Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 47)


Sudah tiga hari ini kota Pagaralam tidak turun hujan. Langit selalu nampak biru tua dan bersih, nyaris tak berawan, baik siang maupun malam. Jika malam hari terasa sangat dingin. Pagi hari kabut sangat tebal. Jarak pandang hanya beberapa meter. Kalau sudah siang nyaris semua lapangan dan tanah kosong berisi anak-anak bermain layang-layang dan kelereng. Aku jadi teringat beberapa tahun lalu, aku bersama kakakku melepas pagar bambu, lalu kami sulap menjadi layang-layang, kami jual, uangnya untuk beli beras dan sayuran. Ah! Masa itu.

Hari ini pengumuman kelulusan. Sembari menunggu lonceng masuk kelas atau apel di lapangan aku dan teman-teman ngobrol sambil bercanda di bawah pohon yang berderet di taman sekolah. Bunga-bunga juga bermekaran menutup tanah yang miring berbukit. Di seberang, aku melihat A Fung mengangkat tas salah satu kawanku yang diletakan di bangku bambu. Melihat tas terangkat sendiri semua yang melihat berteriak kaget dan lari ketakutan sambil berteriak “hantu”.

“Dekat pohon itu ada hantu.” Ujar salah satu kawanku. Sementara si hantu A Fung tertawa ngakak ke arahku. Aku tidak bisa memarahinya. Melihat kepolosannya aku tidak tega menegurnya. A Fung benar-benar bercanda, bukan ingin menakuti. Satu kesempatan lagi, di tempat lain A Fung mengangkat rok siswi hingga rok itu terangkat dan terlihat celana dalamnya. Melihat ini terpaksa kusentil telinganya.

“Jangan buat malu kawan-kawanku, A Fung!” Ujarku.

“Salah mereka mengapa tidak pakai celana pendek kayak Kakak. Meski roknya dilepas juga tidak apa-apa. Mereka itu ketika roknya diangkat langsung kelihatan sempaknya.” A Fung tertawa. Mendengar kata “sempak” aku tidak bisa menahan tawa. Aku tertawa ngakak. Melihat aku tertawa terpingkal-pingkal kawan-kawanku heran.

Sementara tawaku sulit sekali untuk ditahan. Sudah lama sekali aku tidak mendegar kata ‘sempak’. Tiba-tiba keluar dari mulut A Fung. Mereka jadi senewen melihat aku tertawa sendiri. Ekspresi mereka rata-rata bingung memandangku.

“Dek! Ngucap!” Ujar Susianto salah satu sahabatku. Ketika aku berhenti tertawa aku jelaskan jika yang mengangkat rok kawan kita tadi itu, hantu kecil yang ingin melihat ‘sempak’nya. Mendengar itu A Fung kembali tertawa. Sementara kawan-kawanku juga ikut tertawa. Mereka kira aku bercanda. Sampai ada yang menambahkan “Untung sempaknya tidak bolong. Kalau bolong pasti hantunya ketakutan. Kok gelap?” Derai tawa kembali pecah. A Fung juga kulihat ikut terpingkal-pingkal. Berulang kali dia sebut “sempak bolong, sempak bolong.” Dasar hantu kecil!

Aku mengambil amplop pengumuman ‘lulus’ di tangan Bapak. Tidak ada ekspresi kegembiraan berlebihan seperti kawan-kawanku yang melompat-lompat sambil berteriak ke sana kemari. Berpelukan dan jabat tangan riang. Biasa saja. Aku tidak ada target kecuali lulus! Sudah.

Aku menemui guru-guruku satu-satu. Mengucapkan terimakasih, mencium tangan mereka, lalu meminta restu mereka karena aku akan melanjutkan sekolah ke Bengkulu.

“Kapan berangkat, Dek? Kalau sudah di Bengkulu bakal susah kita bertemu. Bapak harap kamu bisa jaga diri baik-baik, ya Dek. Kembangkan bakat dan minatmu. Bapak akan selalu doakan kamu.” Pak Tarzan menggenggam tanganku. Guru bahasa dan sastraku satu ini memang selalu memberikan perhatiannya padaku. Aku hanya mengangguk terharu. Ketika bertemu pak Simbolon beliau langsung merangkulku. Guru yang pernah kuprotes bersama kawan-kawanku karena tidak ‘becus’ mengajarkan bahasa Inggris ini pada dasarnya baik.

“Dek, Bapak tidak bisa lagi main ke rumahmu, makan bersama menyicipi sambel jengkol buatan ibumu jika kamu sudah jauh.” Ujarnya sambil tersenyum. Matanya yang cipit makin hilang. Aku hanya bisa menatap kasihan sebenarnya pada beliau. Dari curhat beliau, meski sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dengan golongan II B, namun belum juga mendapatkan gaji. Sementara beliau jauh merantau dari Medan. Tidak ada sanak saudara di Pagaralam ini kecuali se-agama dengannya, sesama protestan. Karena beliau masih muda, tidak heran berteman juga siswa dan kerap main ke rumahku, tentu saja kadang-kadang kehadirannya sesuai jadwal makan. Dan beliau tidak pernah menolak jika diajak makan bersama.

“Belajar yang kenceng ya, Dek. Doain Bapak juga, tiga atau dua tahun ke depan Bapak akan pindah juga. Ingin pulang ke Medan.” Ujarnya pelan. Aku merasakan ini pertemuan terakhir dengan beliau. Aku mencium tangannya dan minta maaf atas semua kesalahanku. Bayanganku tidak ada hal yang memungkinkan untuk bisa jumpa lagi dengan guru elektroku satu ini.

