Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 46)


Semua buku sudah kubongkar, tapi buku yang kucari belum juga kutemui. Seisi rumah sudah kutanya satu-satu ada tidak yang melihat buku saku tebal milikku itu. Tidak ada yang mengaku.

Lama aku berpikir. Tidak mungkin buku itu hilang. Memang seberapa besar rumah kontrakan ini. Empat kamar tidur, satu ruang tamu, ruang keluarga merangkap ruang makan, lalu dapur dan kamar mandi. Itu pun ukurannya sedang-sedang saja. Rumah sederhana ini juga tidak punya rak atau lemari buku. Lama aku berpikir kapan terakhir membuka buku itu. Buku itu berisi puluhan puisi, catatan lagu plus kunci yang biasa kupakai ketika belajar main gitar. Makanya buku itu sebenarnya sangat berarti bagiku. Akhirnya aku lelah sendiri. Aku memilih rebahan sembari bersabar. Mudah-mudahan dengan sabar buku itu muncul sendiri.

“Plak!” aku menepuk jidatku sendiri. Aku baru sadar. Selanjutnya aku duduk diam menelusuri kapan terakhir aku membuka buku itu. Rasa penasaran membuatku mencarinya hingga dimensi lain.

“…

Tahukah engkau?
Telah kutulis di tiap lembar daun
Nyayian angin yang membawa rinduku padamu
Setelah segala hikayat telah tercurah
Menjadi tembang-tembang membawa kenang…..

Dan air mataTurut menggenang mengiring kepergian Lembah Dempo 1995″

Aku kaget! Seorang anak lelaki kira-kira berusia delapan tahun berdiri memegang bukuku, membaca puisi penuh penghayatan. Ada beberapa puisi yang dibacakannya dengan tuntas. Aku menatapnya kagum. Vokalnya lantang, nada dan iramanya pas, artikulasinya jelas, interprestasinya pun juga tepat. Siapa dia? Melihat fisik dan rautnya yang putih, bermata cipit, berbibir merah, rambutnya lurus dipotong pendek, anak kecil ini keturunan Tionghoa. Usai dia membacakan puisi ke tiga, kuberi dia hadiah tepuk tangan. Dia kaget dan langsung pucat menatapku. Buku yang dipegangnya nyaris jatuh. Aku tersenyum menatapnya.

“Siapa namamu adik ganteng. Baca puisimu bagus. Kamu pinter!” Ujarku sembari menghampirinya. Setelah dekat dan kuamati, baru terlihat betapa mata itu kosong meski tetap bersinar. Aku memegang tangannya yang dingin.

“Siapa namamu sayang. Vokalmu bagus. Kenalan yuk,” aku menjulurkan tangan sedikit menunduk. Dengan ragu-ragu diulurkannya tangan.

“Namaku A Fung. Maafkan aku kak, mengambil buku kakak tanpa izin. Aku sering melihat kakak baca puisi di acara ulang tahun Xaverius, Natalan di sekolah, dan acara-acara penting lainnya.” Ujarnya.

“Waktu aku di SD Xaverius maksudmu?” Tanyaku. Disambutnya dengan anggukan pelan. Selanjutnya aku bertanya dia tinggal dimana? Mengapa selama sekolah di SD itu aku tidak pernah melihatnya. Akhirnya A Fung bercerita jika dirinya tinggal di dalam gereja. Padahal dia tidak katolik, katanya dia terlahir dari Bapak dan Ibu berkeyakinan Advent. Selanjutnya dia bercerita jika dia meninggal tahun 1955, saat Bapak dan Ibunya berdagang pakaian di Pagaralam, lalu di dalam perjalanan mereka dirampok oleh sekawanan penjahat, membuat dirinya, dua kakak, dan bapak ibunya meninggal akibat insiden itu. Meraka dibunuh satu keluarga. Oh! Aku tercekat. Rasa perih menyayat-nyatat dadaku. Membayangkan satu keluarga dibantai kawanan perampok. Jahat sekali mereka.

Melihat rautnya yang polos, muncul rasa kasihanku padanya. Namun ketika tahu tahun kelahirannya, otakku jadi error. Aku tidak bisa menghitung berapa usianya kini jika dia masih hidup. Lahir tahun 1955. Kalau di alam nyata dah bongkok. Tapi dia tetap kelihatan imut, tidak menua.

“Bacalah kembali puisinya A Fung, kakak suka mendengarnya.” Ujarku lagi.

“Tidak kak. Lain kali saja. Terimakasih kakak sudah berkenan menjadi sahabatku. Izinkan aku sering-sering bermain ke sini ya Kak. Nanti aku pinjam lagi bukunya” Ujarnya manja. Aku memengangguk setuju sambil menyambar buku dari tangannya. Anak ini sopan sekali. Lalu dia pergi, pelan-pelan lenyap dari pandanganku.

