Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TANAH WINGIT 1994 (Part 1)

Keadaan memaksa kami untuk tinggal di rumah ini. Rumah yang berdiri di tanah terkutuk yang menyimpan misteri mengerikan di bawahnya..

Kain kafan kami, sudah disiapkan..


“Ada misteri mengerikan yang tersembunyi dibalik tanah yang terkutuk ini. Sebuah misteri yang membuat mereka yang tak kasat mata menetap dan tinggal di tanah yang sama dengan kami.”

Tanah Wingit 1994

“Gooll!! Melalui adu pinalti Brazil berhasil memboyong gelar juara dalam turnamen paling bergengsi, Piala Dunia Amerika Serikat 1994! Sebuah pertandingan sengit menghadapi Italia yang juga memiliki sejarah juara..”

Saat itu seluruh warga kampung yang menonton di pos ronda riuh merayakan kemenangan Brazil di Piala Dunia tersebut.
“Mukti, pulang sekarang ya!”
Ibu menghampiriku dari rumah dan berteriak memintaku untuk pulang.

“Iya Bu!” aku balas menjawabnya.
“Biarin aja dulu Lastri, seneng-seneng sebentar kan nggak ada salahnya. Paling Mukti jadi bisa ngelupain kejadian minggu lalu,” Ucap Pak Rohmat salah satu warga di kampung ini.

“Kalau waktunya banyak nggak papa Pak Rohmat, besok kami udah harus berangkat,” Balas Ibu.
“Wah cepet juga ya, ya sudah hati-hati.. Kalau sempat main-main ke kampung sini lagi ya,” Ujar pak Rohmat sambil mengacak-acak rambutku.

“Iya pak.. temen-temen! Pamit dulu ya!” Teriakku.
“Ya, kalo sempet mampir!” Balas mereka singkat.
Akupun meninggalkan pos ronda dan pulang ke rumah kami yang terletak di pinggir kali Cibubur.

Rumah ini sudah kami tempati semenjak aku belum lahir hingga akhirnya aku lulus SMP. Sebuah rumah ala kadarnya yang Bapak bangun di bantaran kali yang sangat besar ini.
“Kita bener harus pindah Bu?” Tanyaku.

“Ia nak, ibu kan udah cerita. Setelah Bapak meninggal kemarin, banyak penagih hutang yang terus datang ke rumah. Bahkan sampai ngancam mau nyelakain kamu dan Gendis adikmu..” Jawab ibu.

Bapak meninggal dua minggu yang lalu. Setelahnya, kami kaget ada banyak penagih utang yang menagih ke rumah. Mereka bilang bapak berhutang pada mereka. Tak hanya satu, tapi banyak.

Jujur kami tidak pernah tahu kalau bapak berhutang. Tapi Ibu sempat curiga setelah seorang temanya mengatakan sedang marak modus preman menagih utang pada anggota keluarga yang telah meninggal. Padahal belum tentu mereka berhutang.

Tapi satu orang perempuan dan dua anak kecil yang miskin bisa berbuat apa melawan mereka.
“Terus kita kemana Bu?”
“Kita tingal di Jawa.. ada rumah peninggalan eyangmu di sana. Tidak ada yang akan mengusik kita selama kita di sana,” ucap Ibu.

Ibu menceritakan tentang sebuah rumah di desa tempat kelahiranya. Dulu eyang memiliki banyak tanah dan kebun, namun semua sudah dijual dan diwariskan ke anak-anaknya termasuk ibu.

Tapi ada satu rumah yang tidak pernah laku dijual. Saudara-saudara ibu pun tidak ada yang mau menempati karena rumah itu cukup berjarak dari desa, dan tidak jauh berbatasan dengan hutan.

“Beruntung ada yang mau mebeli rumah ini, uangnya bisa kita pakai untuk renovasi dan modal hidup disana,” tambah ibu.
“Iya bu, padahal cuma rumah begini saja ya?” Balasku.

Rumah kami memang bangunan liar di bantaran kali. Tapi bapak dan ibu sudah membangunya setengah tembok hingga cukup kokoh.

Hampir semua rumah di kampung ini tidak berijin, namun kami semua merasa aman karena ada yang sudah tinggal di tempat ini lebih dari dua puluh tahun dengan tenang.

Sebuah angkutan umum sudah datang sejak tadi pagi. Ini adalah angkutan yang akan kami gunakan untuk pindah ke Jawa. Kami tidak membawa banyak barang. Sebagian perabotan sudah dijual dan sisanya diberikan ke pemilik rumah yang baru.

Hanya sedikit yang kami bawa menggunakan angkutan umum bercat biru itu yang akan mengantar kami ke rumah baru kami.
“Sudah masuk semua?” Tanya Bang Jaki, supir yang akan mengantar kami.
“Sudah Bang Jaki, tinggal orangnya. Kata ibu ngopi dulu aja, ada gorengan juga,” Balasku.

Bang Jakipun masuk ke rumah sembari menikmati kopi dan gorengan yang dibuatkan oleh ibu. Sementara itu ibu memeriksa kembali barang-barang yang sudah masuk ke mobil.
“Mukti!” sebelum menyusul ke rumah tiba-tiba seorang temanku memanggil dari jauh.

“Andri?” Tanyaku sembari menghampirinya.
“Ini, kamu bawa ya,” ucap Andri.
Ada sebuah ukiran kayu berbentuk ular yang ia berikan padaku.
“Apaan nih?”
“Bawa aja, aku dapet mimpi nggak enak semalem,” ucapnya.

Andri menceritakan bahwa ia melihat aku dan keluargaku diincar sesuatu yang jahat. Ia memang dianggap anak yang cukup aneh di kampung, warga sudah menganggap ocehanya sebagai bualan belaka. Tapi sepertinya ia beniat baik, jadi tidak mungkin aku meledeknya.

“Oke, makasi Ndri,” balasku.
“Hati-hati ya, sama jagain adikmu Gendis,” ucapnya sembari berlari meninggalkanku.
Aku menerima benda itu dan menyimpanya di dalam tas pakaianku.

***

“Bu, masih jauh?” Tanya Gendis yang sudah merasa tidak nyaman di perjalanan.
“Masih setengah perjalanan lagi nak, tidur lagi aja,” jawab ibu.

Ini memang pertama kalinya Gendis melalui perjalanan sejauh ini. sebenarnya aku khawatir akan sekolahnya di desa, seharusnya sebentar lagi ia sudah masuk SD. Tapi aku hanya bisa percaya pada pertimbangan ibu.

Menjelang maghrib, kamipun sampai di rumah yang akan kami tinggali. Sebuah rumah yang cukup berjarak dari rumah lain di desa.
Ini rumah yang cukup besar. Semua dindingnya terbuat dari kayu yang sepertinya sudah sangat berumur.