Usai pamitan, aku bersama A Fung menyisir teras sekolah. Bapak sudah pulang duluan dengan sepeda motornya. Beberapa teman sekelas berlarian menyongsong dan memelukku. Lagi-lagi batinku mengatakan ini terakhir kali aku jumpa mereka. Kalau tadi dengan pak Simbolon, kali ini dengan sebagian besar kawan-kawanku. Aku melihat semangat mereka luar biasa.

“Dek, kita daftar bareng yok. Pilihanmu SMA mana? Sesuai rayon atau lintas rayon?” Ujar beberapa teman. Ketika kusampaikan jika aku akan melanjutkan sekolah ke Bengkulu mereka jadi ribut. Mereka baru tahu kalau aku akan meninggalkan kota kecil ini. Lalu muncul keinginan mereka kelak kalak kalau ke Bengkulu mereka berjanji ingin bertemu, jalan-jalan denganku dan lain sebagainya. Aku hanya tersenyum menanggapi imajinasi liar mereka dengan berbagai rencana indah.

“Kakak akan pindah ke Bengkulu? Tidak sekolah di sini lagi? Lalu aku akan main dengan siapa, Kak? Kakak sekolah di sini saja.” Rengek A Fung. Tangannya bergelayut di lenganku. Aku menatap wajahnya. Kami baru kenal beberapa minggu. Namun terasa sangat dekat. Hampir tiap hari dia ikut ke sekolah. Katanya lokasi sekolahku menyenangkan. Banyak temanku yang bisa dia goda. Bisa lari ke sana ke mari, bisa naik turun tangga sekolah, banyak pohon dan sebagainya.

“Kakak sudah tamat, tidak boleh lagi sekolah di sini. Kakak harus melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,” lanjutku sambil mengelus kepalanya. Ada perih dalam dadaku. Tidak dapat kupingkiri, lambat laun aku memang akan berpisah dengan A Fung. A Fung tetap akan tinggal di kota ini. Tidak mungkin kubawa serta ke Bengkulu.

“Kamu bisa sesukamu bermain di sekolah ini, Fung. Meski tidak ada kakak.” Ujarku. Lama dia diam. Aku tidak bisa menafsirkan diamnya. Perpisahan belum terjadi saja perihnya sudah seperti ini. Aku bisa merasakan kesedihan A Fung. Baru beberapa saat dia merasa punya sahabat, punya Kakak yang bisa dijadikannya tempat bermanja. Sudah mau terpisah. Aku merasakan perihnya perasaan kehilangan. Tapi sekali lagi memang perjalanan hidup harus demikian. Bukankah kita hanyalah pelakon yang sedang bermain di atas bidar kehidupan. Hanya bisa berencana, tapi Tuhan jua yang menentukan.

Aku berjalan sambil memegang tangan A Fung. Wajah A Fung mulai murung. Kurasakan sepi lewat sinar matanya yang senyap. Kami sama-sama diam. Aku tidak punya solusi untuknya.

Keceriaannya hilang sama sekali. Langkahnya lesu. “A Fung mau minta gendong?” Tanyaku dibalasnya dengan gelengan. Dia berhenti berjalan. Mata kosongnya memandang lurus padaku. Aku sulit menafsirkan perasaan yang berkecamuk di batinnya. Ah! Andai A Fung tahu, jika aku juga sedih meninggalkannya. Air mataku nyaris ke luar. Mengapa aku kenal A Fung justru ketika akhir-akhir akan meninggalkan kota ini. Mengapa tidak dari dulu ketika aku masih duduk di bangku SD itu? Aku mengelus kepalanya.

“Yakinlah, kakak sayang padamu. Dan jika kita sudah berpisah, kakak akan selalu merindukanmu.” Ujarku mencoba menghiburnya.

“Aku mau ikut kakak pindah” Ujarnya cepat.

“Kamu yakin? Kakak tidak bisa memberimu makan, sayang. Kakak tidak punya uang untuk membelikanmu garu. Di Bengkulu nanti kamu tinggal dimana belum tentu bangsamu yang tinggal di gereja-gereja sana mau menerima orang baru. Nanti kau disakiti mereka. Jika terus-menerus ikut Kakak, kamu bilang sering kepanasan.” Aku menatapnya dalam-dalam.

“Iya..kakak suka baca-baca mantra. Mantra kakak sering buat aku kepanasan.” Ujarnya. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Doa dan zikir disebutnya mantra.

Aku masih sibuk menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan rencana kepindahanku. Semua urusan surat menyurat sudah selesai semua. Aku tinggal menunggu Bapak dan Ibu yang masih ke Seberang Endikat hendak menjual kopi mereka.

Sudah empat hari ini aku tidak melihat A Fung. Kemana makhluk kecil itu? Apakah setelah dia tahu bahwa aku akan pindah kota membuatnya sedih lalu bersembunyi? Ngambek?

“A Fung..A Fung..” Panggilku. Beberapa kali aku memanggilnya, namun tidak ada jawaban. Sebenarnya aku berharap dia selalu bersamaku jelang berpisah. Tapi sepertinya dia enggan bertemu lagi. Jangankan datang, menjawab saja tidak. Akhirnya setelah semua beres, malam ini aku harus mencari A Fung. Anak kecil itu tidak boleh bersedih. Usai salat magrib aku siap-siap hendak mencari A Fung. Belum bergerak, ada angin berhembus pelan. Tak lama derap kaki banyak sekali menuju rumahku. Dalam hati aku menduga yang datang pasti Gundak. Benar saja, aku melihat Gundak turun dari punggung nenek gunung. Rambut panjangnya bergoyang-goyang ketika berjalan seiring dengan pundak kekarnya. Aku sudah tersenyum memandangnya dari jauh. Niat hendak mencari A Fung kubatalkan sejenak.

