Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 41) - Tongkat Khatib Milik Kyai Burhan


JEJAKMISTERI - “Apa-apaan ini? Baru datang saja sudah mendapat sambutan yang tak mengenakkan,” ujar Mela sedikit kesal.

“Andre!?” kata mereka semua terkejut melihat kedatangan Mela yang sedang merangkul Andre yang kosong. “Mela, apa yang terjadi pada Andre? Mengapa dia bisa seperti ini?” tanya balik mereka berondongan.

Setelah meletakkan Andre di atas tikar bambu, Mela menghela napas sebentar. “Andre hampir dibunuh oleh iblis pencuri rupa itu. Untung saja aku merasakan ada sesuatu yang terjadi, sehingga aku bisa bergegas menyelidiki keadaan. Sesampainya di sana, aku menemukan Andre yang sedang diterkam oleh Ki Amor. Benar-benar ceroboh dia!”

Mendengar umpatan kasar itu, Nanda yang ada di saat sebelum Andre seperti itu, marah. Dia tiba-tiba langsung menampar pipi kanan Mela yang manis itu.

“Diam kau, Mel! Kau tidak tahu kalau semua yang terjadi pada Andre, berawal darimu. Kalau saja dia tidak keras kepala mencarimu, atau mencari sosok yang menyerupai sebagai dirimu, pastinya semua ini tidak akan terjadi. Seharusnya kau itu sadar kalau...”

Sebelum Nanda menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Mbok Ruqayah membentak mereka semua untuk tetap tenang dan diam. Bentakan Mbok Ruqayah tidaklah keras, karena dia sudah tua, namun dari suaranya itu, menyimpan kengerian sendiri yang langsung membuat mereka terdiam. Seharusnya mereka itu sadar, kalau tidak ada yang salah dalam masalah ini.

“Kalian itu ya, teman-teman kalian kondisinya mengkhawatirkan semua, kalian malah berteriak-teriak seperti itu seperti orang gila,” bentak Mbok Ruqayah tegas. “Aku yang salah. Aku yang sedari awal menyadari kalau Mela yang kalian bawa ke sini adalah penjelmaan dari Ki Amor dan aku tak mau mengatakan yang sebenarnya pada kalian semua sebelum pergi. Semua tanggung jawab ini ada padaku!”

Feby menghampiri nenek tua itu dan menggenggam tangannya. “Tidak perlu, nek! Kamu tidak memberitahu kami karena tidak ingin kami khawatir, ‘kan? Aku mengerti itu... dan terima kasih!”

“Hah? Jangan sok baik, gadis kecil. Aku tak butuh belas kasihan darimu. Aku hanya tak menduga kalau Ki Amor bertindak secepat itu.” Mbok Ruqayah menjawab dengan ketus.

“Wulan, ambil bunga tujuh rupa, minyak kayu putih, dan tali yang telah aku persiapkan tadi!”

Wulan pun mengangguk, “Baik, nek!”

Melihat tingkah Wulan yang begitu patuh dan menurut kepada nenek tua jutek dan kasar itu, membuat teman-teman yang lain saling bertatapan. Mereka heran kepada Wulan yang terlihat seperti asisten pribadi Mbok Ruqayah sendiri.

Dalam sekejap, semua yang diminta oleh Mbok Ruqayah sudah tersedia di hadapan mereka semua. Segera, nenek tua itu menyuruh Feby dan Agung untuk mengikat kedua tangan Andre. Andre sangat diprioritaskan di sini karena kondisinya sudah sangat lemah dan jiwanya sudah berada dalam genggaman Ki Amor. Sementara itu, Mbah Gel diminta Mbok Ruqayah untuk mengoles minyak kayu putih itu di telapak tangan dan kaki.

Setelah semua persiapan selesai, Mbok Ruqayah menyuruh mereka semua untuk pergi, terkecuali Wulan. Karena tidak butuh bantuan mereka, mereka semua pada keluar, namun Mela lebih berinisiatif untuk menengok Umam di kamarnya.

Setelah semua orang pergi, Mbok Ruqayah menyuruh Wulan untuk memegang kotak kecil yang di dalamnya terdapat batu hitam yang sangat wangi.

“Wulan, jika kuperintahkan untuk membuka kotak itu, buka ya, nak?” kata Mbok Ruqayah ramah, menatap Wulan dengan sejuk. “Jika waktunya kurang tepat, maka Andre dan kamu akan mati di sini. Bersiaplah!”

“Baik, nek!”