Lama aku berdiri sambil memegang buku yang kucari-cari. Tidak kusangka ada juga makhluk lain yang minat dengan Isinya. Aku berharap suatu saat bisa jumpa lagi dengannya. Akan kutulis puisi Balada tentangnya. Aku senyum-senyum sendiri. Baru kali ini aku melihat jin korim membaca puisi. Mungkinkah semasa dia hidup pun pernah menikmati sastra? Sepertinya suatu saat aku akan bertanya dengan A Fung, sahabat baruku ini. Dan berharap segera jumpa lagi

Angin berdesir pelan, pasti ada sesuatu yang akan datang. Makin lama makin dingin.

“Dek, pulanglah sebentar.” Suara nenek Kam. Oh, Nenek Kam memanggilku.

“Pulang kemana, Nek? Ke seberang Endikat?” Tanyaku sembari memejamkan mata. Aku butuh konsentrasi penuh untuk dapat mendengarkan suara nenek Kam karena jarak aku dan nek Kam sangat jauh.

“Ke Seberang Endikat, sekarang juga!” Jawabnya.

Aku segera meletakkan buku yang baru kutemukan ke atas tempat tidur. Celana pendek kutukar dengan celana panjang, pakai switter dan topi koplo pemberian Maisi sahabatku.

Aku segera baring kembali. Memecah diri, lalu kusuruh jaga di rumah, bersama jasadku. Aku segera memanggil angin. Tak berselang lama tubuhku sudah melayang cepat sekali.

Ini kali ketiga aku pulang ke Seberang Endikat. Terakhir ketika bersama kakek Njajau mengamankan nenek gunung yang hutannya terancam punah. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa gerangan nenek memanggilku langsung. Biasanya cukup dengan kontak batin saja. Atau nek Kam masih ada sisa pelajaran yang ingin dlbeliau ajarkan? Aku terus membatin.

Tak lama berselang, aku sudah sampai di halaman pondok nenek Kam. Dari luar kulihat kelap-kelip cahaya lampu cubok. Aku langsung masuk dan duduk di hadapan nek Kam setelah mencium dan bersalaman dengannya. Tangan nek Kam masih asyik menumbuk sirih sambil tersenyum manis padaku. “Rasanya seperti sudah bertahan-tahun nenek tidak melihatmu. Tiba-tiba kamu sudah kelihatan dewasa saja. Sudah ada belum calon bunting (suami)?” Nenek Kam menggodaku. Aku tertawa lepas. Pola pikir nenekku masih saja seperti orang zaman dulu. Kalau bujang dan gadis sudah terlihat baligh dianggapnya sudah dewasa dan siap untuk dinikahkan.

“Nenek..Nenek…sabarlah ya..Nek, tunggu tahun depan terus tahun depannya lagi terus tahun depannya lagi.” Ujarku. Nenek tertawa sampai matanya semakin kecil. Kami ngobrol sejenak.

Aku lihat nenek Kam bangkit lagsung pakai celana silat dan tengkuluk diikat erat ke kepala. Dalam hati aku memperkirakan nenek pasti mengajakku pergi malam ini. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, nenek Kam tidak pernah berbicara dari awal akan pergi kemana, tujuannya apa. Setiap langkah nenek Kam sarat pembelajaran untukku. Nenek Kam itu guru yang sukses menurutku. Beliau mengajarkan berbagai macam hal padaku dengan cara praktik langsung. Tanpa banyak bicara. Aku disuruhnya berpikir sekritis mungkin sendiri, menyelesaikan masalah sendiri, menghadapi masalah pun di suruh sendiri. Paling aku diingatkan beliau agar meningkatkan insting dan kepekaan.

Tanpa banyak bertanya, aku ngekor si belakang nenek Kam. Kalau beliau sudah bawa kampek pughun biasanya perjalanan agak jauh. Seperti biasa, tanpa alas kaki nenek menuruni anak tangga langsung berjalan merunduk-runduk di bawah pohon kopi. Dalam situasi seperti ini, maka aku membaca gerak-gerik nenek Kam terlebih dahulu. Cepat atau lamban berjalan biasanya mencirikan penting atau tidaknya perjalanan. Kali ini kulihat langkahnya santai-santai saja.

Uf! Aku melihat beberapa nenek gunung di hadapan kami, tengah duduk rapi. Mereka seolah-olah bebaris seperti menyambut seseorang. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa mereka berkumpul di sini seolah-olah ada acara resmi. Aku mengucapkan salam pada mereka. Mereka menyambut serentak.

“Mereka nenek gunung darimana, Nek?” Tanyaku ingin tahu.

“Dari Bukit Seblat.” Ujar nenek Kam pendek. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa mereka dari jauh-jauh, ramai-ramai datang kemari? Pasti ada sesuatu yang penting. Karena aku tidak paham persoalan mereka maka aku diam saja.

Nenek Kam duduk bersila di hadapan para nenek gunung. Melihat beliau duduk aku juga buru-buru ikut duduk. Tak lama di antara mereka menyampaikan sesuatu dengan bahasa khas nenek gunung. Aku mendengarkan dengan saksama. Rupanya dari obrolan ini, nenek gunung Bukit Seblat sengaja datang ke mari untuk menemui nenek Kam. Beliau disuruh panglima Malim. Panglima Malim salah satu penguasa wilayah bukit Seblat.