“Tumben Gundak jauh-jauh datang. Ada acara apa ni. Apa mau ngundang?” Tanyaku membuka percakapan. Gundak hanya mengangkat bahu. Kami bersalaman sejenak. Kawanan nenek gunung yang mengantarkanya dibiarkannya di luar. Mereka baring bermalas-malasan. Dari rautnya, Gundak sedang ada masalah nih. Murung. Kok anak muda kebanyakan terlihat galau.

“Selasih, kita main ke telaga yok” Ujarnya.

“Telaga? Telaga apa? Di mana ada telaga?” Tanyaku.

“Ayoo ikut saja. Aku ingin ngobrol banyak hal denganmu. Otakku suntuk! Kita ke telaga Bemban.” Ujarnya garuk-garuk kepala. Sebelum aku menyetujuinya, di balik pohon yang berfungsi jadi pagar hidup samping rumah, aku melihat bayangan. Dan bayangan itu rasanya tak asing lagi. Aku mengejarnya.

“A Fung!” Aku langsung menangkap tubuhnya dan memeluknya.

“Kenapa kamu sembunyi-sebunyi? Kenapa tidak menemui kakak beberapa hari ini? Kakak rindu. Baru saja malam ini mau mencarimu, terus ada tamu.” Aku tatap wajahnya dadaku terrasa amat perih. Ingin rasanya aku menangis menatap bocah malang ini. Dia anak yang kesepian.

“Aku juga rindu sama kakak. Aku tidak ke luar kemana-mana selama empat hari. Aku sedih. Aku akan kembali sendiri. Sepi” Ujarnya menunduk. Akhirnya aku tak mampu menahan air mata. Aku menangis. Kutekan rasa sedihku sedalam mungkin. Aku tahu perasaannya. A Fung masih kupeluk.

Kedekap kepalanya ke dadaku. Aku berharap dia merasakan detak jantungku. Betapa kencangnya gemuruh rasa sayangku padanya. Andai A Fung tahu, perpisahan padanya adalah ketakutanku juga.

“Kita nikmati saja waktu yang tersisa ini ya sayang. Jika esok kita memang harus berpisah, kita cari jalan ke luarnya.” Ujarku membujuknya. Aku membimbing A Fung mendekati Gundak yang memperhatikan kami sejak tadi. Aku perkenalkan A Fung dengan Gundak sebagai adikku. Nampaknya Gundak juga suka. Mungkin karena wajah imut dan berbeda dengan yang lain. Putih, bemata cipit.

Kami duduk berhadapan, A Fung duduk rapat di sampingku. Sesekali dia mengelus-ngelus telapak tanganku.

“A Fung mau ikut Kakak?” Tanya Gundak pada A Fung. A Fung menatap wajahku seperti tengah menunggu jawaban tertentu. Aku sambut tatapannya dengan senyum.

“Kalau A Fung ikut kak Gundak, tentu saja bersama kakak Selasih” Ujarku. A Fung langsung tersenyum dan mengangguk.

“Ikut” Jawabnya singkat. Akhirnya kami bertiga siap-siap untuk pergi ke telaga Bemban. Tak lupa aku baring dan melepaskan diri dari jasad lalu memagarinya. Ternyata A Fung penakut. Ketika melihat tiga sosok nenek gunung, dia langsung memepetkan tubuhnya padaku. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Kujelaskan jika nenek gunung yang di hadapan kami ini adalah nenek gunung yang baik-baik.

“Di dekat gereja ada juga siluman harimau. Aku takut kak. Dia ganas sekali. Suka marah dan ngamuk-ngamuk dengan siapa saja.” Ujar A Fung. Mendengar penuturannya wajar saja kalau dia takut. Karena yang dihadapinya adalah siluman.

Ketika melihat Gundak menunggangi salah satunya, baru A Fung memberanikan diri mendekat.

“Naik ke punggungku saja anak kecil yang lucu.” Sapa salah satu nenek gunung membuat A Fung tersenyum dan mulai berani. A Fung mengelus-ngelus pundaknya yang berbulu panjang. Lalu pelan-pelam naik ke punggungnya. Akhirnya kami bertiga menunggang nenek gunung satu-satu. Aku melihat A Fung memejamkan mata ketika tubuh nenek gunung itu melesat seperti angin. Aku tersenyum melihatnya. Paling tidak hari ini A Fung bisa tersenyum dan masih bisa merasakan kebersamaan bersamaku. Biarlah, meski perpisahan akan terjadi besok atau kapan, paling tidak kami punya catatan-catatan untuk dikenang. Seperti warna pelangi. Saat dia muncul maka akan memancarkan keindahan dan membuat banyak orang bahagia. Namun ketika bias matahari itu lenyap, orang hanya mengenang keindahanya. Dan itu abadi adanya.

***

Tiga nenek gunung yang kami tunggangi sudah mulai berjalan pelan. Kami berada di antara cadas berwarna merah bata, mirip seperti lorong. Aku memandang ke atas. Ternyata cukup tinggi. Jalan tanah kuning agak curam. Dari kejauhan terdengar suara air sungai menderu. “Sungai apa Gundak?” Tanyaku.

“Sungai Endikat,” jawabnya singkat. Aku serasa mimpi. Jadi aku berada di seberapa Endikatkah? Seberapa jauhkah sungai ini dengan dusunku? Dengan nenek Kam, dan bukit Marcawang? Aku mengira-ngira.

A Fung nampak antusias melihat hutan lebat di seberang sungai. Tanah kuning yang menantang. Nampaknya tanah ini sengaja digesur untuk jalan. Tak lama sampailah ke lembah. Benar, jalan seperti lorong ini semua adalah bukit lalu dibelah menjadi dua untuk jalan. Di sisi kiri jalan terdapat gorong-gorong baja yang lingkarannya cukup besar. Aku tidak tahu untuk apa. Atau ada kaitannya dengan PLTA yang telah membuat Endikat makin kecil debit airnya itu? Dari atas jalan aku melihat dataran yang sudah diratakan. Becek berlumpur.

