Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 43)


Aku berdiri di atas batu cadas yang menghadap ke lembah. Ini malam ke tiga aku bersama kakek Njajau menggiring para nenek gunung ke rimba lebih dalam. Bersyukur tidak ada hambatan yang terlalu berat. Kucing-kucing raksasa itu paham jika mereka dipindahkan ke tempat yang baru, membentuk habitat baru.

Darahku berdesir ketika dari semak-semak muncul dua ekor anak nenek gunung berjalan dengan santainya. Melihat itu aku langsung melompat menghampiri.

“Aduh anak manis, kalian mau kemana? Mana induk kalian? Megapa kalian terpisah?” Aku menggelus keduanya. Bayi nenek gunung ini justru keenakan mengelus-ngeluskan tubuhnya ke tanganku. Aku memandang kakek Njajau, kemana harus mencari induk makhluk kecil ini? Tiba-tiba Kekek Njajau bersiul panjang. Tidak berapa lama bunyi krasak-krusuk dan derak ranting yang patah semakin dekat ke arahku berdiri. Dari arah selatan, muncul dua ekor nenek gunung mendengus-dengus. Jantan dan betina.


“Gggrrrrhh…grggrrrhhh…” Induk nenek gunung menjilat-jilat anaknya. Tak lama kemudian keduanya duduk sambil menunduk di hadapanku serupa manusia yang tengah sujud.


“Terimakasih Selasih..” Sang Induk merunduk. Aku menghampiri keduanya, kuelus-elus leher mereka. Bahagia sekali rasanya bisa berdekatan dengan makhluk rimba ini.


“Bawalah anakmu, jaga mereka, jangan sampai terpisah lagi.” Ujarku. Keduanya mengangguk. Sementara si bayi asyik melompat ke sana-ke mari bahkan seperti sengaja berguling-guling dekat kakiku. Kuangkat, kugendong, lalu kucium gemes. Tak lama keluarga kecil nenek gunung ini masuk ke dalam semak-semak. Aku hanya melihat beberapa pohon bergoyang-goyang kena senggol mereka. Aku menarik nafas lega.


“Kakek, untuk sementara pekerjaan kita selesai. Kita sudah pagari semua sisi perbatasan ini agar para nenek gunung tidak berkeliaran sampai ke pemukiman manusia. Selanjutnya apalagi yang kita kerjakan, kek?” Ujarku. Kakek Njajau tersenyum puas.


“Kalian hebat! Cucung dan kakek sama hebatnya! Para nenek gunung dengan sopan memenuhi kemauan Selasih dan kakek Njajau.” Ujar Macan Kumbang setelah melihat akhir pekerjaan kami berdua.


“Ini karena kakek Njajau,Macan Kumbang. Tanpa kakek Njajau tak mungkin pekerjaan berat ini bisa berjalan mulus ” Ujarku senang.


“Kamu juga sudah bekerja keras untuk menyelamatkan nenek gunung, Cung. Tapi ingat, kerja keras bukan pada apa yang sudah kau hasilkan, melainkan bagaimana kamu berproses dan berkembang karenanya. Maka jangan pernah merasa puas terhadap apa yang sudah kita kerjakan, tapi sikapi dengan syukur karena pada dasarnya kita sedang belajar” Kakek Njajau menepuk-nepuk bahuku. Aku mengangguk pelan, menelaah makna yang disampaikan Kakek Njajau.


“Hap….hap…hap!!” Tiba-tiba kakek menotok punggungku. Secepat kilat aku merunduk sehingga totokan ke dua dan ke tiganya hanya mendapatkan angin. Melihat beliau gagal aku tertawa. Rupanya kakek mengajakku bermain-main lagi. Entah pembelajaran apa yang akan beliau berikan. Atau sekadar menguji kepekaanku. Namun aku ikut serius melihat gerakkan beliau yang sungguh-sungguh.


“Iih…cucu sama kakek sama kayak anak kecil. Senangnya main-main melulu” Macan Kumbang melompat ke atas pohon dan duduk santai di ujung ranting.


“Lanjutkan! Aku jadi penonton sekaligus jadi juri pertarungan yang tak seimbang ini.” Lanjutnya. Padahal kulihat Macan Kumbang malah tidur telentang di atas ranting yang bercabang. Belum sempat aku berpikir akan melakukan sesuatu untuk melawan Kakek Njajau, tiba-tiba telingaku kena sentil. Siapa lagi kalau bukan pekerjaan kakek Njajau. Aku berpikir keras apa yang harus aku lakukan untuk melawan jurus yang tak terlihat ini meski kata kakek aku juga punya kemampuan seperti ini. Tapi aku sendiri tidak menyadari dan bagaimana memfungsikannya. Aku tidak tahu.


Aku pernah diajarkan membaca pikiran dan gerakan lawan, tapi mengapa tidak bisa kulakukan pada kakek Njajau. Aku tidak bisa membaca pikiran dan gerakan kakek Njajau. Kali ke dua telingaku kena sentil, lalu hidungku. Aku kaget. Ini bahaya jika lawan bisa memukul dari jauh sementara aku tidak menyadarinya. Aku menggerutu sendiri mengapa aku tidak mampu membacanya. Apakah aku sudah tidak punya kemampuan itu lagi? Ketika aku sedang berpikir. Plak!!! Plak!! Aku kaget. Kali ini pipi kiri dan kananku kena tempeleng. Rasanya perih sekali. Jangankan melihat gerakan tangan Kekek, kibasan anginnya saja tidak terasa.


“Kek, sakit!” Jeritku. Tapi kakek nampaknya tidak peduli. Meski sudah sepuh kakek tetap lincah seperti tupai. Melompat ke sana kemari. Kali ini beliau memegang ranting kering yang diambilnya di tanah. Hanya sekitar dua puluh centimeter tapi ranting itu diubahnya menjadi sejata yang hebat. Aku diserangnya dengan menggunakan ranting bertubi-tubi. Ketika beradu terasa tanganku bergetar. Kesemutan.


Hap…hap! Aku mengayunkan kedua tanganku ke depan dada. Aku mengubah jurus dengan segera. Kutingkatkan kewaspadaan ke segala penjuru. Termasuk juga mencermati jika ada gerakan atau serangan bayangan kakek Njajau. Langkah pertama kupagari diri secepatnya. Hasilnya ketika senjata kakek Njajau menyerang terjadi benturan yang meghasilkan bunyi berdebum-debum.


“Haaaiii…jangan serius amat! Nanti ada yang celaka. Kalian berdua kenapa si? Main-main tetapi terlalu. Ini pertarungan beneran. Kakek, hentikan, Kek. Aku tidak suka melihat permainan seperti ini” Macan Kumbang teriak-teriak cemas. Aku tidak peduli. Aku tetap fokus pada jurus-jurus Kakek Njajau. Bisa saja lengah sedikit pagarku dibuyarkannya, dan aku bisa jadi kena tempeleng lagi. Sebaliknya mendengar Macan Kumbang seperti khawatir, Kakek Njajau tertawa-tawa masih terus melompat-lompat lincah. Bahkan lompatannya terkesan mengejekku.


