Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DI ANTARA DUA DUNIA (Part 3 END)

Lelaki itu menjambak rambutku dengan kasarnya, lalu mengayunkan tongkatnya menghantam kepalaku!

BUGH !

Pandangan mataku seketika berkunang-kunang. Tubuhku terkapar terkulai lemas dengan darah mengucur deras dari pelipisku yang sobek.

Samar-samar kulihat lelaki itu kembali berancang-ancang untuk mengayunkan pukulan pamungkasnya...

Aku sudah pasrah. Rupanya di sini kisah perjalanan hidupku akan berakhir…


DI ANTARA DUA DUNIA
(Bagian Akhir)

Keesokan harinya, aku sengaja memanfaatkan waktu liburku untuk ngobrol dengan Bu Ros. Coba mencari tau lebih dalam lagi perihal misteri rumahnya ini, demi merangkai teka-teki yang baru setengahnya saja bisa terungkap.

"Maaf bu, apa ibu sudah pernah coba cari informasi dari tetangga sekitar sini? Mungkin mereka tau?"

"Sudah mas, saya sudah pernah coba tanya-tanya. Tapi rata-rata dari mereka menjawab tidak tau dan seperti enggan untuk membicarakannya. Ya saya nggak bisa maksa." Jawab Bu Ros.

Keterangan Bu Ros tadi malah makin membuatku penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?

Karena dari penglihatanku semalam, aku cuma diberi gambaran tentang peristiwa tragis yang menimpa gadis itu, tapi tak tau siapa dia, dan siapa lelaki yang coba memperkosa dan mencekiknya. Semuanya masih abu-abu.

Bu Ros yang rupanya juga amat penasaran, akhirnya langsung setuju ketika aku mengajaknya untuk mengunjungi salah satu sesepuh wilayah itu demi mendapatkan sedikit petunjuk.

***

Dan akhirnya, kini kami telah berada di hadapan Pak Jayusman, sang sesepuh sekaligus ketua RW di lingkungan itu.

Awalnya, lelaki tua itu nampak ragu untuk menjawab ketika kami bertanya tentang sejarah dan misteri pemilik rumah itu sebelum Bu Ros.

Namun setelah didesak, akhirnya dia mau bercerita panjang lebar tentang asal-usul sang pemilik rumah terdahulu, dan juga tentang apa yang sesungguhnya terjadi di rumah itu.

"Lima belas tahun yang lalu, rumah itu milik keluarga Pak Sasongko, dia masih kerabat dekat saya. Rumah itu memang sudah jadi tempat kos sejak dulu. Penghuninya rata-rata mahasiswa, tapi ada juga yang pekerja."

"Pak Sasongko punya anak semata wayang, namanya Dimas. Dia adalah putra tumpuan harapan keluarga. Pemuda yang cerdas dan selalu membanggakan orang tuanya."

Tapi entah mengapa, pada suatu ketika Dimas mulai bertingkah aneh. Dia tiba-tiba saja jadi sering menjerit-jerit ketakutan di dalam kamarnya sambil menyebut-nyebut nama Diana. Entah apa penyebabnya, kami tak tau."

"Kian hari kondisi Dimas kian memprihatinkan. Dia sudah seperti orang yang tak waras. Sehari-hari dirinya hanya meringkuk ketakutan di dalam kamar. Pak Sasongko dan istrinya amat khawatir. Mereka sudah coba membawa Dimas untuk berobat, tapi tak membuahkan hasil."

"Hingga akhirnya terjadilah peristiwa tragis itu. Suatu malam, Dimas ditemukan tewas bunuh diri dengan memotong nadi lengannya sendiri di dalam kamarnya..."

"Astaga! Bunuh diri? Ya Allah.. Lalu selanjutnya apa yang terjadi pak?" Ucap Bu Ros kaget bukan kepalang.

"Tentu saja peristiwa itu langsung menggegerkan lingkungan sekitar sini. Pak Sasongko dan istrinya amat terpukul dengan kejadian itu."

"Sejak saat itu, keluarga pak Sasongko menarik diri dari pergaulan. Bahkan istrinya sampai sakit akibat tak kuat menanggung beban mental karena selalu teringat akan peristiwa tragis yang menimpa anak kesayangannya itu."

"Akhirnya demi menghilangkan trauma kenangan buruk, pak Sasongko memutuskan untuk menjual rumah itu dan pindah ke luar kota."