Nampaknya bekas air sungai naik. Di lembah ada pos penjaga. Nampak kecil sekali. Kami bertiga masih terus berjalan. Bunyi batu kerikil yang beradu karena diinjak nenek gunung serupa irama musik mengiringi gemuruh sungai. Angin berhembus pelan sekali. Mataku mencari-cari dimana letak Telaga Bemban itu? Sebab baru kali ini aku mendengarnya. Tak lama berselang kami melalui jalan agak kecil menanjak. Tapi tetap bagian lembah. Jalan ini menuju telah. Di ketinggian aku melihat telaga yang ukurannya tidak terlalu besar, berbentuk bulat. Sayang, tidak ada satu pun pohon yang menaungi telaga. Akibat penggerusan tanah bukit, banyak pohon-pohon ditebang. Termasuk pohon yang melindungi telaga ini pun habis. Aku berdiri di sisinya.

Hmmm…telaga ini dibangun oleh salah satu nenek moyangku. Sesepuh Seberang Endikat ini. Bukan dengan tenaga fisik, namun dengan mengoptimalkan kemampuan batin. Tidak terlalu dalam, dan tidak pula luas. Airnya berwarna hijau bening. Saking beningnya, dasar bisa terlihat dari atas. Ada mata air di dalamnya yang selalu mengalirkan air. Posisi telaga di dataran agak tinggi, membuat air serupa dalam kuali dan hendak tumpah. Konon kata Gundak, telaga ini tidak pernah penuh meski airnya terus mengalir. Lalu kemana airnya mengalir?

“Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu. Selamat datang Putri Selasih. Selamat bertandang ke kampung kami,” sapa makhluk berupa ular berwarna hijau muda berukuran besar. Ular penjaga telaga atau penguasa telaga. Aku belum tahu. Aku menjawab salamnya. Kutundukkan kepala. Beliau seorang perempuan sepuh berbentuk ular.

“Maafkan kami jika mengganggu ketenangan Puyang. kami hanya ingin menikmati telaga yang tenang ini, Puyang.” Gundak melanjutkan obrolan. Puyang berbentuk ular besar itu tersenyum.

“Dengan senang hati. Silakan. Cuma keadaannya tidak teduh seperti dulu. Bangsa manusia telah mengubah daerah ini mejadi gersang. Tanpa tumbuhan. Bahkan beberapa kali telaga ini mau mereka ratakan. Mereka telah merusak alam sekitar ini yang manfaatnya tidak terlalu berarti. Pelan-pelan penduduk kampung ini tidak punya aset lagi karena rata-rata tergiur dengan uang. Lahan-lahan mereka dibayar mahal. Mereka lupa bagaimana nasib anak cucu mereka kelak. Kecuali menjadi babu di perusahan ini. Karena rata-rata mereka tidak punya keterampilan.” Lanjut Puyang penjaga telaga Bemban lagi.

Akhirnya kami bertiga duduk di tepi telaga. A Fung masih menempel di lenganku kayak tidak mau lepas. Puyang penjaga telaga Bemban menatap penuh senyum pada A Fung.

“Lucu sekali kawan kecilmu ini , Selasih. Manja sekali dia padamu.” Ujar Puyang tersenyum.

“Kenalkan namanya A Fung, Puyang. Dia tinggal di gereja Xaverius. Sejak kenal dia menjadi adikku. Suka ikut ke sekolah. Sekarang ikut Gundak jalan ke mari,” A Fung tersenyum menatap padaku. Wajahnya nampak senang sekali.

“A Fung senang ikut kakak. Makanya ajak A Fung pindah ke Bengkulu ya Kak.” Ujar A Fung. Aduh! Ini lagi yang disampaikan A Fung. Padahal aku berharap tidak ada pembicaraan masalah pindahan segala. Aku hanya menatapnya kembali dengan perasaan iba. Tak lama kemudian, Puyang penjaga telaga mohon diri. Tubuhnya pelan-pelan tenggelam. Kukira tubuh besarnya tidak akan muat di telaga yang terlihat kecil. Ternyata pelan-pelan tubuh itu lenyap tanpa pencipratkan air. Telaga tetap tenang.

“Sayang, telaga ini tidak seindah dulu. Sekarang langitnya nampak lantang. Jika siang hari terasa panas. Kasihan Puyang tadi sebagian rumahnya rusak gegera pembangunan ini. Aku berdiam diri sejenak. Ada rasa kecewa. Dimana-mana manusia selalu saja jadi perusak alam. Bumi di eksploitasi tanpa perencanaan yang matang. Banyak proyek yang hanya menguntungkan investor. Yang kaya pengusahanya saja. Sementara masyarakat sekitar dibiarkan hidup sekarat, terpinggir di tanahnya sendiri.

“Bulan depan, Umak berencana menikahkan aku dengan sanaknya itu, Selasih. Sementara seperti yang kusampaikan padamu tempo hari, aku belum ingin menikah. Bagaimana menurutmu?” Gundak bertanya dengan ekspresi bingung. Mengapa Gundak harus minta pendapatku? Seberapa paham aku masalah seperti ini? Aku tidak punya pengalaman sama sekali.

“Menurutku, kalau kamu belum siap maka sampaikan baik-baik pada Umakmu. Tapi kalau manfaatnya belum ada, baiknya kamu minta ditunda aja dulu.” Ujarku. Aku merasakan apa yang kusampaikan asal bunyi. Aku tidak tahu benar apa salah. Aku hanya bicara soal akal saja. A Fung sudah mulai berani bermain dengan nenek gunung. Dia berlari dan berguling-guling di antara nenek gunung. Nenek gunung juga nampaknya senang bermain dengannya.