Ada sebuah pohon besar di depan rumah, namun pohon itu sudah kering dan tidak lagi berdaun.
Saat mobil bang Jaki terparkir di depan rumah. Ada seseorang yang segera menghampiri kami. Seorang pria kurus yang sedikit lebih tua dari ibu.
“Pak Ngadimin?” Sambut ibu.

“Lastri, gimana perjalananya?”
“Lumayan pak, pas lagi panas-panasnya,” Jawab Ibu.
“Rumahnya sudah saya bersihkan, Tapi ya seadanya. Lebih baik malam ini istirahat di rumah saya saja besok baru beres-beres,” Ucap Pak Ngadimin.

“Halah Pak, saya sudah ngerepotin minta dibersihkan malah ngerepotin nginep lagi,” Balas Ibu.
Ibu menolak untuk mampir ke rumah Pak Ngadimin dan memilih untuk terus menurunkan barang-barang di mobil.

Bang Jaki dan Pak Ngadiminpun membantu kami sementara ibu menyalakan lampu teplok yang sudah tersedia di tembok rumah.
“Belum ada listrik bu?” Tanyaku.
“Sudah.. tapi masih harus lapor PLN dulu biar dipasang lagi. Paling seminggu sudah nyala,” balas ibu.

Bang Jaki yang sedari tadi menurunkan barang terlihat cukup aneh. Sesekali ia berhenti melangkah dan menelan ludah.
“Bang Jaki nginep dulu aja, pagi baru pulang. Ada kamar kosong kok,” ucap Ibu.

“Eh, nggak.. nggak, saya langsung saja habis ini. Mau mampir dulu,” ucapnya dengan canggung.
Ia terlihat begitu waspada dengan rumah ini.
“Mbak Lastri benar yakin mau tinggal di sini?” Tanya Bang Jaki.

“Iya lah mas, sekarang cuma rumah ini yang bisa kami tinggali,” balas Ibu.
Setelah membantu kami, Bang Jaki segera pamit. Padahal hari sudah larut malam. Pak Ngadiminpun mengantarkan kami makanan kecil dan minuman panas untuk kami dan buru-buru meninggalkan kami.

Merasa cukup lelah, akupun duduk di tikar yang sudah digelar oleh ibu. Rumah kayu dengan lampu remang-remang merupakan pemandangan yang cukup asing untukku.Apalagi suasana hening seperti ini tidak pernah kurasakan di rumah kami sebelumnya.
Tok… tok… tok…

Ada suara dari luar..
Tok... tok...
Setahuku rumah kami cukup jauh dari warga lain. Aku malas mencari tahu dan memilih untuk tetap bersantai di tikar. Tapi suara itu mendekat ke jendela.
Aku menoleh ke jendela…

Sekelebat terlihat seorang nenek melintas di depan jendela rumah. Nenek itu berambut putih terurai berantakan dengan kebaya putih yang lusuh. Ia tertawa dengan mulutnya yang memerah.
Sontak bulu kudukku berdiri, tubuhku merinding.

Aku tidak berani berjalan ke luar jendela untuk memastikan dan memilih untuk menghampiri Ibu.
“Bu!! Ibu!!” Teriakku.
Aku mencari ibu di kamar, namun di kamar hanya ada Gendis yang tertidur.
“Kenapa Mukti?” Teriak ibu yang suaranya terdengar dari dapur.

Akupun berlari menuju dapur menghampiri ibu.
“Ada nenek-nenek bu.. serem, di luar jendela,” ucapku.

“Nenek-nenek? Malem-malem gini? Jangan ngarang kamu. Kalau capek tidur duluan aja,” balas ibu yang sedang membersihkan kompor tungku yang mungkin akan ia gunakan untuk masak besok.

“Iya Mas Mukti, tidur duluan saja. Nanti Gendis nyusul,” Tambah Gendis yang tengah meminum susu yang sepertinya baru saja dibuatkan oleh ibu.
Tu.. tunggu?
“Gendis? Kamu di sini?” Tanyaku bingung.
Tidak mungkin aku salah.

Tadi aku melihat dengan jelas gendis tertidur di kamar.
“Iya, minum susu dulu. Habis ini mau tidur, disuruh ibu,” Balasnya.
Aku menelan ludah sembari menoleh ke kamar tempat aku melihat Gendis tertidur tadi.

“A—aku bantuin ibu aja deh,” ucapku yang sedikit ragu untuk kembali ke ruang depan lagi. Apalagi di kamar.
Karena kamar yang lain masih berantakan, malam itu kami tidur dalam satu kamar. Tapi walaupun lelah, malam itu aku sulit untuk tertidur saat mengingat kejadian tadi.

***

RUMAH DEMIT

Memang aneh, tapi aku masih menganggap kejadian semalam sebagai ‘perkenalan’ dari penunggu rumah. Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan bila kita melihat hal-hal aneh di tempat baru.

Sayangnya lambat laun aku mulai mendengar desas-desus tentang rumah yang kutinggali.
“Kamu kok berani tinggal di rumah itu?”
Wisnu namanya. Dia teman yang baru ku kenal beberapa hari ini.
“Emangnya kenapa? Angker?” Tanyaku.

Wisnu terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Ini tak ceritain, biar kamu hati-hati. Tapi jangan bilang aku yang cerita,” balas Wisnu.
Aku semakin penasaran saat ia mengatakan hal itu. Memangnya ada hal apa di rumah yang kutinggali?

“Kamu pasti wis tau kalo rumah itu lama nggak ditinggalin kan? Tau nggak kami nyebut rumah itu dengan sebutan apa?”
Aku menggeleng.
“Rumah demit..” ucap Wisnu.

Dia bercerita bahwa setiap anak-anak, bahkan warga desa yang tidak berkepentingan dilarang untuk mendekat ke rumah ini. Banyak isu mengerikan yang ia dengar.
“Dulu pernah ada yang lewat rumahmu itu, dan nemuin mayat terbaring di pekarangan.

Mayatnya sudah membiru tapi matanya melotot.
Dia manggil orang kampung untuk evakuasi, tapi pas balik ke sana. Mayatnya udah nggak ada,” ucap Wisnu.
Aku cukup merinding mendengar ceritanya. Rasanya aku semakin tidak yakin untuk tinggal di rumah ini.

Cerita dari Wisnu membuatku kepikiran. Aku penasaran apa ibu sudah tahu tentang keadaan rumah ini sebelum memutuskan untuk pindah?
Menjelang maghribpun aku bergegas untuk pulang.

Di kampung ini setelah adzan berkumandang seluruh kampung akan menjadi sepi. Jarang sekali ada yang keluar rumah.
Untungnya ibu sudah menyalakan lampu luar. Setidaknya setelah listrik menyala, rumah ini tidak terasa menyuramkan seperti awal kami datang.

