Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 10)


JEJAKMISTERI - "Iki ngunu ono sangkutane karo seng tok lakoni biyen." (Ini semua ada sangkut pautnya dengan yang sudah kamu perbuat dulu.)

Mbah Han terhenyak mendengar ucapan Mbah Malik. Tiba-tiba saja mengingatkan suatu  kejadian yang pernah ia lakukan dulu.

"Maksudte, Mbah?" tanya Mbah Han, sedikit bingung.

"Masio sampean wes sadar, tapi ndisek ono seng tok lalekno. Cubo pikiren, opo wae seng di lakoni wektu sampean ngetutke Sanusi?" (Walaupun kamu sudah sadar, tapi dulu ada yang kamu lupakan. Coba pikir lagi, apa saja yang di lakukan waktu kamu mengikuti Sanusi?)

Wajah Mbah Han seketika menciut, berpikir keras mencerna ucapan Mbah Malik. 
Satu persatu kejadian kelam terpaksa kembali ia putar ulang dalam pikirannya. Mengingat semua yang dirinya perbuat, dari awal bertemu sampai dirinya meninggalkan Sanusi. Sebentar Mbah Han menggelengkan kepalanya, seperti menyerah dengan memori ingatannya. Namun, ketika sosok Zul berkelebat di matanya, bola mata Mbah Han membesar dengan wajah menegang.

"Geteh lan rambut!" (Darah dan rambut)

Bergetar suara Mbah Han, demi satu bayangan kejadian, tentang sejumput rambut berbaur dengan darahnya, saat pertama ia bekerja mengikuti Sanusi. 

"Yo, aku ileng. Geteh lan rambutku kesimpen nang Pak Sanusi," (Ya, saya ingat. Rambut dan darahku tersimpan oleh Pak Sanusi,) terang Mbah Han kembali.

"Lha, iku seng ndadekno perkoro Iki dowo. Nganti nggeret anak putumu." (Lha, itu yang membuat perkara ini panjang. Sampai menyeret anak cucumu.)

"Tapi, kenopo wektu iku, Mbah Dar gak ngandani tekan bab iki, Mbah? Padahal, Mbah Dar lah seng nyabut penumbalanku seko Pak Sanusi." (Tapi, kenapa waktu itu, Mbah Dar tidak memberi tau sampai pada masalah ini? Padahal, Mbah Dar lah yang mencabut penumbalan diriku dari Pak Sanusi.)

"Sak pinter-pintere menungso iku ono batesane. Gak kabeh iso kewoco seko mripat lahire lan batine. Mulo saiki seng penting awakmu kudu iso nemokne meneh geteh seng mbungkus rambutmu. Supoyo keluargamu iso slamet kabeh. Mergo perjanjian tumbal sirah sewune Sanusi kari tutupane." (Sepandai-pandainya manusia itu ada batasannya. Tidak semua bisa di baca dari mata lahirnya maupun batinnya. Maka sekarang yang penting kamu harus bisa menemukan lagi darah yang membungkus rambutmu. Supaya keluargamu bisa selamat semua. Karena perjanjian tumbal kepala seribu Sanusi tinggal penutupnya.)

Jelas Mbah Malik panjang lebar. Membuat Mbah Han sejenak terpaku diam.

"Diyah," ucap Mbah Han pelan.

"Diyah... seng ngerti segalane. Mergo Diyah marisi kabeh sak durunge dadi perkoro karo Yuda." (Diyah... Yang tau segalanya. Karena Diyah mewarisi semuanya sebelum menjadi perkara dengan Yuda.) sambung Mbah Han kembali.

"Yo wes, nek ngunu cepet susulen, jikok! Ojo ngasi telat," (Ya sudah, kalau begitu cepat kamu susul, ambil! Jangan sampai terlambat,) sahut Mbah Malik dengan memberi perintah.

Tak mau membuang waktu lagi, Mbah Han saat itu juga pamit dan segera menuju ke tempat kediaman Diyah.
Meski sekilas ia melirik jam dinding menunjuk jarum pendek pada arah 11, tak menghalangi niat serta tekadnya.

Sunyi dan sepi di rasa Mbah Han sepanjang jalan. Entah perasaannya saja, atau memang malam itu keadaan tempat-tempat di lewatinya, Yang biasa ramai oleh tongkrongan kawanan pemuda, begitu lengang. Seakan terkikis oleh dinginnya suasana malam.

