Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 6) - Persimpangan


Part 6 - Persimpangan

Sementara itu...
Maya telah memfokuskan energi ditelapak tangannya, membuat semacam sarung tangan energi agar dirinya tidak terkena imbas dari penyakit yang ada didalam tubuh milik Panji.

Dirasa sudah cukup, Maya mulai menggerakan lengannya. Menghadapkan telapak tangan miliknya kearah punggung Panji.

Seketika Panji mengerang, udara disekitar mereka berubah menjadi panas. Bahkan Maya juga merasakan mual yang begitu kuat diperutnya.

“Unggahno penyakite, rasakno ge atimu” (Naikan penyakitnya, rasakan dengan hatimu) terdengar suara lirih wanita, Maya tahu suara itu milik cempoko Kuning.

“Delok ge batin mu, bagian ngendi wae sek kudu mbok resik i” (Liat pakai batin mu, bagian mana saja yang harus kamu bersihkan) ucap suara Cempoko Kuning ditelinga Maya.

Maya tidak menjawab, tapi dia melakukan apa yang diinstruksikan oleh Cempoko Kuning. Ia terus berfokus dengan penyembuhan yang sedang ia kerjaan. Tidak mudah memang saat harus menyebarkan energi bersamaan dengan membuka mata batinnya.

Perlahan, Maya mulai mengerakan energinya dari bagian bawah tubuh Panji. Disana dia tidak menemukan sesuatu yang janggal.

Perlahan dia menggerakan kembali energinya naik keatas, hingga saat berada di perut Panji. Maya sedikit tersentak, dia melihat ada sesuatu yang menggumpal disana.

“Tahan Ji, muntahkan saja jika tidak kuat” ujar Maya. Menarik nafas dalam-dalam, Maya mencoba menghancurkan gumpalan hitam yang ada diperut Panji menggunakan energinya.

“huuuueeekkk” terdengar suara Panji yang sedang memuntahkan isi perutnya. Berbarengan dengan bau anyir darah yang memuakkan, sampai Maya harus menyergitkan hidungnya. Dia tahu gumpalan itu sudah keluar, sekarang dia mulai naik lagi, kearah bagian atas tubuh Panji.

“Brrrrruaaaakk....” seketika daun pintu kamar Panji terbuka keras. Maya tersentak kaget... Spontan ia menengok kearah sumber suara. Dilihatnya sosok Sembojo tengah berdiri dengan raut wajah mengerikan.

Kecantikan yang dia tunjukan semalam sudah hilang. Digantikan dengan sosok wanita dengan gigi seperti cakil, lidah menjulur dan mata merah menyalang menatap kearah Maya dengan pandangan kesumat.

“Aku ngerti koe iso gawe mari bocah kui, neng cilakane sak iki awakmu sek dadi gantine kanggo ritual Labuh Mayitku”

(Aku tahu kamu bisa membuat sembuh anak itu, tapi cilakanya sekarang kamu yang jadi pengganti untuk ritual Labuh Mayitku) gelegar sosok Sembojo yang masih diam berdiri diambang pintu.

Maya gemetar, tangannya berhenti diantara leher dan pundak Panji. Sementara Panji terus saja memuntahkan isi perutnya.

“Terusno, rasah wedi. Yen koe mandek sukmane bocah kui bakal ucul” (Teruskan, jangan takut. Kalau kamu berhenti sukma dari anak itu akan lepas) kembali suara Cempoko Kuning bergaung ditelinga Maya.

“Ora gelem mandek?” (Tidak mau berenti?) kata Sembojo yang sudah berjalan selangkah mendekat kearah Maya.

Maya tahu resiko yang sudah diambilnya, semua sudah kepalang tanggung. Ia kini memejamkan matanya, menghembuskan nafas berkali-kali. Nyalinya sedang diuji saat ini.

“Bim bangun, tolong..” batin Maya saat Sembojo mulai melangkah pelan kearahnya.

“Tetegno atimu ndug, eleng opo sek wes diajari karo Simbah” ucap suara Cempoko Kuning yang terus bergaung ditelinganya. Tanpa pikir panjang, dengan sisa tenaga yang dimilikinya.

