Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 38) - Keretakan


[Third POV]
JEJAKMISTERI - Setelah mereka bercengkerama dengan Anggoro Aji dan mendapatkan sebuah kunci untuk membuka gerbang gaib kerajaan Mangkupati, Anggoro Aji pun mengirim mereka keluar dari ruang hampa gaib yang kini telah hancur itu.

Dalam kedipan mata, tibalah mereka ke desa Plesiran Londo kembali. Sebelum pergi, dia mengatakan untuk bisa keluar dari desa mati ini, mereka harus mengikuti arahan dari hati mereka sendiri. Dan untuk Nanda yang jiwa dan batinnya telah dibutakan dan dikosongkan oleh genderuwo yang menyebabkan jiwanya tersesat, Anggoro Aji pun berhasil menyembuhkan ajian Remang Tenang yang dibisik-bisikkan genderuwo yang mengaku suaminya itu, sehingga Nanda bisa tersadar kembali.

Namun...

“Maaf. Aku tak bisa menyelamatkan teman-temanmu yang lain,” kata Anggoro Aji menerawang jauh ke tempat lain. “Mereka... teman-temanmu sudah menjadi penghuni dari desa Plesiran Londo karena ulah mereka sendiri!”

Agung menyahut, yang diikuti oleh Andre. “Ulah? Mereka memangnya telah berbuat apa?”

“Mereka telah mengencingi kuburan keramat di desa ini, memainkan papan ouija, memanggil jailangkung, dan mencuri barang-barang berharga dari desa ini,” jawab Anggoro Aji yang masih menerawang jauh. “Jadi jiwa mereka kini mengambang di antara dunia nyata dan dunia gaib dan mereka tak bisa kembali lagi. Singkatnya, mereka sudah mati!”

Ella dan Nanda yang mendengarnya hanya bisa terdiam, mereka tak mau ataupun bisa menyangkalnya. Sepertinya mereka sudah tahu apa yang telah diperbuat oleh teman-temannya itu.

“Aku mohon, selama kalian ada di tempat yang asing, ataupun di tempat manapun, tolong hormati dan hargailah alam ini! Karena di alam ini, bukan hanya manusia yang hidup berdampingan, namun ada pula sosok-sosok gaib, tumbuhan dan binatang.” Kata Anggoro Aji menasehati kami semua. Kamipun mengangguk, pertanda mengerti.

Setelah mendengar penjelasan dan nasehat dari Anggoro Aji, mereka pun pamit dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka yang sempat terkendala akibat apa yang terjadi di desa Plesiran Londo tersebut.

***

[Umam POV]
Aku merasa lega kalau semua ini berakhir dengan bahagia, walaupun tidak untuk semua orang. Ketika Feby menanyakan kepadaku akan tujuan kami selanjutnya, aku hanya menyebut satu tujuan.

Yaitu desa Glondong.

Pertama-tama mereka heran mengapa aku memutuskan untuk pergi ke sana, namun setelah kujelaskan kalau aku ingin menemui mbah buyutku untuk bersilaturahmi sekaligus bertanya akan suatu hal, mereka pun akhirnya setuju.

Mereka tidak tahu kalau sebenarnya tujuan utamaku adalah untuk mencari sebuah cara bagaimana bisa mengeluarkan ilmu palasik itu dari tubuh Cici.

Selama perjalanan, aku terus melihat Ella dan Nanda yang masih terdiam. Aku mencoba memancing mereka untuk bicara dan lebih terbuka dengan kami, yang merupakan regunya yang baru, namun mereka tetap diam seperti jasad tanpa adanya jiwa. Oleh karena itu, kubiarkan mereka untuk sementara waktu.

Mungkin mereka berdua masih shok, pikirku.

Kami menelusuri jalan-jalan di desa mati ini, entah apa yang terjadi mengapa seperti tidak ada sesuatu apapun yang lalu lalang. Entah itu demit, binatang, atau semacamnya. Keadaan terlihat semakin sunyi, bahkan aku tidak merasakan ada hawa apapun yang mengintai maupun mengikuti kami.

Keadaan aneh mulai terjadi ketika tiba-tiba matahari sudah berada di puncak langit, menandakan kalau sudah tengah hari. Membuat semua orang sedikit panik, pasalnya obrolan kami dengan Anggoro Aji belum sampai dua jam, namun kini sudah tengah hari. Padahal kami bercengkerama dengan Anggoro Aji tadi, aku sempat melihat arlojiku yang menunjukkan tengah malam.