Mbah Han terus memacu kuda besi merah marunnya. Menyusuri jalanan hitam aspal lebih dari empat puluh menitan.
Sampai ketika bertemu sebuah keramaian, dimana biasa menjadi jujugannya kala berdagang, Mbah Han membelokkan motornya. Melewati beberapa ruko di sisi kanan dan berhenti tepat di depan dua buah bangunan berpagar satu pintu.

Bangunan masing-masing dua lantai bercat dominan kuning, terlihat paling mencorong di antara deretan bangunan lainnya. Apalagi, sekilas melihat nama dan gambar seekor Naga memanjang menempel di dinding depan, tentu akan membuat sesiapapun langsung tau, jika dua bangunan itu adalah toko perhiasan.

Mbah Han tertegun sejenak. Berdiri memandang dua buah toko emas milik Diyah. Setelah memarkirkan motornya di depan gerbang setinggi leher orang dewasa. Tak lama, tangannya menggerakkan kancing besi yang menggantung di gerbang luar. Menimbulkan suara keras hingga membuat seorang lelaki tegap berseragam membuka pintu.

Mata lelaki sang penjaga sepintas mengamati Mbah Han penuh curiga. Menanyakan identitas dan keperluan Mbah Han. 

Beberapa detik kemudian, Mbah Han terlibat obrolan dengan sang penjaga. Lalu kembali menghampiri sepeda motornya, dengan raut wajah sedikit kecewa.

Perlahan Mbah Han meninggalkan tempat itu. Melaju lurus, menembus malam yang mulai berkabut. 
Urat di wajahnya mulai mengencang, ketika tiba di sebuah simpang jalan menuju sebuah Desa. Meskipun jalanan terlihat terang, tapi tak di pungkiri jika saat itu Mbah Han mulai tersusupi rasa tak enak.

Mbah Han terus bermain-main dengan pikirannya, seperti kembali bernostalgia dengan suasana Desa yang pernah menorehkan kenangan manis dan pahit saat dirinya mengabdi pada Sanusi. Dan malam itu, setelah sekian tahun lamanya, ia baru menapak dengan keadaan terpaksa, demi bertemu Diyah.

Setelah melewati jembatan kecil, Mbah Han mulai melambatkan kendaraannya. Tak lama, saat sebuah pagar teralis besi runcing terlihat, ia pun menghentikan sepeda motornya. 
Melangkah setapak demi setapak, mendekati pintu pagar yang terbuka. 

Ada keraguan dalam diri Mbah Han untuk meneruskan langkahnya masuk ke halaman luas rumah mewah peninggalan Sanusi. Namun segera di tepisnya, demi keselamatan keluarganya.

Tarikan nafas panjang Mbah Han, mengawali kakinya menginjak halaman berkerikil menuju satu pintu kayu lawas kokoh berukir. 
Berulang-ulang tangannya mengetuk pintu seraya memanggil. Menunggu beberapa saat, sampai akhirnya terdengar suara derap langkah dari dalam.

"Monggo." Satu suara sepuh, langsung menyapa Mbah Han. Setelah pintu berdaun kayu jati tua terbuka.

Sebentar Mbah Han terbengong, lidahnya seolah kelu untuk berucap, melihat sosok wanita berambut putih rata yang menyapanya. 

"Sampeyan mau ketemu Diyah, Kan?" 

Untuk kedua kalinya, Mbah Han di buat terkejut oleh ucapan wanita tua sedikit bungkuk itu. Matanya kini lekat menatap wajah berkeriput di depannya. Seperti ingin memastikan jika sosok wanita itu benar-benar manusia.

"Njeh, Mbah." (Iya, Mbah.) 
Akhirnya, dengan sidikit terbata, Mbah Han mampu dan berani menyahut.

"Monggo, ikut saya." ajak wanita itu sambil berbalik dan melangkah tanpa menunggu jawaban Mbah Han.

Kebimbangan sejenak menggurat wajah Mbah Han. Tapi akhirnya, Mbah Han pun mengikuti langkah kaki wanita tua itu. Menyusuri lorong-lorong redup, melewati ruang demi ruang berhawa anyep.

Raut wajah Mbah Han sedikuit menciut, saat sang wanita tua terus membawanya ke belakang. 
Mbah Han tau, masih sangat hafal, sudut demi sudut rumah yang dulu pernah menjadi persinggahannya setiap hari. Bahkan, bangunan belakang yang sedang ia tuju, masih jelas dalam ingatannya kapan, bagaimana, dan untuk apa bangunan itu. Karena masa itu, Mbah Han sendiri yang mengawasi awal sampai akhir pembuatannya.

