Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 8)


JEJAKMISTERI - Perlahan Mbah Han tersimpuh dengan kepala menunduk di depan makam Mbah Darmono.
Entah apa yang dirinya lakukan, hingga begitu lama ia terduduk, diam, tanpa melakukan apapun.

Mbah Han baru tersadar ketika sebuah tepukan pelan di bahunya, dari seorang lelaki setengah baya, berpakaian ciri khas seorang petani.
Wajah Mbah Han menengadah, memandang sendu, sosok yang baru saja  mengagetkannya.

Sebentar kemudian, Mbah Han bangkit. Menatap lekat pada lelaki yang juga sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Njenengan sinten?" (Anda siapa)
Sang lelaki yang lebih muda dari Mbah Han, mendahului bertanya, melihat wajah Mbah Han, asing baginya.

"Saya Solehan. Dulu saya sahabat Almarhum, sewaktu masih hidup dan sama-sama bekerja di bendungan," jawab Mbah Han, menjelaskan.

Sedikit berubah raut sosok lelaki berkulit hitam, mendengar penuturan Mbah Han menyangkut tentang bendungan. Ia termangu, semakin lekat tatapannya, seolah ada yang aneh.

"Kalau gak salah, Sampean ini anak Mbah Dar yang....?"

"Iya, Mbah. Saya Hadi, anak pertamanya," sahut lelaki bernama Hadi, memotong ucapan Mbah Han.

"Kebetulan sekali. Boleh saya bicara dengan Sampeyan?" tanya Mbah Han, sedikit semringah.

Sejenak Hadi terdiam, seolah tengah menimbang. Sebelum akhirnya ia menganggukan kepalanya.

"Boleh, Mbah. Tapi kita bicaranya di rumah saja. Monggo," jawab Hadi sembari mempersilahkan Mbah Han, untuk mengikutinya.

Tak butuh waktu lama, jarak yang di tempuh dari tanah makam, ke rumah peninggalan Mbah Dar. Meski terlihat dari luar kediaman berdinding tembok berukuran 9x12 sudah bergaya modern, tapi ketika masuk ke dalamnya, tampak beberapa ornamen dan pusaka-pusaka khas Jawa terpajang. Membuat mata Mbah Han takjub, pada isi rumah Mbah Dar, lain dari yang pernah ia lihat beberapa bulan lalu saat melayat.

"Monggo, Mbah, di minum," ucap Hadi menawarkan segelas kopi hitam, yang baru saja ia bawa dari belakang. 

Mbah Han mengangguk, dengan mata masih menatapi beberapa pusaka yang tertempel di dinding dan lemari kaca.

"Ini semua barang-barang peninggalan Bapak. Entah masih bertuah atau tidak, yang penting saya pajang, sesuai amanah beliau." Jelas Hadi, melihat Mbah Han masih terfokus pada tiga buah pusaka di dalam lemari kaca.

"Oh, ya. Kalau boleh tau, apa yang ingin Mbah Han, bicarakan?" sambung Hadi, menyadarkan Mbah Han untuk kembali pada tujuannya.

Satu dua kali Mbah Han menyusrup kopi di depannya. Setelahnya, satu tarikan nafas panjang, mengawali Mbah Han bercerita panjang lebar tentang malapetaka yang di alami keluarganya.

Hadi termangu, iba, mendengar musibah yang tengah di ceritakan Mbah Han. Tapi kemudian, wajah Hadi menegang ngeri, dengan penutupan cerita Mbah Han, tentang sosok yang di puja bermuasal dari bendungan raksasa. Di mana, sedikit banyak ia tau tentang keangkeran di balik keindahannya. Apalagi, cerita yang ia dapat bukan dari siapa-siapa, melainkan dari Mbah Dar sendiri, yang sempat mengalami trauma puluhan tahun.

Hadi tau dan mengerti, apa yang sedang di khawatirkan Mbah Han. Ia paham betul tentang semua awalan dari malapetaka yang pasti berujung maut, bila bersinggungan dengan Mahluk yang bersemayam di bendungan.

Hadi menarik nafas berat, akhir dari telinganya mendengar semua cerita dan maksud tujuan Mbah Han datang ke makam Bapaknya. Matanya menatap ke luar jauh tanpa ujung. Seperti tengah membayangkan atau mengingat sesuatu yang tak berapa lama ia ungkapkan.

"Maaf, Mbah. Dulu memang Bapak punya pusaka itu. Tapi, setelah beliau meninggal, pusaka itu di bawa ke Jawa oleh Paklek Sarno," ucap Hadi selepas mengerti akan ke inginkan yang sudah di sampaikan Mbah Han.

"Apa tak bisa di hubungi? Saya benar-benar minta tolong, demi keselamatan anak dan menantu saya." sahut Mbah Han memohon dengan wajah memelas.