Aku dan Gundak saat ini sama-sama diam. Mata Gundak dalam menuju dasar telaga seakan ingin mengukur kedalamannya. Aku menatap jauh ke seberang Endikat yang rimbun. Indah dan sejuk. Pohon-pohon besar berdiri kekar. Hutan dibiarkan hidup. Bukan seperti di seberang ini. Kuning dan tandus. Gundak berdiri sembil berjalan-jalan sisi telaga. Sesekali kepalanya tandang ke atas seakan ingin merasakan sesuatu.

“Aku belum ingin menikah, aku masih ingin sendiri. Mengapa hidup ini penuh aturan? Sampai-sampai menentukan nasib sendiri pun harus diatur.” Ujar Gundak bernada kesal. Aku sedikit tersenyum. Ingat roman yang pernah kubaca, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ karya Hamka. Bagaimana seorang gadis belia Siti Nurbaya, terpaksa harus menikah dengan Datuk Maringgi. Tapi karena orang tua Sisti Nurbaya telilit hutang.

Ini perjodohan karena dianggap Gundak sudah dewasa, sebagai jurai Ulu Bukit Selepah, perjodohan semata-mata untuk semakin mempererat bersaudara. Tapi ya aku paham. Perasaan tidak bisa dipaksakan. Apalagi pada orang yang pada dasarnya tidak ada rasa cinta. Hari-hari pasti akan menyakitkan karena harus pura-pura mencintai, pura-pura sayang, pura-pura pengertian dan lain sebagainya. Bukankah hidup dalam kepura-puraan itu penyiksaan?

Dikejauhan, kulihat A Fung bermain di tepi sungai bersama nenek gunung. Tiga nenek gunung itu tampak akrab padanya. A Fung pindah-pindah dari punggung satu ke punggung lainnya. Kadang-kadang nenek gunung seakan-akan hendak menggigitnya. A Fung menjerit riang. Aku tersenyum menatapnya. Dunia kanak itu indah. Merdeka. Wajarlah jika masa kanak-kanak dikatakan ‘surga’. A Fung tengah menikmati surganya sekarang. Bebas berekspresi tanpa beban.

“Kadang rasanya aku ingin pergi jauh, meninggalkan kampung halaman kita, Selasih. Ingin mencari kehidupan baru tanpa kekangan. Ingin bebas menjalani hidup tanpa beban.” Ujar Gundak kembali duduk di sampingku.

“Ada waktu-waktu tertentu kita hidup bebas tanpa beban. Tapi jangan lupa hidup punya aturan, Gundak. Jika tidak punya aturan, apa bedanya kita dengan makhluk-makhluk asral yang liar itu? Mereka tidak punya tujuan hidup. Kalau kita, minimal ada kewajiban yang harus kita laksanakan. Setiap langkah adalah ibadah. Demikian kata guru agamaku.” Ujarku turut menggurui. Aku mejadi sok-sok pandai mengajari orang yang lebih dulu lahir dari aku. Gundak diam. Matanya Kembali menatap ke telaga.

“Mengapa tidak kau ambil sesuatu di telaga ini Gundak. Tenang, damai, dan bening. Tidak sama dengan sungai yang ada di seberang itu. Airnya bergejolak memunculkan deru.” Ujarku pelan.

“Ah, kamu cuma bisa bicara Selasih. Karena kamu tidak merasakan risaunya perasaanku.” Gundak protes. Apa yang disampaikan Gundak benar. Aku tidak tahu seberapa dalam risaunya. Aku hanya tahu Gundak sedang ada masalah dan batinnya tengah merana. Akhirnya kembali kusarankan agar Gundak kembali menemui Umaknya, berbicara pelan-pelan, tanamkan alasan yang masuk akal dan penuh pertimbangan. Jangan dipatahkan dengan kata ‘tidak’, tapi pelan-pelan katakan sabar tunggulah sampai benar-benar siap lahir batin.

Bagaimanapun hidup berumah tangga bukan sementara, tapi berharap cukup sekali dan untuk selamanya. Mintalah waktu untuk saling memahami terlebih dahulu dengan wanita yang dicalonkan Umak, agar sepaham, dan tidak ada penyesalan di akhir nanti. Ujarku panjang lebar. Entah darimana aku dapat kata-kata sepanjang dan sebijak ini. Aku hanya mencoba mengaplikasikan motivasi dari buku yang pernah aku baca. Dalam praktiknya, jika ini terjadi padaku, aku tidak menjamin bisa ke luar dari masalah.

“Akan aku coba. Sepertinya inilah jalan terakhir. Doakan aku sanggup menyampaikan sesuai saranmu pada Umak.” Ujar Gundak pelan. Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku telah berhasil memberikan solusi. Sehingga ke luar malam ini tidak sia-sia.

Mataku tertuju pada air telaga yang berimbak pelan. Ada sosok yang akan hadirkah? Aku membatin. Meski seperti diaduk, namun dasar telah tidak menjadi keruh. Padahal dasar dan dinding telaga tanah berlumpur. Bukan marmer atau keramik. Warna hijau kadang berkilau-kilau. Semakin dalam, maka warna hujannya makin kental. Nyaris satu telaga ada tiga warna. Bagian pinggir hijau sangat muda dan lembut karena dangkal. Lalu bagian tengah agak dalam, warna hijaunya agak tua sedikit, lalu bagian akhir, baru hijau tua karena lebih dalam. Aku tidak melihat ikan berenang layaknya air yang tergenang. Minimal ikan-ikan kecil yang biasa disebut ikan palak timah. Apalagi untuk melihat ikan sepat, kalang, atau ikan pighik. Telah ini benar-benar bersih. Tiba-tiba puyang penjaga telaga muncul lagi dipermukaan. Wajahnya lebih cerah dari tadi.

