Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 5) - Tawaran Kematian


Part 5 - Tawaran Kematian

“Bim” ucap Maya saat tengah berdiri disamping Bima. Kini mereka berdua tengah berada ditaman belakang rumah Budhe Yanti.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi kita harus berhati-hati jangan sampai salah langkah” lanjut Maya saat mendapati Bima masih terdiam menikmati sebatang rokok miliknya.

Maya tahu, Bima tengah memikirkan ancaman dari sosok demit wanita itu. Setelah semalam memperlihatkan pesan teks yang dikirimkan oleh Panji, dia langsung meminta Maya untuk segera masuk kedalam kamar, jadi Maya belum sempat bercerita tentang apa yang dia lihat.

“Siapa sebenarnya wanita itu?” kata Bima menerawang jauh.

“Wanita itu yang membuat Panji seperti ini... Aku yakin ini hanya permulaan” jawab Maya.

Mendengar jawaban dari Maya, Bima memutar kepala menghadap kearah sepupunya.

“Aku melihatnya semalam, ada yang sengaja memanggilnya...” kata Maya yang langsung saja menceritakan semua kejadian yang dia lihat semalam.

“Dulu saat Gendiswari mencoba menguasaimu, dia menggunakan media sisir. Apa kau tahu media apa yang dia gunakana Mbak?” tanya Bima saat Maya sudah selesai dengan ceritanya.

Maya menggeleng, “Aku tidak melihat benda apapun. Seperti yang kuceritakan... Ada dua orang manusia yang sengaja memanggil sosok demit itu untuk mencelakai keluarga Panji. -

Aku tidak tahu alasannya apa, dan aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang mencurigakan” jawab Maya getir.

“Kalau begitu kita harus mencari tahu. Aku yakin dengan menghancurkan benda atau entah apapun itu, bisa membuat sosok demit yang mempengaruhi Panji akan menghilang” kata Bima serius.

Maya terkesiap mendengar ucapan Bima. Tangannya secara otomatis bergerak mengusap-usap wajahnya. Dia tahu Bima tidak akan berhenti saat ini.

“Taruhannya nyawa kita Bim” ujar Maya lirih.

“Kau tahu Mbak? dengan ucapan sosok demit itu, justru aku berfikir... Setelah tujuannya terlaksana, meskipun kita diam tidak ikut campur, dia akan mengincar kita berdua” ujar Bima dengan seringai yang jarang sekali muncul dari bibirnya

“Karena apa? Karena darah kita? darah Sangaraja?” tukas Maya. Sedang Bima mengangguk-angguk mengiyakan.

“Semua sudah tidak sama seperti dulu. Lebih baik kita bergerak mencari tahu, dari pada hanya berdiam diri menunggu kematian” ucap Bima mantap.

Kembali Bima menolehkan kepalanya, pikirannya melayang. Membayangkan jika disini ada Pak Arif pasti dia bisa memberikan solusi atau setidaknya dia akan mencoba untuk mencari jalan keluar.

Lama mereka terdiam, keduanya terbenam dengan pikirannya masing-masing. “Simbah berpesan kepadaku... Agar aku selalu menjagamu” ucap Maya lirih.

Matanya mulai memerah, dia sadar akan bahaya yang menghantui mereka. Terlebih ingatan dimana Bima berdiri bersanding dengan sosok demit wanita itu terus saja muncul didepan matanya.

“Kau tidak perlu ikut campur terlalu dalam mbak, biar aku yang menyelesaikan semuanya” ucap Bima pelan. Dia tidak bermaksud sesombong itu, dia jelas butuh bantuan tapi Bima juga tidak mau jika keputusannya ini dapat membahayakan orang-orang disekitarnya.

“Jangan bodoh, kau tidak akan bisa memecahkan semua ini sendirian” tukas Maya.

Bima terdiam, menimbang-nimbang... memikirkan apa yang harus dilakukannya saat ini.
“Sepertinya kita harus kembali ke gubuk Simbah, mbak” kata Bima yang kembali menolehkan kepalanya kearah Maya.

“Aku juga berfikir seperti itu... Baik setelah ini kita coba untuk pergi menemui Simbah. Mumpung Bapak dan Ibuku sedang pergi. Kita lakukan siang ini” kata Maya yang langsung beranjak pergi meninggalkan Bima.

Bima menghela nafas, menutup kelopak matanya. Ia segera menghubungkan batinnya dengan Kromosengkono.
“Buka matamu, Bim” Kata Kromosengkono yang sudah ada didepan Bima.

“Demit wanita itu datang menemui ku dan Maya semalam...” ucap Bima, memandang lurus kearah Kromosengkono.