Mbok Ruqayah menutup mata, sambil membaca doa-doa yang begitu asing dan tidak dimengerti. Saat itu, Wulan melihat tubuh Andre sudah mulai bergetar dan bergerak-gerak sendiri. Tak lama kemudian, mata Andre terbuka dan langsung mencekik leher nenek tua itu. Tak mau kalah, Mbok Ruqayah mengeluarkan keris kecil, yang merupakan salah satu peninggalan Cokropati dan langsung menusukkan keris itu ke arah perut Andre.

“Cepat, Wulan. Buka kotak itu!”

“B-Baik, nek!”

Wulan membuka kotak peti itu. Dan dalam sekejap, aura hitam-merah darah keluar dari tubuh Andre dan langsung melesat, terhisap ke dalam kotak kecil itu.

“Alhamdulillah,” kata Wulan menghela napas lega. “Akhirnya semua beres.”

Mendengarnya, Mbok Ruqayah tertawa kecil. “Belum, nak! Kita masih harus menyembuhkan diri temanmu yang satunya. Dan mungkin ini yang paling sulit. Bawa dia kemari!”

Wulan bangkit dari duduknya dan bergegas ke arah Cici. Belum sempat dia mengangkat dan membawa tubuh pingsan Cici ke Mbok Ruqayah, tiba-tiba Cici bangun dan langsung mencekik leher Wulan. Waktu itu, Mbok Ruqayah tidak bisa membantu karena tenaganya terkuras setelah memasukkan aura Ki Amor ke kotak kecil itu sehingga kakinya sama sekali tak bisa digerakkan, membuat kondisi semakin buruk.

Untunglah dari belakang, dari arah dapur muncul Pak Zaenal yang langsung meletakkan tangan kirinya ke ubun-ubun Cici sambil membacakan beberapa doa-doa. Dari sana, tiba-tiba seluruh tubuh Cici terasa begitu panas dan dingin secara menyeluruh. Itu bisa diketahui oleh Wulan karena tangan Cici yang ia gunakan untuk mencekiknya, terasa begitu panas dan dingin. Membuat Cici menjerit kesakitan seketika. Syukurnya, tak butuh waktu lama, Cici kembali pingsan.

“Aduh, Aduh... kalau mau membawa tubuh seseorang yang baru kesurupan, adek harus berhati-hati ya? Karena belum tentu kalau dia sudah terlepas dari sosok yang merasukinya!” ujar Pak Zaenal yang memberi saran kepada Wulan. “Sudah bawa tubuh temanmu itu ke Mbok Ruqayah!”

“Ma...Makasih, pak!”

“Jangan sebut aku dengan sebutan ‘bapak’. Usiaku masih sembilan belas tahun,” jawab Pak Zaenal sedikit menggerutu.

“Baik, kak!”

Wulan segera membawa tubuh Cici ke tikar bambu bersebelahan dengan Andre. Namun, sebelum melakukan ritual untuk menyembuhkan Cici, Mbok Ruqayah beristirahat sebentar dan meminum teh pahitnya.

Setelah istirahat selama lima belas menit, Mbok Ruqayah menanyakan sesuatu kepada Wulan. “Ndok, sebelum aku menyembuhkan temanmu ini, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Apa kamu mau menghilangkan jiwa palasik itu dari tubuh Cici, atau hanya menyisakan kekuatannya saja?”

Wulan tersentak mendengar pertanyaan itu. “Hah? Maksud nenek gimana?”

“Aku bertanya, apakah kamu mau mengeluarkan seluruh jiwa palasik itu, namun kekuatannya juga hilang, atau menghilangkan jiwanya saja, namun kekuatannya masih ada dalam diri Cici.” Jawab Mbok Ruqayah sedikit ketus. Sejujurnya, dia itu tidak suka ditanya balik seperti itu. “Aku ingin kekuatan dari palasik itu tetap berada di dalam tubuh Cici untuk pegangan atau penjagaan. Kalau tidak mau, maka aku akan memusnahkannya juga.”

Wulan menelan ludahnya. “Lalu, sebaiknya gimana, nek? Sejujurnya aku ragu dengan kedua pilihan itu,”

Mbok Ruqayah sedikit tertawa mendengar keluguan Wulan. Dia tertawa seperti seorang nenek sihir sambil menunjukkan gigi kuningnya dan menepuk-nepuk pundak Wulan.

“Wulan, Wulan. Kau itu memang terlalu polos. Hehhee...,” ucap Mbok Ruqayah. “Dengan kepolosanmu itu, terkadang kamu akan membuat keputusan yang fatal dan dari situ kau akan membahayakan teman-temanmu. Mengerti?”