“Kami datang kemari atas perintah Panglima Malim, nek Kam. Beliau minta tolong campur tangan nenek Kam untuk menghimpun kembali saudara-saudara kami yang terancam karena pembukaan lahan perkebunan sawit besar-besaran. Pekerja-pekerja itu memanfaatkan kemampuan dukun untuk menakhlukan saudara-saudara kami. Bukan hanya merampas hutan kami tapi juga jiwa kami.” Ujar salah satu nenek gunung yang cukup sepuh. Mendengar kata ‘dukun’ darahku kembali terasa mendidih. Jadi ingat pertarunganku melawan tiga dukun dari Jawa penakhluk nenek gunung di perbatasan lampung.

Setelah mendengarkan penuturan mereka, nenek Kam menatapku. Tatapan itu aku paham. Nenek Kam menyuruhku untuk turun tangan dalam masalah ini. Secara batin aku setuju bahkan sangat ingin memusnakan dukun itu.

“Kau degar sendiri Selasih, persoalan nenek gunung sedulurmu dari Bukit Seblat, bukan? Mereka butuh bantuan kita. Untuk menyelesaikan urusan yang ada kaitannya dengan manusia maka tidak bisa tidak harus melibatkan bangsa kita juga.” Ujar nenek Kam menatapku. Sebenarnya nek Kam tahu jika aku tidak akan bisa menolak atau yang pastinya tidak akan menolak. Alasan itulah maka nenek Kam jauh-jauh memanggilku.

“Nek, bukankah dukun itu harus dilawan sesama fisik? Sementara aku belum bisa bertarung dengan fisik. Kakiku belum terlalu pulih.” Ujarku.

“Bagian fisik itu urusan nenek, kamu menangani yang berkaitan dengan gaibnya saja.” Ujar nenek Kam akhirnya aku sepakat. Sebenarnya di bukit Seblat bukan tidak ada orang yang bisa diandalkan yang memiliki kemampuan lebih seperti nenek Kam. Banyak. Bahkan setahuku di seputaran Kerinci adalah sumber segala energi gaib terbesar di sepanjang bukit Barisan. Namun begitulah kerendahan hati mereka. Mereka tidak mau sombong seakan mereka saja yang mempunyai kemampuan dan tidak butuh orang lain.

Tidak lama kemudian kami berangkat. Kembali aku berpikir, bagaimana jika aku tidak tinggal di Pagaralam lagi? Apakah mungkin aku masih diajak untuk turut serta dalam menyelesaikan masalah seperti ini? Para nenek gunung itu berjalan lebih dulu, aku dan nenek Kam di belakang mareka. Gerakan para nenek gunung nampak lincah dan gagah. Kami melintas di atas bukit dan sungai.

Dari atas aku merasa ingin menitikkan air mata ketika melintas di wilayah Kabupaten Musirawas sepanjang perjalanan yang kulihat kebun sawit. Selanjutnya ada kebun karet. Hutan belantaranya kemana? Sungguh tidak seimbang dengan luas area. Sungai-sungai nampak seperti tubuh telanjang meliuk-liuk polos karena sisi kiri kanan tidak dihalangi pohon-pohon tinggi dan cadas. Berbeda dengan tanah Besemah, kebanyakan belantaranya berubah menjadi kebun kopi. Meski tumbuhan tahunan itu hijau dan kuat mencengkram tanah, tetap saja jika hutannya hilang akan membuat bumi gersang. Alam tidak lagi seimbang menampung curah hujan yang rata-rata tinggi.

Tak lama berselang sampailah kami di wilayah hutan datar bergambut. Aku mencium aroma kemenyan dimana-mana, dan makhluk-makhluk hutan gambut sedang berpesta pora. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah makhluk asral itu balatentara para dukun apa bukan. Aku diam sejenak. Hmm…ada tiga nenek gunung yang sudah dibantai oleh para dukun. Sengaja nenek gunung mereka mantrai untuk mendekat, lalu dijerat, dan tembak. Kucing-kucing raksasa itu dimanfaakan para pekerja yang memiliki ilmu untuk menakhlukan binatang buas. Yang membuat aku geram, para pekerja merangkap dukun ini berasal dari Jawa.

Lalu kembali aku memusatkan pikiran mengarah pada beberapa orang yang kulihat berusaha menjaga area perkembunan sawit yang luasnya berpuluh ribu hektar. Berbagai macam mantera mereka sapukan untuk sekadar mengusir agar tidak diganggu oleh makhluk asral. Selanjutnya di area hutan yang sedang dibuka aku melihat banyak sekali satwa-satwa hutan menggigil ketakutan melihat alat berat yang tiap hari menggigir bumi, menebang pohon-pohon besar, mengangkutnya entah kemana, dengan alat berat pula semua akar diangkat lalu disingkirkan. Tanah bukit yang berudak dan dataran hingga lembah dan rawa seperti tidak ada jarak.