“Aku wes ngerti, sengojo aku lungo mergo simbah sek akon. Simbah wes nompo pesenmu, sak iki wes ditunggu” (Aku sudah tahu, sengaja aku pergi karena Simbah yang meminta. Simbah sudah menerima pesan darimu, sekarang sudah ditunggu) geram Kromosengkono.

Bima mengerti, ia mangangguk dan langsung beranjak menuju kearah kamar Maya. Tok..tok..tok..
“Mbak...Mbak May” panggil Bima sembari mengetuk pintu kamar sepupunya.

Pintu terbuka, tanpa menjawab ucapan Bima, ia langsung menghambur keluar,
“Ayo, Simbah sudah menunggu kan?” tanya Maya sambil berjalan kearah kamar Bima.


Bima tertegun, “Dari mana dia tahu?” batin Bima, spontan ia langsung menengok kearah Kromosengkono yang kini hanya terlihat tersenyum. Tidak mau berlama-lama, segera Bima menyusul Maya.

“Panggil Kromosengkono Bim” pinta Maya saat mendapati Bima sudah duduk bersilah dihadapannya. Bima mengangguk, kembali ia memejamkan matanya mencoba untuk mengatur nafas dan mengalirkan energi disekujur tubuhnya.

Beberapa menit mereka diam, mencoba terus terfokus dengan tujuan mereka. Hingga Bima merasakan atmosfir di kamarnya berubah.

Suhu udara yang panas tiba-tiba saja merambat pelan menjadi dingin. Tarikan tarikan kecil di ujung kepalanya mulai terasa lebih intens... Tiba-tiba saja ada tarikan kuat yang membuat tubuhnya tersentak...

“Buka matamu” terdengar suara Kromosengkono. Sontak Bima langsung membuka matanya.

“Dimana ini?” tanya Bima kebingungan, sedang Maya langsung berdiri dan bergerak mendekat kearah Bima. Mereka tidak dibawa oleh Kromosengkono ke gubuk dimana Simbah berada.

“Candi Sari” ucap Kromosengko singkat. Bima memfokusnan pandangannya. Setelah semua terlihat lebih jelas, kini Bima sadar dia telah berdiri disebuah pelataran yang luas dengan beberapa Candi yang mengelilinginya.

“Rak sah sumelang, pancen Simbah seng akon Sengkono gowo koe mrene” (tidak usah khawatir, memang Simbah yang meminta Sengkono untuk membawamu kesini) ujar Simbah yang ternyata sudah duduk disalah satu punden pintu masuk candi.

“Ngapunten Mbah, punopo kulo kalian Maya dibeto ting panggonan niki?” (Maaf Mbah, kenapa saya dan Maya dibawa ke tempat ini) tanya Bima yang sudah duduk bersila didepan Simbah.

“Demit sek mbok temoni mambengi duduk demit sembarangan. Niatanmu ge nulung manungso sek gawe panggonan iki buka ge awakmu lan dulurmu. Neng kene bien Cempoko Kuning sinau kanuragan karo Simbah. Sak iki wes wayahe Simbah dewe sek ngajari awakmu”

(Demit yang kamu temui semalam bukan sembarangan demit. Niatanmu menolong manusia yang membuat tempat ini terbuka untuk dirimu dan saudarimu. Disini dulu tempat Cempoko Kuning berlatih bersama Simbah. Sekarang waktunya Simbah sendiri yang akan mengajarimu) jelas Simbah.

“Sendiko dawuh” ucap Bima tanpa ada pertanyaan lainnya. Jantungnya berdebar keras, dia tahu Simbah bukan sembarangan orang. Bahkan kekuatannya mungkin jauh diatas Cempoko Kuning.

“Sak durunge kui, Ndug mreneo” (Sebelum itu, Nak kesini) pinta Simbah sambil meminta Maya untuk lebih mendekat kearahnya.

“Njih, Mbah” (iya Mbah) ucap Maya yang langsung bergerak kearah Simbah.
“Tutupen matamu, lakokno opo sek wes tak ajari wingi” (tutup matamu, lakukan apa yang sudah aku ajarkan kemarin) kata Simbah.

Maya menurut, dia duduk bersila didepan Simbah. Matanya terpejam. Bima melihat nafas Maya terlihat teratur, bahkan ada asap putih tipis yang terus menguar dari ujung kepala Maya.

Sudah beberapa waktu, Maya duduk bersila. Hingga tiba-tiba Simbah mengangkat tangan kanannya dan meletakan dikening Maya. Bima cukup kaget, karena saat ini dia merasakan energi Maya meledak-ledak, bahkan seolah ada angin yang berhembus cukup kencang yang berasal dari tubuh Maya.

“Buka matamu ndug” pinta Simbah saat sudah menurunkan tangannya.

“Wes paham opo sek kudu mbok lakoni?” (Sudah paham apa yang harus kamu lakukan?) tanya Simbah saat Maya sudah membuka matanya.