“Selasih, aku melihat permata kuning di lehermu. Aku tambahkan dengan permata hijau ini sebagai hiasan gaibmu. Paduan warna hijau dan kuning kurasa sangat tepat. Pakailah, warna ini tidak saja memancarkan auramu menjadi lebih ceria, rapi juga wibawa.” Puyang telaga Bemban menjulurkan permata seukuran sama dengan liontin kuning yang kupakai. Aku sepakat, dua warna hijau dan kuning memang sangat padu. Warna yang lembut. Aku mengucapkan terimakasih dan langsung memakainya. Ada energi yang kurasakan ketika memakainya. Tahulah aku, jika puyang penjaga telaga Bemban ini memberikan benda bukan benda biasa. Tapi ada energi lain yang tentunya bisa kumanfaatkan.

“Untukku mana, Puyang?” Gundak protes. Puyang tersenyum lagi.

“Sudah kuduga kau pasti bertanya, Cung. Ini ambilah gerpu (pisau kecil), untukmu. Semoga manfaat. Sampaikan salam puyang pada puyangmu.” Ujarnya lagi. Tak lama kami ijin pulang dengan Puyang penjaga telaga Bemban. Aku bahagia sekali bisa kenal dengan beliau. Ternyata A Fung agak keberatan segera pulang.

“Kok sebentar sekali, Kak?” Ujarnya.

“Ini sudah menjelang fajar, A Fung. Sebentar lagi siang. Kakak harus pulang. Kita tidak boleh terlalu lama di sini. Tidak baik. Mengganggu istirahat Puyang penjaga telaga.” Ujarku.

“Nanti kapan-kapan kita kemari lagi, A Fung. Kamu ikut aku.” Ujar Gundak membujuk A Fung. A Fung menyambut dengan gembira. Akhirnya kami bertiga kembali menembus kabut perbukitan dengan masing-masing menunggangi nenek gunung. Tak lama setelah mengantar aku dan A Fung pulang, Gundak pamit. Derap langkah ketiga nenek gunung makin lama makin jauh. A Fung masih senyum-senyum bahagia. Sebentar lagi waktu subuh tiba. Di kejauhan suara mengaji dari menara masjid terdengar bersahut-sahutan. A Fung sudah mulai gelisah.

“Kak…aku tidak tahan mendengar suara dari masjid itu. Badanku terasa terbakar. Aku harus kembali segera ke gereja,” ujarnya gelisah. Kupegang tangannya. Ada rasa iba.

“Ada caranya agar kamu tidak kepanasan A Fung. Kamu akan saya titip dengan paman raksasa untuk bersyahadat, mau?” Tanyaku.

“Apa itu kak, bersyahadat. siapa paman raksasa. Iiih…apa tidak menakutkan? Serem….” Ujar A Fung lagi. Lalu aku jelaskan apa makna syahadat. Lalu apa yang harus dilakukan A Fung dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja A Fung tidak akan tinggal di dalam gereja lagi. Tapi akan mondok bersama-sama jin lainnya, belajar agama di Uluan. Mendengar penjelasannku nampaknya A Fung tertarik.

“Meski kakak sudah di Bengkulu nanti, aku bisa ketemu kakak, dan bisa ikut kakak kan? Kan aku tidak akan makan gaharu lagi.” Sambungnya. Tersenyum mendengar pernyataan polosnya. Aku berharap memang agar A Fung ada yang mimbing dan dia tidak kesepian lagi. Ketika aku benar-benar hijrah ke Bengkulu nanti setidaknya aku akan tenang meninggalkannya. Setelah A Fung setuju, akhirnya aku mengajak A Fung duduk. Aku akan titipkan A Fung pada paman raksasa. Beliau saat ini semakin gencar saja belajar agama. Nyaris hari-harinya dimanfaatkannya untuk ibadah.

Aku langsung bersedekap memanggil paman raksasa untuk datang. Tiba-tiba angin berhembus makin lama makin kencang. Dari arah barat kepulan asap bergulung lama-lama membentuk sosok. “Paman!!”. Aku terlonjak. Aku sangat rindu padanya.

“Assalamualaikum Selasih…” Paman langsung menyambar tubuhku. Aku mengelus-ngelus wajahnya. Rasa rinduku tak bisa kutahan. Sampai-sampai aku menitikan air mata.

“Apa kabarmu Selasih. Paman sangat rindu. Mendengar kakimu patah, Paman ingin sekali membantu, tapi dilarang oleh Puyangmu. Katanya Selasih tengah belajar memaknai tentang hidup.” Ujar Paman bernada sedih. Akhirnya kami lepas rindu itu dengan bercerita. Selanjutnya kusampaikan mengapa aku memanggilnya. Aku minta tolong untuk menjaga dan membantu A Fung, sekaligus membimbing A Fung. Paman raksasa pun langsung memungut A Fung.

“Benar kamu mau belajar bersama paman dan kawan-kawan A Fung? Tidak terpaksa? Yakin kamu? Sebab nanti kamu akan berubah menjadi lebih bersih dan teratur. Lalu tidak lagi tinggal di tempat lama,” ujar Paman. Nampaknya A Fung sudah bulat.

“Mau paman, asalkan bisa bertemu Kakak Selasih setiap saat.” Nada A Fung pakai syarat. Paman tertawa mendengar pernyataan polos A Fung. Kamu persis seperti paman dulu. Paman juga sebelumnya mau ikut Selasih kemana dia pergi. Ingin bersemayam di betisnya seperti dulu. Tapi setelah disyahadatkan, paman damai tenang berada di Uluan. Bahagia sekali rasanya,” wajah Paman raksasa berseri-seri. Singkat cerita, A Fung sepakat ikut paman untuk disyahadatkan. Wajahnya nampak bahagia sekali.