Kali ini aku bersama nenek Kam dan lainnya masuk ke wilayah tanah tandus yang baru saja diratakan. Aku mulai bekerja dibantu oleh yang lainnya. Aku berusaha mengumpulkan para nenek gunung untuk menjauh dari area lahan yang baru dibuka. Pelan-pelan kami giring ke area bukit kecil konon disebut hutan lindung, namun sebagian besar dijadikan penduduk yang bandel menjadi kebun karet dan kopi.

Aku mencoba memahami bagian yang kuanggap penting dan aman. Kulihat beberapa orang damai pun mirip kerjanya denganku. Meski kami belum kenal satu sama lain, ada yang di utara, ada yang di selatan, berusaha menyamakan persepsi untuk menggiring makhluk rimba itu ke area yang sama. Selanjutnya mereka pun memagari perbatasan dengan kehidupan manusia. Pekerjaan mereka rapi sekali.

Jika kulihat dengan batinku, karena luasnya area yang dibuka membuat para nenek gunung rata-rata tidak kenal lagi area habitatnya seperti dulu. Mereka stress dan bingung tidak tahu hendak lari kemana. Kepanikan mereka inilah dijadikan alasan oleh para pekerja yang merangkap dukun itu untuk mencari keuntungan.

Dari kejauhan aku melihat nenek Kam tengah bertarung dengan para dukun. Rupanya nenek Kam sengaja mendatangi barak-barak sementara para pekerja di hutan belantara yang baru dibuka itu. Lalu nenek Kam menyeret para dukun itu ke luar. Dan terjadilah pertarungan secara fisik. Sekilas aku melihat beberapa orang yang diperkirakan dukun dadakan itu bukan petarung. Tapi mereka hanya bisa membaca mantra-mantra dan mengandalkan sejata api. Mana yang katanya dukun andalan itu?

“Hhhiiiiaaat” Aku melihat nenek Kam meluncur dengan kaki ke depan.

“Duk! Duk Haaak!!!” Pekerja merangkap dukun itu muntah darah ketika dada mereka ditendang nenek Kam satu-satu. Mata mereka serentak berkunang-kunang. Mereka mungkin tidak menyangka sama sekali akan diserang oleh seorang perempuan tua terlihat lemah ternyata ganas seperti harimau. Aku terkagum-kagum menatap nenek Kam. Sebab baru kali ini aku melihat langsung beliau menggunakan kemampuan kutau dan kebatinannya sekaligus. Nenekku ternyata perempuan hebat!!

***

Entah datang dari mana tiba-tiba aku melihat dua sosok satu berbulu seperti kera, satu lagi tinggi besar setengah raksasa. Di sampingnya ada lelaki memakai blangkon, berkumis tebal melintang, berdiri sinis menatap nek Kam. Dadanya dibusungkan. Nampaknya inilah yang dimaksud oleh sekawana nenek gunung, dukun yang merangkap pekerja. Gayanya yang sombong seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya jawara.

Sembari terus menggiring nenek gunung agar menjauh dari area lahan terbuka lalu memagarnya aku terus mengawasi gelagat sosok yang baru hadir itu. Dari bahasa tubuhnya mereka makhluk ganas siap membunuh. Seringainya mengerikan diarahkan ke nenek Kam. Aku buru-buru menyelesaikan pemagaran gaib. Nampaknya di bawah kendali si dukun dua makhluk itu akan menyerang nenek Kam.

Benar saja, aku melihat dua makhluk itu sudah bergerak ke arah nenek Kam. Entah mengapa aku jadi was-was menghawatirkan nenek Kam. Bagiku sangat berat membiarkan nenek Kam yang harus bertarung. Aku tidak tega. Perhatianku jadi bercabang dua. Nenek Kam menghadapi makhluk asral itu sekaligus. Aku melihat tangannya memegang pedang yang tiap kali digerakkan memunculkan warna jingga. Aku melihat kilatannya luar biasa. Sekali tebas, dua makhluk asral itu mampu dilumpuhkan nenek Kam. Keduanya hangus seperti abu. Melihat itu aku kembali menarik nafas lega. Lalu kembali menggiring para nenek gunung untuk masuk ke dalam hutan lindung

“Selesaikan dulu tugasmu sampai selesai, Selasih. Jangan kau risaukan nenek Kam.” Suara Puyang Pekik Nyarimg lantang. Aku terkesima. Baru perasaanku terasa lega dan aku kembali fokus menggiring dan memagar bersama nenek gunung Bukit Seblat. Pekerjaan nyaris selesai karena yang mengerjakannya bertiga. Baru saja aku hendak meluruskan pinggang berdiri tegak lagi-lagi suara Puyang Pekik Nyaring.

“Selasih, kau kelilingi bukit ini, lalu periksa kembali pagarnya apakah sudah menyatu atau belum kalau belum kau satukanlah.”

Mendengar itu aku langsung menjawab “Baiklah Puyang, segera laksanakan.” Aku langsung mendekap telapak tangan ke dada.