“Sampun Mbah” (Sudah Mbah) jawabnya sembari mengangguk.

“Kromosengkono iso ngajari koe kanuragan, sak iki ben simbah sek dolanan sitik karo dulurmu” (Kromosengkono bisa mengajarimu ilmu kanuragan, sekarang biar Simbah bermain sedikit dengan saudaramu) kekeh Simbah sambil berdiri. Sedang Maya tersenyum dan segera berjalan kearah Kromosengkono.

“Menyat Le” (Berdiri Nak) kata Simbah meminta Bima untuk berdiri. Tidak berani membantah, Bima langsung berdiri. Jantungnya berdegup keras, dia memperkirakan kalau Simbah akan bertarung dengannya.

“Ngopo le, kok malah deg degan? Yen sek dolanan muk Simbah karo koe kurang seru” (Kenapa Nak, kok malah berdebar-debar? Kalau Cuma Simbah dan kamu kurang seru) kekeh Simbah yang langsung saja menghentakan tongkat kayunnya.

Bima tersentak, udara disekitarnya tiba-tiba saja seperti menghilang. Nafasnya tercekat, dia tahu sensasi ini, dia tahu milik siapa energi ini.

“Enteh punopo, ndoro?” (ada apa tuan?) ucap Dewi bersimpuh didepan Simbah.

Bima sudah paham, dia meringis.
“Sepertinya aku akan dihajar habis-habisan hari ini” batin Bima saat mendapati Dewi yang tiba-tiba saja sudah ada didepannya.

“Koe kelingan karo bocah kae?” (kamu ingat dengan anak itu?) ujar Simbah sambil menunjuk kearah Bima. Sontak Dewi memalingkan wajahnya.

“Sue raketemu” (Lama tidak bertemu) ujarnya sambil tersenyum saat melihat kearah Bima.

“Ora seru yen koe muk gelutan karo Simbah, paham to?” ( tidak seru kalau kamu cuma berantem dengan Simbah, paham kan?) kekeh Simbah.

Bima yang mendengar itu hanya tersenyum, kewaspadaannya meningkat drastis. Teringat bagaimana dulu Dewi mempermainkannya seperti boneka.

Koe oleh niat nyilakani aku ro Dewi, rak usah ditahan. Sak iki siap-siap” (kamu boleh berniat mencelakai aku dan Dewi, tidak usah ditahan. Sekarang siap-siap) kata Simbah.

Mendengar itu, ketiganya langsung mengumpulkan tenaga. Bima yang merasa kecil berusaha semaksimal mungkin agar energinya tidak meluber, dia ingat Kromosengkono pernah memberitahunya. Jika dia bisa mengendalikan energi yang ada didalam dirinya dengan sempurna, maka itu bisa menjadi senjata mematikan.

“Sak iki” (Sekarang) ucap Simbah yang langsung saya menghilang dari pandangan. Sedang Dewi secepat kilat bergerak kedepan Bima. Sontak Bima langsung mengeluarkan pagar gaib, suara benturan energi dari Bima dan Dewi bergaung mengerikan.

“Kurang kandel, Le” ( kurang tebal, Nak) ucap Dewi meremehkan pagar gaib milik Bima. Belum sempat Bima menjawab, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang bergerak cepat dari arah belakangnya.

Menyadari itu adalah Simbah, Bima langsung bergerak kesamping. Berharap serangan Simbah mengenai Dewi yang berdiri didepannya.

Namun Bima salah, nyatanya serangan yang ia nantikan tidak kunjung muncul.
“Ojo meleng” (jangan melamun) terdengar suara Simbah.

Bugg... tiba-tiba saja Bima tersungkur kebelakang. Dia sama sekali tidak melihat dan merasakan keberadaan Simbah. Belum sempat dia jatuh ketanah, dari arah belakang tiba-tiba saja Dewi sudah muncul dan ikut memukulnya.

Sementara itu...

“Berdirilah didekatku” ujar Kromosengkono, Maya mengangguk. Dia merasa ngeri melihat Bima yang tengah bertarung dengan dua makhluk yang mengerikan. Suara benturan dan energi mereka seolah membuat hembusan angin yang kuat.

“Sekarang kau tahu, betapa berbahayanya Bima jika dia memilih jalan yang salah. Apa yang Simbah berikan kepadamu harus benar-benar kau manfaatkan” ucap Kromosengkono.

“Bagaimana aku bisa melindungi Bima? Bahkan aku tidak tahu caranya bertarung seperti itu” tanya Maya, yang masih terus menatap kearah Bima.

“Aku akan mengajarimu, tapi tidak sekarang, perhatikan saja mereka” kata Kromosengkono.

Langit tiba-tiba saja berwarna merah, sejenak Maya menoleh keatas. Badannya terasa panas, bahkan angin yang berhembus tidak cukup membuat dirinya merasa nyaman.

