. 

Sejenak Mbah Han terdiam. Mengamati, seolah masih belum begitu percaya dengan apa yang di lihatnya. 

Tanda tanya besar seketika melekat dalam benak Mbah Han. Tentang sosok pengusaha sukses anak kedua Sanusi, berada di rumahnya malam itu. Namun tak berapa lama, kecurigaan Mbah Han terjawab. Kala matanya melihat tangan Zul, yang berdiri di samping Yuda, tengah memegang bungkusan kain putih berisi rambut hitam terlihat menyembul keluar.

"Kamu!" seru Mbah Han. Membuat Zul tertunduk.

"Saya harap, Mbah Han tak menyalahkan Zul. Ini semua saya lakukan demi sebuah keadilan." Yuda yang tau wajah Mbah Han memerah, segera melindungi Zul, dari kemarahannya.

"Keadilan? Keadilan seperti apa? Apa dengan cara seperti ini, bagimu itu suatu keadilan!" Sergah Mbah Han.

"Sudah Mbah! Saya tak mau berdebat. Ini urusan saya, keluarga saya! Mbah Han tak perlu ikut campur! Dan Zul, sayalah yang meminta tolong. Jadi, setelah ini selesai, Zul akan bebas dari siapapun, termasuk saya!" Tegas Yuda, sambari melangkah bersama Zul, melewatinya.

Mbah Han tertegun. Lidahnya kelu, setelah mendengar ucapan sengit Yuda. 
Ia tau jika sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi, mengingat apa yang di lakukan Yuda dan Zul, sama persis dengan yang di lakukan Sanusi dan dirinya puluhan tahun silam. Di mana, kala itu Sanusi menghabisi nyawa rekan kerjanya di bendungan demi sebuah jabatan dan jatah proyek.

Sekilas mata Mbah Han memandang ke dalam kamar Wiwik. Di sudut, sebelah kanan  ranjang Wiwik, jelas sekali Mbah Han melihat setampah sesajen lengkap dengan kepulan asap dupa.

Mbah Han kembali terperanjat kaget. Saat tatapannya ia alihkan ke atas ranjang, dan melihat sesosok tubuh berkain hitam tengah duduk bersila mendedap tiga gelas berisi cairan merah kehitaman. 

"Wiwik," ucap Mbah Han melihat sosok yang tengah duduk terpejam adalah Wiwik.

Perlahan tubuh lemah Mbah Han beringsut mundur. Menyandar sebentar di dinding sebelum langkah tertatihnya pelan meninggalkan kamar Wiwik.

Tak sekejap pun, malam itu mata Mbah Han terlelap. Jiwanya goncang, setelah nyata ia melihat semua keganjilan dan perubahan Zul, Wiwik, bersumber dari Yuda.

Tak hanya itu. Mendadak, dadanya terasa nyeri, memikirkan nasib Diyah.
Mbah Han tau, jika semua yang di lakukan Zul dan Wiwik adalah sebuah penghianatan terhadap Diyah. Dan malam ini, dengan mata kepala sendiri, dengan telinganya sendiri, Mbah Han mendengar, menyaksikan, ritual itu untuk membunuh Diyah. 

Mbah Han tak menyangka, jika perseteruan antara Diyah dan Yuda, sepeninggalan Sanusi terus berlanjut. Hingga sampai pada titik, dimana Diyah bakal menanggung akibat dari sejumput rambutnya yang menjadi sesembahan pengantar sukma pada Iblis penghuni Bendungan.

Kini, kekhawatiran, kecemasan Mbah Han berlipat. Tak hanya keselamatan Zul dan Wiwik. Tapi juga tumbal-tumbal lainnya setelah ritual Yuda berhasil menumbalkan kakaknya sendiri.

Menjelang waktu subuh, atau tepatnya setelah menunaikan dua Reka'at, satu hal tak biasa di lakukan Mbah Han. Ia tampak tergesa-gesa mengendarai sepeda motor, menerobos hawa dingin suasana pagi yang masih gulita tertutup kabut-kabut tipis.

Entah apa yang tersirat dalam benak Mbah Han saat itu. Hingga rela melewati jalanan licin dan berkubang lumpur, ciri khas daerah persawahan.
Puluhan menit, ratusan detik, dan beberapa desa, telah Mbah Han lalui. Mengabaikan rasa lelah demi satu tujuan. Sebuah tempat yang bakal menjadi tujuan setiap manusia, bakal menjadi tempat persinggahan setiap insan, bakal menjadi rumah terakhir bagi siapapun, tanpa mengenal kasta, jabatan, golongan dan status sosialnya. Tempat yang masih terlihat sepi dan sunyi, meski matahari mulai sedikit memancarkan cahayanya.

Sedikit becek pematang sawah, yang harus di tapaki kaki Mbah Han. Setelah ia sampai di ujung jalan dan memarkirkan kuda besi merah marunnya.
Beberapa menit kemudian, Mbah Han akhirnya menghentikan langkahnya, tepat di depan sebuah gundukan tanah bernisan kayu kuncup berukir, bertuliskan nama DARMONO...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close