Dalam sekejab aku sudah mengelilingi bukit Seblat yang luas. Semua bagian yang dipagar jadi pusat perhatianku. Aku bersyukur tidak ada masalah dalam penggiringan ini. Semoga sesudah ini para nenek gunung aman dari incaran orang-orang jahat yang hendak membunuh dan menjadikan mereka sebagai sumber pencarian.

“Terimakasih Selasih sudah berkenan membantu kami. Semula kami kira akan berhari-hari melakukannya Ternyata tidak. Dengan kerjasama yang baik semuanya bisa selesai. Sekali lagi kami ucapkan terimakasih.” Ujar sesepuh yang bertugas di utara bukit Seblat.

“Sama-sama Datuk. Saya juga ucapkan terimakasih sudah berkenan mengajak saya untuk membantu kaum kita yang terancam. Sekarang izinkan saya melihat nenek Kam melawan dukun itu.” Aku menunduk hormat. Kedua Datuk bukit Seblat mengaguk dan menyilahkan aku meninggalkan mereka. Aku segera meluncur ke medan pertarungan nenek Kam dan dukun.

Di medan pertempuran, aku melihat si dukun baru saja terdorong ke belakang kira-kira dua puluhan meter karena hantaman tenaga dalam nenek Kam. Meski dadaku berdegup kencang, berdebar-debar melihat pertarungan, namun aku yakin nenek Kam lebih unggul. Hal ini terlihat beberapa kali si dukun mengerahkan ilmu kebatinannya, tetapi selalu berhasil dipatahkan oleh nenek Kam.

Dari sudut instingku aku melihat si dukun hendak berbuat curang. Diam-diam kakinya menghentak bumi lalu keluarlah senjata rahasia yang tak kasat mata. Sementara nenek Kam tidak menyadari, karena fokus pada gerakan tangan dan pandangannya. Secepat kilat kukerahkan tenagaku. Senjata rahasia itu kutangkis dengan selendangku. Beturan keras terjadi sebelum sampai pada nenek Kam. Si dukun tidak menyangka jika senjata rahasianya ada yang menghalangi. Sekilas beliau menatap tajam padaku.

Nenek Kam berguling-guling ke tengah arena ketika Si dukun seperti hendak melakukan penyerangan.

Kakinya menancap ke bumi. Semakin dalam dan terus ke dalam. Entah ilmu apa namanya. Baru kali ini aku melihatnya. Si dukun terbenam hingga ke leher. Tak lama berselang, aku melihat ada gerakan di dalam tanah. Si dukun melakukan penyerangan dari bawah rupanya. Tiba-tiba tangan Si dukun mencengkram kaki nenek Kam. Tidak bisa dihindarkan nenek Kam terjerembab lalu tubuh nenek Kam terseret. Aku terpekik. Rupanya nenek Kam tidak kehilangan akal. Dengan cepat pedangnya mengayun ke tanah. Dan hasilnya. “Aaaaaahhhhhggh” Si dukun menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung melenting ke atas dengan tangan buntung. Darah mengucur amat deras. Sebelum tubuh Si dukun sampai ke tanah, rupanya nenek Kam telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya. Tubuh Si dukun kembali melambung lalu jatuh ke bumi dengan tubuh remuk. Melihat tubuh Si dukun hancur, makhluk-makhluk peliharaan dan kerap disembah Si dukun ngamuk. Mereka serentak menyerang nenek Kam. Melihat keganasan mereka aku maju ke medan laga. Kuhantam makhluk-makhluk itu dengan pukulan badai, lalu kumainkan ke atas sehingga angin dan tubuh mereka mengerucut seperti pusaran gasing. Dengan demikian aku leluasa menyedot energi mereka. Ketika kurasakan sudah cukup kuhentakan ke bumi. Mereka pun jatuh saling tumpuk tak mampu melakukan ap-apa lagi. Aku menarik nafas lega. Kutatap nek Kam yang tersenyum puas.

“Nenek hebat!!” Pujiku.

“Hussst yang hebat itu hanya satu, Sang Maha Pencipta. Tanpa izin-Nya kita tak punya kemampuan apa-apa.” Ujarnya masih tersenyum.

Sedang asyik berbincang dengan nenek Kam, tiba-tiba aku mendengar derap langkah menuju kami. Dari jauh aku melihat lelaki agung bersama beberapa nenek gunung berjalan menghampiri kami.