Maya menahan tangan kanannya di tengah-tengah pundak Panji. Sedang tangan kirinya membuat pagar gaib yang diarahkan kepada Sembojo yang kini hanya berjarak satu meter darinya. Dari sudut matanya dia melihat Sembojo sudah mengangkat tangan, hampir meraih puncak kepala Panji.

Seketika pergerakan Sembojo terhenti,
“Sekti koe ndug, sopo sek ngajarimu gawe pager seapik iki” (Sakti kamu ndug, siapa yang mengajari mu membuat pagar sebagus ini) ujar Sembojo tersenyum.

“Yen kui wes dadi pilihamu, tak turuti opo sek dadi penjalukmu” (Kalau itu sudah jadi pilihanmu, aku turuti apa yang menjadi keinginanmu) ucap Sembojo, yang seketika menghilang dari pandangan.

Diaaarrrr... terdengar suara letusan keras, Panji yang mendegar itu langsung menoleh kearah pintu kamarnya. “Apa itu May?” tanya Panji ketakutan.

“Minum airnya Ji” ujar Maya lemas tidak menjawab pertanyaan Panji.

“Kamu gak papa May? Bima gimana?” ucap Panji saat melihat kearah Maya yang sudah pucat pasi dan Bima yang masih duduk bersilah tidak jauh darinya.

“Kita tunggu saja, istirahatlah jangan mengganggunya. Saat ini sukma Bima sedang berada di dimensi lain” ucap Maya lirih.

“Durung rampung cah Ayu, Lebur no pager gaib sek ana neng omah iki” (Belum selesai anak cantik, leburkan pager gaib yang ada dirumah ini)

Mendengar suara itu, sontak Maya langsung terkesiap. Dia tahu ada yang tidak beres, tidak mungkin proses penyembuhannya semudah ini.

“Ada apa May” tanya Panji panik saat melihat expresi Maya.

“Tetap ditempatmu, Ji. Ini belum selesai” ujar Maya ngos-ngosan.

Menggunakan sisa tenaga miliknya, Maya kembali duduk bersila, dia tahu cara untuk menghilangkan pagar gaib. Sama halnya dengan membuat, namun karena pagar gaib yang ada di rumah Panji memiliki energi negatif yang besar, tentu akan menguras energinya.

Maya mulai memusatkan energinya lagi, terus saja dia meleburkan pagar yang ada dirumah Panji. Dia tahu alasan kenapa Cempoko Kuning memintanya untuk menghancurkan pagar ini. Bermaksud agar dia dan Kromosengkono bisa masuk dan membantu Maya dan Bima.

“Bim... syukurlah” ucap Panji saat melihat, Bima bergerak.
“Tetap ditempatmu Ji, Bima belum kembali” ucap Maya panik, dia tahu itu bukan Bima. Energi yang dipancarkan dari tubuh Bima benar-benar mirip dengan Sembojo.

“Tapi Bima sudah bangun May” ucap Panji kebingungan.

“Itu bukan Bima, demit itu tahu kalau dia tidak bisa mendekati kita. Makannya dia merasuki tubuh Bima” ujar Maya cepat.

“Maksudnya apa May?”

“Sudah, jangan cerewet” tukas Maya jengkel, tidak mungkin saat ini menjelaskan secara detail kepada Panji. Itu hanya akan membuang energinya. Kini dia sedang berburu dengan waktu, takut Sembojo menggunakan tubuh Bima untuk melukai mereka.

Bima sudah berdiri, menatap Maya dan Panji dengan tatapan tajam.
“Bim, ada apa?” ucap Panji yang merasa ketakutan melihat expresi Bima yang begitu bringas.

Bima tidak menjawab, dia terus saja memandang mereka meremehkan. Perlahan Bima berjalan kearah Maya... Hingga saat tepat berada didepannya. Kepala Bima meneleng kekanan dan kiri seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Tidak ada yang bisa mencegah, gerakan tangan Bima begitu cepat.
“Heh!!! Bim apa yang kamu lakukan” teriak Panji kaget karena Bima tiba-tiba saja menjambak rambut Maya dengan keras.

“Minggir” kata Bima masih terus menatap Maya nyalang. Maya yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa meringkik lemah. Tenaganya sudah habis terkuras.