Cukup lama aku melayani permainan Kakek Njajau. Nampaknya belum akan berakhir hingga subuh. Ini terlihat ketika beliau mengubah jurusnya. Jika tadi beliau seperti bajing loncat, sekarang mirip siamang. Kakek berjalan persis seperti siamang ketika berada di daratan. Tangannya lebih panjang dari tubuh dan melangkah terbata-bata. Jurus yang baru kulihat seumur hidup. Sebenarnya aku hendak tertawa melihat kakek berjalan seperti itu. Kakek Njajau nampak lucu. Tapi sekali lagi aku tidak berani terlena, aku masih tetap waspada sambil mengamati gerak-geriknya.


Gila!! Dari jarak jauh, dua jarinya seperti memetik, namun ternyata itu adalah serangan. DASS!!! Aku terpental. Punggungku menabrak kayu besar. Terasa dorongannya sangat cepat dan kuat meski hanya gerakan memetik. Kurasakan tulang igaku nyeri. Aku segera bangkit dan menghindar sembari tetap menahan rasa nyeri ketika serangan ke dua bertubi-tubi tidak memberi kesempatan untukku me njejakan kaki di darat. Bahkan ketika aku hendak bertumpu pada ranting, tiba-tiba rantingnya dipatahkan kakek, terpaksa aku salto sambil membaca mantra angin. Kali ini akan kupanggil angin badai. Belum selesai aku membaca mantra tiba-tiba;


“Stop! Stop! Stop! Hentikan Cung. Kamu mau merusak hutan ini? Bisa tumbang semua pohon jika kamu pakai ilmu badaimu. Dasar anak nakal. Ngga mikir!” Ujar kakek Njajau. Aku segera menghentikan mantraku. Apa yang dikatakan kakek benar juga, meski semula aku hanya bermaksud hendak mempermainkan beliau dengan angin yang meggasing. Sedikit banyak pasti akan membuat hutan ini rusak.


“Tuuuuu apa kubilang. Makanya sudah, hentikan!” Macan Kumbang turun dari dahan. Aku masih menahan nyeri. Tenaga dalam kakek luar biasa. Apakah karena aku tidak maksimal ada rasa ragu-ragu, atau karena memang tenaga dalamku tidak seimbang dibandingkan tenaga dalam Kekek, entahlah. Aku tak bisa mengangkat tangan. Jika diangkat serasa ototku kejang dan sakit.


“Sini!” Ujar kakek meraih tanganku lalu kurasakan telunjuknya menotok bagian-bagian tertentu punggung, pinggang, bahu, dan tulang igaku. Tak berselang lama, rasa nyeri itu hilang sama sekali. Aku bisa bernafas lega.


“Kakek cuma ingin mempraktikan beberapa jurus kuno kakek apakah masih ampuh atau tidak. Ternyata masih. Suatu saat ini akan jadi milikmu setelah usiamu empat puluh tahun, Cung” Ujar kakek Njajau seperti tak bersalah. Dalam hati aku menggerutu karena tega menjadikan aku kelinci percobaan. Empat puluh tahun. Lama amat! Sekarang masih usia belasan tahun. Ah! kakek menghibur saja. Batinku. Aku yakin dua ilmu yang dimainkan kakek tadi belum maksimal. Tapi sudah terasa luar biasa. Apalagi jika dimainkan maksimal, tidak terbayang dasyatnya.


“Ya sudah, kalian berdua pulanglah. Nanti keburu subuh” Ujar kakek Njajau memandang Macan Kumbang.


“Belum mau ah, kan belum duel sama aku?” Kata Macan Kumbang sambil tertawa. Kakek Njajau tersenyum lebar. Dua manusia harimau ini perbedaannya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Satu muda dan ganteng, satu lagi sudah tua ganteng dan masih terlihat gagah. Aku dan Macan Kumbang pamit setelah mencium tangannya. Sekali lagi kakek mengelus bahu dan mencium keningku.


“Eii…Selasih, bagaimana kakimu yang patah? Sudah membaik kan?” Tanya Kakek sedikit berteriak. Aku hanya menjawab iya sambil naik ke punggung Kumbang. Diperjalanan aku berdialog batin dengan nek Kam. Rupanya beliau sedang berada di hutan utara bersama nenek gunung kawan-kawannya mencari buah tupak dan ghukam. Aku juga pamit izin pulang.


Angin terasa lebih dingin. Kemarau akan tiba. Aku dan Macan Kumbang melintasi kabut tebal. Kabut itu tak bergerak seperti tidak ada angin. Seperti biasa aku sudah menyatu dengan jasadku sebelum Macan Kumbang pulang.


Dokter memutuskan aku sudah diizinkan pulang besok. Siang ini aku selesai mengikuti rangkaian check up setelah bandul besi di lepas dan kakiku digips. Wajah ibu dan bapak nampak cerah. Demikian juga kakak sepupuku Samsudin beserta kawan-kawannya yang saban hari datang ke rumah sakit ikut menjaga aku ikut bahagia.


Dokter Bugman mengajari aku berjalan menggunakan tongkat penyanggah kruk, pelan-pelan. Mulai dari tempat tidur disuruhnya aku berjalan ke ruang perawat jaga. Rasanya ingin menangis ketika beliau, perawat, dan keluarga pasien berteriak sama-sama menyemangaiku. Sepanjang lorong rawat inap jadi gaduh. Semua mata tertuju padaku. Setelah empat bulan lebih aku hanya di tempat tidur baru kali ini belajar menurunkan kaki dan berdiri meski masih bertumpu dengan satu kaki.


Pelan-pelan aku mulai mengayunkan kaki kananku yang gemetar. Kak Fattah menjagaku dari belakang. Ada juga perawat yang siap-siap membawa kursi. Demi melihat mereka begitu semangat menyuruhku berjalan, aku bersiteguh untuk bisa sampai ke ruang perawat jaga. Akhirnya sampai juga. Lalu aku duduk sebentar, kemudian balik lagi menuju kamarku. Peluhku mengucur deras. Aku mendapat bisikan Puyang Pekik Nyaring dan Kakek Andun.


“Terus Cung, nikmati semuanya sebagai manusia ya. Bawalah hati penuh gembira dan rasa syukur. Lakoni skenario Allah dengan perasaan nikmat.” Bisik Puyang pelan. Kubalas bisikan itu dengan kata ‘iya’. Suara Puyang Pekik Nyaring terus terngiang. Nikmati semuanya sebagai manusia biasa. Iya, aku tengah menjadi manusia biasa. Menikmati ketidakmampuan dengan satu kaki patah, terkujur kaku karena di gips. Menahan nyeri, panas, gatal, dan berat ketika darah mengumpul di ujung jari. Terlihat kakiku yang tersembab bengkak seperti balon berisi air.


“Ayo Cung, iya terus. Isi dadamu dengan zikir. Jangan lepas. Iya..Huu Allah…” Kakek Andun ikut menyemangatiku. Beliau seakan-akan ada di sampingku. Suaranya sangat dekat. Aku tersenyum lebar. Ada energi yang tak kuduga sebelumnya. Orang-orang baik di sekitarku serupa malaikat yang menyebarkan aura positif semua.