“Heh! Jangan diatas! Aku nggak bisa nangkep kamu!”
Saat memasuki rumah aku mendengar suara Gendis yang berbicara dengan seseorang.
Akupun menghampirinya ke kamar dan menyaksikanya sedang menatap ke sudut langit-langit rumah.

“Gendis, kamu bicara sama siapa?” Tanyaku.
Gendispun menoleh ke arahku. Iappun menggeleng menjawab pertanyaanku.
“Tadi Mas Mukti denger kamu ngomong sama orang?” Tanyaku lagi.

Gendis menggeleng sekali lagi dan berlari keluar melewatiku menuju ke arah ibu di dapur. Akupun memperhatikan sekeliling kamar dan tidak melihat ada siapapun di kamar itu.
“Mau mandi dulu atau makan dulu?” Tawar ibu yang sudah selesai mempersiapkan makan malam kami.

“Makan dulu aja Mas,” Ajak Gendis.
“Ok,” jawabku singkat.
Aku dan gendis makan berdua sementara ibu menemani kami sembari mengupas bawang merah untuk dimasak besok.

“Gendis, tadi kamu ngomong ama siapa sih? Jangan bohong,” Tanyaku di depan ibu berharap ibu bisa mengetahui apa yang kudengar.
“Nggak ngomong sama siapa-siapa,” balasnya.
Tapi ia menjawab sembari makan tanpa menoleh ke arahku. Aku tahu ia berbohong.

“Jangan bohong,” ucapku dengan santai, tapi sepertinya Gendis kesal karna aku menekanya.
“Ya udah kalau Mas Mukti mau tau, tar juga ketemu,” jawabnya sembari membawa piringnya ke tempat cuci piring dan meninggalkanku.

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Akupun menceritakan pada ibu tentang kejadian tadi. Tapi ibu menganggap bahwa Gendis sedang asik bermain dengan imajinasinya.

“Namanya anak kecil, mungking ngobrol sama bonekanya atau teman khayalanya,” jawab ibu dengan tenang.
Malam ini aku sudah tidur di kamarku sendiri. Sedangkan Gendis tidur bersama ibu. Ini adalah salah satu hal baik dari pindah rumah. Aku bisa punya kamar sendiri di sini.

Radio tape adalah satu-satunya hiburanku di tempat ini. Pilihanku kali ini jatuh pada kaset Base Jam untuk menemaniku sampai waktunya tidur.
“Mungkin aku, bukan pujangga yang pandai merangkai kata..”

Aku bernyanyi di depan mengikuti nada di lagu itu sembari bergaya layaknya vokalis band. Mungkin sedikit kekanak-kanakn, tapi ini cukup seru. Apalagi aku tidak bisa berharap menonton televisi bersama di pos ronda seperti dulu.

Di desa ini jarang yang memiliki televisi. Kalaupun ada masih hitam putih.
“Hihihi…”
Nyanyianku terhenti oleh suara tawa yang tiba-tiba terdengar. Gendis? Bukan.. suara tawanya berbeda dengan Gendis.
Merasa mulai tidak nyaman, akupun mengecilkan radioku dan pergi ke kasur.

Sepertinya aku harus tidur cepat malam ini.
Cklek!
Aku terbangun saat satu sisi kaset pita sudah selesai diputar dan radio tapeku mati dengan sendirinya. Aku mengembalikan kaset itu ke dalam tempatnya dan ingin segera kembali tidur.

Tapi aku mendengar ada suara dari sudut langit-langit yang saat ini berada di kamarku. Saat aku hendak kembali tidur, mataku melihat sesuatu dari arah itu dan rasa takutku kembali datang.

Benar saja, di sudut itu terlihat seorang anak laki-laki berwajah pucat memandangiku dengan terbalik. aku tidak bisa melihat kakinya, yang terlihat hanya tubuhnya dari kepala hingga ke pinggang menembus langit-langit.

Seketika aku keringat dingin. Aku meremas selimutku tak percaya dengan apa yang kulihat. Dan saat makhluk itu menyadari aku sedang memandangnya. Ia tersenyum dan memamerkan gigi-giginya yang hitam.
“I—Ibu!! Ibu!” Teriakku.

Sayangnya tidak ada reaksi dari ibu. Dengan kaki yang lemas aku keluar dan ke kamar ibu untuk membangunkanya.
“Setan.. setan bu!” Aku membangunkan ibu.
“Setan? Jangan ngawur kamu?” bantah ibu yang sedikit kesal karena kubangunkan.

Akupun menarik ibu ke kamar dan menunjukkan ke arah langit-langit kamar. tapi sosok itu sudah tidak ada. Aku berusaha meyakinkan ibu, tapi ia malah menganggapku hanya mimpi buruk.

Aku tidak mau mengambil resiko dan memilih untuk tidur di kamar ibu bersama dengan Gendis lagi.

***

POCONG DI HALAMAN RUMAH

Apa kejadian seperti itu sering terjadi? Tidak juga. Semenjak anak kecil di langit-langit rumah itu tidak ada lagi hal aneh yang aku lihat dalam beberapa hari.

Hanya pada Wisnulah aku bisa bercerita tentang kemunculan makhluk-makhluk itu. ibu sudah pasti tidak percaya, sedangkan bila aku cerita pada Gendis dia akan ketakutan dan semakin merepotkanku.
“Kamu temenin aku ngineplah di rumah,” Ajakku pada Wisnu.

“Ndak mau, aku sudah hidup tenang. Kenapa harus nemenin kamu di sana. Ntar ada yang ngikut lagi,” tolak Wisnu.
“Sekali-kali nggak papa kan”
“Mending kamu yang nginep di rumahku. Lebih aman,” balasnya.
“Itu nggak nyelesain masalah,” Balasku lagi.

Sesekali mungkin aku harus mengajak seseorang untuk menginap agar ada saksi lain selain aku yang melihat sosok ghaib itu. Mungkin dengan itu ibu akan percaya.
Tapi ternyata, aku tidak perlu melakukan hal itu.

Suatu ketika, ibu sedang membantu salah satu tetangga kami yang sedang panen kacang di kebunya. Aku menunggu ibu sembari menjaga Gendis sambil bermain di halaman rumah ibu itu.
Ibu baru selesai saat maghrib, dan kami pulang saat matahari baru saja terbenam.

Seperti biasa, jalanan sudah sepi dan arah ke rumah kami cukup gelap dan menyeramkan. Gendispun sampai minta kugendong karena takut.
Dari rumah terakhir di desa, setidaknya kami harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai ke rumah.

Seharusnya beberapa menit lagi kami sampai dan bisa segera beristirahat. Tapi, saat rumah kami sudah terlihat tiba-tiba ibu terhenti.
“Kenapa berhenti bu?” Tanyaku.
Wajah ibu terlihat aneh, ia memandang rumah dengan gemetar.