“Apa yang terjadi?” tanya Maya,

Belum Kromosengkono menjawab, sebuah bola merah tiba-tiba meluncur dari arah hutan.
“Ono geger geden tapi ra ana sek ngundang aku” (Ada acara besar, tapi tidak ada yang mengundang ku) ucap Banaspati saat sudah mendarat didepan Kromosengkono.

“Bocah tengik, ngadoh kono. Rak sadar nek awakmu panas” (Bocah tengik, menjauh sana. Tidak sadar kalau tubuhmu panas) bentak Kromosengkono sembari menarik Maya menjauh dari sosok Banaspati.

Maya yang baru pertama kali melihat Banaspati hanya melongo. Bagaimana bisa demit kecil ini mengeluarkan energi sebesar itu.

“Siapa tuyul ini?” tanya Maya polos. Sontak Kromosengkono yang mendengar pertanyaan Maya tertawa keras.

“Heh, siapa yang kau maksud tuyul?” gertak Banaspati yang menyadari kalau ada Maya dibelakang Kromosengkono.

Maya lebih meringsut, dia merasa ketakutan. Melihat itu Banaspati mengerutkan dahinya. Tersadar itu adalah Maya, sontak dia langsung nyengir.

“Rak lanang rak wedok podo wae” (bukan hanya yang laki-laki, yang perempuan juga sama saja) gerutu Banaspati.

“Emang koe cocok koyo tuyul, ndas botak awak cilik” (memang kamu cocok seperti tuyul, kapala botak badan kecil) kekeh Kromosengkono dengan suara menggeram. Sedang Maya hanya tersenyum menyesal.

“Banaspati, penjaga pintu masuk Alas Lali Jiwo” jelas Kromosengkono. Sedang Banaspati hanya tersenyum dan mengangguk.

***

Bima sudah benar-benar kuwalahan. Tenaganya hampir habis, Simbah dan Dewi benar-benar makhluk yang kuat.

“Keluarkan diriku, kalahkan mereka” Bima terkesiap, terdengar suara wanita yang tiba-tiba saja muncul dibatinnya, berbarengan dengan tangan kanannya yang mulai berkedut.

“Cempoko Kuning” ujar Bima, belum sempat dia berfikir lebih jauh. Tiba-tiba saja ada serangan dari arah depan. Sontak dia langsung berbaring menghindar... Mengelengkan kepala, Bima berusaha untuk tetap sadar. Tenaganya benar-benar hampir habis.

“Jaluk o, jaluk o marang gusti, rasakno ge atimu. Undangen awakku” (minta lah, minta lah kepada Tuhan, rasakan dengan hatimu. Panggil aku) ucap suara wanita dibatin Bima.

Tahu apa yang harus dilakukan. Bima langsung berzikir didalam hatinya. Meminta kepada Tuhan untuk membangkitkan Cempoko Kuning.

“Metuo...” (Keluarlah) batin Bima dengan perasaan sungguh-sungguh.
Petir menyambar, angin menderu dengan keras. Tangan kanan Bima terasa terbakar hebat... Simbah dan Dewi tersenyum. Kini Dihadapan mereka sosok wanita yang sudah lama tertidur telah bangun.

“Menyat o le” (bangun nak) ucap Cempoko Kuning sambil memandangi Bima. Untuk pertama kalinya Bima merinding hebat, sosok wanita yang tengah berdiri disampingnya benar-benar cantik dan memiliki energi yang mengerikan.

Tanpa Bima sadari, mata tombak yang selama ini tertanam di tangannya juga sudah keluar. Tergeletak tidak jauh dari tangan kanannya.

“Angler sek turu?” (nyenyak Tidurnya?) tanya Simbah sambil terkekeh melihat Cempoko Kuning yang sedang memulihkan Bima.

“Kang? Sue rak ketemu” (Kang, lama tidak bertemu) sapa Cempoko Kuning tersenyum. Bima membuka mata, luka-luka yang ada di tubuhnya sudah menghilang.

“Arep diteruske opo ameh liren?” (Mau diteruskan apa mau istirahat) ujar Dewi tersenyum sumringah.

“Tenogoku durung pulih, aku jeh ana perlu karo Bima lan Maya” (Tenagaku belum pulih, aku masih ada perlu dengan Bima dan Maya) ucap Cempoko Kuning anggun.

Mengerti, Dewi hanya mengangguk dan seketika menghilang dari pandangan.
“Yowes nek no, sak iki aku mulih neng gubuk disik” (Yasudah kalau begitu, sekarang aku pulang ke gubuk dulu) ujar Simbah yang juga langsung menghilang dari pandangan.

Sementara itu, Maya, Kromosengkono dan Banaspati mendekat kearah Bima. “Nyai” sapa Kromosengkono saat sudah berada didepan Cempoko Kuning.