"Kenapa sampeyan berhenti?" tanya sang wanita tua, saat menyadari Mbah Han berhenti terdiam di pintu terakhir rumah utama.

Mbah Han masih membisu. Terpaku dengan satu pemandangan di depan bangunan joglo, berjarak beberapa meter dari tempatnya.

"Apakah, itu makam Pak Sanusi?" 

Mbah Han yang belum beranjak dari tempatnya berdiri, melontarkan pertanyaan ketika ia berpikir tentang sebuah gundukan berbatu nisan, tengah di tatapinya.

Sayang, sang wanita tua seperti enggan menjawabnya. Ia hanya melirik dengan sunggingan senyum sinis pada Mbah Han.

"Apakah sampeyan, masih ingin bertemu Diyah?" 

Mbah Han tertunduk mendengar pertanyaan wanita tua itu. Bukan karena pertanyaannya saja, tapi lebih kepada menghindari tatapan sang wanita tua, yang berubah tajam menyala.

"Kalau masih mau bertemu, ikut saja. Jangan bertanya yang bukan urusanmu! Tapi kalau sudah tak ingin bertemu, silahkan kamu kembali!" Sengit, kali ini ucapan wanita tua itu. Membuat Mbah Han semakin dalam ketidak nyamanan. Apalagi, begitu ia memutuskan untuk melangkah, mengikuti wanita tua yang sudah berjalan lagi, tubuh Mbah Han mendadak merinding kuat, merasakan hawa lembab sekitaran tempat itu.

Rasa tercekam begitu lekat dalam benak Mbah Han. Menyadari setiap ayunan tapak kakinya, selalu ada mata yang mengawasi. Perasaan itu semakin tajam, kala melewati makam yang sempat ia tanyakan, bertabur bunga warna warni.

Meski tak tertulis sebuah nama di batu nisannya, tapi keyakinan hati Mbah Han semakin menguat, jika makam di sisi kirinya adalah makam Sanusi.

Setelah melewati taman kecil berbentuk dan bergambar ular melingkar, Sampailah Mbah Han pada bangunan berpintu tak seberapa lebar. Menunggu sebentar di belakang sang wanita tua yang tengah membuka pintu, dengan dada berdebar.

Jantung Mbah Han seakan terasa lepas, saat jelas matanya menyaksikan sebujur tubuh teronggok di ranjang beralaskan tikar, setelah pintu terbuka dan masuk ke dalam, mengikuti sang wanita tua.

Ngeri dan takut, membaur dalam jiwa Mbah Han. Mendapati keadaan Diyah sangat mengenaskan. Matanya celong ke dalam, sampai tulang-tulang rahangnya terlihat menyembul walau masih tertutup kulit. Di sampingnya, di bawah ranjang, di lantai sekitar ruangan itu, tampak rambut-rambut berserakan, rontokan dari kepalan Diyah yang hampir polos.

"Ini adalah hasil perbuatan anakmu yang telah mengkhianati Diyah. Ia telah bersekongkol dengan Yuda, demi sebuah janji beberapa hektar kebun dan tumpukan ratusan juta, tanpa menyadari bahwa semua itu hanya akal-akalan Yuda," ucap sang wanita tua, sembari menyalakan tujuh buah dupa, dan meletakkanya tepat di atas kepala Diyah.

"Maaf, Mbah. Kedatangan saya kemari untuk..." sahut Mbah Han, ingin mengatakan tujuannya. Sebab, ia tak ingin berlama-lama di tempat mencekam penuh kengerian itu. Namun belum sempat dirinya meneruskan, sosok wanita tua itu memotong terlebih dahulu.

"Untuk ini kan!" potong wanita tua itu, sambil tangannya mengeluarkan bungkusan kain hitam berisi seikat rambut tersembul, dan melemparkannya pada Mbah Han.

"Percumah, meskipun kamu mendapatkan itu," ucapnya kembali.

"Maksudnya, Mbah?" tanya Mbah Han dengan wajah merah menegang.

"Nyawa anakmu tinggal hari esok," 

Pelan dan lirih, jawaban sosok wanita tua itu. Namun sanggup membuat tubuh Mbah Han bergetar hebat...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close