“Koncomu ra iso mlebu rene to?” (Teman mu tidak bisa masuk kesini kan?) ucap Bima dengan tawa gila-gilaan. Panji mengkeret, keberaniannya hilang seketika. Tidak menyangka kalau Bima bisa melakukan hal seperti itu.

“Wes, ora due tenaga meneh to? Rasah sumelang karo bocah lanang iki. Engko pas dek e tangi ngerti-ngerti delok dulur wedok e wes kelumat karo awak e dewe”

(Sudah tidak punya tenaga lagi to? Tidak usah khawatir dengan anak laki-laki ini. Nanti waktu dia bangun tahu-tahu sudah melihat saudara perempuannya dilumat sama dirinya sendiri) ucap Sembojo menggunakan tubuh Bima.

Panji kaget dengan apa yang diucapkan oleh Bima, dia tahu sekarang kalau demit yang merasuki Bima akan membunuh Maya.

Tanpa pikir panjang, Panji langsung berusaha untuk menerjang Bima. Namun, hanya dengan sekali kibasan tangan, seketika tubuh Panji terlempar kesamping. Sampai kepalanya membentur dipan kayu yang ada dikamarnya.

“Sial” ucap Panji lemah, sambil meraba bagian belakang kepalanya. Dia merasakan ada sesuatu yang panas dan kental keluar dari bagian belakang kepalanya.

“Arrrrgggg” erang Maya saat Bima mulai menyeret tubuhnya kearah pintu dengan cara menarik rambut milik saudarinya itu.

“Bim sadar, sial” kata Panji panik. Beberapa kali dia mengerjapkan mata dan menggeleng. Berharap pusing yang muncul dikepalanya segera menghilang.

Tertatih-tatih Panji mencoba untuk berdiri, kepalanya terasa begitu berat. Terseok-seok dia berjalan menyusul Bima dan Maya yang sudah keluar dari kamarnya.

Kini dia melihat, Bima tengah berdiri didapur. Tangan kanannya memegangi pisau. Sedang tangan kirinya masih menggenggam erat rambut Maya.

“Wayah e mulih ndug” (Waktunya pulang ndug) ucap Bima dengan senyum mengerikan. Maya hanya bisa pasrah, dia benar-benar sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan.

Brukkkk... “arrrhhhh” terdengar suara benturan yang cukup keras berbarengan dengan teriakan Maya. Tiba-tiba saja Bima jatuh tersungkur menindih Maya.

“Ada apa dengan bocah gila ini” ucap Panji menendang tubuh Bima kerah samping.

“Itu bukan Bima, Ji. Dia kesurupan” kata Maya yang sudah sedikit menjauh dari Bima. Dia benar-benar shock dengan apa yang barusan terjadi.

Untung saja Panji sempat menolong dengan melempar vas keramik kearah Bima. Kalau tidak, mungkin Bima sudah menusukan pisau yang ia pegang ke bagian tubuh Maya.

“Aku tahu... Bagaimana sekarang?” tanya Panji bingung sekaligus panik.

“Ji, Bima...” ucap Maya sambil merangkak menuju kearah Bima.

Sedang Panji tidak bergerak sama sekali, saat ia melihat akibat dari perbuatannya. Kepala Bima bocor dan mengelurkan banyak darah.

“Asgtagfirulloh... kalian kenapa” ucap Akbar keget saat mendapati dapur rumahnya terlihat berantakan, anaknya yang berlumuran darah serta kondisi Bima yang tengkurap dan darah mulai menggenang disekitar kepalanya.

“Pak tolongin Bima” teriak Maya. Sadar dengan apa yang sudah terjadi, Akbar langsung bergegas menolong Bima.

***

Bima mengerjapkan matanya beberapa kali, kepalanya terasa begitu pusing. Hal terakhir yang dia ingat saat bertemu dengan Sembojo. Kemudian tiba-tiba ada rasa sakit seperti hantaman kuat di bagian belakang kepalanya. Seketika semua menjadi gelap...

“Bim...” ujar Sekar saat mendapati Bima mulai bergerak.
“Mas, mas Banyu...” kata Sekar memanggil-manggil suaminya.

“Bim, kamu sudah sadar? Sebentar Bapak panggilkan dokter” terdengar suara Banyu dan langkah kaki yang menjauh.