“Terimakasih nek Kam, dan Putri Selasih yang telah membantu mengamankan wilayah kami, atas nama penghuni bukit Seblat ini. Tanpa jasa nenek Kam dan Putri Selasih, belum akan selesai masalah ini. Sementara kami sudah kehabisan energi menghadapi bangsa nenek gunung yang panik dan stress. Akibatnya dengan mudah ditakhlukan oleh bangsa manusia. Luasnya hutan yang dibabas membuat mereka tidak tahu akan pulang kemana dan berlindung kemana. Semuanya jadi liar dan tak terkendali.” Ujar Panglima Malim. Apa yang beliau sampaikan memang benar adanya. Penebangan hutan liar maupun menjadi perkebunan, pemukiman, apapun alasannya jelas merusak habitat hewan liar ini. Akibatnya terjadilah gesekan-gesekan pada manusia. Padahal, makhluk liar ini tidak akan mengganggu kehidupan manusia jika habitat mereka senantiasa dijaga keutuhannya. Selanjutnya, manusia-manusia tamak, justru terkadang kerap kali abai dan tak peduli hukum. Sudah jelas harimau hewan dilindungi, namun hingga kini masih saja terjadi penangkapan, dijerat, ditembak, diambil anaknya, dan lain-lain.

Mendengar apa yang disampaikan Panglima Malim, demikianlah adanya. Nyaris semua permasalahan berkaitan dengan kelangsungan hidup raja hutan selalu disebabkan oleh manusia. Dalam hati aku menyimpulkan, manusia memang biang kerok perusak di muka bumi.

Akhirnya setelah nenek Kam ngobrol ke sana kemari dan banyak bertukar pikiran dengan Panglima, aku dan nenek Kam mohon izin pulang dengan perasaan lega.

“Panggil anginmu, dan bentangkan selendangmu Selasih. Nenek mau duduk menikmati langit dan hutan.” Ujar nenek Kam. Akhirnya aku bentangkan selendangku. Nenek Kam duduk santai sambil mengepit kedua kakinya. Dengan ringan angin membawaku dan nenek Kam ke Seberang Endikat. Dalam waktu yang tidak lama, kami sudah di pondok nek Kam kembali. Kami kaget dibuatnya, ternyata di pondok nenek Kam ada Gundak dan Macan Kumbang. Dalam rangka apa dua manusia harimau ini bertemu di pondok nek Kam?

“Wah Selasih! Kamu makin cantik dan dewasa saja.” Kata Gundak membuat wajahku merah padam. Tidak disangka Gundak seberani itu memuji tanpa tending aling di depan nek Kam dan Macan Kumbang dengan wajah sumringah. Dalam hati aku juga megagumi Gundak. Dia tampak makin dewasa. Berbeda ketika kukenal empat tahun lalu. Meski ganteng, tapi kolokan seringkali membuatku kesal dan mengajarkan berbagai macam sikap pelan-pelan.

“Kalau menjentik seseorang jangan dijentik perutnya, Gundak. Terlalu nyaring bunyinya.” Ujarku yang disambut tertawa ringan semua. Ternyata Gundak dan Macan Kumbang kebetulan saja bertemu. Gundak datang karena rindu suasana pondok nenek Kam.

Akhirnya dini hari itu kami ngobrol panjang lebar membuat pondok nenek Kam lebih hangat. Aku bercerita bagaimana risaunya aku ketika melihat nenek Kam bertarung, melawan pekerja pembuka lahan sekaligus dukun itu. Sementara aku harus menggiring nenek gunung agar masuk ke hutan lindung dan memagarinya. Ternyata nenek Kam mampu menakhlukan mereka.

“Aku baru pertama kali melihat nenek Kam bertarung. Ternyata nenek Kam hebat luar biasa!” Ujarku bangga. Nenek Kam mencibir mendengar pujianku.

“Selasih belum lihat bagaimana nenek Kam bertarung di atas angin? Ketika melawan siluman elang. Dia juga berubah jadi elang putih,” kata Macan Kumbang. Aku terbelalak dibuatnya. Aku tidak tahu kalau nenek Kam punya ilmu yang bisa mengubah dirinya ke bentuk lain. Keren!

“Husssst kan sudah nenek bilang, kemampuan yang kita miliki bukan untuk dibangga-banggakan. Jangan pernah sombong dengan kemampuan kita.” Lanjut nenek Kam. Menjelang fajar, aku segera pamit pulang. Bagaimanapun siang harinya aku harus aktivitas. Hari ini aku harus ke sekolah persiapan Ujian Nasional. Aku semakin tidak sabar menamatkan sekolah.

Akhirnya aku pamit pulang setelah menyium nenek Kam dan memeluknya erat. Kali ini tubuh ringkihnya kuangkat. Nenek Kam tertawa sambil setengah menjerit takut terjatuh. Gundak ngotot hendak ngantar. Alasannya dia belum tahu rumahku dimana. Akhirnya aku berdua Gundak menuju rumahku. Tak banyak kami obrolkan di jalan. Perjalanan singkat tidak ada kesempatan untuk bercerita.

Sekejab waktu, kami sudah sampai di kamarku. Aku segera menyatu dengan jasadku. Sejenak ngobrol dengan Gundak. Bercerita tentang pertemuan terakhir ketika Gundak menjengukku di Palembang. Gundak membolak-balik kakiku yang patah. Selanjutnya Gundak bercerita jika Umak dan Bak-nya sudah menyuruhnya untuk segera berumah tangga. Padahal belum sedikitpun dia ingin membina rumah tangga. Perasaannya masih terlalu muda.