Tak ada pilihan lain, Mbok Ruqayah bergegas menekan ubun-ubun Cici dan merapalkan beberapa doa yang lagi-lagi Wulan sama sekali tidak mengerti. Waktu itu Wulan belum tahu apa pilihan yang diambil oleh Mbok Ruqayah, namun meski begitu, kedua pilihan itu terasa begitu menguntungkan untuk Cici.

Ketika Wulan sedang melamun, sedikit bosan menunggu Mbok Ruqayah menyelesaikan pekerjaannya, tiba-tiba Cici terbangun, dengan muka yang begitu menyeramkan, bahkan mustika hitam itu pun muncul. Cici waktu itu terus menatap wajah Wulan yang sudah ketakutan setengah mati mendapat tatapan begitu menyeramkan itu. Namun, terlihat dari bibir Cici, dia seperti hendak mengatakan sesuatu dengan gerak bibirnya yang bahkan tidak muncul suaranya.

Begini gerak-gerik bibir Cici yang berhasil diterjemahkan oleh Wulan. “Terima kasih... kau telah mewujudkan satu impian besarku, nak. Yaitu, mewariskan ilmu palasikku kepada gadis ini,”

Tak berselang lama Wulan pun tersadar. Ketika tersadar, dia melihat Cici masih belum sadarkan diri dan Mbok Ruqayah masih khusyuk membaca doa-doanya.

Beberapa menit kemudian, Mbok Ruqayah berhenti dan membuka matanya kembali. “Jadi kau sudah memutuskan, Wulan? Kau memutuskan untuk mengabulkan harapan dari palasik Nek Sumatri itu ya?”

Wulan kaget mendengarnya. “Ha? Aku?”

Mbok Ruqayah menghela napas. “Sudah selesai. Aku sudah selesai menyembuhkan temanmu itu. Mungkin nanti tengah malam atau subuh dia sudah bangun.”

Tak mau bicara banyak, Mbok Ruqayah pun berlalu dari tempat itu. Melihat perilaku nenek tua itu yang begitu aneh, Wulan berkeinginan untuk mengetahui history dari nenek tua itu. Setelah membaringkan Cici dan Andre ke atas ranjang tidur, Wulan pun bangkit dan kembali ke teman-temannya yang lain sambil mengabarkan kondisi Andre dan Cici saat ini.

Belum jauh Wulan melangkah, tubuhnya menabrak Mbah Jayos yang barusan membuka pintu. Pucuk dicita ulanpun tiba. Tak mau menyia-nyiakan momen ini, Wulan bergegas bertanya akan kehidupan Mbok Ruqayah. Betapa hebatnya dia mampu menyembuhkan kedua temannya, sebelum itu, Wulan berterima kasih pada Mbah Jayos.

Mbah Jayos waktu itu tersenyum kecut mendengarnya.

“Mbok Ruqayah itu bukanlah orang hebat ataupun pahlawan kebajikan, nak! Dia adalah mantan dukun wanita terburuk yang pernah ada. Dia selalu membuat teror di seluruh penjuru Blitar. Banyak orang-orang sakti mandraguna yang ilmunya sudah mencapai puncak keilmuan, baik ilmu hitam ataupun ilmu putih yang menjadi tumbalnya, bahkan karena diingatkan oleh para pemuka agama dari keenam agama, dia langsung menyantet pemuka-pemuka agama itu sampai mati, berserta tujuh keturunannya. Alasannya membantu kalian hanyalah karena dia mempunyai tujuan ataupun keuntungan yang bisa didapat untuk dirinya sendiri,” kata Mbah Jayos yang seperti ingin membuat Wulan untuk tidak terlalu mengagumi Mbok Ruqayah. “Pernikahanku dengannya adalah sebagai pemutus perjanjian antara Mbok Ruqayah dengan iblis yang ia sembah dulu. Setiap kali dia menolong manusia, umurnya akan semakin memendek. Oleh karena itu, aku sering memperingatkannya untuk menjadi wanita biasa saja, tak perlu menolong lagi, dia pun setuju. Mendapati kalau cicitnya terkena efek Sangkala, membuatnya tak bisa tinggal diam, karena dia tahu bagaimana rasanya terus-terusan disiksa oleh iblis Sangkala itu. Dan melihatmu, mungkin Mbok Ruqayah berpikir kalau dirimu mengingatkannya dengan dirinya sewaktu masih muda.”