"Tapi setahun kemudian, istri pak Sasongko wafat akibat sakit yang berkepanjangan. Pak Sasongko yang kesepian, akhirnya jadi sakit-sakitan kemudian wafat menyusul istrinya 3 tahun setelahnya."

"Rumah itu sempat beberapa kali berganti pemilik, kalau tak salah sekitar 3 kali. Hingga akhirnya pemilik terakhir menjualnya kepada Bu Ros."

"Maaf Bu Ros, selama ini kisah ini memang sengaja saya tutup-tutupi. Saya juga minta seluruh warga sini untuk tutup mulut, dan mereka pun tak keberatan, karena semasa hidupnya, Pak Sasongko dikenal sebagai orang yang murah hati dan sering membantu tetangga sekitarnya."

"Semua itu saya lakukan demi menjaga nama baik dari keluarga Pak Sasongko yang masih kerabat saya. Maafkan saya bu." Ucap pak Jayusman menutup kisah panjangnya.

"Maaf pak, tadi bapak bilang kalau Dimas sering menyebut-nyebut nama Diana? Diana itu siapa pak?" Tanyaku penasaran.

"Saya kurang jelas. Memang dulu ada salah satu penghuni kos yang bernama Diana. Seorang gadis perantau asal sumatra yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Dia itu anak yatim piatu, tanpa sanak saudara. Dia anak yang baik dan sopan, cantik lagi."

"Tapi Diana tiba-tiba saja pergi menghilang entah kemana. Sampai saat ini, tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan waktu itu semua barang-barangnya dia tinggalkan begitu saja tanpa ada satu pun yang dia bawa."

"Ya ampun.. Jangan-jangan..." Aku terkejut mendengar penuturan kisah dari pak Jayusman barusan. Kepingan-kepingan misteri itu satu-persatu mulai terangkai dengan jelas.

"Memangnya kenapa nak Katon?" Tanya pak Jayusman heran campur penasaran.

Akhirnya demi menjawab rasa penasarannya, kuceritakan tentang siapa diriku dan juga tentang penglihatanku semalam. Pak Jayusman dan Bu Ros langsung terkejut begitu mendengar semua kisah yang baru saja kuceritakan.

"Astaga! Apa benar itu nak Katon?" Tanya pak Jayusman masih tak percaya.

"Maaf pak, memang terdengar tak masuk akal, tapi itulah yang saya lihat semalam. Sepertinya Diana telah dibunuh oleh Dimas. Lalu jenazahnya diam-diam dikubur di satu tempat tersembunyi."

"Setelah itu sepertinya Dimas jadi ketakutan akibat terus diganggu arwah Diana. Tapi kita harus memastikan dulu kebenarannya."

"Astaga.. Tapi memang betul, ada lokasi dekat sini seperti yang nak Katon sebutkan tadi. Tapi apa iya Dimas sudah bertindak sekeji dan senekat itu?" Ucap pak Jayusman menduga-duga.

"Begini saja pak, lebih baik kita segera periksa ke sana untuk membuktikan semuanya. Agar kita tak hanya sekedar menebak-nebak." Balasku memberi saran.

Pak Jayusman pun setuju dengan saranku. Dia yang kini jadi ikut penasaran, membawa diriku dan juga Bu Ros ke lokasi seperti yang telah kusebutkan tadi.

***

Setelah beberapa saat, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Sebuah tepian sungai yang banyak ditumbuhi pohon bambu liar dan semak belukar. Letaknya ternyata tak terlalu jauh dari rumah Bu Ros.

Tapi di situ aku merasakan getaran yang tak biasa. Aku maklum. Tempat yang jarang didatangi orang seperti ini, memang jadi tempat yang nyaman bagi para makhluk halus untuk bersarang.

Dan dugaanku pun tak meleset...

Kulihat ada beberapa makhluk menyeramkan dengan berbagai bentuk dan rupa bertebaran di sekitar area ini.

Ada ular besar berkepala manusia, sosok tubuh tanpa kepala, dan juga sosok nenek menyeramkan yang duduk dengan kaki berayun di salah satu dahan pohon besar.

Dan di situ juga, aku melihat Diana...

Dia berdiri mematung di bawah sekumpulan pohon bambu yang besar dan rindang.

Aku pun segera mendekat ke sana diikuti pak Jayusman dan Bu Ros yang jadi bingung melihat tingkahku yang tak biasa.

Langkah kami terhenti di depan sebuah gundukan tanah yang ditumbuhi rumput liar dan semak belukar. Sesaat aku melirik ke arah pak Jayusman dan Bu Ros, wajah mereka kini terlihat tegang.

Lalu dengan peralatan seadanya, aku dan pak Jayusman segera membongkar gundukan tanah itu dengan sangat hati-hati.

Dan tak lama kemudian, kami terkejut begitu melihat tulang-belulang manusia yang terkubur di dalamnya.

Jasad Diana...

Astaghfirullahaladzim..

Diana..

Betapa malangnya nasib gadis itu. Jelas saja arwahnya begitu marah. Kehidupannya telah direnggut secara paksa.

Jangankan untuk mendapatkan kiriman doa-doa, bahkan jenazahnya pun terkubur sembarangan dalam waktu yang cukup lama.

Akhirnya tulang-belulang itu segera kami evakuasi dari tempat itu. Dan pak Jayusman langsung mengurus dan memakamkannya kembali dengan layak tanpa mengundang banyak perhatian.

Pak Jayusman yang masih syok dengan semua temuan itu, sengaja memintaku dan juga Bu Ros untuk tutup mulut agar tak memperpanjang masalah.

Aku pun tak keberatan. Lagi pula jasad Diana sudah ditemukan, dan Dimas sang pelaku juga telah menuai karma dari perbuatannya.

***

Akhirnya mengikuti saranku, Bu Ros mengadakan pengajian selama 7 malam berturut-turut, mengundang warga sekitar untuk mengirimkan doa-doa tulus bagi Diana, agar arwah sang gadis bisa tenang di alam sana.

Namun tepat di malam yang ke-7, tiba-tiba ponselku bergetar berkali-kali. Membuatku yang sedang khusyuk ikut mengaji, jadi merasa sedikit terganggu.

Sejenak kuperiksa ponselku, dan sempat heran melihat nama Pak Maman yang muncul pada layar.

"Halo? Ada apa pak?" Jawabku setelah sebelumnya menyingkir keluar agar tak mengganggu jamaah pengajian yang lain.

"Ton, gawat Ton! cepat kemari! Ke proyek! Ini ada yang mencurigakan!" sahut Pak Maman di sebrang sana dengan suara yang berbisik-bisik.

"Mencurigakan? Maksudnya gimana pak?" Balasku penasaran.

"Aduh, nanti saja saya jelaskan! Takut nggak keburu! Pokoknya kamu cepat kesini ya? Deket bedeng kuli! Saya tunggu!" Sahut Pak Maman langsung memutus sambungan telpon.

Perasaanku jadi tak enak. Dari gelagatnya, sepertinya Pak Maman mengetahui sesuatu yang amat penting hingga dia berbicara seperti itu.

Kami telah lama bersahabat. Pak Maman bukan tipe orang yang suka mengada-ada. Membuatku makin penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

Akhirnya setelah sempat mohon pamit pada Bu Ros, aku segera meluncur ke lokasi proyek.

Sesampainya di sana, kutemui Pak Maman yang nampak sedang membungkuk mengendap-endap di samping bedeng kuli.

"Sstt.. Pak! Ada apa?" ucapku berbisik lirih.

"Sini Ton! Kamu harus lihat ini!" Sahut Pak Maman memintaku untuk mendekat.

Aku ikut berjongkok di samping Pak Maman yang langsung menunjuk ke satu arah..

ASTAGA!

Di sana, ada dua bocah kecil duduk di tanah dengan tangan terikat ke belakang. Kepala mereka ditutupi kain hitam, meronta-ronta berusaha membebaskan diri!

Di dekat mereka, nampak dua orang anak buah Pak Jamal sedang berdiri siaga dengan tongkat pemukul, sambil terus mengawasi kedua anak itu.

Tapi bukan itu saja yang menyita perhatianku...

Tak jauh dari kedua bocah itu, ada mbah Giri yang duduk bersila di hadapan susunan sesaji dan bakaran dupa. Dia terlihat fokus dengan mata terpejam sambil komat-kamit.

Sesaat aku dan Pak Maman saling pandang, seolah bertanya dalam diam apakah kami memikirkan hal yang sama?

SINTING!

Sepertinya kedua bocah itu akan ditumbalkan!

Ternyata itu maksud dari Pak Jamal meminta agar area proyek ini dikosongkan. Dia tak ingin kalau sampai ada orang lain yang menyaksikan semua kegilaan ini.

Rupanya cara ini mereka anggap sebagai solusi dari masalah yang selama ini membuat proyek jadi tak kunjung rampung.

Memang harus kuakui, gagalnya proyek ini sepertinya ada campur tangan dari para mahluk gaib penunggu wilayah ini. Mungkin mereka merasa terusik dan terganggu ketenangannya.

Tapi jalan pintas dengan cara menumbalkan dua nyawa bocah yang tak berdosa, adalah cara keji yang tak masuk akal dan jelas tak bisa diterima!

"Bagaimana ini Ton?" Tanya Pak Maman.

"Coba cari bantuan pak, panggil kuli yang lain. Sementara itu, biar saya coba menggagalkan ritual ini." Sahutku memberi saran.

"Eh? Jangan gila kamu! Bisa celaka kamu nanti!" Sanggah Pak Maman protes.

"Insya Allah nggak pak. Kalau cuma dua orang anak buah Pak Jamal itu, mudah-mudahan bisa saya hadapi. Tapi saya khawatir mereka nanti menghubungi temannya yang lain, makanya kita butuh banyak bantuan." Jelasku lagi.

Pak Maman sesaat terdiam, menimbang-nimbang saranku barusan.

"Ya sudah! Tapi kamu hati-hati ya? Saya pasti cepat kembali lagi!" ucap Pak Maman sambil menepuk pundakku lalu mengendap-endap bergegas pergi.

***

Kini tinggal diriku yang coba memikirkan cara dan mengukur diri apakah aku sanggup untuk menghadapi kedua orang anak buah Pak Jamal yang berbadan kekar itu.

Tapi hatiku mantap. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Aku siap mati di jalan kebenaran seperti yang sering dikisahkan oleh Eyang Kakung kepadaku.

Kisah heroik tentang para leluhurku terdahulu yang juga gugur dengan tujuan mulia.

Tiba-tiba terdengar suara mbah Giri yang berkata lantang memberi perintah.

"Habisi mereka!" Ucapnya sambil menunjuk kedua bocah kecil itu.

Kedua anak buah Pak Jamal langsung siap dengan tongkat pemukul di tangan mereka!

"HENTIKAN! SUDAH GILA KALIAN!"

Teriakku lantang sambil keluar dari tempat persembunyian!

Mereka semua terkejut dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Sesaat mbah Giri terlihat gugup. Namun dia langsung bangkit dari duduknya, lalu berdiri sambil bertolak pinggang kemudian berkata lantang.

"Eh? Ada pahlawan kesiangan rupanya? Lebih baik kamu segera menyingkir, atau kamu akan ikut kami lenyapkan!" Balas mbah Giri dengan nada angkuh.

"Tua bangka keparat! Punya ilmu tinggi malah dipakai untuk berbuat jahat! Dasar goblok!" Hardikku tak kalah sengit.

Wajah mbah Giri langsung berubah mendengar ucapanku yang merendahkannya. Begitu juga dengan kedua orang anak buah Pak Jamal yang terlihat tak senang.

"Hai kalian berdua! Cepat habisi dia! Jangan buang-buang waktu!" Balas mbah Giri kembali memberi perintah pada dua orang Anak buah Pak Jamal.

Keduanya pun langsung maju bersamaan dan dengan bernafsunya segera merangsek mengeroyokku!

Kucoba meladeni mereka sebisaku. Menahan dan menangkis setiap pukulan dan tendangan yang datang bertubi-tubi.

Tapi karena kekuatan kami yang tak berimbang, membuatku hanya mampu bertahan sebentar saja. Tak lama kemudian, diriku sudah jatuh tersungkur mencium tanah!

Aku terbaring sambil memegangi perutku yang langsung nyeri akibat terkena kerasnya hantaman tongkat pemukul.

Mereka langsung mendekatiku dengan tongkatnya yang siap terayun..

"Laa haula walaa quwata illa billaaah..."

Hanya doa itu yang berkali-kali terucap dari bibirku yang pecah mengeluarkan darah.

Salah satu lelaki itu menjambak rambutku dengan kasarnya, lalu mengayunkan tongkatnya menghantam kepalaku!