“Aku tidak ingin buru-buru berumah tangga. Sebab belum tentu aku dapat mendidik istriku kelak. Sementara aku merasa masih banyak kekurangan. Akan lain ceritanya jika istriku itu seperti kamu. Kamulah yang bertugas mengajarkan aku tentang banyak hal. Aku ingin mencari istri yang berpikirnya matang sepertimu, Selasih.” Ujar Gundak membuat tawaku berderai.

Tok…tok..tok..

“Dedek…Dek…” Bapak mengetuk pintuku. Mungkin beliau heran mendengar suaraku berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Aku segera membuka pintu.

“Ngobrol dengan siapa? Sendiri?” Bapak menongolkan kepala ke dalam kamarku.

“Ngobrol dengan Gundak. Anak kepala Suku dari Ulu Bukit Selepah.” Ujarku.

“Nenek gunung?” Tanya Bapak yang kusambut dengan anggukan. Wajah Bapak jadi agak berubah. Entah takut, atau apa aku tak tahu. Lalu berlalu ke belakang mengambil wudu untuk salat subuh.

“Nyari istri kok dibanding-bandingkan denganku, sih? Yakinlah banyak bangsamu yang lebih dewasa dibandingkan aku.” Ujarku menyemangati. Gundak diam sejenak. Entah sedang memikirkan apa.

“Umak mau menjodohkan aku dengan sanaknya. Namun aku tidak mau. Meski dia cantik, aku tidak tertarik dengannya” Ujar Gundak menahan mangkel.

“Belajarlah untuk mencintainya. Berteman dulu, akrab dulu, lama-lama nanti akan muncul rasa suka lalu menyintainya,” ujarku pelan. Gundak menggeleng-gelengkan kepala. Aku kira, bangsa manusia saja yang sarat dengan persoalan. Ternyata pada bangsa nenek gunung pun kurang lebih sama, banyak juga masalah.

Dari toah masjid sudah terdengar suara mengaji. Gundak mohon diri mau melaksanakan salat subuh di kampungnya. Dan berjanji kapan-kapan akan datang kemari lagi. Aku mengangguk setuju. Pelan-pelan Gundak menghilang, lenyap dari pandanganku.

Aku menguap berkali-kali. Rasa kantuk bukan main menyerang pagi ini. Padahal usai subuh aku sudah harus siap-siap berangkat ke sekolah. Menunggu angkutan umum yang jarang itu harus dilakukan sepagi mungkin agar kebagian. Hingga saat ini aku belum berani untuk melakukan jalan jauh. Pergelangan kakiku masih sering bengkak.

Aku mengkurap sambil nungging meletakkan kepalaku ke bantal. Menahan kantuk. Mataku terasa panas sekali.

“Kakaaak…” Suara halus memanggilku. Aku bangun dan menoleh. “A Fung!” Ujarku kaget. Anak Tionghoa ini berdiri sambil tersenyum.

“Aku boleh ikut kakak sekolah?” Tanyanya serius. Aku langsung terjaga. Tiba-tiba rasa kantukku hilang. Setelah terang, baru aku dapat menatap jelas A Fung. Ada lebam di pipi kiri dan biru di lehernya. Anak ini mati karena dicekik. Kudekati dan kupegang bahunya.

“Tentu saja boleh, sayang. Tapi kita tentu tidak bisa berbicara bebas seperti ini” Ujarku pelan.

“Tidak apa-apa Kak. Aku akan diam dan menjadi anak manis. Aku akan ikut saja. Tidak melakukan apa-apa.” Ujarnya lagi. Aku mengangguk setuju. Barangkali makhluk jin juga perlu refreshing. Kasihan dia bertahan-tahun tinggal di gereja sekolah. Tidak ada teman. Paling melihat-lihat anak sekolah bermain. Mau ikut bermain dengan anak sekolah itu tidak ada yang bisa melihatnya. Aku serahkan puisi padanya untuk dibacanya. Selanjutnya aku berkemas-kemas mandi, salat, minum teh ala kadarnya.

“Kenapa kamu tadi lari dari rumah kakak, Fung?” Tanyaku sambil berjalan bergandengan.

“Kakak tadi pakai baju yang menutup seluruh tubuh, terus mulut kakak baca-baca apa, aku tidak tahan. Panas..makanya aku kabur. Ketika aku lihat kakak tidak pakai baju panjang itu lagi, baru aku berani mendekat.” Ujarnya polos. Aku berpikir, maksudnya pakai baju panjang tertutup semua yang mana ya? Apa yang dimaksudnya ketika aku pakai mukena salat subuh? Oh! Aku menepuk jidat. Jadi ketika aku membaca surat pendek, ayat-ayat Allah dia kepanasan.

“Maafkan aku A Fung, itu tadi kakak salat namanya atau sembahyang. Kakak baru ingat kamu advent ya. Kakak beragama Islam. Beda cara sembahyangnya dengan kamu.” Sekilas aku menjelaskan. A Fung mengangguk-angguk kaku.