Akupun menoleh ke rumah dan melihat pemandangan yang tidak akan pernah bisa kulupakan.
Pocong…
Di halaman kami berdiri pocong-pocong dengan kain kafan lusuh yang menggeliat dengan mengerikan.

Tidak hanya di halaman, bahkan di atap rumah kamipun ada beberapa pocong yang terbaing dan duduk berserakan.
Aku menggenggam erat tangan ibu dan menariknya mengajaknya untuk memutar balik. Tidak mungkin kami pulang ke rumah dimana terdapat pocong sebanyak itu.

“Gendis takut bu..” Tangis gendis yang ternyata juga melihat sosok itu.
“Ke rumah pak Ngadimin, Kita ke sana dulu le,” perintah ibu yang segera mengajak kami pergi secepatnya.

Pak Ngadimin heran dengan kedatangan kami sekeluarga di malam hari. Apalagi ia melihat wajah kami pucat dengan tubuh yang gemetar.
“Sudah, duduk dulu. Biar dibikinin teh panas,” ucap Pak Ngadimin yang langsung memerintahkan istrinya membuatkan teh panas untuk kami.

Tidak ada satupun dari kami yang mampu bicara sampai Istri Pak Ngadimin datang dan memberikan kami minum.
“Pocong Pak Ngadimin, pas kami mau pulang dari jauh kami melihat rumah kami dipenuhi pocong pak,” ucapku sambil gemetar.

“Astagfirullahaladzim.. benar bu?” Tanya pak ngadimin pada ibu.
Ibu hanya mengangguk sembari masih menggenggam gelas hangatnya.
“Mbak Lastri masi bersikukuh ingin tinggal di sana?” Tanya Pak Ngadimin.

“Habis kami mau tinggal dimana lagi Pak? Buat makan saja saya masih khawatir.” Balas ibu.
“Tapi rumah itu dibangun diatas tanah yang tidak baik Mbak Lastri. Kamu kan tahu sendiri.

Bahkan sebelum kalian tinggal di sana, kami warga desa jarang sekali ada yang mau mendekat ke sana di malam hari,” Ucap Pak Ngadimin.
Aku baru mendengar soal ini. Berarti sebenarnya Ibu sudah tahu bahwa rumah yang kami tinggali memang bermasalah.

“Bu, Gendis nggak mau ke rumah,” rengek Gendis.
Malam itu Pak Ngadimin mengijinkan kami untuk menginap di rumahnya. Besoknya ia mengantar kami kembali ke rumah bersama seorang yang ia panggil dengan nama Mbah Sartiman. Pria yang sudah cukup berumur dan rambutnya sudah memutih.

Mbah Sartiman adalah seseorang yang dianggap mengerti soal hal seperti ini. Ia juga sering membantu warga yang bermasalah dengan kesurupan atau penyakit aneh.
“Mbak Lastri benar-benar melihat pocong-pocong itu di sini?” Tanya Mbah Sartiman saat mencapai halaman rumah kami.

“Iya Mbah, anak-anak saya juga lihat,” balas ibu.
Mbah Sartiman memejamkan matanya sebentar. Setelahnya ia menghela nafas dan menggeleng.
“Kalau bisa sebaiknya ibu pindah saja,” ucap Mbah Sartiman.
“Jangan pak, saya belum punya tempat tinggal lain.

Tolong pocong-pocong itu diusir saja, dan rumah saya dibersihkan dari makhluk-mahluk itu,” pinta ibu.
Mbah Sartiman menggeleng menolak ucapan ibu.
“Tidak bisa Mbak Lastri, tanah ini adalah rumah mereka. Jasad mereka terkubur di bawah tanah ini,” Jelas Mbah Sartiman.

Deg…
Mendengar penjelasan itu seketika bulu kudukku berdiri. Berarti selama ini kami tinggal di tanah kuburan?
“Ini ‘Tanah Wingit’ Mbak Lastri tidak pantas untuk dijadikan rumah tinggal,” tambah Pak Ngadimin.

Ibu hanya merenung dengan sedih. Jelas kedaan ini membuat ibu semakin tertekan.
“Kalau saya tetap memaksa tinggal di rumah ini resikonya apa mbah?” Tanya ibu.
Mbah Sartiman menggeleng melihat keteguhan ibu.

Di satu sisi aku melihat Mbah Sartiman menaruh simpati dengan keadaan kami.
“Kalau kalian memaksa tinggal di sini, kalian harus pergi di waktu-waktu yang saya berikan. Sosok pocong-pocong itu akan muncul di hari dan weton itu.

Tapi bila ada jalan untuk tinggal di tempat lain, saya tetap menyarankan kalian pindah,” Ucap Pak Sartiman.
Jumat kliwon, Sabtu Pahing… pada dua hari itu kami harus menjauh dari rumah. Menurut Mbah Sartiman, sosok-sosok itu akan muncul pada hari-hari itu.

Pak Ngadiman yang kasihan dengan ibupun mengijinkan kami untuk menginap di rumahnya pada hari-hari itu.
Benar ucapan Pak Sartiman. Pada Jumat kliwon kami pasti melihat sosok pocong itu, kami juga mengajak pak Ngadiman untuk memastikanya dan iapun percaya.

Menurutnya jarang ada warga yang keluar malam apalagi pada hari-hari tersebut. Mungkin itu yang membuat warga desa tidak mengetahui penampakan ini.
Dengan mengikuti aturan dari Pak Sartiman, kamipun bisa bertahan hidup di rumah itu selama berbulan-bulan.

Setiap menjelang jumat Kliwon dan Sabtu Pahing, kami selalu siap-siap berkemas dan menumpang di rumah Pak Ngadiman.

Mungkin cerita mengenai pocong yang mengelilingi rumahku sudah cukup mengerikan bagi kalian. Tapi percayalah, ada hal yang lebih mengerikan tersembunyi di tanah ini.

Kita akan update thread ini dalam waktu dekat..

***

TAMU DI TENGAH MALAM

Aku tidak pernah menyangka bisa bertahan cukup lama di rumah ini. Padahal hampir setiap tetangga yang ngobrol dengan kami selalu bertanya..

“Kok kalian betah tinggal di rumah itu?”

Betah? Haha… kalau bukan karena keadaan yang memaksa, mungkin kami sudah pergi sejauh mungkin dari rumah itu atau bahkan dari desa ini.

Tahun pertama di tempat ini cukup berat. Untuk makan saja kami tidak punya banyak pilihan.

Entah berapa jenis olahan singkong yang sudah dibuatkan ibu. Bila sedang tidak memegang uang, hanya singkong yang ibu tanam di pinggir hutanlah yang akan menjadi menu makanan kami.