“A Fung, sini sayang, peluk kakak dulu. Belajarlah dengan tekun. Ikutlah paman Raksasa kemana dia pergi. Saat tertentu jika ingin jumpa Kakak, panggillah kakak, Kakak akan menemuimu.” Ujarku sambil mengelus kepalanya. Ada damai yang tidak bisa kulukiskan dengan kata. Satu sisi sedih berpisah, pasti aku akan terbelenggu rindu, tapi di sisi lain aku bahagia karena A Fung tidak akan liar, tapi diasuh oleh paman raksasa.

Akhirnya A Fung ikut paman Raksasa. Dalam sekejap mereka lenyap dari pandanganku. Aku melambaikan tangan. Pelan-pelan mengambang juga air mataku fajar ini. Buku puisiku masih tergeletak di atas tempat tidur. Sengaja kugelatkan begitu saja maksudnya untuk memancing A Fung agar datang. Sekarang A Fung sudah pergi, mengapa tidak kupinjamkan saja? Tapi ketika ingat A Fung akan belajar agama, kubatalkan niat itu. Aku kembali menyatu dengan jasadku. Aku baring sejenak. Ada rasa lelah yang sangat. Meski mata mengantuk namun aku enggan tidur.

Di belakang aku mendengar Bapak tengah wudu. Tiba-tiba hidungku mencium aroma lain. Ada yang lewat, aku penasaran ingin melihatnya. Akhirnya aku fokus, dan nampaklah dua orang lelaki berpakaian putih berjalan menuju masjid. Aku mengernyitkan dahi. Siapakah mereka? Oh! Nenek Gunung menuju masjid Al Hidayah tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Aku ke luar kamar menemui Bapak.

“Bapak mau ke masjid?” Tanyaku disambutnya dengan anggukan.

“Pak barusan ada dua orang nenek gunung lewat menuju masjid. Dua lelaki pakai gamis.” Ujarku. Bapak menatapku dengan ekspresi yang menggantung. Aku senyum-senyum sendiri. Aku hanya ingin menguji Bapak apakah beliau takut atau tidak.

“Bapak takut? Biar Dedek antar ya ke masjid” Ujarku menggoda. Bapak memercikan bekas air wudunya ke wajahku. Terasa dingin. Aku lari sambil tertawa masuk kamar kembali. Waktu subuh tinggal beberapa menit lagi. Usai salat, aku ke luar rumah. Pagi ini berniat sekadar jalan santai. Aku lihat ada beberapa anak remaja sudah lari-lari pelan lengkap dengan pakaian olahraga.

Aku mengambil ban motor bekas yang tergeletak di samping rumah. Lalu kugelindingkan di jalan yang sedikit berlubang. Aku berjalan agak cepat sekadar mengusir rasa dingin. Baru sekali putar, tiba-tiba ada yang bertepuk tangan. Aku berhenti, sejenak. Ah! Siapa lagi kalau bukan Macan Kumbang. Aku pura-pura tidak peduli. Aku melanjutkan menggilindingkan ban bekas kembali. Tiba-tiba bannya terangkat. Aku menatapnya dan berusaha menarik kembali. Macan Kumbang kali ini iseng mempermainkan aku. Kutarik ban yang mengambang. Kami saling tarik, hingga bannya tidak bulat lagi. Ternyata ada yang melintas melihat permainan kami. Mereka bukannya menonton malah kabur ketakutan. Aku merasakan Macan Kumbang meningkatkan kekuatannya.

Segera kuimbangi. Kali ini kami tidak tarik menarik ban bekas lagi. Tapi Macan Kumbang memutarnya sesuai arah jam. Aku membuat perlawanan. Kuputar lain arah. Sebentar saja ban kadang berputar ke kiri kadang ke kanan. Aku semakin iseng, kukerahkan kekuatan badaiku. Ban kubiarkan meluncur ke angkasa. Lalu kutarik kembali kubiarkan berputar-putar mengelilingi Macan Kumbang. Kulihat Macam Kumbang hendak menangkapnya. Tapi selalu gagal. Anginku mampu berkelit licin. Aku tertawa melihat Macan Kumbang sedikit kewalahan.

“Stop!! Sudah Selasih. Hentikan!” Ujarnya setengah berteriak. Aku menghentikan segera. Ban jatuh persis dekat kakinya.

“Dasar anak nakal. Orang ngajak main-main, dia serius beneran.” Ujar Macan Kumbang.

“Salah sendiri! Selasih di lawan. Week.” Aku menggodanya.

Macan Kumbang berlari menghampiriku. Melihat itu aku langsung menghindar. Ternyata aku kalah cepat. Aku berhasil ditangkap Macan Kumbang lalu diangkatnya tinggi-tinggi. Aku menjerit sambil tertawa. Aku dibanting Macan Kumbang ke atas. Lalu dengan cepat kembali meluncur ke bumi. belum sempat aku meringankan tubuh, tubuhku sudah ditangkap Macan Kumbang kembali.

“Rupanya ada dua anak kecil asyik bermain gembira sekali.” Suara lelaki. Oh, ternyata dua orang nenek gunung yang kulihat tadi baru pulang dari masjid. Aku segera diturunkan Macan Kumbang. Wajahku berubah merah jambu menahan malu.

“Ini Macan Kumbang suka iseng, Kek. Aku dibantingnya ke atas. Nakal dia ini kek,” ujarku membuang rasa grogi dan malu. Macan Kumbang menunduk penuh hormat sambil senyum-senyum malu.

“Tidak apa-apa. Sesekali kita memang butuh hiburan agar hidup ini lebih bermakna. Masalah yang sulit jadi ringan, yang ringan jadi hilang. Lanjutkan.” Ujarnya sambil berlalu. Aku menepuk pundak Macan Kumbang sekuat-kuatnya. Lalu kukerahkan meringankan tubuhku menghindari Macan Kumbang yang mengejarku. Masih sambil tertawa, sesekali kutoleh Macan Kumbang. Bahkan kugoda dengan menjulurkan lidah. Oh! Macan Kumbang pun mengerahkan ilmunya. Kami saling kejar hingga melintas bukit besar di arah Utara kaki gunung Dempu.