“...Kok malamnya cepet, sih?” gumamku heran. “Belum sampai dua jam antara pertemuan kita dengan Anggoro Aji, namun kini sudah tengah hari,”

Tak terlalu memikirkannya, aku suruh mereka untuk segera melanjutkan perjalanan kembali. Aku merasa akan terjadi sesuatu yang teramat buruk apabila kita terus berada di tempat ini.

***

Setelah keluar dari kampung Plesiran Londo, kami harus kembali melewati jembatan reyot itu dan setelah itu harus kembali ke rute awal kami, yaitu pertigaan yang menuntun kami semua menuju desa mati ini.

Kami melewati jembatan reyot ini dengan perasaan yang kembali was-was. Bagaimana tidak? Jembatan itu berdiri tahun 1870 dan melihat reyotnya jembatan ini, aku memastikan kalau jembatan ini tidak pernah direnovasi setelah berdirinya.

“Agung, aku takut...” kata Wulan yang berjalan dengan menggandeng tangan Agung.

“...Nnn... tak usah khawatir, Wulan. Ada aku di sini, menjagamu...” jawab Agung modus.

“Hati-hati, Sit! Jembatan ini sudah seperti mau patah,” ujar Feby mengingatkan.

“Baik, nona!” jawab Siti.

Saat itu, aku berada di posisi paling belakang. Di depanku ada Mela, yang mana lagi di depan Mela ada Andre. Ketika aku melihat teman-temanku di depan, aku berteriak untuk tetap berhati-hati. Mereka pun mengangguk mengerti.

Namun, ketika kualihkan pandanganku ke belakang, tepatnya ke desa mati itu, aku melihat banyak mayat-mayat yang gosong karena terbakar, tiba-tiba bangkit dan mengeluarkan mata merah mereka, membuatku bergidik ngeri, takut.

Tiba-tiba dari suatu tempat, terdengarlah suara seseorang, yang mana kami semua sudah mengenal siapakah pemilik suara itu.

Ya, dia adalah Ki Bradjamana.

“Hahaha... tak kusangka kalian bisa keluar dari desa itu! Aku benar-benar telah meremehkan kalian semua, O pemuda-pemudi dari masa depan,” kata Ki Bradjamana dari suatu tempat dengan suara lantang. “Namun, jangan pikir aku akan membiarkan kalian lewat dengan mudah, setelah apa yang kalian perbuat kepada para abdi-abdiku. Hahaha...!!”

Tiba-tiba mayat-mayat hidup yang gosong terbakar itu segera berlari, menyusul kami yang tengah berada di jembatan reyot itu. Mau tak mau, aku harus melawan mereka, kalau tidak, maka tidak ada di antara kami yang bisa selamat dari sini.

Aku yang seni beladiriku pas-pasan, kalau tidak ingin dibilang kurang, hanya mampu menendang dan memukul para mayat hidup yang jumlahnya sangat banyak itu hingga mereka terjatuh ke dalam jurang. Tapi untungnya jembatan itu hanya bisa dilewati satu demi satu, sehingga aku hanya melawan satu demi satu dari mereka.

Mayat-mayat hidup itu mengeluarkan parang mereka dari perutnya, membuatku merasa mual, karena tercium bau yang sangat menyengat. Aku perintahkan ke teman-temanku yang berada di depan untuk segera berlari menuju sisi yang lain, supaya mereka bisa selamat. Dengan semangatku, aku pun berhasil memukul kepala mereka sambil menghindari sabetan parang mereka, yang mana sedikit melukai kedua tangan dan kakiku.

Ketika mereka semua sudah berhasil sampai ke sisi satunya, entah mengapa Mela malah kembali untuk menolongku, yang mana Andre segera menghentikan langkahnya.

“Hentikan, Mel!” kata Andre memegang tangan Mela untuk menghentikannya. “Apa yang kamu lakukan? Apa kamu tak tahu akan pengorbanannya?”

Mela pun segera menoleh ke arah Andre, sembari meneteskan air matanya. “Bagaimana aku bisa diam saja, melihat orang yang paling kusayangi akan berkorban diri untuk orang lain. Aku tak bisa menerimanya! Aku tak bisa!”

