PESUGIHAN KELUARGA NINGRAT "NGIPRI KETHEK" (Part 2) - Getih Biru

Bagian II - Getih Biru
Saat itu perut ibu mengalami hal yang tidak wajar. Beberapa kali dirinya merasa jika perutnya seperti ditekan-tekan, diinjak-injak bahkan seperti ada yang mencakarnya ketika menjelang malam tiba.
Bapak sempat bingung apa yang terjadi dengan perut ibu. Jika memang perut ibuku sudah ditandai oleh sosok jin kala ireng itu, maka kemungkinan besar bayi yang berada di dalam kandungannya akan meninggal karena terus menerus mendapatkan serangan.
Atas kejadian ini bapakku langsung meminta pertolongan kepada Kang waris yang kebetulan sedang berada di rumah. Sembari membawa ibuku, bapak langsung meminta konsultasi kepada kang waris terkait solusi dari permasalahannya.
Kang waris pun meminta ijin kepada bapakku untuk melihat kulit dari perut ibuku yang terkena cakaran oleh sosok jin kala ireng itu. Dirinya ingin mengetahui apa tujuan sebenarnya dari jin kala ireng itu sampai-sampai harus mengikuti ibuku kemana pun dia berada.
‘’Isterimu sudah ditandai oleh jin kala ireng itu. Dia berencana untuk mengambil bayi yang dikandung isterimu sebagai pembuka dari ritual ngipri kethek.’’
‘’Ritual pembuka? Maksudnya, kang?’’
‘’Dalam melakukan pesugihan, pelaku harus memberikan sesajen dan ritual pembuka. Biasanya, pelaku harus menyiapkan tiga kepala bayi yang akan lahir.
Namun untuk memudahkan hal tersebut, pelaku meminta keringanan dengan cara menyerahkan tumbalnya langsung kepada jin tersebut untuk kemudian diambil janinnya sebagai nilai dari tiga kepala bayi itu.’’
‘’Jadi untuk mengganti tiga kepala bayi maka harus memberikan satu janin yang masih dalam kandungan?’’
‘’Kira-kira seperti itu. Tapi ingat, karena getih isterimu itu termasuk getih wangi (darah harum), maka, bukan hanya dari jin kala ireng saja yang akan merebut janinmu.
Kang waris pun pergi ke belakang rumahnya sejenak. Ia pun mengambil gabah (ampas padi) yang terlebih dahulu di letakkan di dalam kendi kecil, lalu membakarnya. Asap dari bakaran beleman tersebutlah yang akan menutupi bau wangi dari darah yang ada di tubuh ibuku.
‘’Bakar ini di depan rumahmu. Letakkan paling tidak satu atau dua beleman di sekitaran rumahmu. Ini akan menjadi penghalang bagi jin kala ireng atau sosok-sosok lainnya agar tidak mendekati isterimu yang sedang hamil muda.’’
Mendengar penjelasan dari Kang waris, bapak kemudian paham apa yang harus ia lakukan. Setelah itu kang waris menyerahkan satu kantong gabah yang digunakan untuk menghilangkan gangguan dari jin kala ireng yang semestinya selalu meneror ibuku.
Setelah selesai mendapat solusi, bapak dan ibuku kembali ke rumah. Namun saat tiba di rumah, mereka berdua telah melihat anggota keluarga lainnya sedang berkumpul menjadi satu.
Bapak sebenarnya tahu jika mereka semua sedang merencanakan sesuatu. Akhirnya tanpa basa-basi bapak dan ibu pun langsung masuk ke dalam kamar tanpa menyapa mereka.
Namun, saat bapak dan ibuku ingin masuk ke dalam kamar, tiba-tiba mas pangarep sudah mencekal mereka berdua dengan omongan yang sangat pedas.
‘’Habis ke dukun itu lagi?’’
Bapak langsung terdiam. Hatinya sedikit kesal ketika menyamaratakan kang waris dengan seorang dukun. Padahal kang waris adalah orang biasa yang kebetulan diberikan anugerah berupa pendalaman supranatural yang lebih berpengalaman darinya.
‘’Dapet oleh-oleh apa dari dukunnya?’’
‘’Mas pangarep, kita gak ke dukun…‘’
‘’Diam, esa! Suamimu itu yang telah membuat huru-hara di keluarga kita. Dia telah mengatakan jika keluarga kita melakukan pesugihan.