“Bima kenapa, Bu?” tanya Bima saat mendapati dirinya tengah berbaring di brankar rumah sakit.

“Sudah kamu istirahat dulu, nanti kalau sudah baikan baru bicara” kata Sekar lembut.

“Maya sama Panji dimana?” kata Bima saat teringat dengan mereka.

“Mereka barusan pulang, sudah 2 hari ini kamu pingsan. Nanti mereka kesini lagi. Kamu gapapa Bim?” imbuh Sekar saat melihat Bima yang mengerang dan mencoba memegai kepalanya.

***

“Bagaimana kondisi Panji, Mbak?” tanya Bima.

Saat ini hanya ada Maya diruang rawat inap yang Bima tempati. Semenjak dia bangun, Panji belum menengoknya sama sekali.

“Sudah baik Bim, mungkin nanti akan menjengukmu” ucap Maya.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka bilang ada maling yang masuk rumah. Aku hanya mengiyakan. Karena seingatku... Terakhir kita masih berada dikamar Panji” tanya Bima penasaran.

“Tidak ada maling sama sekali, sebetulnya...” ucap Maya ragu.

Memang setelah Akbar menolong Bima, Maya menceritakan semua kejadian sesungguhnya dan meminta Akbar untuk tidak mengatakan kepada Sekar dan Banyu.

Dia khawatir jika kedua orang tua mereka tahu, hanya akan mempersulit keadaan. Terlebih memang mereka sudah dilarang keras untuk berhubungan dengan hal gaib.

“Mbak? ayo lah...” pinta Bima saat mendapati Maya yang terlihat melamun.

Bima bukan orang yang bodoh, tidak mungkin ada maling yang beraksi dengan mudah di lingkungan rumah Panji.

“Sembojo merasukimu Bim” ucap Maya singkat.

“Maksudnya?” tanya Bima kebingungan.

“Bagaimana dia bisa dirasuki Sembojo? Padahal dirinya ingat dengan jelas sudah membuat pagar gaib saat sebelum bermeditasi” batin Bima.

“Saat kau mencoba menarik sosok hitam itu, aku sadar sukmamu menghilang. Aku terus mencoba untuk menyembuhan Panji. Memang benar kita masih terlalu muda untuk berurusan dengan hal seperti ini. Sudah semestinya aku tidak berniat untuk ikut campur masalah orang terlalu dalam” kata Maya, teringat dengan kejadian yang menimpa mereka beberapa hari lalu.

Sekarang dia benar-benar paham, bahwa sosok gaib selalu punya rencana licik untuk melakukan apapun agar keinginan mereka tercapai.

“Aku tahu kekhawatiran mu... Tapi bagaimana Sembojo bisa merasuki ku? Sampai tiba-tiba saja kepalaku bocor seperti ini” tanya Bima mendesak.

“Itu karena aku Bim, selesai mengeluarkan energi negatif yang ada di tubuh Panji. Cempoko Kuning meminta ku untuk menghilangkan pagar gaib yang ada dirumah Panji.-

Ada kemungkinan pagar gaib yang kau ciptakan juga rusak. Dengan cara itulah Sembojo bisa merasuki tubuhmu” ucap Maya lirih.

“Lalu? Apa yang terjadi setelah dia merasukiku?” tanya Bima.

Maya menghela nafas, lantas dia menceritakan semua kejadian setelah tubuh Bima dirasuki oleh Sembojo.

“Maafkan aku Bim... ini semua salahku” ucap Maya lirih, pandangannya jatuh kebawah.

“Tidak mbak, justru aku yang ceroboh. Aku tidak menyangka kalau sosok hitam itu akan membawa pergi sukmaku. Yang penting sekarang kamu dan Panji baik-baik saja. Setelah aku sembuh baru kita pikirkan hal yan...” ucap Bima,

Belum sempat Bima menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja terdengar pintu kamar mandi yang terbuka dengan pelan. Suaranya yang khas membuat Bima dan Maya spontak menengok kearah pintu tersebut...

Entah apa yang terjadi, padahal waktu masih menunjukan siang hari. Masih banyak aktivitas yang terjadi dirumah sakit itu. Namun sepertinya sosok demit penghuni rumah sakit tidak peduli akan hal tersebut.

Lama Bima dan Maya terdiam mematung melihat kearah kamar mandi. Hingga perlahan muncul sebuah tangan hitam dengan kuku panjang, yang menempel di kusen pintu... Pelan tapi pasti mulai terlihat rambut berwana hitam, dan bau busuk yang menyengat.

“Wangi... mambu wangi...” (wangi... bau wangi...) ucap suara serak wanita. Maya terlonjak dia langsung berdiri di samping Bima.

“Sopo koe” ucap Bima lantang, dia sama sekali tidak merasa takut dengan kehadiran demit itu.

Tidak menjawab justru sosok itu terus saja memperlihatkan dirinya. Kini dengan jelas dia melihat wajah seorang perempuan tua, berlendir dengan mata yang melotot, rambutnya jarang-jarang dan kulitnya berwana kehitaman.

Bima mencoba untuk memusatkan tenaganya, namun saat dia mulai berkonsentrasi entah kenapa kepalanya terasa begitu sakit.

“Arrggg... astaga” erangnya sambil menganggat tangan untuk menyentuh kepalanya. Mendengar itu Maya yang sedari tadi melihat sosok yang menjijikan dari arah kamar mandi langsung berpaling kearah Bima.

“Jangan paksakan dirimu Bim, kondisimu belum pulih” ucap Maya panik.

Kembali mereka menatap kearah kamar mandi, sosok tersebut masih diam mematung disana. Walau hanya tangan dan kepala yang mereka lihat, tapi sosok itu benar-benar membuat bulu kuduk mereka meremang.

“Mbak usir mereka” ucap Bima masih sambil mengerang dan memegangi kepalanya. Maya bingung, apa yang sedang terjadi dengan Bima. Tidak biasanya dia seperti ini, seolah ada sesuatu yang tengah membuatnya tersiksa.

Tanpa diminta dua kali, Maya langsung memejamkan matanya. Meski tidak memiliki kemampuan bertarung seperti Bima, tapi dia tahu cara untuk mengusir mereka.

Blaaamm... tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbanting. Sontak Maya membuka matanya, “Kromosengkono” batin Maya lega.

“Sembojo sek gawe Bima ora iso ngetok ne kekuatanne” (Sembojo yang membuat Bima tidak bisa mengeluarkan kekuatannya) ucap Kromosengkono, yang kini tengah berdiri didepan Maya.

“Maksudnya?” tanya Maya kebingungan.

“Sekali Sembojo bisa masuk kedalam tubuh Bima. Dia akan memberikan tanda, sekarang apapun yang Bima lakukan Sembojo akan tahu, sama halnya seperti Cempoko Kuning. Jangan sampai lengah, buat pagar disekeliling Bima” kata Kromosengkono.

“Lalu apa yang harus dilakukan?” tanya Maya panik.

“Koe wes ngerti yen ritual e Sembojo wes dirusak, gantine Sembojo bakal ngincer awakmu ro Bima. Sitik wae awakmu meleng, ora muk dewe sek ciloko. Alas Lali Jiwo bakalan diobrak abrik karo Sembojo ganggo awak e Bimo”

(Kamu sudah tau kalau ritual Sembojo telah rusak. Gantinya dia akan mengincarmu dan Bima. Sedikit saja kamu lengah, bukan hanya kita yang cilaka. Alas Lali Jiwo akan diobrak abrik oleh Sembojo menggunakan tubuh Bima) ucap Kromosengkono.

Maya menoleh kearah Bima, dia masih memejamkan mata dan terus memegani kepalanya.

“Lalu apa yang harus dilakukan?” tanya Maya khawatir.

“Ora ono, perkoro demit sek ana neng panggonan iki, iso tak tangani. Tapi yen perkoro nafsu kepinginan sek ana neng jero atine Bima, kui wes ora iso di otak atik. Yen Bima setuju karo tawaran e Sembojo, kabeh rampung”

(Tidak ada, perkara demit yang ada di tempat ini bisa kutangani. Tapi kalau perkara nafsu keinginan yang ada dihati Bima, sudah tidak bisa dikotak- katik. Kalau Bima setuju dengan tawarannya Sembojo, semua selesai) ucap Kromosengkono yang langsung menghilang dari pandangan.

