Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH WARISAN Pemilik Gilingan Padi

"Prang." suara gelas dan piring yang berjatuhan terdengar dari dapur, memecahkan keheningan saat aku ditinggalkan oleh majikanku sendirian.

Malam Jum'at yang sangat hening, hanya aku sendiri yang berada dirumah besar berwarna putih itu, aku pulang sedikit telat karena Bu Haji dan suaminya belum pulang berbelanja ke Pasar Cililin.

Anakku Radjib sudah beberapa kali menjemput karena katanya si kecil Ben anak bungsu ku terus menangis di rumah.

"Bi, Pulangnya rada malem gapapa yah? soalnya saya mau ke Cililin dulu, belanja alat sekolah Neng Cinta!" pesan majikanku sore itu.

Sebenarnya aku sudah menolak, jaga rumah sampai larut malam, tapi apalah daya, jika majikan ku memberi upah lebih, mungkin akan menambah pendapatan untuk bekal Radjib sekolah.

Tahun 1999, suamiku jarang pulang ke Bandung, karena bengkel kakaknya di Bekasi sedang sepi omset, kondisi ekonomi keluarga terbawa arus moneter, jadi aku membantu mencari tambahan penghasilan menjadi asisten rumah tangga harian di rumah Haji Ria.

Bu Haji Ria adalah anak Pak Haji Dedi, orang kaya pemilik gilingan padi di Desaku, yang sebelumnya pernah kuceritakan di Thread "Gilingan Padi".

Upahnya memang kecil, hanya sekitar Rp100.000 per bulan, tapi lumayan untuk menambah biaya dapur, karena aku tinggal bersama Abah, Umi dan adikku yang masih lajang.

Setelah Adzan Maghrib Andi penjaga grosir Majikanku bergegas pamit, dia harus membantu menyiapkan hidangan untuk acara pengajian di rumah orang tua Bu Haji yang berjarak lumayan jauh dari rumah itu.

Usai mengunci gerbang karena semua mobil sudah masuk garasi, aku bergegas sembahyang Maghrib lalu membaca surah Yasin seperti biasa kulakukan di rumah setiap malam Jum'at.

Saat aku sedang mengaji di kamar Neng Cinta, aku seperti ditemani seorang perempuan yang ikut mengaji, suaranya seperti mengikuti lantunan ayat-ayat yang aku bacakan.

Aku tak banyak berpikir yang aneh-aneh, memang sudah biasa, jika sedang bicara di ruangan yang besar selalu ada gema seperti suara yang mengikuti.

Selesai aku mengaji, aku lanjut beres-beres melipat pakaian yang tadi pagi kucuci, ketika sedang asyik melipat pakaian sambil membaca solawat, tiba-tiba,

"Assalamualaikum?" terdengar samar-samar seseorang perempuan yang memanggil dari pintu depan, pintu yang hanya dibuka jika sedang bersih-bersih saja.

"Waalaikum salam." jawabku sambil menghampiri pintu depan, kubuka pintu itu, dari depan pintu kulihat tidak ada siapapun, suasana di halaman depan dan jalan raya juga sangat sepi.

"Ah mungkin tadi hanya pendengaran ku saja!" gumamku dalam hati sambil bergegas mengunci kembali pintu depan, biasanya memang pintu itu selalu terkunci, karena semua aktivitas dilakukan lewat pintu samping dan pintu belakang.

Aku kembali ke ruangan belakang untuk menyelesaikan pekerjaanku, pikirku supaya besok pekerjaan rumah tidak terlalu banyak, tak apalah daripada tidak ada kegiatan sambil menunggu Bu Haji pulang.

Tak lama berselang, dari tengah rumah terdengar suara dering telepon.

"Kriiing, , Kriiing,," aku kembali keruangan tengah, saat akan ku angkat suara dering itu berhenti, pikirku mungkin gak jadi nelponnya.

Kembali aku ke kamar neng Cinta, belum beberapa langkah, tiba-tiba dering telfon itu kembali berbunyi, aku pun mengangkatnya.

"Hallo, Asalamualaikum?" tidak ada jawaban.

"Hallo, sama siapa? Ada yang bisa dibantu?” masih tidak ada suara dari penelepon itu, hanya terdengar seperti bisikan kecil tidak jelas dari seorang perempuan "Cepat pulang, kamu dalam bahaya!".

"Pret!" semua lampu di dalam rumah mendadak gelap.

"Astagfirulloh!" aku terkejut, karena semua aliran listrik mati, kusimpan gagang telepon lalu bergegas menyalakan senter dari korek api.

Ketika aku menyalakan senter dari korek api, kulihat dari pelipis mata seperti ada seorang perempuan yang berjalan menaiki tangga, sepintas terlihat dia seperti mengenakan mukena.

"Siapa itu?" tanyaku sambil mengarahkan chaya senter ke arah tangga, kulihat dari tangga paling bawah perempuan itu masuk menuju kamar di lantai dua, setahuku kamar itu tidak pernah dibuka.

Majikan ku juga tidak pernah berani membuka kamar itu, karena dulunya adalah kamar bekas almarhumah istri Bapaknya.

Saat aku melangkah menaiki beberapa anak tangga, tiba-tiba tercium bau kamper yang sangat membuatku mual, sontak aku mundur turun kembali untuk menjauh, lalu ketika aku membalikan badan.

"Aaaaghh,," kulihat tepat didepan wajahku tampak wajah seorang perempuan yang tadi kulihat masuk ke kamar itu, bibirnya sedang tersenyum menyeringai dengan wajah yang sangat pucat dan menyeramkan.

"Cepaat pulaaang!" perempuan itu menyuruhku pulang, seakan dia tidak suka dengan keberadaan ku di rumah besar berwarna putih itu.

Aku tak sanggup menatapnya lalu menutup wajahku sambil membaca doa yang ku ingat, tubuhku sangat lemas setelah melihat wajah perempuan yang sangat menakutkan itu, aku tersungkur di ujung tangga paling bawah.

"Allahuakbar,, Allaaaahuakbar,," kudengar suara adzan Isya dari beberapa speaker mesjid, tak lama listrik pun kembali menyala, perempuan itu juga menghilang seperti mantan, aku langsung berlari menuju kamar Neng Cinta.

Lalu mengunci diri di dalam kamar sambil membaca doa-doa, aku berharap Andi atau Bu Haji segera pulang.

Tak lama berselang setelah selesai adzan, kudengar seperti suara pintu belakang dibuka.

"Kreekeeeet, , blug, ," suara pintu yang terbuat dari kayu jati, kubuka pintu kamar dan kulihat sepertinya itu adalah Andi.

"Di?" tanyaku dari balik pintu kamar sambil mengintip, dia tidak menjawab, kulihat dia berjalan cepat menuju ke kamar mandi di samping dapur.

"Ah syukurlah, ternyata Andi sudah pulang, mungkin dia kebelet." gumamku dalam hati, perlahan aku keluar dari kamar dan melihat keadaan di sekitar.

Yang membuatku heran, kenapa Andi bisa masuk padahal kunci pintu belakang masih tergeletak di dekat meja TV.

"Di? Kamu lagi apa?" tanyaku dari luar pintu kamar mandi, pria di dalam tidak menjawab, kudengar dari luar hanya suara air seperti seseorang sedang mandi sambil bernyanyi.

Suaranya sangat berat seperti Cakra Khan, aku mundur perlahan menjauhi pintu kamar mandi, lalu kudengar dari arah dapur.

"Prang, ,!" suara seperti piring atau gelas yang terjatuh, dengan penasaran kulihat dari pintu dapur, tepat di depan wastafel ada seorang perempuan berdiri menggunakan baju putih tadi.

Perempuan itu kulihat seperti sedang mencuci perabotan, aku mengucek mata memastikan apa yang kulihat, lalu perempuan itu menoleh sambil tersenyum ke arahku, jelas kulihat dia adalah yang tadi menampakan diri saat mati lampu.

Karena takut, aku langsung berlari menuju kamar Neng Cinta, tapi pintu kamarnya tidak bisa di buka, pintu itu seakan terkunci, aku bergegas mengambil kunci pintu belakang di atas meja TV agar bisa melarikan diri dari hantu itu.

Saat aku mencoba membuka pintu belakang, tiba-tiba dari kamar mandi keluar sosok makhluk yang lebih menyeramkan.

Seperti laki-laki bertanduk, mulutnya menyerupai Babi yang bertaring, matanya merah melotot menatapku, tubuhnya sangat tinggi besar hampir menyentuh langit-langit rumah.

Sosok itu telanjang tanpa pakaian, jujur, melihat tubuhnya tanpa busana membuatku sangat jijik, apalagi ketika terlihat sesuatu yang tegang di bawah perutnya sebesar anak kambing guling.

Dia terus mendekat ke arahku, aku berdoa dalam hati, sambil berteriak meminta tolong, sosok itu terus mendekat.

Kulemparkan sebuah tasbih dari saku bajuku sambil mengucap takbir.

"Aaaagghht, ," sosok itu menggeram seperti kesakitan, dia terjatuh kebelakang, lalu sosok itu menjauh seperti ditarik perempuan yang tadi kulihat di depan wastafel.

Kulihat makhluk itu dibawa ke lantai atas, aku terus berdoa sambil mencoba membuka pintu belakang, tak lama setelah pintu terbuka.

"Tiiid, , Tiiiid, ," suara klakson dari depan gerbang tanda Majikanku sudah pulang.

Setelah aku membukakan gerbang lalu Bu Haji turun dari mobil, aku langsung pamit pulang tanpa masuk kembali kedalam rumah itu.

Sesampainya dirumah kuceritakan pada Abah kejadian yang barusan terjadi didalam rumah itu, kata Abah aku hampir diperkosa Genderewo.

Beruntungnya aku masih ditolong jin Korin penunggu rumah yang menyerupai Almarhum Bu Haji Arafah, Jin Korin itulah yang katanya suka menampakan diri pada orang-orang yang apes.

Abah juga bercerita, katanya Ben anakku yang bungsu, dari sore dia terus menangis karena melihat penampakan Jin Korin itu dirumah, Jin Korin itu cemburu pada ku, karena penampilanku hampir menggoda genderewo jahat kekasihnya.

Percaya atau tidak, jika sukmaku diculik genderewo jahat itu ke alamnya, katanya jiwaku akan jadi seperti orang gila, lalu aku akan menjadi budak di alam mereka.

Setelah kejadian itu, aku tidak melanjutkan lagi bekerja disana, Alhamdulillah samapai saat ini aku tidak mengalami kejadian menyeramkan lagi.

Namun sampai saat ini, rumah besar berwarna putih itu masih ada, bahkan setelah dijual, pembeli setelahnya juga mengalami beberapa kejadian yang lebih mengerikan dari yang aku alami.

Semua karakter dalam Cerita ini sudah dirubah, karena narasumber tidak bersedia menyertakan nama aslinya, mohon maaf bila ada kesamaan nama, karakter dan tempat.


KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
close