Kecintaan banyak orang padaku ternyata membuat Mega si kuntilanak bergaun merah yang sering duduk di tangga ruang rawat menuju lantai dua cemburu. Dia mencoba menarik tongkat penyanggahku berkali-kali agar aku terjatuh. Entah siapa yang menjetik tangannya sehingga membuatnya menjerit kesakitan sambil menatapku dengan mata menyala.


Kak Fattah dan kawan-kawannya membantuku kembali naik ke tempat tidur. Tidak kusangka ternyata perawat kekar ini dengan mudah mengangkat tubuhku ke atas ranjang. Aku sedikit tersipu malu karena digendong kak Fattah di depan ibu dan kawan-kawannya. Selebihnya bersama ibu petugas cleaning service yang rajin sekali mengepel kamarku, ikut duduk dan ngobrol berlama-lama. Aktivitas seperti ini hampir setiap hari mereka lakukan. Sehingga sedikit banyak aku sungguh terhibur dengan mereka. Belum lagi dengan sesama pasien yang silih berganti. Tidak sedikit yang balik berkunjung melepas kangen padaku. Saking lamanya menjadi pasien, sampai-sampai para dokter dan perawat menyebut kamarku sebagai kantor lurah. Dan aku dipanggil Ibu lurah.


Malam ini kamarku tidak layak disebut ruang inap rumah sakit. Sebab puluhan orang berkumpul di karena mengetahui besok aku akan pulang. Mereka ada yang masih saudaraku, keluarga pasien, perawat, dokter jaga, bahkan sesama pasien dari ujung ruang ortopedi ikut datang ke kamarku. Kami sesama pasien memang sesekali berjumpa ketika sama-sama di ruang radiologi untuk rontgen, atau di ruang check up penyakit dalam. Sering kali ketika antri menunggu giliran kami isi dengan ngobrol tentang sakit masing-masing, berapa lama dirawat, bagaimana perkembangan pemulihan dan sebagainya. Sehingga meski baru sekali atau dua kali berjumpa terasa begitu dekat. Saling mendoakan dan saling menyemangati.


Kamarku memang kerap dikunjungi para pasien ketika mereka sudah mulai pulih untuk sekadar membuang penat, atau ketika mereka diizinkan dokter untuk belajar bangun dan belajar-jalan atau duduk di kursi roda sekadar menghirup udara di luar kamar.


Banyak sekali pengalaman yang kuperoleh selama menjadi pasien terlama di ruang ortopedi ini. Aku melihat sesama keluarga pasien sangat akrab, bahkan seperti saudara saling tolong-menolong dengan ibuku. Misalkan saja ketika mereka hendak membeli makanan maka akan saling ajak atau menitipkan keluarga mereka yang sedang dirawat. Nyaris seperti itu semua. Suasana persaudaraan terbangun dengan baik. Mungkin karena merasa senasib maka mudah sekali terjalin keakraban baik keluarga pasien maupun perawat dan dokter.


Wajah-wajah gembira namun dirudung nuansa sedih nampak jelas dari wajah-wajah mereka. Aku dikelilingi banyak orang. Berhadapan dengan kata berpisah selalu tidak mengenakkan. Ya demikianlah, perpisahan akan selalu meyisahkan rasa perih. Bahkan rasa rindu sudah muncul lebih dulu sebelum perpisahan itu terjadi.


Menjelang subuh, aku terjaga. Aku memandang langit-langit kamar yang berwarna putih. Dinding berwarna kelabu menjadi lebih buram. Sebentar lagi kamar rawat ini akan kutinggalkan. Ada rasa perih menggores di dinding-dinding yang bergorden abu-abu ini. Kamar ini telah banyak merangkai kisah perjalanan hidupku. Sedih gembira ada di sini. Tiba-tiba aku merasakan angin berhembus pelan. Siapakah yang akan datang? Aku mencoba memfokuskan diri untuk mengetahui dari mana datangnya angin. Oh! Angin dari Barat. Aku melihat sosok Gundak menunggang nenek gunung datang ke arahku. Gerakan dan lompatan nenek gunung yang gagah mengingatkan aku pada waktu kecil ketika pertama kali aku melihat nenek gunung yang paling besar melompat di hadapanku. Gagah! Dan aku kagum melihatnya. Dalam waktu sekejap, Gundak sudah sampai. Dia turun dari punggung nenek gunung dengan wajah ceria.


“Selasih!” Gundak sedikit berlari. Kami bersalaman erat sekali. Tak dapat dipungkiri, rasa rindu membuat beberapa kali aku menepuk lengannya. Gundak menggenggam tanganku erat sekali. Tangannya yang dingin berubah menjadi hangat. “Sudah lama sekali kita tidak jumpa, Gundak. Kau sekarang makin gagah.” Ujarku jujur. Ya, Gundak telah tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan. Rambutnya yang panjang dan tergerai justru membuatnya makin ganteng dan dewasa. Mendengar pujianku Gundak tersenyum lebar. Senyum yang paling manis kujumpai setelah puluhan purnama tidak bertemu. Kumis tipis sudah bertengger di atas bibirnya. Terakhir aku melihatnya ketika dia ada di medan pertempuran beberapa waktu lalu. Namun dia tidak melihat aku sebelum aku di sambar oleh Putri Bulan lalu membawaku ke dalam masjid di perut bukit itu.


“Kamu juga sudah menjadi gadis cantik, Selasih. Maafkan aku baru bisa menjumpaimu. Sejak kita berpisah dulu, terakhir kita pulang dari Ranau, lalu kuketahui rumah Bapakmu terbakar, dan kamu tidak mau ditemui siapapun, membuat aku serius mendalami ilmu kanuragan. Aku memaksa Puyang untuk mengajariku. Akhirnya beliau menyerah. Aku pun digembleng beliau. Pertempuran melawan pasukan Banyuwangi tempo hari aku sudah diizinkan Puyang ikut bertempur di medan laga.” Ujar Gundak bersemangat. Aku tersenyum simpul mendengar penuturannya. Ini menandakan jika Gundak tidak menyadari kehadiranku waktu itu.


“Mengapa kakimu dibalut dengan semen tembok ini Selasih?” Ujarnya sambil mengelus-ngelus gips. Aku tertawa lepas. “Ini bukan semen tembok Gundak. Tapi gips. Gunanya supaya tulang kakiku tidak bergeser, sehingga pertumbuhan tulang yang patah sempurna.” Ujarku menjelaskan. Mendengar aku terbahak, Bapak bangun dan bertanya, aku menertawakan apa? Aku segera menutup mulut pura-pura tidur kembali.


Akhirnya aku hanya cekikikan setengah kutahan. Gundak banyak bercerita tentang pengalamannya selama tidak berjumpa denganku. Termasuk tentang keinginannya mengajakku kembali menemui Gali, dan ingin menjajal kemampuan melawan ular naga dan ratu ular di danau Ranau. Aku mengingatkan agar jangan takabur. Makhluk asral itu pasti berusaha menyempurnakan kembali ilmunya.


“Aku hampir lupa, ini titipan Puyang untukmu. Puyang titip salam padamu.” Gundak mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Aku penasaran apa yang dibawanya. Rupanya sebuah bingkisan kecil yang dibalut dengan kain berwarna kuning. Aku menerimanya dan membukanya. Sebuah permata berwarna kuning memancarkan cahaya sehingga kamar ini pun berubah menjadi kuning juga. Aku terpukau menatapnya.