Mela pun segera melepaskan tangan Andre, dan bergegas kembali untuk menyelamatkanku. Karena tak ingin terjadi apa-apa pada Mela, Andre bergegas mengikutinya dari belakang, sementara yang lain. Andre perintahkan untuk tetap berada di sana saja, termasuk Cici yang berusaha untuk menghentikannya.

“Mel, apa yang kalian lakukan di sini? Aku sudah menyuruh kalian untuk lari, ‘kan?” tanyaku yang tengah menghadapi para mayat hidup itu. “Kenapa kalian sama sekali tidak mengindahkan perintahku!?”

“...Aku tidak mau!” balas Mela, yang masih meneteskan air matanya. “Bagaimana bisa aku meninggalkan darling, yang mana satu-satunya orang yang paling berharga buatku? Kalau ini akan menjadi akhir kita, aku lebih senang apabila aku bisa mati di sampingmu!”

Aku dan Andre shok mendengar ungkapan dari Mela tersebut. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba api memercik dari arah Plesiran Londo, yang mana langsung membakar tali jembatan dari arah yang belakang para mayat hidup itu dan menghempaskan jembatan reyot itu ke bawah tempat Feby dan lainnya.

Membuat kami bertiga hampir terjatuh, sementara para mayat hidup itu, semua terjatuh ke ujung jurang.

Setelah aku membuka mata, kulihat tangan kananku sudah dipegangi oleh Andre, sementara tangan kiriku, aku memegangi tangah Mela yang kini sudah berada di bawahku.

“Kak Umam, bertahanlah! Dan jangan lepaskan tangan Mela, apapun yang terjadi,” kata Andre memperingatkan. Yang mana teman-teman yang lain pada menarik tangan Andre supaya kami semua bisa selamat.

“Darling, aku takut...!” sahut Mela yang masih memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya.

“Bertahan—lah, M—Mela!” jawabku yang memberi semangat penuh kepada gadis yang begitu terobsesi padaku itu.

Berkat bantuan dari teman-teman yang lain, Andre bisa selamat, yang mana kini menyisakan aku dan Mela yang masih terjebak di jembatan roboh ini. Kini, Andre dan yang lainnya berusaha kembali menarik tanganku agar aku dan Mela bisa selamat.

Namun, terjadi sesuatu padaku. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang mana menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku kosong untuk beberapa saat. Di saat itu, entah mengapa aku melepaskan tangan Mela, yang langsung membuat Mela terjatuh.

Setelah aku tersadar, aku hanya bisa melihat Mela yang terjun bebas ke arah jurang yang mana aku bahkan tidak bisa melihat dalamnya karena tertutupi oleh awan dan kabut yang sangat pekat.

“Mela...!!!” teriak kami semua. Tanganku tiba-tiba kaku seketika, tak percaya kalau aku melakukan ini semua pada Mela.

Mela waktu itu hanya tersenyum, dan sedang berbicara sepatah dua patah kata. Namun aku tak bisa mendengarnya karena kondisi ini, tapi aku bisa membaca pergerakan bibirnya yang mana mengatakan.

Aku... Cinta... Kamu!

Syukurlah, waktu itu terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba sorban hijauku itu keluar dari tas ransel dan memanjang, yang mana langsung membelit tubuhku dan Mela dan membawanya naik ke atas kembali.

Setelah membawa kami ke atas, sorban hijau itupun segera kembali ke ukuran asalnya dan masuk ke dalam tas ranselku kembali. Di saat yang tidak menguntungkan itu, tiba-tiba aku mendapat sebuah pukulan yang teramat keras dari Andre, membuatku terbaring seketika.

“Apa yang kamu lakukan sebenarnya!?” umpat Andre yang kembali memukulku. “Mengapa kau melepaskan tangan Mela yang sedang berpegangan padamu, he!?”

Aku yang saat itu juga tak percaya akan apa yang barusan terjadi, tidak bisa mengatakan apapun, selain, “A—Aku juga tidak tahu. Entah mengapa aku... aku,”

Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Andre kembali memukulku untuk dua sampai empat kali, membuat pipiku memar. Dasar, seberapa keras dia mukulnya, sih.

Untunglah waktu itu, Feby segera datang dan langsung melerai kami.

“Sudah hentikan kalian berdua! Kak Umam sudah bilang tak tahu, ya pastinya dia tidak tahu lah!” ujar Feby melerai Andre. “Tapi syukurlah, kakak masih memiliki sorban itu, sehingga kalian bisa selamat hari ini.”

Siti pun ikut nimbrung obrolan kami. “Benar apa yang dikatakan oleh nona Feby. Sebaiknya kita segera pergi meninggalkan tempat ini, karena suasana di sini sudah semakin mencekam!”

Tanpa ada perdebatan lainnya, kamipun segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Waktu itu entah mengapa ketika aku mengajak berjalan bersama, Mela menolak dan malah berjalan bersama Feby.

“Aku minta maaf, Mel! Aku... tidak sengaja melakukannya!”

Dia hanya diam, mengacuhkanku. Mungkin dia masih benar-benar shok dengan apa yang terjadi menimpanya tadi.

***

[Third POV]
Ketika mereka semua sudah pergi, tiba-tiba muncul sesosok siluman ular yang memakai mahkota yang tengah mematai mereka semua dari kejauhan.

“Ssst... ternyata mereka orang-orang yang dikatakan oleh Ki Bradjamana, huh? Kelihatannya tidak ada di antara mereka yang merupakan ancaman. Mereka semua terlihat seperti manusia biasa pada umumnya,” desis siluman ular itu. “Hoi, Saraswati. Apa kamu mau membuang waktuku di sini?”

Saraswati pun segera berlutut, meminta maaf. “Ampun Nyai, saya tidak bermaksud begitu. Namun apa yang kukatakan tadi memang benar adanya. Mereka semua adalah ancaman bagi sekte kita. Dan bahkan satu orang dari mereka sudah berhasil memporak-porandakan istana Marwapati.”

“Ssst... aku harap apa yang kau katakan ini benar, Saraswati. Jikalau kau berbohong, bahkan untuk sekali saja, aku takkan ragu-ragu untuk mematahkan lehermu dan juga dukun tua sialan itu!” jawab Nyai Pancasukmana, ratu ular yang menguasai Rawa demit. “Sekarang aku akan menunggu sampai bulan purnama. Setelah tenagaku pulih, aku akan segera menyerang mereka semua!”

Dan akhirnya Nyai Pancasukmana pun pergi. Yang mana sebenarnya, Nyai itulah yang telah membakar tali jembatan reyot itu. Sementara Saraswati segera mengibaskan selendang merahnya dan dia pun menghilang.

Ketika dua sosok itu telah menghilang, tiba-tiba dari semak-semak, muncul sesosok genderuwo yang mana dalam keadaan terluka parah, bahkan telinganya terus berdarah dan mengeluarkan bau yang sangat busuk.

“Grrgh... bajingan kau, Anggoro Aji. Kau telah merebut istriku. Awas saja kau nanti!!” gerutu genderuwo itu mengumpat. “...Aku tak percaya kalau ada seseorang dalam rombongan manusia itu yang mampu mengeluarkan Radjah Sangkala, yang mana mampu menghancurkan seluruh istana Marwapati dan membunuh Sang Ratu hanya dengan sekali tiupan terompetnya.”

Tiba-tiba ada sosok yang menepuk pundak genderuwo itu dari belakang. “Kau mengejekku, ya? Berani sekali genderuwo lemah macam kau mengejekku dan istanaku, hm?”

Ternyata yang menepuk pundaknya adalah ratu Muspitasari yang mana telah didampingi oleh ratusan pasukannya. Dia tak terima melihat kekalahannya terus-terusan diungkit oleh makhluk yang lebih rendah kastanya ketimbang dirinya.

“Ampun, ratuku! Hamba tidak tahu kalau sang ratu ada di samping hamba,” kata genderuwo itu memohon ampun.

“Kali ini aku memaafkanmu, genderuwo. Tapi kalau kau sampai mengulangi hal ini lagi, aku tak akan segan-segan untuk membunuhmu dan juga jabang bayimu yang ada dalam rahim manusia itu,” jawab ratu Muspitasari mengancam. Dan genderuwo itu pergi. “Kau benar-benar telah mencari musuh dari berbagai makhluk gaib yang begitu kuat, manusia. Aku tak tahu siapakah dirimu dan siapa leluhurmu, namun aku merasa tertantang untuk bisa bertarung kembali denganmu suatu saat nanti.”

***

[Umam POV]
Ketika dalam perjalanan, aku berpikir akan mengajak Feby untuk membicarakan sesuatu yang teramat penting. Ini menyangkut Ella, Nanda, dan juga Cici.

“Feb, bisa kita bicara sebentar?” pintaku sambil berbisik ke telinga Feby. Feby hanya mengangguk dan mengikutiku berjalan ke belakang. “Untuk yang lain, kalian bisa beristirahat di sini dulu. Kami berdua akan pergi untuk memastikan sesuatu,”

Mela pun menoleh ke belakang. “Darling, kamu mau pergi ke mana?”

“Ah, sebentar. Kalian tunggulah di sini, ya?” pintaku. Mela hanya mengacuhkanku, membuatku sedikit merasa sakit. “Kalau sudah selesai, kita berdua akan segera kembali kok. Dan jikalau di antara kalian melihat seseorang yang mencurigakan, aku mohon untuk tidak mendekatinya. Paham?”

Aku dan Feby berjalan menuju ke sebuah tempat lapang yang tidak jauh dari sana. Di sana aku mengatakan hal yang sebenarnya mengangguku mengenai Ella, Nanda dan juga Cici.

Aku sedikit mencurigai mereka yang sepertinya masih berada dalam pengaruh seseorang.

Dan untuk Cici...

“Ya, aku sudah tahu apa yang ingin kakak katakan. Soal Cici, kan?” tebak Feby ringan. “Sejujurnya ketika di istana ratu Muspitasari kami benar-benar shok apa yang terjadi padanya, namun kami juga yakin kalau semua ini bukanlah salahmu, kak!”

“Tapi... jikalau aku mampu membawanya keluar sebelum semua itu terjadi, pastinya Cici takkan jadi seperti ini,” jawabku yang masih menyalahkan diriku sendiri atas peristiwa yang terjadi pada Cici. “Dan mengenai Nanda... aku punya firasat buruk tentangnya. Tentu, dia sudah terlepas dari pengaruh genderuwo itu, namun aku masih merasa ada sesuatu pada dirinya yang mana jika dilihat dengan mata batin, akan terasa panas membara.”

“Hmm...” Feby berdehem, memegang dagunya. “Aku ingin bertanya, kak. Sebenarnya apa alasan kakak untuk bertemu dengan nenek buyutmu? Kok kakak terlihat sangat bersikeras untuk menemuinya?”

“Sebenarnya...” kataku yang tiba-tiba merasakan sesuatu, yang mengintai di semak-semak. “Ssst, Feb! Hentikan omonganmu. Ada seseorang yang tengah memata-matai kita dari semak-semak itu. Sebaiknya kita segera pergi dari sini!”

Tiba-tiba dari semak-semak, keluarlah Areng-areng yang begitu banyak, hendak menyerang kami. Namun ketika Feby hendak mengeluarkan pisaunya dan berniat untuk membunuhnya, aku segera mencegahnya.

“Jangan Feb! Kalau kau membunuhnya, maka dari tubuh Areng-Areng itu akan keluar racun rawa yang sangat mematikan.” Kataku memperingatkan. “Kelihatannya mereka tidak dikendalikan oleh seseorang, jadi mereka murni sebagai binatang liar yang teralihkan dengan kedatangan kita. Sebaiknya kita segera pergi dari sini, sebelum Areng-areng itu marah!”

Areng-areng adalah sesosok hewan yang hampir mirip dengan serangga pemakan manusia, di film Mummy 1999. Namun ukuran Areng-areng adalah tiga kali lebih besar dari serangga pemakan manusia.

Areng-areng adalah serangga yang jinak dan hidup bergerombol di dalam rawa. Biasanya mereka dipimpin oleh entitas yang lebih tinggi dari mereka, yang membuat mereka jinak, namun apabila pemimpinnya mati atau hilang, mereka adalah salah satu serangga paling ganas, yang menghisap saripati manusia dan tumbuhan.

Dan apabila dibunuh, areng-areng ini akan mengeluarkan racun yang sangat mematikan, tanpa bau dari jasadnya yang telah mati, oleh karena itu, manusia tidak berani membunuhnya, sehingga oleh sebagian orang, disebut sebagai binatang suci.

Feby pun menurut dan memasukkan belatinya ke dalam tas ranselnya, dan kemudian kamipun kembali ke kelompok kami. Tanpa menjelaskan apapun, aku segera mengatakan untuk segera melanjutkan perjalanan.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close