Tapi nyatanya? Tidak ada korban yang berjatuhan! Ibu masih sehat-sehat saja.’’
Bapak langsung melihat ke arah mereka yang sedang berkumpul. Memang benar nyi endang sehat seperti sedia kala. Namun ada yang aneh saat bapak melihat ke arah nyi endang.
Sejak kapan rambut nyi endang berwarna hitam? Bukannya rambut nyi endang sudah beruban semua?
‘’Mas, kita baru saja menemui kang waris. Kita gak ada maksud apapun kok.’’ Jelas ibuku.
‘’Bu, sebaiknya kita langsung masuk saja.’’ Ucap bapak.
Di saat ibu dan bapak ingin masuk, mas pangarep mulai bangkit. Ia kembali memanas-manasi bapak dan ibuku kembali.
‘’Jadi, apakah semalam kalian diganggu oleh sesuatu?’’
Emosi bapak benar-benar tidak terbendung.
Ternyata, semua ini adalah ulah dari mas pangarep yang memang ingin membunuh bayi yang masih di dalam kandungan ibuku.
‘’BAJINGAN! AWAKMU WES LAKONI IKI KANGGO BUNUH ADIMU DEWEK!’’
(BAJINGAN! KAMU SUDAH LAKUKAN INI UNTUK MEMBUNUH ADIKMU SENDIRI!) Teriak bapak.
Suasana menjadi hening. Mas pangarep masih tersenyum-senyum seperti orang yang mengejek atas penderitaan yang baru saja terjadi.
Namun setelah bapak teriak, nyi endang masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akan tetapi, dia masuk tidak sendiri. Mbak neneng yang merangkul tangan ibu untuk masuk ke dalam kamar.
Ibuku saja sempat terheran-heran, bukankah neneng tidak pernah akrab dengan ibu? Tapi kenapa kali ini ibu benar-benar akrab dengan neneng?
‘’Silahkan. Masuk kalian. Kedatangan kalian membuat ibu jadi tidak tenang. Sekarang puaskan? Ibu yang tadinya ketawa-ketawa, kini berubah setelah melihat kalian berdua.’’
Sembari memegangi perut, ibuku terus membaca istighfar. Ibu tidak ingin jika apa yang dipikirkannya benar-benar terjadi. Ibuku benar-benar tidak tahan tinggal satu rumah lagi dengan saudara-saudaranya.
Walau pun memiliki darah ningrat, namun tidak semuanya memiliki budi pekerti yang bagus. Ada kalanya, orang yang memiliki turunan yang bagus, dia juga tidak bisa menyeimbangkan apa yang dimilikinya.
Akhirnya, timbullah perasaan sombong dan menindas terhadap sesama ataupun terhadap orang lain yang berada di sekitarannya.
Akhirnya ibu dan bapak pun bisa masuk ke dalam kamar. Dengan perasaan yang kesal, bapak sempat ingin membanting beleman itu, namun ibu melarangnya.
‘’Pak, istighfar. Jangan sampai kalah sama emosi.’’
‘’Kakakmu itu benar-benar bajingan! Dia ternyata orang yang mengirimkan jin kala ireng. Bukankah ini gila? Kita hampir dibunuh oleh keluarga sendiri? Bagaimana perasaanmu jika kamu mengetahui hal itu.’’
‘’Aku tahu pak. Tapi teruntuk sekarang, kita mesti bersabar sampai benar-benar waktunya tiba. Aku tidak ingin ada apa-apa dengan anak yang sedang aku kandung.’’
Bapak pun menundukkan kepalanya. Sembari menenangkan hatinya, ia pun membacakan lantuna sholawat tepat di perut ibuku. Seolah-olah bapak sedang mengobrol dengan jabang bayi agar tetap tenang dan tetap kuat selama ujian kedua orang tuanya sedang berlangsung.
Malam harinya bapak sembunyi-sembunyi membakar beleman di dua titik. Pertama, ia membakar di bagian depan rumah, sedangkan satunya, ia bakar di bagian belakang rumah.
Saat dirinya sedang membakar bagian depan, bapak menemui isteri dari mas pangarep. Dia mengenakan pakaian yang sangat minim dan seolah-olah ingin mengumbar nafsunya kepada bapakku. Isteri mas pangarep sendiri bernama Mbak Mawar.
‘’Mas Arto, mas arto lagi ngapain?’’ Tanya Mbak mawar.