“Sue ra ketemu, Den Mas” (Lama tidak bertemu, Den Mas) jawab Cempoko Kuning, Bima masih terdiam dia terhanyut dengan energi yang dipancarkan oleh Cempoko Kuning. Seolah ia sedang melihat sosok Ningrat didepannya.

“Sak iki muleh sek, ana sek arep tak omongke karo bocah iki. Banaspati arep melu?” (sekarang pulang dulu, ada yang mau kubicarakan dengan anak-anak ini. Banaspati mau ikut?) ucap Cempoko Kuning ramah.

“Mboten Nyai, kulo wangsul riyen” (tidak nyai saya pulang dulu) ujar Banaspati langsung melesat pergi.

“Sak iki muleh sek” ucap Cempoko Kuning sambil memegangi pundak Bima. Seketika Bima merasa ada tarikan kuat di tubuhnya...

Terengah-engah dia membuka mata perlahan, mengumpulkan kesadaran agar otaknya tidak shock dengan keadaan yang tiba-tiba saja sudah berubah.

“Bim” ujar Maya yang mendapati tubuh Bima basah kuyup dan bibirnya mengeluarkan darah.
“Sudah mbak, tidak apa-apa. Cempoko Kuning sudah menyembuhkan ku” ujar Bima seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Maya.

“Mari mbak, sepertinya mereka menunggu kita dibelakang” ucap Bima sambil berdiri. Mengangguk, Maya mengikuti kemana arah sepupunya itu pergi.

Dari kejauhan Bima sudah melihat, sosok Kromosengkono yang tengah berdiri dibelakang wanita dengan pakaian kebaya berwarna kuning muda, rambutnya tergerai indah, kulitnya kuning langsat. Namun memiliki mata berwarna merah darah.

“Tidak usah khawatir, aku hanya ingin berbicara kepada kalian” ucap Cempoko Kuning saat melihat Bima dan Maya tengah berdiri tidak jauh dari mereka.

“Duduklah” pinta Cempoko Kuning.

Mereka berdua berjalan, duduk dibangku menghadap kearah Cempoko Kuning. “Aku sudah tahu, kalau Sembojo sering mengganggu kalian. Benar memang dia bukan sembarangan demit” ujar Cempoko Kuning.

“Sembojo?” tanya Bima.

“Demit yang mengancam mu semalam. Aku mau bertanya satu kali lagi kepadamu, apa kau sudah mantap dengan niatan mu?” tanya Cempoko Kuning.

Bima diam, dia tidak langsung menjawab.
“Ya, aku sudah mantap untuk menolong Panji” ujar Maya. Sontak Bima langsung menolehkan kepalanya. Memandang Maya dengan serius.

“Bagaimana dengan mu Bim?” kembali Cempoko Kuning bertanya. Tidak ada intimidasi, bahkan wanita itu terus tersenyum lembut kearah mereka.

“Tidak ada keraguan dalam diriku, keputusan ku sudah bulat” ujar Bima mantap.

Cempoko Kuning tersenyum,
“Setelah ini, aku akan menghilangkan hawa keberadaanku. Mata tombak itu akan tetap berada didalam dirimu. Sedang Maya, bersiaplah. Kemampuan yang sudah diberikan Simbah kepadamu akan segera kamu gunakan. -

Ingat, saat kalian menyembuhkan mangsa dari Sembojo. Otomatis kalian sedang mengibarkan genderang perang. Tidak usah khawatir, aku akan tetap akan membantumu. Ingat Bim semua tergantung niatanmu” ucap Cempoko Kuning.

Bima mengangguk, dia sudah tahu resiko dari pilihannya. Kini mata Bima terpejam, ada satu hal yang selalu ingin dia tanyakan saat Cempoko Kuning hadir dihadapannya.

“Tanyakan Bim, apa yang membuatmu begitu gelisah” ujar Cempoko Kuning. Bima membuka mata, kaget karena wanita ini tahu dengan perasaannya.

“Pak Arif, bisakah kau membawanya keluar dari tempat itu?” tanya Bima penasaran.

“Pilihan tetap pilihan, siapke wae opo sek wes ketok neng ngarep moto” (pilihan tetap pilihan, siapkan saja apa yang sudah terlihat didepan mata) ujar Cempoko Kuning yang lansung saja menghilang dibarengi dengan bau bunga cempaka yang kuat. Sedang Kromosengkono hanya diam dan mengangguk lalu juga ikut menghilang.

“Bim,” ujar Maya saat melihat Bima termenung.
“Aku tahu Mbak. Fokus saja dengan kesembuhan Panji. Aku pensaran apa yang diberikan Simbah kepadamu?” tanya Bima.