Tak percaya mendengarnya, Wulan langsung berlalu melewati Mbah Jayos yang lagi terdiam di depan pintu.

***

Wulan berjalan menemui teman-temannya yang lain yang kini berada di ruang utama kediaman Mbah Jayos. Mereka semua terlihat resah dan bingung. Mungkin itu semua karena mendapati kondisi kak Umam, Andre, dan juga Cici yang kini hanya bisa terbaring di atas kasur itu.

Melihat Wulan, Agung langsung menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Sepertinya dia ingin memberondonginya dengan banyak pertanyaan. Wulan yang mengerti, dia bergegas duduk di samping Agung.

“Gimana kondisi Andre dan Cici, Lan?” tanya Agung yang masih memegangi kepalanya, bingung.

“Mereka berdua sudah mulai baikan kok. Mungkin esok subuh mereka berdua sudah sadar. Namun meski mereka berdua sadar, kondisi kita tidak akan banyak berubah, karena kak Umam masih dalam kondisi seperti itu. Aku ragu jika kita mampu menyelesaikan tugas yang disuruh oleh Mbok Ruqayah dengan kondisi kita saat ini,” jawab Wulan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, out of options.

Dalam keadaan demikian, Feby datang bergabung dalam pembicaraan mereka. “Meski begitu, esok hari kita harus melanjutkan pencarian benda-benda yang disuruh Mbok Ruqayah untuk ritual. Iyakan?”

“Entahlah, Feb. Namun kalian saja yang mencari benda-benda itu, aku disuruh oleh Mbok Ruqayah untuk tetap di sini, menjaga mereka bertiga.” Wulan menjawab dengan datar, terlihat dari mukanya penuh keletihan dan bingung. “Setelah ini, kalian cari saja tongkat khatib yang ada di masjid selatan dari sini. Pastinya akan mudah,”

Feby menghela napas. “Ah, baiklah. Sebaiknya malam ini kita gunakan sebaik-baiknya untuk beristirahat, dan besok kita akan berburu harta karun!”

Malam harinya, tepat di tengah malam Wulan yang tak bisa tidur, berjalan keluar dari rumah dan menuju teras. Di sana, dia mendapati Mela yang tengah melempar-lemparkan tulang belulang yang seperti tulang ayam ke arah tanah kosong di depan rumah.

Wulan menghampirinya sambil bertanya tentang apa yang sedang dilakukannya. “Mel, kamu kenapa melempar tulang belulang ayam itu ke tanah kosong?”

Mela menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali menatap ke depan. “Gak kenapa-napa kok. Aku hanya bermain-main dengan demit-demit yang sekarang ini berkerumun dan mengelilingi rumah ini. Sepertinya Ki Amor mengirim bala tentaranya untuk menjemput tumbalnya,”

Wulan kaget mendengarnya. “Haaah? Tumbal!?”

Mela mengangguk. “Iya, Andre. Syukurnya tanah ini adalah tanah berkah, yang penghuninya mempunyai iman yang tinggi, jadi demit-demit itu takkan berani maupun mampu untuk memasuki rumah ini, hehhee...”

“Lalu bagaimana Mbah Jayos dan Mbok Ruqayah menanggapi hal ini?”

“Mereka diam saja. Demit-demit rendahan seperti itu, gak akan membuat mereka senang jika mengalahkannya. Jadi daripada mereka di depan nganggur, aku kasih mereka kesibukan sedikit dengan bermain-main dengan mereka. Hehhee...” jawab Mela yang terus-terusan melempar tulang belulang itu ke arah depan. “Esok hari jangan kau ikutkan aku, Andre, dan Cici untuk ikut denganmu mencari tongkat khatib itu ya?”

“Kenapa? Kamu kan baik-baik saja?”

“Aku tak mau ikut mencari benda-benda klenik seperti itu, terlebih darling tidak ada di sana untuk menemaniku,” jawab Mela enteng.

“Mel, kok kamu gak royal banget sih? Mereka semua ini teman-temanmu. Harusnya kamu bisa sedikit ramah dan friendshipable dengan mereka!” kata Wulan sedikit membentak dengan ucapan Mela barusan. *Note: Friendshipable itu maksudnya mau bergaul.

“Aku gak peduli dengan semua itu. Aku ada di sini karena darling memintaku untuk menemaninya, dan aku mau ikut rombongan kalian karena darling lah yang memintaku!” balas Mela yang sedikit membalas bentakan Wulan padanya. Dia pun segera berdiri dan kembali masuk ke dalam rumah.