“Kok kita lari sampai ke sini?” Aku menghentikan langkah. Di hadapanku terdapat jurang yang amat dalam. Kuperkirakan lebih dua ratus meter dalamnya dengan lebar hampir dua ratus meter juga. Di dasarnya ada air mengalir kecil seperti anak sungai yang jatuh dari ketinggian tidak jauh aku dan Macan Kumbang berdiri. Kayu besar dan kecil nampak melintang pukang di dasar jurang.

“Malam tadi usai salat Isya sungai ini menghanyutkan mesin penggilingan kopi dan padi di lembah sana. Banjir bandang tanpa angin dan hujan. Beberapa rumah hanyut, sawah dan kebun rusak.” Ujar Macan Kumbang. Aku terperangah dibuatnya. Muncul keinginanku menyisir jurang itu untuk melihat sampai di mana titik yang dihanyutkannya.

Masya Allah, ternyata sebelumnya ini adalah sungai kecil yang berliku. Airnya pun landai dan bening. Mata batinku melihat satu peristiwa besar terjadi di sini. Ada peristiwa menyayat membuatku ikut menangis. Kemarahan sungai adalah kekuatan doa orang yang teraniaya. Pemilik penggilingan kopi dan padi ini menceraikan istrinya untuk menikahi perempuan lain. Padahal mesin penggilingan ini adalah warisan orang tua istrinya yang pertama. Sang istri terusir dari rumahnya sendiri. Hiduplah sang suami bersama istri mudanya.

Beberapa hari yang lalu, si anak disuruh ibunya untuk meminta beras pada Bapaknya. Sang Bapak memberikan 50 kg. Ternyata diam-diam beras itu dikurangi oleh istri mudanya menjadi 10 kg. Si anak tahu, lalu diceritakannya pada ibunya. Si Ibu bukan main hancur perasaannya. Lalu ia pergi ke makan Bapaknya, di sana sang Ibu menangis sambil berucap, “Bapak, jika apa yang Bapak berikan padaku tidak memberikan manfaat untukku dan anakku, aku mohon ambillah bapak. Ambillah kembali.”

Selesai mengadu, si Ibu pulang. Malam tadi tidak ada hujan, langit cerah, tiba-tiba dari dusun Martawi dan Teghetap itu orang mendengar suara gemuruh dari hulu. Beberapa orang melihat dari gunung Dempu ada dua cahaya terang benderang menyorot hingga ke dusun. Padahal jarak antara gunung Dempu dan Dusun lumian jauh kira-kira delapan kilometer.

Namun cahaya itu seperti senter menyorot dusun yang gelap menjadi terang. Suara gemuruh makin alam makin dekat. Tak ada satupun orang di dusun itu yang bisa memperkirakan suara gemuruh berupa apa. Baru hitungan menit, sebagian besar penduduk dusun melihat gelombang air bergulung-gulung setinggi sepuluh meter. Secara logika, mestinya air bah yang bergulung itu apabila mengalir lurus maka akan menempur perumahan penduduk satu dusun.

Tapi ajaibnya, banyak mata menyaksikan air itu berbelok sesuai bentuk sungai yang menikung lalu menghanyutkan mesin penggilingan kopi dan padi yang terletak tidak jauh dengan sungai kecil yang landai. Dalam sekejap mesin penggilingan tinggal lantainya saja. Semua isi gudang mesin hanyut.

Sungguh sebuah balasan nyata. Sementara yang punya mesin ikut hanyut dan tewas. Ada satu keajaiban, yaitu anak berusia tujuh tahun, dia bersama orang tuanya tinggal di dangau sawahnya bersisihan dengan sungai. Padahal sawah dan pondoknya berada diketinggian kira-kira sepuluh meter dengan sungai. Namun air menghanyutkan kedua orang tua dan pondoknya. Sementara dirinya sempat bergulung dengan material batu, pasir, dan kayu. Namun tiba-tiba ada yang melilit tubuhnya lalu diletakan di atas pohon.

Dari atas pohon itulah dia melihat air bergulung sangat cepat. Setelah subuh tiba baru air terlihat surut sementara dirinya masih berada di atas pohon yang tinggi. Ketika orang ramai berdatangan melihat sisa banjir bandang baru anak kecil itu berteriak minta tolong. Aku dan Macan Kumbang berjalan menyisir pinggir dusun. Memang ajaib, aku melihat ular besar itu menghadang air agar tidak masuk dusun. Ular besar itu adalah puyang penjaga perut gunung Dempu. Beliau mendengar doa perempuan yang teraniaya itu. Dialah yang mengerahkan air bah tumpah dari gunung Dempu.

Hari sudah hampir terang. Aku dan Macan Kumbang segera pulang. Perjalanan tak sengaja pagi ini cukup membuatku terpikir peristiwa tragis itu.

“Sifat serakah itu jahat betul ya, Selasih. Dia pikir Tuhan tidur dan tuli. Dasar manusia tidak pandai bersyukur. Begitu mudahnya tergiur dengan harta yang tak seberapa.” Ujar Macan Kumbang. Aku hanya mengangguk pelan. Tragis memang. Matahari sudah mulai muncul. Macan Kumbang pamit pulang. Aku kembali beraktivitas seperti biasa, bersih- bersih rumah yang tak seberapa luas ini. Menyiram bunga dan merapikan pagar hidup yang tumbuh di halaman. Dari mulut ke mulut peristiwa banjir bandang tadi malam sudah sampai pula di kampungku. Hampir setiap sudut membicarakan peristiwa itu. Bahkan muncul cerita -cerita aneh sesedap masakan ibuku.

Bersambung…
close