“Cara untuk menyembuhkan Panji, tapi aku butuh bantuan mu”

Bima tersenyum, dia sebenarnya sudah menduga kalau Simbah akan membantu mereka menyelesaikan masalah ini.

“Bagaimana caranya?” tanya Bima.

“Aku tahu cara menyembuhkannya, dan saat aku melakukan itu, tugasmu adalah menghalau sosok hitam yang ada didalam tubuh Panji. Dia yang menjadi media dari penyakit Panji. Dan jika semua ini gagal akan ada konsekuensinya” jelas Maya.

“Konsekuensi?” ucap Bima bingung.

“Ya, konsekuensinya penyakit yang ada ditubuh Panji akan berpindah ke tubuhku. Selain itu Sembojo akan dengan mudah menghabisi kita” kata Maya dengan pandangan serius.

“Baik, saat dirumah Panji nanti kita bisa meminta bantuan Kromosengkono” ujar Bima, saat sudah paham dengan konsekuensi yang akan menimpa Mayaa.

“Tidak bisa Bim, ada pagar gaib yang mengelilingi rumah itu. Kromosengkono tidak akan bisa masuk. Kau sendiri yang harus menghadapi makhluk itu” tukas Maya.

Bima terhenyak, memejamkan matanya. Mempertimbangkan semua sekali lagi. Resiko yang dihadapinya sungguh sangat besar.

“Lalu bagaimana dengan orang tua Panji?” tanya Bima, dia tidak yakin kalau Pak Akbar akan dengan mudah percaya dengan ucapan dua anak yang masih ingusan.

“Itu urusan mudah, kita sirep mereka” kata Maya menyeringai.

Bima menganggukan kepalanya, tidak menyangka kalau Maya sudah mempertimbangkan sedemikian jauh.
“Baik aku serahkan itu semua kepadamu” ujar Bima.

“Kalau begitu bersiaplah, kita lakukan malam ini... Hari ini sabtu pahing, sesuatu dengan ritual yang sudah dikehendaki oleh Sembojo” kata Maya, sedang Bima hanya mengangguk mengiyakan.

***

“Bagaimana caramu mengetahui ini semua mbak?” tanya Bima dengan suara sedikit keras saat mereka sedang berkendara menuju kearah rumah Panji.

“Apa Bim? Oh uda tadi... uda makan” ucap Maya setengah berteriak. Bima bingung dengan jawaban Maya, justru dia malah terkikik sendiri. Kemudian Bima sedikit melambatkan kendaraannya.

“Mbak, aku tanya bagaimana caramu mengetahui ini semua, bukan sudah makan apa belum” kata Bima menahan tawa.

“Oh... maaf Bim, gak denger lagian kamu bawa motor kaya setan. Malam setelah kamu memintaku untuk tidur, aku mencari petunjuk, dan itu yang kudapatkan” jelas Maya.

Mendengar jawaban Maya, kembali Bima melajukan motornya dengan cepat. Tidak mau membuang-buang waktu lagi.

“Tunggu Bim, berhenti dulu” kata Maya sambil menepuk-nepuk pundah Bima.

“Kenapa?” tanya Bima penasaran, kini mereka berdua sudah dekat denan rumah Panji, hanya tinggal berjarak 5 rumah.

“Sekarang coba cek apa benar ada pagar gaib dirumah Panji” pinta Maya.

Tanpa turun dari motor, Bima memejamkan matanya. Memfokuskan dirinya, “Benar mbak, sekarang terlihat jelas ada sesuatu yang menyelubungi rumah itu, dan energinya benar-benar memuakkan” jelas Bima.

Maya menghela nafas,
“Baik, nanti aku akan mencoba menyirep orang tua Panji saat mereka bersalaman dengan ku. Semoga saat ini mereka sedang berada dirumah” kata Maya.

Kembali Bima menstarter motornya, dan segera menuju depan rumah milik Panji. Sesampainya disana, dia melihat mobil milik keluarga Panji terparkir dipekarangan. Mulut Bima tersenyum, ada kemungkinan kalau Pak Akbar dan Bu Eny juga ada didalam rumah.

Tok...tok..tok... “Assalamualaikum” salam Bima sambil mengetuk pintu rumah Panji. Beberapa saat mereka menunggu. Hingga terdengar suara pintu yang terbuka.

“Eh Bim, ayo masuk” ujar Eny saat mengetahui Bima tengah berdiri didepannya.

“Panji dimana bu?” tanya Bima kepada Bu Eny,

“Dikamar Bim, tidur sepertinya” jawab Eny sambil mengulurkan tangan.

Hingga saat dia bersalaman dengan Maya, seketika Bima melihat ada sesuatu yang menjalar melewati tangan Bu Eny. Bima tersenyum, sepupunya benar-benar hebat. Tinggal menunggu Pak Akbar untuk melanjutkan aksi mereka.

“Pak Akbar kemana bu?” ucap Maya tersenyum.