Maya terhenyak... batinnya terasa kelu, semua serba membingungkan... “aarrrgggg” erang Bima yang masih terus memegani kepalanya. Sontak Maya langsung mendekat, tanpa pikir panjang dia langsung mengalirkan energinya untuk mencoba menyembuhkan Bima.

Lambat laun Bima tenang, “Mbak kepalaku” ucap Bima menggelengkan kepalanya.

“Zikir Bim,” ucap Maya masih terus mencoba mengalirkan energinya.

Mengikuti perintah Maya, Bima terus berzikir dihatinya. Entah apa yang sedang terjadi, kepalanya terasa begitu sakit saat dia mencoba untuk mengalirkan energinya.

Bahkan rasanya banyak sekali suara yang muncul dikepalanya. Terakhir kali dia merasa seperti ini saat mendengar jeritan dari tumbal yang digunakan oleh Gendiswari.

Setelah beberapa saat, Maya terhenyak. Ia kembali duduk di kursi sebelah brankar yang Bima tempati.

“Apa yang terjadi Mbak?” tanya Bima lemas.

Maya hanya menggeleng, tidak mau menjawab pertanyaan Bima.

“Aku tadi merasakan ada Kromosengkono, kenapa dia datang?” tanya Bima kebingungan.

Maya terkesiap, “Dia tidak datang Bim, mungkin hanya perasaanmu. Tenangkan dirimu, beristirahatlah” ucap Maya tersenyum.

“Tapi...” ucap Bima.
Tidak mau menjawab, justru Maya bangkit dan mengambil buku didalam tasnya dan mulai membaca. Mendapat penolakan dari sepupunya Bima hanya bisa menghela nafas.

“Apa yang sebenarnya terjadi” batin Bima penasaran. Pikirannya melayang tidak menentu...

Pintu kamar terbuka, Maya yang tengah membaca buku sontak memalingkan wajahnya. Sedang Bima yang sedang melamun juga melakukan hal yang sama.

“Bim” sapa Panji yang baru saja masuk ke kamar inap Bima bersama kedua orang tuanya.

“Eh, Ji... Sini” ucap Bima tersenyum.

“Gimana kondisi kamu? Maaf baru bisa kesini. Kemarin pergi ke tempat Nenek” ucap Panji yang masih merasa bersalah melihat kondisi Bima.

“Sudah mendingan, kenapa mukamu gitu Ji. Kalau cuma dilempar pake vas bunga ga bakal bikin aku tewas Ji” ucap Bima terkekeh. Panji yang mendengar ocehan Bima hanya tersenyum, setidaknya dia lega, sahabatnya itu tidak mengalami hilang ingatan.

“Pak, Bu silahkan duduk” ucap Maya yang masih melihat Pak Akbar dan Bu Eny masih berdiri.

“Uda santai, syukurlah kalau kamu gapapa Bim. Bapak sama Ibu mau berterimakasih sama kamu karena sudah mau menolong Panji. Maya sudah menceritakan semuanya. Seharusnya kamu bilang sama kami” ucap Bu Eny ramah.

“Ini semua salah Bapak Bim, mungkin bisa jadi pelajaran untuk keluarga kami nantinya. Kami sudah tahu siapa yang mengirim guna-guna ke Panji” ucap Akbar

“Siapa Pak?” tanya Bima penasaran

“Dulu dia rekan kerja Bapak, dia tidak terima karena Bapak memberhentikannya dari pekerjaan. Terlebih dia juga ada niatan tertentu...” ucap Akbar yang seketika berhenti karena mendapatkan tatapan peringatan dari istrinya.

Bima dan Maya mengerutkan dahinya, menunggu kelanjutan cerita Akbar. Namun setelah beberapa saat sepertinya tidak ada sesuatu yang akan diucapkan oleh laki-laki itu.

“Jadi, Bapak uda ketemu sama orang itu?” tanya Bima.

“Setelah semua yang terjadi malam itu, paginya ada wanita yang datang ke rumah. Entah bagaimana kejadiannya. Dia mengamuk seperti orang gila. -

Awalnya Bapak tidak sadar kalau itu Murti teman bapak. Karena kondisi wajah dan tubuhnya terlihat begitu buruk, bahkan jauh lebih buruk dari kondisi Panji” jelas Akbar.