Bapak hanya terdiam. Ia kemudian memejamkan matanya untuk berdo’a agar dijauhkan dari gangguan nafsu yang sedang menyerangnya.
Setelah selesai membakar beleman, bapak pun langsung meninggalkan Mbak mawar seorang diri di depan rumah. Ia pun berjalan menuju ke bagian belakang rumah. Namun, baru saja ia sampai di dapur, tiba-tiba, bapak terkejut ketika melihat Mbak mawar sedang membuat kopi.
Yang mengherankan lagi, mbak mawar menggunakan mukenah lengkap.
‘’Loh, mbak mawar? Bukannya Mbak mawar tadi ada di depan? Kok bisa cepet ada di sini? Terus, mbak pake mukenah, bukannya tadi …‘’
‘’Kenapa Mas arto? Aku dari tadi di dapur kok. Aku sedang bikin kopi buat mas pangarep. Emang siapa yang ada di depan?’’
Bapak pun langsung menengok lagi ke arah depan, saat dirinya menengok ke arah depan rumah, ternyata yang sudah berada di depan rumah adalah sosok kuntilanak dengan wajah yang sudah hancur berantakan.
Kuntilanak itu melambai-lambaikan tangannya seolah-olah ingin mengajak Bapakku agar keluar dari rumah dan menemaninya.
‘’Mas Arto…. Hihihi.’’
‘’Astaghfirullah…‘’
Bapak pun langsung memalingkan wajahnya. Belum cukup sampai di situ, bapak mendengar suara orang yang sedang tertawa sendirian dengan tawaan yang sangat kencang. Suara itu berasal dari kamar nyi endang.
Bapak perlahan berjalan ke arah kamar nyi endang. Sebenarnya, hatinya sedikit gugup dan khawatir serta takut, namun, karena ini adalah mertuanya sendiri, bapak pun merasa prihatin dan kasihan terkait apa yang terjadi kepadanya.
Saat bapak ingin membuka pintu, tiba-tiba ia mendengar suara seorang wanita lain dengan nada yang sedikit berat namun tidak bisa dikenali suaranya.
‘’Sebentar lagi akan jatuh selasa kliwon. Rojo ketek pasti bakal meminta seserahannya. Kalau orang ini yang akan menjadi seserahannya, mungkin, kau akan menjadi kaya raya dengan hanya hitungan hari saja.’’
Lalu secara bersamaan, suara kethek (monyet) bersahutan dengan jelas. Karena bapak tidak tahan lagi, bapak pun langsung membuka pintu kamar nyi endang yang kebetulan tidak terkunci.
Setelah pintu terbuka, bapak terkejut saat melihat Mbak neneng sedang duduk bersebelahan dengan nyi endang sembari memainkan rambut.
‘’Mas arto? Ada apa mas? Kok gak ijin dulu kalo mau masuk? Gak sopan loh, mas.’’
‘’Oooh, mbak neneng. Maaf, mbak. Saya gak tahu.’’ Ucap bapakku dengan tangan kirinya yang masih memegangi sisa beleman yang akan digunakan di belakang rumah nanti.
Bapak pun segera menutup pintu. Ia pun kembali melanjutkan tugasnya untuk membakar beleman di belakang rumah.
Sesampainya di belakang rumah, bapak pun langsung membakar beleman tersebut. Namun baru saja beleman di tinggal sebentar, tiba-tiba beleman itu mati sendiri seperti tertiup angin yang kencang.
‘’Loh? Kok mati lagi?’’
Bapak kembali menyalakan beleman itu kembali, namun saat bapak ingin meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba beleman itu kembali mati. Bapak pun merasa aneh. Namun di sela-sela dirinya sedang berpikir, tiba-tiba bulu kuduk bapak merinding seketika.
Secara perlahan terdengar suara wanita tertawa namun bukan seperti suara kuntilanak. Suara itu berbeda lagi seperti bukan suara yang sama seperti bapak melihat sosok kuntilanak di depan rumah. Tapi suara ini lebih mirip seperti suara seorang wanita yang ia kenali sebelumnya.
Saat bapak menengok ke Arah belakang, ternyata bapak sudah melihat mbak neneng sedang menyisiri rambutnya dengan menggunakan sisir milik ibu. Lalu secara perlahan ia menggaruk-garuk bagian dagu, kepala dan badannya menggunakan kedua tangannya mirip seperti monyet.