“Sebentar saya Panggilkan ya, masih diruang kerja sepertinya” jawab Bu Eny yang yang langsung masuk kedalam rumah.

Benar saja, sesaat setelahnya Pak Akbar muncul. Kembali saat Maya bersalaman dengan laki-laki itu, Bima melihat ada sesuatu yang menjalar dari tangan Maya masuk kedalam tubuh Pak Akbar.

“Berhasil?” tanya Bima penasaran.
“Sepertinya, tapi sosok hitam itu juga menyadari kedatangan kita” ujar Maya.

“Bagaimana kalau sirepmu tidak berhasil mbak?” tanya Bima penasaran.

Maya tersenyum nakal, sepintas Bima melihat dia mengaduk-aduk tasnya.
“Kita bisa pakai ini” kata Maya sambil menunjukan sesuatu didalam plastik.

Bima mendekat, “Obat tidur?” tanya Bima terkekeh, sejak kapan Maya punya obat tidur.
“Kapan kamu beli obat tidur Mbak?”

“Ini punya Bapak, aku ambil dikamarnya tadi siang” kekeh Maya. Bima mengangguk, tidak melanjutkan pembicaraan. Karena Pak Akbar yang kembali masuk ke ruang tamu dimana mereka sedang duduk.

Beberapa waktu mereka berbincang, menanyakan tentang keadaan Panji dan juga Ki Suratno. Hingga menjelang magrib Panji muncul dari arah kamarnya. Mukanya terlihat sayu, badannya sekarang seperti mengeluarkan bau tidak sedap.

“Gimana kondisi kamu, Ji?” ujar Maya saat Panji sudah duduk disebelah Pak Akbar.

“Ya, belum ada perubahan. Aku tidak tahu apa penyakit ini bisa sembuh atau tidak” ucap Panji murung. Maya yang melihat itu mencoba untuk menghibur Panji, sedang Bima yang memperhatikan Pak Akbar yang mulai menguap beberapa kali.

“Sepertinya sirepmu berhasil Mbak” ujar Bima lirih, namun Maya tidak menanggapi. Dia masih terus saja mencoba untuk menghibur Panji.

Seketika ada sesuatu yang melintas dipikiran Bima, “Ah... ya ya ya. Sepertinya sedang ada cinta monyet” batin Bima tersenyum.

“Bim bersiaplah, setelah Pak Akbar dan Bu Eny tertidur kita lakukan rencana kita” ujar Maya lirih.

“Bisik-bisik apa sih?” tanya Panji yang menyadari kalau Maya sedang berbisik kepada Bima.

“JI, kamu percaya sama kami?” tanya Maya serius.

“Maksudnya?” ucap Panji kebingungan.

Maya Menghela nafas,
“Aku akan mencoba menyembuhkan mu, maaf aku melakukan sesuatu pada kedua orang tuamu agar mereka tidak menganggu” jelas Maya sambil melihat kearah pintu menuju dapur, takut kalau tiba-tiba saja Pak Akbar atau Bu Eny masuk ke ruang tamu dan mendengar ucapan Maya.

Panji terdiam, “Bisakah?” ucapnya, melihat Bima dan Maya bergantian.

“Aku tidak tahu, tapi kita bisa mencobanya” jawab Bima, “tapi kalau kau tidak mau, kami tidak memaksa” lanjut Bima yang juga mengedarkan pandangannya. Tiba-tiba saja suasana rumah Panji menjadi mencekam.

“Lakukan Bim, coba, aku sudah tidak nyaman dengan penyakit ini. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu dengan kalian?” tanya Panji khawatir mengingat kejadian yang terjadi dengan Ki Suratno.

“Sudah jangan pikirkan itu, tidak akan ada apa-apa. Aku butuh bantuan mu, bisakah kau masukan obat tidur ini keminuman orang tuamu? Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya berjaga daripada nanti ada sesuatu yang tidak diinginkan. Jauh lebih baik jika mereka tertidur” ujar Maya sambil menyerahkan obat tidur kepada Panji.

“Apa sirepmu tidak berhasil Mbak?” tanya Bima penasaran.

“Kelamaan Bim, sedari tadi aku sudah merasakan mereka semakin mendekat” terang Maya. Bima hanya mengangguk, dia juga merasakan demikian.

“Gimana Ji? Bisa?” tanya Maya memandang kearah Panji yang sedang mengamati obat yang diberikan Maya.

Panji mengangguk,
“Bisa, akan kulakukan. Kebiasaan Bapak Ibu setelah magrib mereka minum teh di taman belakang” ucap Panji yang langsung beranjak meninggalkan Bima dan Maya.

***

“Sudah siap Bim?” tanya Maya. Kini mereka ber tiga sudah berada di kamar milik Panji. Tadi setelah makan bersama sengaja Panji membubuhkan obat tidur di minuman milik Akbar dan Eny.