Setelah Mela pergi meninggalkannya, Wulan menghela napas. “Astagfirullah, kenapa dengan gadis itu? Apa waktu-waktu yang dia habiskan bersama kita sama sekali tak bernilai apa-apa baginya?”

Keesokan paginya, Agung sudah berangkat menuju masjid selatan kediaman Mbah Jayos. Karena masjid situ adalah masjid terdekat di sekitar sini yang konon tongkat khatib buatan kyai Burhan itu sangat melegenda di sekitar Blitar. Sementara yang lain, setelah salat Subuh di rumah Mbah Jayos, bergegas menghampiri ranjang Andre dan Cici yang syukurnya telah sadarkan diri.

***

Kita berganti ke tempat ke tempat di mana Agung dan Mbah Gel kini berada. Di sebuah masjid yang bernama Baitul Makmur. Kondisi di sana lagi sepi, karena sedang tidak ada yang menunaikan salat fardhu. Setelah mengucap salam sebelum memasuki rumah Allah itu, Mbah Gel mempersilahkan Agung untuk masuk ke dalam masjid.

Seperti kedatangannya sudah dinanti, tongkat khatib itu seperti memancarkan cahaya putih, membuat pandangan Agung silau seketika. Namun, ketika dia hendak mengambilnya, tangan Agung dicegah oleh Mbah Gel.

“Apa yang kau ingin lakukan, nak?” tanya Mbah Gel ketus.

“Lho, ya mengambil tongkat itu toh! Bukankah kita datang ke sini karena tujuan itu?” jawab Agung membeo. “Kalau kita tidak membawanya, lalu untuk apa kita ke sini?”

Mbah Gel menghela napas dalam-dalam. “Ahh... kau jangan bertindak seperti pencuri saja, nak! Jangan setiap hal yang kau inginkan, kau langsung ambil tanpa meminta izin, nanti kena karma. Kita harus meminta izin terlebih dahulu!”

“Hah!? Minta izin? Ke siapa?”

Tak berlangsung lama, datang seseorang memakai baju koko putih dan berkopyah putih pula. Sebelum masuk, dia mengucapkan salam, dan tak tahu mengapa setelah mereka berdua membalas salam itu, di dalam masjid terdengar suara membalas salam yang menggema-gema, seperti ada banyak orang yang membalas salam tersebut. Mbah Gel tersenyum sumringah melihat Agung yang melongo, terheran-heran.

“Waalaikum salam wr.wb...!”

“Itu balasan salam dari jin muslim, nak!” bisik Mbah Gel.

Setelah orang yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan itu sampai ke tempat kami duduk, sebelum mengajak kami mengambil tongkat khatib itu, dia sedikit berbasa-basi sebentar sambil memperkenalkan diri.

“Mas Agung, ya? Saya Karman, saya imam di masjid ini, dan adik dari kyai Burhan,” sapanya memperkenalkan diri. “Aku diberitahu oleh Mbah Gel untuk meminta izin padaku untuk meminjamkan tongkat khatib buatan kyai Burhan ini, karena yang meminjam adalah putra dari Mbah Jayos dan juga seseorang yang datang dari masa depan, saya buru-buru kemari untuk membantu kalian.”

“Ah, terima kasih, pak!” jawab Agung.

Dengan bantuan dari Pak Karman, Agung berhasil mengambil tongkat khatib peninggalan Kyai Burhan itu dengan mudah, itupun setelah Pak Karman menyuruh Agung dan Mbah Gel untuk membaca doa-doa yang cukup familiar bagi mereka.

Setelah selesai urusan di sana, Agung dan Mbah Gel berniat untuk pulang. Namun sebelum Agung pergi, Pak Karman ini menghentikan langkah Agung, dan membiarkan Mbah Gel pergi.

Pak Karman pun mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Agung, sambil berbisik, “Andaikata kau mengambil tongkat khatib itu tanpa izin, maka kau akan dibuat bingung dan kau dibawa ke alam kegaiban tanpa ada seseorangpun yang mampu menyelamatkanmu, nak! Beruntung kamu datang ke sini tidak seorang diri,”

Mendengar bisikan itu, membuat seluruh tubuh Agung bergidik seketika. Dia takut, panik, dan merasa bersalah atas apa yang akan dia lakukan tadi. Syukurlah dengan itu, dia takkan berani lagi untuk mengambil sesuatu apapun tanpa meminta izin terlebih dahulu.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close