“Sampaikan terimakasih pada Puyang. Akan kusimpan permata ini” Ujarku gembira.


“Kata puyang, pakailah permata ini. Karena parmata ini adalah pertanda kamu putri Besemah. Jadi jika kamu merantau kelak, siapapun dapat mengenal asalmu. Dari tanah Besemah,” sambung Gundak lagi. Akhirnya aku tempelkan permata itu di leher dekat dadaku. Kubaca mantra, dan jadilah dia liontin kalung batinku. Hanya mata-mata tertentu saja yang dapat melihatnya.


Dari bubungan menara masjid, suara mengaji sudah berkumandang. Pertanda waktu subuh sudah dekat. Gundak mohon diri dan berjanji akan datang kembali. Palan-pelan aku menatap punggung Gundak yang menjauh. Nenek gunung tunggangannya menunggu di luar. Tak lama Gundak melambaikan tangan di atas punggung nenek Gunung yang meluncur makin jauh.


Belum sempat aku menarik nafas menikmati pertemuan singkat dengan Gundak kembali angin bertiup pelan. Siapa lagi yang akan datang? Tiba-tiba sosok kuntilanak bergaun merah yang biasa di tangga muncul persis di hadapanku.


“Mengapa kamu datang kemari, Mega? Mau apa lagi?” Sapaku. Aku tidak simpati dengan makhluk satu ini. Dia gampang sekali marah. Mendengar orang cekikikan saja dia marah. Katanya tidak boleh siapapun menyaingi suara tawanya yang merdu. Maka tidak sedikit orang yang dicelakakannya. Misalnya saja ada seorang perawat yang periang, perawat itu suka menghibur pasien. Mega tidak suka. Di jewernya pipi perawat tersebut hingga mulutnya menceng. Dan nyaris lehernya berputar ke belakang.


“Kalau kamu berani iseng padaku lagi, kutenggelamkan kamu di sungai Musi.” Ancamku.


“Tidak, aku hanya ingin nanya yang datang tadi siapa? Ganteng sekali. Tapi sombong. Kusapa diam saja” Ujarnya sambil memainkan bola matanya yang hitam.


“Apa urusanmu dengan nama dan sikapnya yang sombong. Itu tandanya dia tidak suka padamu. Jadi jangan merasa paling cakep. Wajahmu itu jelek tahu. Persis dengan karaktermu. Suka mencelakakan orang. Kamu kunti jahat.” Ujarku lagi. Mendengar perkataanku dia marah. Matanya kembali seperti menyala.


“Iiih dasar harimau kecil, cerewet. Kamu itu harimau jelek yang tidak percaya diri. Tahunya numpang di jasad manusia. Parasit!” Ujarnya sewot. Aku serasa ingin tertawa mendengarnya. Tahu juga kuntilanak dengan parasit? Sekolah di mana dia? Akhirnya aku melihat tubuhnya melayang, menjauh meninggalkan aku.


“Heii Kunti! Kamu turun saja terus ke depan rumah sakit. Di sana bayak pohon dihuni oleh bangsa gundorowo. Kamu kan bisa tinggal pilih. Ingat! Jangan coba-coba mendekati manusia harimau ya!” Teriakku. Kunti menoleh sejenak lalu membuang muka.


Usai sarapan, aku dijemput perawat dengan kursi roda. Sejak tadi malam Ibu sudah berkemas-kemas. Mobil jemputan sudah menunggu di parkiran. Seperti tadi malam, yang mengantarku banyak sekali. Dokter, perawat, yang biasa merawatku berlari-lari kecil menghampiri. Dokter Bugman spesialis ortopedi menghadiahi aku diary (buku jurnal intim) yang ada kuncinya. Ada juga yang memberi buku. Tak sedikit mereka menitikkan air mata. Demikian juga aku. Aku tak mampu menahan haru ketika satu persatu mereka menyalami, memeluk dan menciumiku.


Kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Aku seperti burung yang baru ke luar dari sangkar. Merasakan terik matahari langsung, menatap lalu lalang manusia di jalanan, kendaraan yang berjubel, suara klakson, tukang parkir, dan anak-anak pedangang asongan yang menjajakan makanan. Kak Fattah mengambil alih mendorong kursi roda. Beliau pula yang menggedongku masuk ke dalam mobil. Ada mutiara mengambang di kelopak matanya ketika pelan-pelan mobil merangkak meninggalkan halaman parkir Rumah Sakit Umum Palembang. Aku menikmati perjalanan hari ini serupa mimpi. Suara kendaraan yang menderu serupa jerit meniti jalan yang berlubang sepanjang Palembang dan Pagaralam. Tanah Besemah aku pulang.

***

Sukamakmur perbatasan Indragiri dan lintasan ke jalan gunung dekat rumah kontrakan kami ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mobil yang membawaku dari Palembang baru tiba di Pagaralam. Rupanya mengetahui aku akan pulang hari ini banyak tetangga dan sanak keluarga menunggu. Mungkin mereka penasaran ingin tahu bagaimana kondisiku setelah berbulan-bulan di rawat di Palembang pasca kecelakaan itu. Atau hanya sekadar penasaran bagaimana kaki yang gips itu.

Sekarang sudah masuk bulan Desember. Pagaralam sudah mulai diguyur hujan. Hal ini nampak terlihat parit limbah di seberang jalan meluap hingga ke jalan. Air tergenang di lubang-lubang. Tanah becek dan licin.

“Alhamdulilah…Allahu Akbar…cucungku dah sampai.” Suara yang sangat kukenal ketika mobil yang kami tumpangi berhenti persis di depan rumah. Suara kakek Haji Majani! Oh! Beliau sengaja datang dari dusun untuk bertemu denganku.

Gemuruh suara orang ramai seperti menyambut pesta petasan saja. Mereka berdesak-desakan hendak melihat aku turun. Banyak sekali yang hendak membantu. Sementara aku sulit bergerak saking padatnya. Masya allah, berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Satu sisi terharu karena banyak orang yang memberikan perhatian padaku, sisi lain lagi ada rasa malu karena aku harus bertumpu pada tongkat dengan kaki di gips seperti tontonan. Ketika aku sudah duduk di kursi baru yang hadir tua muda semua bergiliran menyalami. Nyaris semua mengucapkan selamat, cepat sehat, semangat, sabar, dan lain-lain. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih.

“Kapan kita bisa naik turun sekip lagi, Cung?” Ujar kakek Haji Majani menggodaku sembari mengelus-ngelus gips kakiku. Aku hanya tertawa mendengar candaannya. Kakekku satu ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Padahal hatinya sedih atau mungkin juga terharu melihat kakiku terbujur kaku dan dengan tongkat penopang yang tak lepas di tangan. Meski nadanya bercanda, tapi di matanya menggenang air hendak tumpah.

“Kalau sudah lepas gips, bisa berjalan lagi, kita kembali naik tebing sekip, ke Seberang Endikat, ya Cung.” Kali ini Kakek berusaha menghiburku. Aku mengangguk dan tersenyum. Kuraih tangannya. Kurasakan hangatnya. Ada getar haru berkecamuk di dadanya. Aku berusaha meredakannya. Diam-diam kusalurkan energi agar kakek tenang kembali.

Kadang aku merenung, pada orang lain aku bisa melakukan apa saja. Menolong orang lain diam-diam bisa. Seperti sekarang, aku redakan rasa haru yang mendalam di dada kakek Haji Majani. Aku tidak ingin melihat lelaki yang kusanyangi ini menangis. Akhirnya setelah agak normal, baru kuajak lagi berbicara. Sementara melihat kondisiku seperti sekarang, dengan kaki terpasung, semua harus dilayani, bahkan sekadar mengambil sisir yang jatuh di lantai saja harus ada yang membantuku. Sebagai manusia biasa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin mencoba mengobati diri sendiri, tapi takut ditegur kakek Pekik Nyaring, nanti aku dikatakan melawan takdir. Berulang kali beliau mengingatkan aku agar jalani hidup normal sebagai manusia, menikmati takdir sebagai manusia biasa. Oh! Tapi kini semua jadi serba terbalik. Ketika musibah datang menimpa ke dua orang tuaku, aku dilarang menggunakan kemampuankupun. Dikatakan biarlah Bapak dan Ibu menjalani takdirnya. Aku anaknya merasa berdosa karena tidak berbuat apa-apa. Bahkan bertahun aku tidak mau menggunakan kemampuanku karena kecewa. Kuabaikan semua hal yang berbau gaib, hingga terakhir baru kuketahui jika aku telah lama jadi incaran dua peri dari Banyuwangi, dan di alam sana leluhurku menghalangi, membelaku mati-matian hingga melibatkan nenek-nenek gunung sepanjang Bukit Barisan. Pada akhirnya sukmaku diculik dua peri dari Banyuwangi. Para nenek gunung dari Uluan merahasiakan peristiwa besar di dimensinya padaku. Lalu jasadku jatuh, kakiku patah tertimpa, ketika mereka mengambil sukmaku.

Aku menyusut air mata. Kakek Haji Majani menghapusnya dengan jarinya. Sekarang gantian aku yang mengharu biru. Dadaku terasa sangat perih. Tapi aku tak bisa menyalurkan energi ke jantung dan hatiku agar berdamai, agar tidak ada kesedihan dan lain-lain. Aku memang hanya bisa menerima.

“Hussssttt..cup..cup…jangan sentimentil. Apapun perasaanmu hatimu tetap harus berzikir.” Aku tersentak. Kakek Andun kembali mengingatkan aku. Aku benahi kembali batinku. Iya..toh semuanya sudah terjadi. Aku harus jalani semuanya. Secara fisik aku memang tidak bisa kemana-mana. Tapi secara batin, bukankah aku tidak dilarang untuk berinteraksi dengan leluluhurku di Uluan? Bahkan aku masih bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk kehidupan di dimensi itu? Akhirnya aku meluruskan zikirku kembali. Mungkin juga ini cara lain aku menghibur diri sendiri. Biarlah, hanya Allah yang tahu.

Rumahku sudah kembali sepi. Di atas meja masih bertumpuk makanan, kue, roti dan buah-buahan. Tetangga yang berkunjung, membawa segala macam. Kali ini aku tidak tidur di kamar. Padahal aku sangat rindu ingin berbaring di kamarku. Tapi ibu membentangkan kasur di lantai ruang tamu. Alasannya mempermudah orang-orang yang hendak berkunjung melihat kondisiku. Malam ini aku tidur ditemani kakek Haji Majani dan beberapa saudara Bapak sengaja bermalam di rumahku.

Benar saja, baru tadi malam aku pulang, siang ini silih berganti yang datang. Kawan sekolah, guru, kerabat, semuanya datang memberi semangat dan doa. Rumah menjadi ramai penuh canda dan tawa. Jika seperti ini, sejenak aku lupa dengan diriku sendiri kalau aku tak bisa apa-apa. Namun ketika mereka pulang satu-satu, aku mulai merasakan sepi yang paling sepi.

Dari guruku kuketahui jika sekolah memberhentikan aku sementara. Ketika mendapatkan informasi itu aku berusaha tegar. Aku tetap menerima dengan lapang dada. Alasannya tidak ada toleransi karena lebih tiga bulan aku tidak sekolah. Beliau membujukku dengan tetap memberi semangat. Tahun depan masih bisa kembali sekolah.

“Sekarang, fokus dengan kesembuhanmu ya, Dek.” Ujar Bapak Tarzan, yang ditemani Pak Sahidin dan Ibu Seni Ria. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Kucoba menunjukkan ketegaranku pada mereka. Ketika mereka pulang, aku tak mampu menahan diri. Aku menangis diam-diam. Artinya tahun ini aku gagal menamatkan sekolahku. Ini adalah frustasi keduaku. Aku merasa percuma memiliki sederet penghargaan dengan embel-embel berprestasi. Aku juga merasa percuma memiliki kemampuan ini itu. Semuanya terasa perih.

Petang ini aku duduk di kamarku. Aku menatap dinding kamar. Masih penuh dengan lukisan, mataku terbentur pada lukisan yang kuberi judul “Jalan Berliku”. Mengapa lukisan itu seakan bercerita tentang diriku? Jalan yang kulukis semakin jauh semakin mengerucut dan semakin terjal pula. Mengapa di dalam lukisan itu ada sosok perempuan berjalan sendiri lalu kiri kanan jalan diawasi oleh beberapa harimau seakan mengintainya di balik semak-semak. Meski lukisan itu kulukis dengan media dinding papan dan kapur tulis, namun tetap nampak jelas. Lama aku merenung menatapnya dalam-dalam. Lalu kulempar pandang ke kanan. Dua lukisan vignet. Tiap garis memiliki makna rasa, lalu di antara liak-liuk garis itu menyembul seraut wajah. Wajah Guntoro. Oh! Dadaku makin terkoyak . Apa kabar lelaki yang pertama kali mendebarkan jantungku itu? Benarkah cerita beberapa kawanku kalau Gungoro tidak naik kelas, dan sekarang sekolah atu tidak, tidak ada yang tahu. Kabarnya dia sering pergi dari rumahnya. “Yaa Rabb…bantu aku.” Aku menengadah ke langit sembari memegang dadaku yang bergetar. Aku tak mampu menahan ini semua. Banyak sekali rasanya yang membebani batinku.

Aku terperanjat ketika tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari samping. Ah, Macan Kumbang! Tanpa suara rupanya dia sudah berdiri di sampingku. Aku berusaha menyembunyikan rasa piluku.

“Tak baik sedih mendalam seperti itu, Dek,” ujarnya mengelus bahuku. Mendapat sentuhan itu malah membuat perihku makin kental.

“Macan Kumbang, apakah di alammu ada yang merasakan perih dan sakit seperti di dadaku? Apakah di alammu ada yang merasakan benturan hidup sepertiku? Jika aku menuruti kata hati, sebagai manusia biasa sungguh aku tidak sanggup menghadapi cobaan yang bertubi ini.” Ujarku menahan tangis. Macan Kumbang jongkok di hadapanku.

“Dedek, sebagai makhluk hidup, kita sama. Ada kalanya medapatkan rasa senang, namun ada kalanya merasakan kesedihan persis seperti yang kamu alami. Namun kembali pada pribadi kita masing-masing. Mampukah kita menghadapi segala sesuatu yang terasa pahit dengan tegar dan lapang dada. Lolos dan tidak bergantung kita.” Macan Kumbang mengusap air mataku. Akhirnya aku mencoba meredakan derai hujan itu. Aku jadi gampang menangis sekarang.

“Aku harus lolos!” Tekadku dalam hati. Macan kumbang memelukku.

“Nah begitu dong. Masak nenek gunung cantik sepertimu kalah dengan keadaan? Bangkit! Bangkit!” Macan Kumbang menyemangati. Aku tersenyum menatap adik gaib nek Kam satu ini. Selalu saja dia hadir menjadi penghiburku.

Selanjutnya aku bercerita dengan Macam Kumbang. Suatu hari ada kerabat Bapak singgah ke rumah. Tujuannya tidak lain untuk melihat kondisiku. Beliau bercerita ketika beberapa hari peristiwa kecelakaan yang mematahkan kakiku itu, warga Nendagung Ulu bercerita bahwa ketika beliau petang-petang mencari kambingnya yang belum pulang, beliau melihat sosok Dedek berdiri di bawah pohon kopi tak seberapa jauh dengan pemakaman. Persis tempatku terjatuh. Lama katanya orang tersebut mengamati. Mengapa Dedek yang kecelakaan ada di kebun dekat kuburan sore-sore begini masih menggunakan pakaian sekolah. Sebenarnya beliau ingin menegur, namun teringat kalau Dede dirawat di Palembang akhirnya batal. Keesokan harinya orang itu mencari info yang pasti tentang keberadaanku. Apakah aku masih hidup atau sudah mati. Lalu siapa yang berdiri memakai baju sekolah petang hari itu? Hantu? Dan ternyata tidak sekali dua kali orang lain pun pernah menceritakan hal yang sama. Melihat sosok Dede di Nendagung Ulu itu. Pun dekat kuburan.

Muncul rumor, “Dedek belum mati tapi hantunya sudah gentayangan.” Mendengar itu aku kaget. Muncul keinginanku untuk mengetahui siapa yang iseng mengubah diri menjadi sosokku itu? Akibatnya penduduk kampung takut tiap kali lewat sana. Apalagi petang hari.

“Ada hantu Dedek!”

Mendengar ceritaku Macan Kumbang tertawa.

“Iya juga ya..kamu masih hidup aja dah gentayangan.” Ujarnya. Aku ikut tertawa sambil menepuk tangannya. Lama kami tertawa berdua. Namun aku tidak sampaikan pada Macan Kumbang kalau aku akan mencari tahu siapa yang sudah berani menyerupai aku. Malam itu Macan Kumbang pamit hendak ke Seberang Endikat menemui nenek Kam.

Bapak sudah pulang ke Seberang Endikat. Besok Kakek Haji Yasir akan pulang ke Pagaralam. Di rumah ada Ibu yang rajin merawatku. Ketika semua sudah tidur, aku mulai ancang-ancang untuk berpetualang sendiri malam ini. Aku akan datangi makhluk yang mengubah diri menjadi sosokku itu. Aku duduk bersandar. Meluruskan kedua kaki. Tongkat penyanggahku kuletakkan di samping tempat tidur. Tak lama kemudian aku telah berjalan di Nendagung Ulu. Dari penciumanku kutelusuri dimana sosok iseng itu. Aku mundur waktu mencari sosok-sosok itu di sini. Aku sudah masuk area pemakaman hingga tembus ke kebun kopi penduduk. Berbagai macam bentuk makhluk asral berkeliaran dengan macam bentuk. Nyaris aku bentrok dengan siluman harimau gegara dia membentak dan melarangku masuk area pemakaman. Kulihatkan cakarku sambil menyeringai, rupanya dia mundur setengah takut. Aku kembali berjalan mencari sosok yang sudah tercium olehku.

Hmmm… dua makhluk asral, kuntilanak dan gondorowo. Rupanya keduanya ingin unjuk gigi, dan menakuti bangsa manusia. Aku singkirkan makhluk yang lainnya, kuseret genderowo dan kuntilanak berbarengan. Lalu kubanting persis di hadapanku. Melihat aku menyeret dua makhluk ini rupanya yang lain marah.

“Diam kalian! Jangan coba-coba ikut campur urusanku kalau tidak mau mati!” Ancamku. Wajah mereka kutunjuk satu-satu. Ternyata banyak juga yang bernyali. Mereka nekat menyerangku. Kuhantam mereka dengan satu pukulan. Semua terjerengkang menahan sakit. Aku menunggu serangan berikutnya. Ternyata tidak ada yang berani. Seringai mereka saja menampakkan kemarahan. Aku menoleh pada Kuntilanak dan Genderowo.

“Ayo berdiri!! Mengapa kalian mengubah diri menjadi aku? Kunti jawab!” Bentakku pada Kuntilanak terlebih dahulu.

“Lepaskan aku dulu baru kujawab” Katanya sambil menggerak-gerakkan tubuhnya. Kutatap wajahnya dengan geram. Makhluk laknat ini seringkali menyesatkan manusia yang kebetulan melintas di area sini. Isengnya terlalu. Bahkan kadang mencelakakan orang. Kusentil wajahnya. Kupaksa dia mengaku.

“Iya..ii…iyaa..aku. Aku hanya ingin menakuti warga saja. Biar mereka sangka kamu dah mati…” Jawabnya.

“Ooo…kumu mengharapkan aku mati rupanya!” Kutekankan telunjukku ke keningnya. Dia menjerit kesakitan sembari minta ampun. Kekuatannya kuambil. Setelah itu kulepaskan ikatan gaibku. Si kunti sujud-sujud minta ampun dan minta dikembalikan lagi kekuatannya. Kuhantamkan kakiku ke bumi lalu kudorong tubuh Kunti. Dalam sekejap Kunti terlempar jauh.

Sekarang aku berhadapan dengan genderowo. Taring dan tanduknya menyeramkan sekali. Matanya yang merah seperti bara. Dia makhluk ganas yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari kuntilanak tadi. Melihat aku mendekatinya, matanya tajam makin membara.

“Suka-suka saya. mau menjadi apa. Itu urusanku.” Katanya sebelum kutanya. Cerdas juga makhluk satu ini. Belum kutanya tapi dia sudah jawab. Kebetulan dibenakku memang ingin bertanya soal itu.

“Oh itu urusanku genderowo jelek! Apalagi kamu sudah berani meniru sosokku. Katakan mengapa kamu menyerupai aku?. Apa kamu malu karena wajahmu jelek?” Ujarku sambil menatap matanya yang berhawa panas itu.

“Itu memang pekerjaanku. Bangsamu yang bodoh, mengapa penakut.” Ujarnya membela diri.

“Hallah banyak bacot!” Aku mengarahkan jariku untuk mengambil energinya. Genderowo berusaha memberontak. Aku memang tak ingin lama-lama berada di sini. Sudah ketemu biang keroknya membuatku agak lega. Usai kuambil energinya, Genderowo kulepas. Dia menangis minta ampun sujud-sujud padaku. Sama dengan Kunti, kuhentak tanah lalu kutendang. Tubuh besarnya melesat jauh. Aku sengaja membuatnya begitu. Tidak membunuhnya. Ratusan mata nanar menatapku. Aku balik membalas menatapnya. Semuanya menatap penuh ancaman. Kali ini aku santai-santai saja. Aku berbalik pulang tanpa ada yang berani menentangku.

Seiring berjalannya waktu, semakin lama, rumahku semakin sepi. Kawan-kawan semakin jarang menjumpai aku. Untung aku punya adik yang gemar membaca. Andy adikku sering kali membawakan aku buku. Lalu Bapak memberikan aku Tape recording yang bisa kuputar dan kupeluk sambil tidur setiap waktu. Rasa bosan membuatku berpikir mencari solusi. Aku tidak mungkin makan, bangun, dan tidur setiap hari. Aku harus mengisi hari-hariku yang membosankan ini dengan sesuatu yang lebih manfaatkan. Kulanjutkan kegemaranku mengoleksi prangko, mendengarkan radio baik radio amatir maupun RRI, memutar lagu-lagu pilihan, terutama lagu-lagu balada dengan arasemen yang berbeda. Ebiet G Ade, Frenky dan Jane, Titik Puspa, Muchsin dan Titik Sandora dan lain-lain menjadi pilihan. Selanjutnya aku mulai menulis-nulis puisi.

Malam ini aku berjaga di depan radio. Kebetulan RRI Tanjungkarang ada siaran sastra bertajuk ‘Bianglala Sastra’. Aku kerap mendengarkan penyiarnya membaca puisi kiriman pemirsa, lalu mengkritis tiap puisi yang beliau baca. Lama-lama muncul keberanianku untuk mengirimkan puisi-puisiku. Betapa bahagianya ketika puisiku dibaca dan diulas penyiarnya. Selebihnya acara itu menjadi acara favoritku. Aku semakin rajin menulis dan mengirimkannya. Karena seringnya namaku muncul di radio ini banyak yang minta alamatku pada penyiar. Mereka berkirim surat untuk berkenalan. Tak sedikit para penggemar acara itu menjadi sahabat-sahabat penaku. Bahkan aku pernah iseng menulis surat pada Ebiet G Ade, karena kagum dengan puisi-puisinya yang dirilis menjadi lagu. Beliau membalas suratku berulang kali sembari mengirimkan photo-photonya dan album barunya. Betapa bangganya aku ketika itu. Begitulah salah satu cara aku mengusir rasa sepiku.

“Ha!!” Pundakku di tepuk dari belakang. Aku tersentak. Hari-hari ini Macan Kumbang seringkali datang tiba-tiba tanpa tanda.

“Ih! Kebiasaan banget sih datang tiba-tiba. Buat aku kaget saja. Bagaimana kalau sekiranya aku sedang mandi atau sedang pipis, atau sedang buang air besar. Tiba-tiba ada Kumbang?” Ujarku agak kesel. Macan Kumbang cuek saja, malah menjatuhkan diri di sampingku menelentang sembari berbantal tangan. Dalam hati aku bertanya-tanya. Tumben mulutnya tidak nyerocos seperti biasanya. “Ada apa tiba-tiba datang terus baring? Kok diam saja? Sedang galau ya?” Tanyaku sambil mencolek bahunya. Macam Kumbang tetap diam. Matanya lurus ke langit-langit kamar. Aku merapatkan selimutku. Sebab meski belum tengah malam, tapi udara sudah sangat dingin.

Di luar terdengar suara air menetes jatuh dari atap seng. Nampaknya gerimis. Tapi Macan Kumbang yang baru saja datang nampak kering. Kupegang rambutnya. Iya, tidak basah. Melihat Macan Kumbang diam saja, volume radio kukecilkan. Kupandangi makhluk satu ini. Dalam hati aku masih bertanya-tanya, mengapa Macan Kumbang jadi pendiam? Terus pertanyaanku tidak dijawabnya. Akhirnya aku juga memilih diam menunggu dia berbicara sambil menyimak radio pelan-pelan.

Siaran Bianglala Sastra sudah dimulai. Volume radio kembali kukencangkan. Macan Kumbang masih memandang ke langit-langit kamar. Akhirnya kubiarkan. Biarlah dia asyik dengan pikirannya, aku juga asyik dengan pikiranku. Terkadang memang harus belajar menyikapi situasi. Meski sedang berdua, tapi apa bedanya dengan sendiri?

Aku bergetar ketika mendengar penyiar RRI Tanjungkarang di acara Bianglala Sastra itu memilih puisiku menjadi pilihan utama dibaca lebih awal. Kuhayati penuh perasaan ketika satu-satu diksi puisi beliau baca. Kadang pelan, kadang menghentak, kadang datar, persis irama lagu dengan tempo mengasyikan. Selanjutnya beliau ulas, tanpa ada kritikan. Aku menarik nafas lega. Ini suksesku yang pertama selama sering mengirimkan puisi ke radio itu. Tanpa kritikan. Terakhir pangasuh acara Bianglala Sastra itu minta biodataku lengkap. Mulai dari nama asli atau nama pena, tempat tanggal lahir, pendidikan dan lain-lain. Aku sedikit panik, apa yang harus kutulis pada bagian pendidikan? Aku tidak sekolah, SMP juga belum tamat? Sementara penyiarnya mengatakan jika melihat diksi-diksi R.Mana Pasma Dewi (nama samaranku), kemungkinan besar beliau ini kalau bukan guru, dia mahasiswa. Bueeah! Guru atau mahasiswa? Jauh sekali. Ingin aku tertawa saat itu. Bagaimana jika penyiar itu tahu ternyata yang rajin mengirim puisi di acara itu anak SMP yang gagal?

“Kamu tidak gagal, hanya ditunda saja tunggu sampai sembuh.” Mulut Macan Kumbang bergerak tapi matanya terpejam dengan lengan menutup jidatnya. Aku menoleh. Rupanya Macan Kumbang ikut menyimak?

“Andai aku bisa menulis puisi, akan kutulis langit, awan, angin, dan hujan. Akan kucurahkan segala badai, yang bergemuruh dalam dada. Agar ia menjadi ombak, terus bergejolak, atau pelan mendesir, seperti ketika air menjilat pasir.” Macan Kumbang berbicara seperti membaca puisi. Tapi masih dalam posisi telentang di sampingku. Kuraih lengannya. Apa benar Macan Kumbang yang berpuisi barusan. Aku tertawa sambil menarik brewoknya yang mulai panjang.

“Hei! Belajar dimana bisa baca puisi bagus kayak tadi?” Ujarku.

Sekilas Macan kumbang tersenyum. Aku baru ingat, dulu pernah juga Macan Kumbang berpantun. Artinya Macan Kumbang ini punya bakat penyair juga.

“Ajari aku ya buat puisi yang bagus.” Ujarku. Sebab diksi yang baru diucapkannya tadi menurutku sangat indah. Meski maknanya belum bisa kutafsirkan sepenuhnya namun aku merasakan gejolaknya.

“Hala…cuma kayak gitu aja dibilang bagus. Buat puisi itu perlu keseriusan, dan jujur. Maksudnya jujur dengan menuliskannya apa adanya. Jangan mencari-cari seperti mencari kutu. Akibatnya tidak jelas tujuan mengapa dan apa yang kita tulis,” kata Macan Kumbang lagi. Aku terperanga dibuatnya. Mulut Macam Kumbang kembali nyerocos dan yang membuatku kagum pandangannya tentang menulis puisi. “Wah! Ini dia sang penyair manusia harimau. Keren!” Ujarku menimpali. Macan Kumbang langsung duduk lalu menghadap padaku.

“Jangan pernah memaksakan diri tulisan kita harus indah berumbai-rumbai kayak ordeng. Tapi tulislah apa yang hendak ditulis. Biarkan dia mengalir. Lama-lama kamu menemukan jalannya sendiri” kata Macan Kumbang lagi. Aku mengangguk setuju. Malam ini aku seperti mendapatkan palajaran dari guru sastraku. Tidak kusangka Macan Kumbang cerdas dan paham dengan masalah menulis. Motivasi tuturnya bagus.

“Sudah ah! Jalan yok..” Macan Kumbang turun dari tempat tidur lalu menggamitku.

“Kemana?” Jawabku.

“Tidak usah tanya, kalau mau ikut ayo. Kalau tidak biar aku sendiri.” Ujarnya memperbaiki posisi rambutnya. Sejenak aku berpikir antara ikut atau tidak. Di luar hujan makin lebat. Akhirnya aku diam sejenak. Jasadku dalam posisi tidur. Aku ke luar rumah bersama Macan Kumbang.

Kami berdua memasuki area persawahan Ayek Samek. Aku tersenyum sendiri kala teringat di sawah ini aku pernah menghajar kawanan copet dari Tebat Baru yang kupatahkan tangannya. Waktu itu rupanyan Macan Kumbang menonton ketika aku menghajar kawan copet itu dengan sabuk pemberian ular Air Laga. Sampai sekarang sabuk ini tetap kupakai dan kupelihara.

Aku masih diam berjalan di sisi Macan Kumbang. Aku tidak tahu akan diajak ke mana. Di hulu Gunung Dempu nampak suram di balut awan. Di alam manusia, hujan turun, tapi di dimensi ini tidak. Kami tidak merasakan hujan atau pun terik matahari. Langit selalu terlihat temaram, meski di bawah sini terang benderang.

Beberapa kali aku berdehem-dehem memancing agar Macan Kumbang berbicara. Tapi tak terpancing juga. Dia tetap diam. Sekarang di hadapan kami ada hutan dan bukit kecil. Macan Kumbang meraih tanganku, lalu sedikit melayang kami berjalan di atas bukit terus menuju selatan. Aku tidak bisa perkiraan ini daerah mana. Ingin bertanya, melihat wajah Macan Kumbang sedikit masam, akhirnya kubatalkan. Sebenarnya sudah tidak betah berjalan tidak jelas tujuan, lalu sama-sama diam. Seperti orang sedang bermusuhan saja. Bedanya aku digandeng, kami berpegangan tangan meski saling diam. Tidak biasanya Macan Kumbang bersikap seperti ini. Motivator sedang berduka!

Tak lama kami sampai di sebuah perkampungan. Sepi. Aku baru ingat, wajar saja kampung ini sepi, lah ini memang malam hari. Bagaimana mau ramai perkampungan manusia. Bukan perkampungan bangsa gaib. Bangsa manusianya masih lelap.

“Selasih, kau lihat rumah bercat kuning itu?” Kumbang menunjuk sebuah rumah yang agak temaram. Kami beridiri atas bubungan rumah orang. Aku mengangguk pertanda aku melihat rumahnya.

“Kau lihatlah di dalamnya?” Ujar Macan Kumbang lagi. Lalu aku mengikuti apa yang Macan Kumbang katakan. Ternyata di dalam rumah itu ada seorang nenek sedang tidur lelap di sebelah cucu, seorang gadis belia yang cantik. Jika ditaksir usianya, mungkin di atas dua tahun dariku. Kulitnya putih langsat, beralis tebal, bulu matanya tebal dan hitam. Bibirnya bentuknya melengkung indah. Dia gadis sempurna.

“Seorang gadis cantik dan nenek-nenek.” Ujarku cepat.

“Iya seorang gadis dan neneknya. Mereka hanya berdua. Gadis itu anak yatim piatu. Aku disuruh meminangnya. Tapi aku berat sekali untuk meminangnya, Selasih. Aku kasihan dengan nenek yang sudah tua itu. Jika dia kupinang dengan siapa nenek itu, siapa yang akan merawatnya?” Ujar Macan Kumbang. Makanya sampai sekarang aku belum memutuskan permintaan keluarga dan kerabat di Uluan. Aku ingin bertanya padamu. Pantas tidak?” Lanjut Macan Kumbang.

“Bukan soal pantas atau tidak, tapi aku sepakat denganmu, kasihan nenek tua itu jika cucunya kita ambil menjadi istrimu. Kasihan, meski keduanya soleha. Tapi bagaimana nasib nenek itu jika dia kehilangan cucunya. Tidak terbayang olehku Macam Kumbang. Alangkah berdukanya si nenek.” Ujarku. Jadi ini yang membuat Macan Kumbang diam sepanjang jalan.

Kutatap Macam Kumbang. Belum terjadi peristiwa pahit ini namun hatiku sudah terasa sangat pedih. Aku menggeleng-nggeleng tak mampu berkata-kata. Macan Kumbang meraih kepalaku. Didekapnya ke dadanya sembari dielus-elusnya.

“Baiklah, kita sepakat. Aku akan tolak untuk memyunting gadis itu. Hati kita sama. Sungguh tidak tega merampas kebahagian nenek tua itu. Biarlah aku akan hadapi kemarahan sanak keluarga karena jelas aku akan dianggap tidak patuh. Aku tidak akan pulang beberapa waktu ke Uluan. Aku akan pulang ke tempat nenek Kam.” Ujar Macam Kumbang kembali sembari menggandengku pulang.

Di luar masih hujan. Bahkan semakin deras. Aku dan Macan Kumbang sudah berada di rumahku. Aku kembali menyatu dengan jasadku. Baru saja sampai, Macan Kumbang langsung wudu, salat, kemudian baring di atas sajadah. Matanya jauh menatap langit-langit. Aku tahu, pikirannya berat menghadapi keluarga besar di Uluan. Mereka pasti sudah siap- siap untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk “Depatkah Bunting”, lalu menikahkan dan hajatan. Konon sepuluh kerbau sudah disiapkan. Wow! Pesta besar!

Tak lama terdengar dekurnya. Macan Kumbang terlelap di sisa lelah batinnya. Aku jadi berpikir, mana yang lebih berat masalah Kumbang dan beban yang pernah aku rasakan ya? Aku menarik selimut, membalut tubuhku hingga batas leher. Lama belum bisa terlelap. Pikiranku pergi kemana-mana. Di luar hujan semakin lebat. Suara gemuruhnya seakan melubangi seng, atap rumah yang sudah berkarat. Aku mengatur nafas, menyenergikan zikir yang terus melafas sendiri di rongga dada. Aku juga lelah. Ingin tidur sejenak sebelum bermimpi bersama diksi yang akan kuraut jadi puisi. Esok.

Bersambung…
close