Bukan karena sirep yang diberikan Maya tidak berpengaruh, hanya saja dia berfikir akan jauh lebih efisien jika menggunakan obat tidur. Alasan lainnya karena Maya tidak mau proses ritual penyembuhannya diketahui oleh orang tua Panji.

“Ember dan air putihnya untuk apa May?” tanya Panji menasaran.

“Aku akan mengeluarkan sesuatu dari tubuhmu, pasti akan ada yang keluar. Dari pada kita repot membersihkan lebih baik kita sediakan tempat. Air putih itu nantinya untuk menetralisir tubuhmu. Bagaimana denganmu Bim?” ujar Maya.

“Beri aba-aba, kalau kau sudah mulai” ucap Bima mantap, meski jantungnya berdetak keras. Untuk pertama kalinya mereka berusaha menyembuhkan seseorang dari pengaruh gaib.

Kini Maya duduk bersila dibelakang Panji, sedang Bima duduk tidak jauh dari mereka. Saat Maya mulai memejamkan matanya, beberapa saat kemudian suasana kamar berubah dengan drastis.

Angin dingin berhembus entah dari mana, bulu-bulu roma milik Bima seketika berdiri. Sontak Bima langsung mengeluarkan energinya. Dia tahu makhluk yang mengganggu Panji mulai menampakkan wujudnya.

“Grrrrrgeeerrrr” terdengar suara geraman entah dari mana asalnya. Mata Bima terus saja melihat kearah Panji yang sedang meringis kesakitan. Hingga ada skepulan asap hitam tipis, muncul diatas kepala milik Panji.

“Sekarang Bim” ucap suara jelas sekali dari dalam batin milik Bima. Tanpa berlama-lama Bima langsung memusatkan energi dan menarik makhluk tersebut dari dalam tubuh Panji.

Seketika semua berubah, nafas Bima kini memburu. Ia tengah berdiri dihamparan pasir. Tepat dihadapannya ada sosok hitam berbulu dengan delapan tangan mencuat dari tubuhnya.

“Bocah tengik, arep gawe perkoro” (bocah tengik, mau bikin perkara) geram sosok tersebut.

“Wes tuo wanine ro bocah” (sudah tua beraninya sama bocah) balas Bima mencoba memprovokasi, meski dihadapannya sekarang adalah demit. Namun dia yakin membuat mereka emosi akan jauh menurunkan kemampuan bertarung mereka.

Tanpa menunggu jawaban dari sosok didepannya, Bima langsung bergerak cepat. Tenaganya sudah sedari tadi dia kumpulkan.

Brruuuaaakk... terdengar suara hantaman, Bima kira sosok tersebut tumbang. Tapi ternyata dia bisa menghalau serangan Bima.

“Iso dolanan koe cah” (bisa mainan kamu, nak) ujar sosok tersebut menggeram. Bima kembali mundur, dibatinnya kini terlihat Maya sedang mencoba menyembuhkan Panji. Paling tidak dia harus mengulur waktu.

Belum sempat Bima mengeluarkan energinya lagi, tiba-tiba saja udara disekitarnya menghilang. Perasaan sesak kembali muncul didalam batinnya. Sejurus kemudian Bima langsung mengedarkan pandangannya.

“Mundur, bocah kui sekti” (Mundur, anak itu sakti) ucap suara wanita yang Bima kenali. Jantungnya berdegup keras, bagaimana mungkin wanita itu bisa sampai ketempat ini. Seketika sosok makhluk hitam dideapannya mundur dan menghilang.

“Kromosengkono” panggil Bima, tidak ada sahutan. Sosok penjaganya tidak muncul.
“Percuma, koe ngundang demit siji kae. Ora bakal iso” (Percuma kamu manggil demit itu. Tidak akan bisa)

Kini sosok wanita yang semalam datang menemui Bima dan Maya tengah berdiri dihadapannya. Auranya begitu kelam, sorot matanya tajam memandang kearah Bima.

“Wes tak omongi, ojo melu-melu urusanku. Sak iki ritual Labuh Mayit ku wes bubrah. Dulur wedok mu ora bakal iso ucul seko aku. Tak kei pilihan siji meneh. Aku ngerti kepinginanmu. Tak ewangi ngosak asik alas kae, opo keluargamu sek tak lumat”

(sudah kukasih tahu, jangan ikut-ikut urusanku. Sekarang ritual Labuh Mayit sudah rusak. Saudara perempuanmu itu tidak akan bisa lepas dariku. Aku kasih pilihan satu lagi. Aku tahu keinginanmu, aku bantu menghancurkan hutan itu, atau keluargamu yang akan ku lumat) ujar Sembojo datar dengan tatapan menghunus kearah Bima.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close