"Dulu, Mbah Dar yang menolong saya dari penumbalan Pak Sanusi. Setelah istri saya lebih dulu. Dan Mbah Dar juga yang sudah menyadarkan saya dari lingkaran Iblis itu. Jadi sekarang saya mohon dan minta tolong pada Sampeyan. Saya yakin, Sampeyanlah penerus semua kebatinan Mbah Dar." Sambung Mbah Han.

"Insya Allah bisa saya hubungi, Mbah. Tapi mungkin butuh waktu beberapa hari, buat Paklek bisa sampai di sini. Dan untuk kebatinan, saya belum apa-apa di banding Bapak dulu," sahut Hadi, membuat wajah Mbah Han menyiratkan secercah harapan.

"Tak apa, Kang Hadi. Mudah-mudahan anak dan menantu saya bisa tertolong," ucap Mbah Han antusias, berkalimat pengharapan, yang di Amini Hadi.

Hari itu, setitik cahaya terpancar dari bola mata tua Mbah Han. Setelah pertemuannya dengan Hadi, menumbuhkan satu keberanian dan semangat baru dalam menyelamatkan Zul, dan Wiwik. Walaupun ia tau, tak mudah untuk bisa melepaskan keduanya dari lingkar persekutuan, sama dengan yang pernah di lakukan dirinya dulu. Tapi, tekadnya sudah membulat, meski nyawanya sendiri di pertaruhkan.

***

Sunyi, sepi, di dapati Mbah Han. Ketika baru saja tiba dan masuk ke dalam rumahnya. 
Tak terlihat Wiwik maupun Zul, meski seluruh sudut rumah sudah di carinya. Sempat terbersit dalam benak Mbah Han, jika mereka tengah melayat Diyah, yang di perkirakannya sudah meninggal. Namun, saat Mbah Han memutuskan masuk ke dalam kamar berniat mengistirahatkan tubuh dan matanya, pemikirannya seketika berubah, mendapati satu hawa aneh. Hawa yang ia tau dan sebagian golongan masyarakat yakini, jika hawa anyep adalah satu pertanda atau firasat akan datangnya sebuah kematian.

Hanya iringan doa-doa dalam hati, yang bisa Mbah Han lakukan saat itu, berharap akan segera datangnya pertolongan, seperti saat dirinya terbebas dan selamat dulu, atas bantuan dari Mbah Dar.

Namun, sepertinya itu tak cukup menenangkan jiwa Mbah Han. 

Setelah beberapa lama ia mampu memaksa matanya terlelap. Lagi-lagi Mbah Han harus terjaga. Merasakan tubuhnya dingin serta lingkup kamar berubah lembab.

Terlebih saat Mbah Han memandang sekelliling, mendadak ia tergugup, jantungnya spontan berdegup kencang, merasa jika tatapannya berbenturan dengan sepasang mata di sudut kamar, yang menyorot tajam. Tapi tak lama, sepasang mata itu menghilang.

Mbah Han juga baru menyadari bila tidurnya lumayan lama dan waktu telah beranjak petang, mendengar suara Tarhim di susul Adzan dari Masjid, menandakan tiga reka'at Maghrib akan segera di laksanakan.

Tergopoh Mbah Han bangkit dari ranjang berkasur kapuk dan segera keluar dari kamar. 

Masih terlihat sunyi rumahnya, membuatnya semakin tersusupi rasa khawatir dengan kepergian Wiwik dan Zul yang belum kembali. Apalagi, hawa anyep semakin ia rasakan terlepas dari hawa lembab kamarnya.

Setelah membersihkan tubuhnya, Mbah Han sedikit ragu untuk masuk ke dalam kamar. Membayangkan sepasang mata tajam dan hawa lembab sudah membuatnya merinding. Tapi, demi tiga reka'at kewajibannya, ia tepis rasa takut kuat-kuat dalam benaknya.

Satu, dua, tiga reka'at telah selesai Mbah Han kerjakan. Tak ada hal aneh, tak ada yang ganjil. Namun, setelah sebaris panjang Do'a ia panjatkan. Tubuhnya mendadak terasa panas. 

Mbah Han masih bertahan dalam duduk bersilanya di atas selembar sejadah bergambar Ka'bah. Menyeka keringat di wajah, sembari melirik ke sudut kamar sisi kanan jendela.

Kosong, matanya menangkap sudut itu, namun dalam batin ia merasakan sepasang mata itu kembali tengah menatapnya. 

"Mbah Han... Tolong saya, tolong...."

Terkejut Mbah Han, mendengar suara rintihan lirih di belakangnya. 
Merinding, menebal, seluruh kulit tubuhnya seketika. Ia tak berani menoleh. Wajahnya pucat penuh keringat. Apalagi, saat suara itu kembali terdengar, tubuh Mbah Han bertambah mengejang kuat, bukan hanya karena suara itu saja yang ia kenal, tapi kini hidungnya ikut tersapu bau amis anyir menyengat layaknya darah bercampur nanah...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close