“Tiwul lagi bu?” tanyaku.

“Bosen ya? nanti coba ibu tanya Mbok Sarmi ada sisa lauk atau nggak,” balas ibu.
Walau aku sering mengeluh, tapi ibu tidak pernah memarahiku sama sekali. Sebaliknya ia selalu mencari cara agar kami bisa bertahan dari situasi ini.

“Nggak usah bu, besok aku ikut Pak Ngadimin mancing aja. siapa tahu dapet kan lumayan,” Ucapku.
“Ya udah, tapi jangan ngerepotin ya,” balas ibu.
Ada satu berkah yang kurasakan saat hidup di desa. Kami masih bisa bertahan hidup dari alam.

ada tanah untuk ditanam, ikan untuk dipancing, bahkan kalau tidak malas ada burung yang bisa di jala dari sawah-sawah yang hampir panen.
Tapi aku tetap bertekad, suatu saat kami harus keluar dari situasi ini. Terutama dari rumah ini.

“Masih sering ngeliat yang aneh-aneh di rumah?” Tanya Pak Ngadimin sambil menunggu umpanya termakan oleh ikan di sungai ini.
“Masih Pak, tapi selama di dalam rumah paling cuma sekelebat-sekelebat aja. Kata ibu yang penting nggak keluar pas malam-malam aja,” Jawabku.

“Yang penting kamu jagain ibumu dan Gendis ya, Mukti. Belum pernah Bapak melihat orang setegar ibumu itu,” balasnya.
“Pasti Pak,”
Seperti biasa, aku pulang ke rumah saat langit masih terang. Entah mengapa aku merasa hari di desa ini lebih pendek daripada di kota.

Dulu jam delapan malam, kami malah baru keluar untuk berkumpul di pos ronda.
“Gendis, Sudah mau malam. Masuk,” ucapku pada gendis yang masih berada di teras rumah.
“Iya..” jawabnya.
“Kalau iya langsung masuk donk, jangan bengong,” balasku.

“Nanti malam mau ada tamu…” ucap Gendis sambil menatapku.
“Tamu? Siapa?” Tanyaku.
Gendis tak menjawab dan malah segera berlari ke dalam rumah.
Aku mengernyitkan dahiku, apa tadi ada yang datang memberi tahunya bahwa akan ada tamu?

“Banyak banget ikanya, ini kamu semua yang mancing?” Tanya ibu.
“Ya nggak, sebagian Pak Ngadimin. Tapi tadi dapet banyak, jadi aku dibawain agak banyakan,” Balasku.
Lumayan, ibu mengolah ikan yang kubawa untuk bisa dimakan selama beberapa hari.

Setidaknya selama beberapa hari kami terselamatkan dari olahan singkong lagi.
Kami makan ditemani hujan yang mulai mengguyur desa. Ibu Pun sudah siap dengan beberapa ember dan panci untuk diletakan di titik kebocoran atap rumah.

Suara tetesan air dari kebocoran rumah pun menjadi senandung yang menemani malam hari kami.
Entah mengapa, tanpa disadari kami bertiga merasa gelisah. Seperti ada sebuah perasaan yang membuat kami tidak nyaman.

Blarrr!

Suara petir yang menyambar membuat suasana kami bertiga kaget dan semakin merasa aneh. Ibu Pun mencoba merapatkan gorden agar cahaya kilat tidak terlalu mengagetkan kami.
Tapi.. bukanya kembali, ibu hanya terdiam di depan jendela sembari melihat sesuatu di luar.

“Ada apa bu?” Tanyaku penasaran.
Ibu tidak menjawab, sebaliknya ia malah menelan ludah dan wajahnya terlihat cemas. Khawatir dengan ibu, aku pun menghampirinya dan ikut melihat ke luar.
Saat itu setelah sekian lama, bulu kudukku berdiri.

Sesuatu yang ada di halaman rumah membuatku merinding tidak karuan.

Keranda mayat…

Di bawah hujan yang cukup deras tiba-tiba terlihat sebuah keranda mayat tergeletak begitu saja di halaman bersama sesosok jenazah yang sudah dipocong.

“Bu… Itu..?” Tanyaku.

“Jangan keluar, apapun yang terjadi jangan keluar..” Balas ibu yang segera merangkulku dan mengajakku menjauh dari jendela.
Akupun berinisiatif membawa radioku dari dalam kamar dan mendengarkanya bertiga di ruang depan.

Tidak ada satupun dari kami yang mengajak masuk ke kamar.
Satu sisi kami takut dengan apa yang ada diluar. Di satu sisi kami juga khawatir akan terjadi sesuatu bila kami tidak mengawasinya.
Aku berharap suara radio yang kusetel bisa sedikit menenangkan kami.

Namun walau sudah mendengarkan beberapa lagu dan drama radio, tangan ibu masih terlihat gemetar.
...

Sudah beberapa lama…

Mungkin saja keranda itu sudah menghilang dengan sendirinya seperti saat kemunculanya. setidaknya itu yang kupikirkan.

Akupun mencoba melawan rasa takutku untuk kembali mengintip melalui jendela. Bila keranda itu sudah hilang, maka kami bisa masuk kamar dan tidur dengan nyenyak.

“Coba Mukti lihat lagi Bu,” ucapku.

“Hati-hati Nak,” balas Ibu.

Aku mendekat ke arah jendela dan menyibakkan lagi gordenya, dan sialnya kendara dan jenazah itu masih ada di sana. Akupun sedikit memperhatikan keranda itu dan sekitarnya sembari mencari petunjuk siapa yang meletakkan benda itu di sana.

Tapi tepat saat aku memperhatikan sosok jenazah yang ada di dalam keranda itu, tiba-tiba kepala pocong yang berada didalamnya menoleh dan melotot ke arahku.
Sontak akupun terjatuh dan buru-buru kembali berdiri untuk merapatkan gorden jendelaku.

“Kenapa Le? ada apa?” Tanya ibu cemas.

“Nggak.. nggak bu,” balasku.

“Kerandanya masih ada di sana?” Tanyanya lagi.

Aku mengangguk dan kembari duduk di dekat ibu sembari mengeraskan suara radio.

“Keranda?” Tanya Gendis penasaran.

“Eh.. nggak Gendis, kamu dengerin radio aja atau mainan lagi. Tapi jangan dekat-dekat ke jendela ya,” Balasku tak ingn Gendis Khawatir.

Perasaanku benar-benar cemas seolah mendapat firasat akan terjadi sesuatu yang mengerikan.

Hujanpun semakin deras bersahutan dengan suara kilat yang menyambar. Saat itu aku dari kilatan cahaya samar-samar aku melihat bayang manusia terpantul ke gorden jendela kami.