BUGH !

Pandangan mataku seketika berkunang-kunang. Tubuhku terkapar terkulai lemas dengan darah mengucur deras dari pelipisku yang sobek.

Samar-samar kulihat lelaki itu kembali berancang-ancang untuk mengayunkan pukulan pamungkasnya. Aku sudah pasrah. Rupanya di sini kisah perjalanan hidupku akan berakhir.

Dalam ketidak berdayaanku menjelang ajal, hal terakhir yang kulihat adalah seringai sadis lelaki itu saat mengayunkan tongkatnya tinggi-tinggi, disambung suara teriakan lantang..

"WOOY!"

Lalu segalanya gelap...

***

Aku terbangun di tempat lain. Kepalaku terasa sakit dengan perban yang membalut. Terlihat Pak Maman yang sedang berbicara dengan beberapa orang kuli pekerja.

"Alhamdulillah! Kamu sudah sadar Ton!" Ucap Pak Maman setengah berteriak kegirangan ketika melihatku siuman.

"Saya dimana pak?"

"Kamu ada di Rumah Sakit. Alhamdulillah kami datang tepat pada waktunya. Kalau nggak? Waduh nggak tau lagi saya! Tapi kamu nggak usah banyak gerak dulu, nanti saja kalau sudah pulih. Kamu terluka cukup parah. Nekat juga kamu ya?" Balas Pak Maman sambil tersenyum.

"Anak-anak itu bagaimana pak? Apa mereka selamat?" Tanyaku kembali sambil memegangi kepala yang terasa terus berdenyut.

"Tenang saja, mereka berhasil kami selamatkan. Mbah Giri dan kedua orang anak buah Pak Jamal juga sudah ditangkap Polisi." Jawab Pak Maman lagi sambil kembali tersenyum.

Ah, hatiku lega mendengarnya. Sebuah dosa besar telah berhasil kami cegah. Kembali ada rasa nyaman yang menjalar dalam dada. Rasa yang muncul setelah berhasil menolong sesama.

***

Setelah beberapa hari, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Pak Maman yang tadinya ingin mengabari keluargaku di Jakarta, segera kucegah.

Aku tak ingin ibuku sampai tau peristiwa yang di alami putranya. Aku tak ingin membuat beliau jadi khawatir. Toh kini aku baik-baik saja. Hanya perban di kepala yang masih terasa amat mengganggu.

Akhirnya aku diantar pulang ke tempat kos. Bu Ros yang sangat khawatir dengan keadaanku, lalu dengan setia merawatku bagai anaknya sendiri yang justru tak pernah dimilikinya.

Hingga akhirnya aku berangsur pulih. Aku yang tadinya berniat untuk segera kembali ke Jakarta, mati-matian berusaha dicegah oleh Bu Ros.

"Tempat ini kan sudah disewa 3 bulan, masa belum genap sebulan mas Katon sudah mau pulang?" ucapnya membujuk.

"Iya Ton. Santai saja lah. Hitung-hitung liburan. Lah wong gratis kok, tinggal molor aja! hahahaha." Canda Pak Maman yang kebetulan mampir.

"Proyek gimana kabarnya pak?" Tanyaku penasaran.

"Proyek untuk sementara dihentikan. Masih digaris Polisi. Tapi walau nanti bakal lanjut, sepertinya pemborongnya bakalan ganti. Lagipula saya sudah nggak perduli, mau keluar saja. Siapa yang mau punya bos gila begitu? Bisa-bisa lain kali malah saya yang jadi tumbalnya! Hahaha.."

"Lalu kasusnya gimana?"

"Berat Ton. Paling yang masuk penjara cuma anak buah Pak Jamal dan mbah Giri saja. Kalau Pak Syam mana mungkin? Dia dengan mudahnya cari pengacara mahal supaya bisa lepas dari jerat hukum. Ya kamu tau sendirilah dia siapa? Koneksinya itu lho, kelas kakap semua." Jelas Pak Maman.

Aku tertegun. Pak Maman ada benarnya. Di dunia yang makin tua ini, uang dan kekuasaan bagai Tuhan yang mampu mengatur segalanya. Kebenaran dengan mudahnya dapat diputar balikkan. Yang benar bisa jadi salah, atau pun sebaliknya.

Namun tiba-tiba ponselku berdering. Ada nama ibu yang muncul pada layar.

"Halo Ton? Kamu dimana? Kamu baik-baik saja kan?" Ucap ibu di sebrang sana dengan nada khawatir.

"Iya bu, Katon nggak apa-apa kok. Memangnya ada apa? Kok tumben telpon segala?"

"Eh, kamu jangan coba nutup-nutupi ya! Ibu sudah tau semuanya dari Pak Maman!"

Seketika pandanganku beralih pada Pak Maman yang langsung nyengir sambil mengangkat bahu.

"Pokoknya kamu cepat pulang! Ibu khawatir sama kamu." ucap ibu lagi.

"Iya bu. Nanti Katon pulang. Ibu tenang saja ya, Katon nggak apa-apa kok." Balasku lalu menutup pembicaraan telpon.

"Maaf Ton, kemarin ibumu telpon. Rupanya instingnya sebagai seorang ibu terlalu kuat. Saya nggak mungkin bohong sama ibumu." Ucap Pak Maman langsung menjelaskan tanpa kuminta.

Aku maklum. Lagipula urusanku di sini sudah selesai. Dengan terpaksa aku pamit untuk pulang besok kepada Bu Ros yang terlihat masih tak ikhlas.

***

Malam harinya, aku langsung sibuk membereskan semua barang bawaanku yang tiba-tiba jadi menumpuk akibat ditambah banyaknya oleh-oleh yang sengaja dibelikan Bu Ros.

Namun di tengah-tengah kesibukanku, mendadak kembali kurasakan getaran itu.

Ini apa lagi?

Sesaat aku terdiam. Menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Dan akhirnya muncul sesosok bayangan di sudut sana..

Diana, hadir dengan wujudnya yang lain. Wujud yang sempurna. Dia terlihat amat cantik. Dia menatapku dengan tatapan mata hangat yang memancarkan rasa bahagia.

Dia tersenyum seolah mengucapkan salam perpisahan, lalu perlahan wujudnya makin menipis, dan akhirnya menghilang...

"Selamat jalan Diana, semoga kamu tenang di alam sana." Batinku berucap lirih.

***

Keesokan harinya, aku berpamitan kepada Bu Ros yang tak henti-hentinya mengucapkan rasa terima kasih sambil menangis.

Dia memelukku erat-erat. Perjumpaan kami yang terbilang singkat, rupanya telah memberikan kesan yang mendalam pada dirinya dan juga diriku.

Dia pun tak henti-hentinya melambaikan tangan sambil berpesan agar lain kali aku berkunjung lagi, mengiringi kepergianku meninggalkan halaman rumahnya diantar mobil Pak Maman.

Sesampainya di Jakarta, panggilan ponsel berdering dari mbak Susi sang sekretaris, mengabarkan kalau aku diminta untuk segera menghadap Pak Syam.

Keesokan harinya, aku pun segera menemui Pak Syam yang telah menunggu di ruangannya bersama pak Jamal yang terlihat sinis menyambut kehadiranku.

Dan sudah kuduga, dia menyerahkan surat Pemutusan Hubungan Kerja beserta sejumlah uang tutup mulut yang langsung kutolak mentah-mentah. Aku tak sudi menerima uang dari penjahat.

Bukannya aku munafik. Aku jelas membutuhkan uang. Tapi aku tak mau menikmati uang dari hasil perbuatan menghalalkan segala cara yang tercemari dosa.

Dan di hari itu juga, Pak Maman rupanya mengalami hal yang sama. Tapi aku percaya dia akan baik-baik saja seperti halnya diriku.

Walaupun diriku tak sekaya Pak Syam, tapi aku bahagia punya sahabat seperti Pak Maman dan juga keluarga yang nilainya tak bisa diukur dengan uang.

Ajaran kebajikan yang kuterima sejak kecil, terlalu berharga bila harus dilanggar demi sejumlah uang dan kedudukan.

Dan semua ajaran mulia ini akan kuwariskan kepada anak cucuku kelak, seperti yang telah dilakukan oleh para leluhurku sebelumnya.

-SELESAI-

Terima kasih telah menyimak cerita ini, semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya.

Maafkan bila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Nantikan kisah-kisah selanjutnya, silahkan follow akun ini (Jejak Misteri Kisah Nyata) untuk bisa terus update cerita-cerita yang pastinya seru & menegangkan

Wassalam.
close