Bima dan Maya menyimak, keduanya membayangkan seorang wanita berpaikan kebaya sedang mengamuk seperti orang gila didepan rumah Panji.

“Awalnya kami mengira dia hanya orang gila yang tidak sengaja masuk ke dalam komplek perumahan. Tapi akhirnya Bapak menyadari kalau itu adalah Murti. -

Karena takut terjadi apa-apa segera Bapak minta Ibu untuk menghubungi polisi. Karena tingkah Murti begitu bringas bahkan kaca jendela juga dia pecahkan” lanjut Akbar.

“Astaga, tapi tidak ada yang terluka kan, Pak?” tanya Maya khawatir.

Mereka menggeleng, “Sayangnya sebelum polisi datang, Murti berhasil kabur. Karena takut terjadi apa-apa dengan Panji dan Bu Eny,-

Bapak membawa mereka ke rumah Neneknya Panji. Dan baru tadi pagi saya dapat kabar kalau Murti sudah ditemukan meninggal gatung diri di rumahnya” ucap Akbar.

Bima dan Maya seketika melotot, dia tidak menyangka kalau orang yang melakukan ini semua akan melakukan bunuh diri.

“Syukurlah kalian tidak apa-apa” ucap Bima lega. Sejenak Bima memandangi Maya, mencoba mencari pendapat. Tapi Saudaranya itu hanya menggeleng.

Akhirnya siang itu mereka mendiskusikan tentang berbagai macam hal gaib. Bahkan Pak Akbar dan Bu Eny tertarik dengan kisah Bima yang menolong Maya saat terjerat Gendiswari dulu.

***

Bima tersentak dari tidurnya, pandangannya terasa kabur. Saat melihat jam yang ada didinding baru menunjukan pukul 10 malam. Tapi sausana rumah sakit begitu sepi dan mencekam.

Mengedarkan pandangannya dia melihat Sekar tengah tertidur disofa, sedang Banyu tidur dilantai menggunakan karpet tipis.

Badan Bima terasa panas. Beberapa kali ia mengerang dan menggerakan badannya, dia merasakan bakal ada sesuatu yang tidak beres.

Bima tahu persis dengan sensasi seperti ini, terlebih saat ini dia sedang berada dirumah sakit. Pasti banyak makhluk astral yang sedang berkeliaran disekitarnya. Untuk alasan itulah Bima sangat tidak suka dengan rumah sakit.

Sreeeekkk.... terdengar suara... Seketika Bima menoleh kearah kanannya. Tidak ada apapun. Tapi jelas sekali dia mendengar ada yang bergerak disampingnya.

Sreeeekkk.... Bima menoleh kearah kirinya. Namun dia juga tidak melihat apapun.
“Astaga” ucap Bima jengah.

Perlahan dia mencoba untuk mengeluarkan energinya. Berusaha untuk mengetahui makhluk apa yang sebenarnya sedang mengganggunya.

Tapi seperti tadi siang saat dirinya mencoba mengerluarkan energi, kepalanya terasa sakit sekali. Seolah ada benda padat yang ditimpukan berkali-kali di tulang tengkoraknya.

“Wangiii....” terdengar suara lirih wanita. Bima tersentak, dia langsung membuka matanya.

Kini dihadapannya, sosok yang tadi siang ia lihat tengah jongkok tepat diujung ranjang yang ia tiduri. Tidak terasa berat, hanya saja kaki Bima terasa begitu panas.

“Minggir...” ucap Bima lantang, kepalanya begitu pusing. Bima yakin kalau ini bukanlah mimpi. Batinnya bertanya-tanya, kenapa dia tidak bisa menggunakan kemampuannya.

Sosok itu bergerak perlahan, aroma busuk mulai tercium kuat di hidung Bima. Penampilan wanita itu benar-benar memuakkan...

Rambutnya yang jarang, kulitnya yang keriput serta giginya yang ompong dan kukunya yang panjang-panjang membuat Bima merasa risih untuk dekat-dekat dengannya.

“Kromosengkono” ucap Bima mencoba memanggil penjaganya, tidak ada yang terjadi. Bima mulai panik, bahkan dia menyebut semua kenalan demitnya satu persatu. Tapi tidak ada satupun sahutan dari mereka.

Wanita tua itu sudah sampai diatas dada Bima, tanganya mulai bergerak perlahan mencoba membelai lembut pipi Bima.

“Getih mu legi” (Darahmu manis) ucapnya sambil mengeluarkan suara ciap ciap seolah Bima adalah makanan yang lezat.

Bima hanya bisa berpasrah, tubuhnya tidak Bisa ia gerakan. Sesekali dia melirik kearah orang tuanya, berharap mereka bangun dan menolong Bima. Namun mereka masih terlihat lelap dalam tidunya.

Tep... sosok wanita itu menoleh kearah Pintu, seketika wajahnya terlihat ketakutan.

Tep... Bima juga mendengar, lirih tapi jelas. Ada suara seseorang yang tengah berjalan didepan kamarnya.

Tep...tep..tep... suara itu semakin kencang. Wanita itu tersentak dan mundur dari wajah Bima. Sedang Bima merasakan badannya merinding dengan hebat.

“Cilaka” ucap Bima lirih... kekhawatiran menyelimuti batinnya, “semoga dia tidak datang saat ini”.

Dia tahu milik siapa energi ini, walau Bima berusaha terus menyangkal. Ia berharap bukan wanita itu yang tengah berjalan menuju kearah kamar inapnya.

Meski Bima tidak bisa menggunakan energinya tapi batinnya masih bisa merasakan dan mendeteksi makhluk astral yang memiliki kemampuan hebat.

Braaakkk... Seketika pintu kamar terbuka dengan keras. Bima menengok kearah orang tuanya, mereka masih terlihat tidur dengan pulas.

Sedang demit yang ada didepannya hanya diam mematung melihat kearah sosok yang baru saja muncul. Untuk pertama kalinya Bima benar-benar merasa ketakutan setelah sekitan lama bisa berinteraksi dengan mereka.

Sosok Sembojo tengah berdiri dengan anggun. Senyumannya datar dan tatapannya menghunus. Bagai sebuah scene film yang diperlambat. Sosok Sembojo mulai berjalan anggun, kearah Bima.

Saat sudah berada dijangkauannya, tangan kanan Sembojo terangkat. Menyibakkan kain yang ia pegang kearah demit yang masih berdiri diatas Bima.

Seketika Demit itu menjerit dan langsung menghilang.

“Demit ra enak pangan, wani-wani ne ganggu bocahku” (Demit tidak enak dimakan, berani-beraninya mengganggu anakku) ucap Sembojo datar.

“Opo pengenmu” ucap Bima dengan nafas menderu. Energi yang dipancarkan Sembojo membuat nafasnya terasa sesak.

Sembojo berpaling menghadap Bima.
“Wes pirang-pirang dino. Bocah wedok sek gawe ciloko keluargane koncomu wes tak pateni. Iling karo pilihan mu. Tak tunggu putusan mu sampe sesok malem jumat. Mati opo kekancan karo aku”

(Sudah beberapa hari. Anak perempuan yang membuat cilaka keluarganya temanmu sudah ku bunuh. Ingat dengan piliahmu. Aku tunggu keputusanmu sampai besok malam jumat. Mati apa jadi teman ku) ujar Sembojo lantang.

Bima masih tidak bisa bergerak, matanya terpaku pada tangan Sembojo yang mulai mengelus-elus kepalanya.

“Eleng opo kepengenanmu. Aku iso gawe kui dadi kedadean” (ingat apa keinginanmu. Aku bisa membuat itu menjadi kejadian) ucap Sembojo yang langsung menghilang dari pandangan Bima dalam satu kedipan mata, dan dibarengi dengan bau bunga melati yang sungguh menusuk hidung.

Bima terdiam, kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk. Dia mencoba memikirkan kembali semuanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan ku, kenapa Kromosengkono juga tidak muncul saat kupanggil” Batin Bima galau.

Kepalanya saat ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang memuakkan. Bayangan Pak Arif dan Maya silih berganti muncul didepan matanya.

“Kalau memang ini yang terbaik, maka harus kulakukan” ucap Bima tersenyum lemah.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close