Cek…tcek… tcek…

Wajah ibu pucat.. Samar-samar terdengar suara langkah kaki yang menginjak tanah yang becek. Tak hanya satu, lambat laun suara itu terdengar semakin banyak. Saat hujan mulai mereda pun suara langkah kaki itu masih terdengar.

Tok.. Tok… Tok..

Terdengar suara tongkat seseorang mengetuk lantai teras rumah kami. Seketika aku teringat kejadian saat hari pertama aku ada di rumah ini. Penampakan seorang nenek.
Dan benar saja, bayangan seorang nenek yang bungkuk sedang membawa tongkat terpantul di gorden jendela.

“Ojo ono sing metu yo le..”

Terdengar suara seorang nenek tepat saat bayangan itu berhenti di depan jendela. Aku merinding sejadi-jadinya. tapi entah mengapa aku merasa Ibu dan Gendis tidak sadar akan hal itu.

“Buk, Ojo ono sing metu yo le.. itu artinya apa?” Tanyaku yang tidak mengerti arti ucapan itu.

“Jangan ada yang keluar ya Le.. emangnya kenapa nanya begitu?” Tanya ibu.

“Ibu nggak denger suara barusan? Tadi Mukti dengar suara ngomong begitu,” Jawabku.

Ibu mengernyitkan dahinya dan menggeleng. ia pun mulai cemas terhadapku.

“Nggak ada suara apa-apa Mukti, iya kan gendis?” Tanya ibu memastikan.

“Gendis cuma denger suara hujan sama radiio bu,” Jawab Gendis.

Akupun mulai bingung. Apa ada setan yang sengaja berniat memperingatkanku? Aku mengubur rasa penasaranku dan sama sekali tidak memikirkan untuk mengecek ke luar.

Lambat laun hujan semakin mereda. Yang terdengar hanyalah suara tetesan gerimis tanpa adanya kilat yang mengagetkan kami lagi.
Aku melihat ke arah jam dinding dan mendapati bahwa waktu telah menunjukkan hampir jam satu pagi.

Gendis sudah tertidur dan ibu beranjak dari tempatnya untuk mengecek kembali ke jendela. Aku merasa harus ikut menemaninya.
Saat gorden itu tersibak, aku melihat sebuah pemandangan yang tidak akan pernah bisa kulupakan..

Ada sekumpulan orang orang dengan mengenakan baju jawa dengan bawahan kain jarik. ada yang bertelanjang dada dan ada yang mengenakan surjan atau kebaya yang sangat lusuh. Kulit mereka hitam dan bercampur dengan lumpur dan mengerumuni keranda berisi jenazah itu.

Wajah mereka mengerikan..
Mereka seperti kesetanan merogoh sosok yang berada di dalam keranda itu dengan beringas. aku mencari ingin mencari tahu apa yang mereka lakukan. tapi tanpa sadar salah satu dari mereka menoleh ke arah kami.

“Tutup Bu!” Teriakku dengan cepat.
Akut teringat ucapan sosok nenek yang memperingatkanku tadi.
Ibu segera menutup Gorden dan kembali menjauh. Kamipun kembali ke dekat gendis dengan jantung yang berdebar.

Benar saja.. terdengar langkah seseorang mendekat ke dalam rumah. Langkah kaki yang menginjak tanah becek berubah menjadi suara kaki yang menginjak lantai kayu. Akupun segera mematikan radio dan mengajak mereka menjauh dari arah jendela.

Samar-samar terlihat bayangan manusia dengan rambut yang panjang dan acak-acakan memperhatikan dari balik gorden.
Ibupun merangkulku dan Gendis sementara aku terus memegangi baju ibu. Sosok itu celingak-celinguk seolah mencari keberadaan kami di dalam.

Namun sosok itu segera kembali pergi.
Aku sedikit lega, namun ibu masih tetap gemetar dengan apa yang terjadi. tapi setelahnya, tanpa sadar kami tertidur di ruang depan bersama hujan yang mulai reda.

Suara ayam berkokok menyadarkanku dari tidur. Seketika aku panik saat mengingat kejadian semalam. Ibu dan Gendis masih tertidur, tapi dari kisi-kisi jendela aku sudah melihat langit fajar yang mulai muncul walau suasana masih gelap.

Akupun memberanikan diri mengintip dari jendela untuk memastikan apa yang terjadi dengan keranda yang ada di luar.
Tapi.. keranda itu menghilang.
“Bu! Ibu!!” Aku membangunkan ibu ingin menunjukkan hal ini.

Ibu terbangun dengan panik, sama sepertiku saat mengingat kejadian semalam.
“Kerandanya udah nggak ada..” ucapku.
Ibu Pun meletakkan Gendis yang tertidur di pangkuannya dan melihat keluar jendela.

Ia terlihat menarik nafas lega mengetahui keranda itu sudah menghilang dari halaman.
Saat matahari mulai muncul, Aku dan ibupun membuka pintu dan mengecek keadaan sekitar. Benar, tidak ada tanda-tanda keranda itu masih ada di sini.

Kami sempat berpikir apakah semalam kami berhalusinasi?
Masalahnya, di tempat kami berdiri masih ada sisa-sisa telapak kaki manusia yang terjiplak di tanah basah dan sisa lumpur di halaman teras rumah.

***

TEMAN GENDHIS

“Tanah itu jahat! Percaya atau tidak, tanah itu terus mencari korban..”
Seorang pria bungkuk yang sudah sangat berumur menghadangku saat sedang menemani ibu di pasar.
Ia menghampiriku saat sedang menunggu ibu dan gendis yang sedang memilih sayuran.

“Maksud Nya apa kek?” tanyaku penasaran.
“Maksudnya, nyawa kalian dalam bahaya, pergi selagi kalian bisa..” Balasnya dengan raut wajah yang menunjukkan ketakutan.
Iapun segera meninggalkanku dan pergi meninggalkan pasar.

Tanpa ia suruh pun kami sudah ingin segera meninggalkan rumah mengerikan itu. Apalagi setelah kejadian keranda kemarin aku benar-benar merasa ada sesuatu yang berbahaya dari tanah ini. Tapi saat ini kami masih tak berdaya dengan keadaan kami.

Memang sudah menjadi tekadku saat sudah bekerja nanti, aku harus bisa membawa Ibu dan Gendis pergi dari rumah itu.
“Bu, Gendis kapan didaftarkan SD?” Tanyaku yang mulai khawatir akan pendidikan Gendis.

“Awal tahun ajaran berikutnya saja, saat ini belum ada yang bisa mengantar jemput dan ngawasin dia,” Balas Ibu.
“Memangnya nggak papa bu?” Tanyaku.

“Yah mau gimana lagi, setidaknya kasih ibu waktu satu tahun dulu untuk menabung. Terpaksa Gendis yang harus mengalah,” Jawab ibu.
Aku sudah mendapat sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan berjalan kaki.

Tapi terkadang aku mendapat tumpangan boncengan dari Gimin teman kelas yang desanya bersebelahan dengan desaku. Tapi sayangnya Gendis tidak seberuntung aku.
“Tapi Gendis jangan sering ditinggal di rumah sendiri ya bu,” pintaku yang khawatir dengan adikku satu-satunya itu.

Ibupun tersenyum dan mengelus kepalaku.
“Bu! Mukti Pulang!”
Aku pulang sekolah pukul dua siang. sekolah di sini pelajaran nya tidak sepadat di kota. sebenarnya aku sedikit senang saat mengetahui hal itu.

“Jangan pergi dulu, Gendis belum selesai!”
Dari jauh aku melihat Gendis sedang berbicara dengan seseorang. Tapi saat aku menatap ke arah ia memandang, sama sekali tidak ada siapa-siapa di sana.
“Kamu ngomong sama siapa Gendis?” Tanyaku.

Gendis hanya menunjuk ke salah satu sisi rumah yang kupastikan tidak ada apa-apa di sana.

“Jangan bercanda,” Balasku.

Gendis Pun menatapku sebentar dan segera berlari ke kamarnya. Apa mungkin ucapanku ada yang menyinggungnya.

Mungkin benar kata ibu, Gendhis sedang mengkhayalkan seorang teman. Sepertinya aku kurang meluangkan waktuku untuk bermain denganya.

“Main sama Mas Mukti aja yuk,” Ajakku sembari merayu Gendis yang bermain sendirian di kamar.
“Asikk!! Kita main dakon ya!” Ajak Gendis.

“Wah, kamu bisa main dakon? Siapa yang ngajarin? Ibu?” Tanyaku.

Bukanya menjawab, Gendis malah menunjuk ke salah satu sisi rumah lagi yang sekali lagi kupastikan tidak ada apa-apa di sana.

“Sudah-sudah, kita main saja,” ucapku.

Jujur.. Aku mulai cemas dengan Gendis.

“Bu, memangnya Gendis sering bicara sendiri begitu ya bu?” Tanyaku sembari membantu ibu mencabut dedaunan dari pohon singkong untuk disayur..

“Iya, namanya juga anak kecil. Memangnya kenapa?” Tanya ibu.

“Nggak Bu, Mukti khawatir. Soalnya waktu ditanya dia ngomong ama siapa, dia selalu menunjuk ke tempat yang nggak ada siapa-siapanya,” balasku.

“Ibu juga bingung.. semoga saja itu memang khayalanya sedang bermain.

Tapi kalau memang ada sosok lain yang berkomunikasi dengan dia, doakan saja semoga bukan sosok yang jahat..” Balas ibu.

Kalau ibu sudah berkata seperti itu sepertinya aku juga tidak bisa berbuat banyak.

Setelah kejadian-kejadian itu, beberapa kali aku memergoki Gendis sedang berbicara dengan seseorang. Aku pernah mengintip tanpa ia sadari, tapi tetap saja aku tidak melihat apapun.

“Gendis kalo bosen ajak main Mas Mukti aja ya, kalau mas ada di rumah pasti mas temenin,” ucapku berusaha untuk semakin dekat dengan Gendis.

“Iya Mas, tapi kan enakan main sama yang anak-anak kayak Gendis juga,” balasnya polos.

Anak-anak? Aku mencoba berpikir positif. Mungkin saja ia membayangkan sedang bermain dengan anak-anak seumuranya.

Sudah cukup lama aku tidur terpisah dari Ibu dan Gendis. Akupun mulai terbiasa dengan hal-hal aneh seperti suara dari luar.

Angin yang tiba-tiba berhembus di kamar. hingga benda yang bergerak. Selama tidak ada yang menampakkan diri, sepertinya aku bisa untuk mengacuhkanya.
Tapi malam ini berbeda.

Di tengah tidurku, tiba-tiba aku terbangun dengan perasaan aneh. Ada sesuatu yang berat menindih tubuhku. Jelas saja rasa takutku kembali muncul. Apalagi aku pernah mendengar cerita tentang orang yang ketindihan makhluk halus.

Akupun mencoba mengatur nafas dan melawan rasa takutku. Perlahan aku mencoba membuka mata dan kembali aku dikejutkan dengan apa yang kulihat.
Sesuatu yang hitam dan cukup besar. menindih tubuhku.

Aku memastikan bentuknya, dan mendapati ada bagian tubuh ular yang menindih tubuhku.

Tapi itu baru permulaan…

Saat aku mengucek mataku dan berusaha melepaskan diri, aku menemukan salah satu ujung dari tubuh ular itu adalah seorang anak kecil.

Sebentar.. aku mengingat anak kecil itu. Itu adalah sosok anak yang menampakkan diri saat awal-awal aku menempati kamar ini. Saat itu ia hanya menunjukkan setengah badannya saja, dan tidak kusangka setengah badannya adalah ular.

Mengetahui aku tersadar, anak bertubuh ular itu melepaskan tubuhku dan keluar menembus pintu kamarku. Akupun mulai merasa lega dan kembali mencoba menutup mataku.

Tapi perasaan aneh kembali terjadi…

Belum sempat aku tertidur aku merasa ada sesuatu yang menatapku dengan tajam. Akupun membuka mata lagi dan mendapati anak bertubuh ular itu berada di hadapanku lagi.
tapi saat mengetahui aku tersadar lagi, iapun pergi ke arah pintu lagi.

Tunggu? Apa dia ingin aku mengikutinya?
Akupun mencoba membuka pintu dan mendapati sosok anak bertubuh ular itu menantiku di arah ruang depan. iapun berjalan lagi menembus pintu depan.
Sepertinya dugaanku benar. Ia memintaku untuk mengikutinya.

Tapi sepertinya aku tidak akan mengikutinya terlalu jauh.
Tapi.. aku merasa ada yang aneh. Pintu depan tidak terkunci.
Saat itu aku mulai cemas. Aku melangkah ke arah pintu dan membukanya sesuai dengan kemauan anak itu dan mendapati ia terhenti di teras rumah.

Ia seperti tidak bisa melangkah lebih dari itu.
Tapi masalahnya bukan itu..
Ada seorang anak kecil di halaman…
Aku bisa memastikan dengan jelas bahwa itu adalah Gendis!

“Gendis!! Ngapain kamu di luar! Ayo masuk!” Teriakku panik saat melihat Gendis berdiri sendiran di halaman.
Sayangnya ia hanya menatap ke arah hutan membelakangiku dan rumah kami.
“Gendis!” Aku berteriak sekali lagi dan berlari ke arahnya.

Tapi gendis bertingkah aneh..

Dia tertawa sedikit , sedikit dan kadang tersengal sembari memandang dengan mata melotot. Kulitnya memuccat dan tawanya menyeringai mengerikan yang sama sekali tidak sama dengan tawa gendis.

“Gendis! Kamu kenapa! Ayo masuk!” Teriakku sembari menarik tanganya.

Tapi gendis dengan mudah melepaskan gandenganku dan bersikeras untuk tetap di tempatnya.

Apa ini berarti.. Gendis kesurupan?

Setelah beberapa kali gagal menyadarkanya ataupun membawanya akupun memutuskan untuk memanggil ibu di dalam untuk membantuku.

“Bu!! Bangun bu! Gendis!! Gendis kesurupan!” Teriakku.

Ibu yang mendengar teriakkankupun terbangun dan panik saat mengetahui Gendis tidak ada di sebelahnya.

“Dimana? Gendis dimana?” Teriak ibu panik.

“Di halaman bu!” Jawabku.

Ibupun segera berlari ke arah Gendis dengan wajah cemas. Tapi saat aku akan menyusulnya, aku mendengarkan suara aneh dari dalam kamar ibu.

Suara itu dari dalam lemari..

Grudak.. grudakk.. grudak..

Akupun menghampiri lemari itu dan memastikan suara itu berasal dari dalamnya. Suara itu mengecil saat aku semakin mendekat. Anehnya kali ini aku tidak mengalami perasaan takut.

Akupun membuka lemari itu dan melihat ke segala arah. Ada baju-baju kami bertiga dan beberapa barang.

Tapi tanpa sada mataku terhenti di sebuah kantung. Sebuah kantung berisi benda yang diberikan oleh temanku Andri saat akan pindah ke tempat ini.

Sebuah ukiran kayu berbentuk ular.

“Hati-hati ya, sama jagain adikmu Gendis,”
Tiba-tiba aku teringat ucapan Andri setelah memberikan benda ini padaku. Akupun mengeluarkanya dari kantung dan berlari ke arah halaman untuk menyusul ibu.

Tepat saat aku melewati halaman aku merasakan sesuatu melewatiku seperti ada angin yang berhembus.

Ibu masih berusaha membawa Gendis ke dalam, tapi tenaganya terlalu kuat. Wajah Gendis malah terlihat menantang ke arah ibu.

Tapi saat aku mendekat Gendis berpindah menatapku, tapi kali ini dengan tatapan marah.

“Ngopo kowe iso metu seko kono?” (Kenapa kamu bisa keluar dari sana) Ucap gendis dengan suara yang serak yang sama sekali berbeda dengan suaranya.

Akupun menyadari benda yang aku ambil dari lemari dan membawanya kepada Gendis.

“Gendis! Pegang ini ya…” ucapku.

“Itu apa Mukti?” Tanya ibu bingung dengan apa yang kulakukan.

Aku belum bisa menjawab pertanyaan ibu. Aku masih ingin melihat reaksi Gendis saat memegang benda ini.

“Kamu? kok disini?” ucap Gendis tiba-tiba sembari menatap ke arahku.

Tunggu, bukan ke arahku.. melainkan ke sesuatu di dekatku.

Tiba-tiba tangan gendis seperti tertarik, atau digandeng oleh sesuatu. Ia mengarah ke arah rumah dengan langkah yang cukup cepat.

“Pelan-pelan,” ucap Gendis.

Aku dan ibu bertatapan dan mengenal bahwa itu adalah suara Gendis.

Kamipun ikut menggandeng Gendis dan membawanya masuk ke dalam dan mengunci pintu rapat-rapat.

Aku dan ibu segera memeluk Gendis erat-erat saat mengetahui ia sudah sepenuhnya tersadar.

“Nduk! Kok bisa sampai kayak begitu Nduk,” Tangis ibu pecah saat memeluk gendis.

Wajah Gendis masih terlihat bingung dan aku kembali mengambil ukiran kayu berbentuk ular dari tangan Gendis.

Walau tertolong oleh benda ini, aku masih belum tahu apakah kelak benda ini dan sosok dibaliknya akan berbahaya atau tidak.

Duakk!!!

Terdengar suara pintu rumah dihantam dari luar. Kami bertiga kaget.

Akupun mencoba mengintipnya dari jendela namun tidak menemukan apapun diluar sana.
“Gendis takut Bu,” ucap Gendis sembari menangis.
Kamipun membawa Gendis ke dalam kamar dan mengambilkan air minum untuk menenangkanya.

Malam itu aku tidur di kamar ibu memastikan tidak ada yang mengganggu Gendis.

Dalam awang-awangku aku berpikir. Apa selama ini teman yang berbicara dengan Gendis adalah Anak berbadan ular itu?

“Benda itu aku dapet dari Eyang, sempet nyelametin aku sekali waktu kecil,” Jawab Andri yang kutelpon melalui Wartel SLJJ yang kudatangi di kota.

“Kok kamu nggak bilang kalau benda ini jimat yang seperti itu?” Protesku.

“Nggak sempat kan? waktu itu kamu buru-buru. Tapi kalaupun aku bilang apa kamu akan percaya? apa kamu mau nerima benda itu?” Balas Andri.

Benar, kalau aku tahu ada setan yang berhubungan dengan jimat ini, mungkin aku tidak akan menerimanya.

“Terus gimana? benda ini bahaya ga?” Tanyaku.

“Ya, nggak tahu..” balas Andri.

“Kok bisa nggak tahu?” akupun bingung dan cukup kesal dengan jawaban Andri.

“Aku nggak mau bohong. Aku cuma bisa cerita kalau benda itu pernah nolongin aku waktu kecil. Tapi menurutku, kalau sekiranya kamu belum tau cara menjaga adikmu, lebih baik benda itu kalian simpan dulu,” ucap Andri.

Ucapanya masuk akal. mungkin aku akan menyimpan benda ini sebentar lagi sampai Gendis mulai bisa menjaga dirinya sendiri. Setidaknya, kini aku mulai mengenal siapa sosok yang sering bermain dengan gendis.

“Udah yuk main dakonya, main di luar aja,” Ajakku pada Gendis.
Semenjak kejadian itu aku mulai semakin banyak menghabiskan waktu bersamanya. Setidaknya, bisa mengetahui lebih banyak tentang apa yang terjadi di keseharianya.

“Ayok! kita mau main apa?” Tanya Gendis.

“Main Engklek yuk! Kamu bisa kan?” Ajakku.

“Jangan main engklek..” Balas Gendis.

“Dia kan nggak punya kaki…”

***

Tanah Wingit tidak menjadi semengerikan itu begitu saja. Ada kisah dibalik berubahnya tanah itu menjadi wingit dan mengundang berbagai makhluk halus.

Tapi demi mengetahui kenyataan itu, Nyawalah yang menjadi taruhanya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close