Angdes yang kutumpangi sudah mulai meniti jalan berbatu. Suara berisik mesin mobil yang terlonjak karena jalan tidak rata, membuat kawan-kawan yang sedang ngobrol harus berteriak-teriak. A Fung berdiri diam di hadapanku. Tidak ada tempat duduk untuknya. Penuh. Matanya asyik mengawasi kawan-kawanku. Mungkin juga dia heran, dan aneh melihat kawan-kawanku bergelantungan di pintu masuk.

“Kakak, anak-anak itu pemberani ya?” Ujarnya. Aku hanya mengangguk, menanggapi pertanyaannya. Dia lupa kalau harus diam dan jangan mengajakku berbicara.

Sampai di sekolah hari masih pagi. Meski sudah banyak anak-anak yang berkeliaran, karena kebetulan mereka memilih angdes paling pagi. Aku mengajak A Fung ke warung Emak terlebih dahulu. A Fung patuh saja berjalan sambil berpegangan tangan. Kadang badannya miring-miring seperti takut-takut tersenggol anak-anak sekolah.

“Mereka tidak akan bisa menyentuhmu. Melihatmu saja tidak.” Bisikku. Masih kugandeng tangannya. Kuajak A Fung masuk. Lalu kusuruh dia duduk di kursi dekat aku meletakkan tas.

“Tumben anak Emak datangnya cepat” Emak menyapaku. Aku jawab kalau agak siang bakal tidak kebagian kendaraan. Sementara mau jalan kaki, kakiku belum kuat. Aku membantu Emak menyiapkan jualannya. Membersihkan meja dan menyusun gorengan yang baru diangkat dari wajan.

“Kakak, itu yang dimasak apa namanya?” A Fung menunjuk adonan bakwan.

“Itu bahan untuk membuat bakwan namanya” ujarku. Aku melihat bahunya naik seperti orang menahan geli. Aku tertawa melihatnya. Baru tahu dia suasana kampung itu seperti ini. Tahunya A Fung mungkin makan martabak atau bakpao.

Emak menyodorkan segelas teh manis dan gorengan untukku.

“Ini Nduk, sambil sarapan ya. Kamu tidak usah ikut-ikutan ngaduk penggorengan. Biar Emak aja.” Ujar Emak. Padahal perutku masih kenyang. Tadi juga sudah minum teh. Akhirnya aku cicip juga goreng pisang yang masih hangat. A Fung hanya melihat saja.

“Ini makanan manusia Fung, kamu makannya apa?” Ujarku.

“Aku makan gaharu.” Ujarnya. Lalu dijelaskan tidak makanan gaharu di sini. Aku sarankan jika dia lapar sebaiknya pulang saja. Dijawabnya dia tidak lapar dan tidak ingin makan.

Ketika aku belajar di dalam kelas, A Fung asyik bermain sendiri. Kadang ke luar kelas jalan-jalan. Tak lama berselang dia lari dan langsung memegang tanganku kencang sekali. Nampaknya ketakutan. Wajahmu cemas.

“Kenapa bisikku.” Sambil merangkulnya. Matanya melihat ke luar. Ternyata ada makhluk asral berperawakan besar hitam bertanduk mengejar A Fung. Melihat aku dia berhenti di pintu kelas. Dari jarak jauh kukerahkan batinku untuk mengusirnya. Kudorong hingga dia terjerengkang jauh ke belakang. Rupanya dia tidak terima. Dia bangkit hendak menyerang. Sambil duduk akhirnya aku mencoba fokus melawannya.

Aku melompat menghampirinya sembari melakukan penyerangan-penyerangan. Sengaja kudesak agar pertarungan segera selesai. Aku menyedot energinya lalu kubiarkan dia menangis. A Fung tersenyum lebar ketika melihatku dengan mudah menakhlukan makhluk itu.

“Kakak hebat!! Jin jahat itu bisa kakak takhlukan dengan mudah.” Ujarnya senang. Tangannya makin erat memegang tanganku. Kubiarkan dia bermanja seperti merasa ada yang melindungi. Hari ini suasana sekolah terasa lain. Keceriaan A Fung cukup menghiburku. Dia berlari-lari di antara kawan-kawanku. Kadang iseng mencolek-colek. Kadang menggeserkan pena di atas meja. Tidak ada angin dia tiup buku kawanku sampai jatuh. Sebagian kawanku yang menyadari ada yang aneh, merasa takut. Tapi jika tidak tahu, maka biasa-biasa saja.

Pulang sekolah seperti biasa aku menunggu angdes agak lama.

“Kak, besok aku ikut kakak lagi ya. Aku boleh kan ikutan bergantung di dekat pintu?” Ujar A Fung manja. Aku tersenyum sendiri. Mau bergantung, mau berdiri, perasaan tidak ada masalah buat dia. Tapi dasar anak kecil, jadi minta perhatiannya berlebihan. Demi menyenangkannya aku mengangguk yang disambutnya dengan riang. A Fung melompat-lompat seperti kuda sambil baca cuplikan puisi yang dihafalnya.

Bersambung…
close