‘’Mbak neneng? Mbak kenapa?’’ Mbak neneng seperti orang yang sedang kerasukan. Bapak pun mendekati mbak neneng, namun mbak neneng berlari ke arah depan rumah seperti monyet yang berjingkrak-jingkrak ke sana kemari.
Bapak pun mengejar Mbak neneng yang sudah terlebih dahulu berada di depan rumah. Saat bapak sudah berada di depan rumah, kali ini bapak melihat seorang wanita yang sangat cantik rupawan sedang berdiri sembari memainkan selendang putih layaknya seorang penari.
Wanita cantik itu ternyata adalah mbak neneng. Namun ada yang berbeda dari raut wajah mbak neneng. Matanya sangat tajam seperti monyet. Lalu yang lebih menakutkan lagi, mulutnya tersenyum sembari mengeluarkan gigi-giginya.
Bersamaan dengan itu, bapak mendengar suara monyet-monyet dari atap rumahnya. Secara bersamaan monyet-monyet itu menghampiri mbak neneng lalu mengitarinya secara perlahan.
Bagaikan seorang ratu, mbak neneng sekarang sedang dikeliling oleh monyet-monyet aneh yang memilki buntut yang sangat panjang. Beberapa dari mereka juga memiliki taring yang sangat panjang dan runcing.
‘’Mbak neneng! Mbak kenapa?’’
Mbak neneng tetap tersenyum. Dia pun berjingkrak-jingkrak bagaikan monyet. Lalu mengeluarkan suara yang persis dan mirip seperti monyet.
‘’Mbak! Mbak sadar, mbak!’’
Suara teriakan bapak akhirnya diketahui oleh keluarga lainnya. Secara bersamaan mas sugeng, mas pangarep, mbak ayu, mbak ina dan mas krishna pun keluar secara bersamaan.
Mereka bertujuh (bersama bapak) memperhatikan tarian monyet yang sedang diperagakan oleh mbak neneng di hadapan keluarganya sendiri.
‘’Arto? Kenapa dengan neneng?’’ Tanya Mas Krishna.
‘’Ndak tahu mas. Dia dari tadi joget-joget kaya monyet.’’
Mbak ayu dan mas pangarep pun langsung menuju ke arah mbak neneng yang sedang berjoget-joget.
‘’Metu! Metu!’’ (Keluar! Keluar!) Teriak Mbak ayu.
‘’Wes! Mulih maneh! Wes rampung!’’ (Sudah! Pulang lagi! Sudah selesai!) Ucap mas pangarep.
Setelah keduanya memerintahkan sosok yang merasuki mbak neneng keluar, mbak neneng pun akhirnya pingsan seketika. Mas sugeng dan mbak ina menggotong mbak neneng untuk masuk ke dalam kamar.
Bapak yang penasaran, akhirnya mencoba diri untuk menanyakan apa yang baru saja terjadi kepada mbak neneng. Namun, tidak ada jawaban dari mbak ayu dan juga mas pangarep.
‘’Mas? Mbak neneng kenapa?’’ Tanya bapak.
‘’Sudah! Jangan ikut campur! Dia sedang melakukan seserahan kepada leluhur!’’ Jawab mas pangarep.
‘’Seserahan kepada leluhur?’’ Mas pangarep mendekati bapak, lalu membisiki sesuatu yang dianggap sangat penting.
‘’Jika kamu tidak ingin melihat hal aneh di keluarga ini, maka segeralah pergi dari tempat ini. Jika tidak, dirimulah yang akan menjadi setelahnya.’’
‘’Maksudnya?’’ Tanya Bapak.
‘’Kelak kau akan tahu sendiri.’’
Mas pangarep pun meninggalkan bapak. Secara perlahan dia dan juga mbak ayu berjalan lagi ke kamarnya.
Bapak masih penasaran, mengapa tiba-tiba mbak neneng menari-nari seperti monyet? Lalu dari manakah selendang yang Ia dapatkan.
Karena sewaktu bapak menemui mbak neneng di dapur, mbak neneng tidak membawa sehelai kain atau bahkan selendang putih.
Bapak pun mulai kembali berpikir. Apakah yang dikatakan oleh kang waris benar adanya jika salah satu anggota keluarganya melakukan hal ini sebagai seserahan untuk membuka ritual pertama dalam pesugihan?
Lalu siapakah yang menjadi pelakunya? Apakah mas pangarep? Mbak ayu atau bahkan mbak neneng?
BERSAMBUNG
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya