Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 22) - Pendekar Cacat Pembasmi Iblis


Kilatan cahaya obor yang menyala-nyala membias di wajah Nyi Ratu Gondo Mayit. Matanya menatap dingin sementara bibirnya menyeringai menyeramkan. 

Seakan yang terbaring didepannya bukan manusia, ayahnya sendiri, melainkan hanyalah binatang jagal yang bisa disembelih kapan saja. 

Darah menggenang berbau amis di jasad Sasrobahu yang terbujur kaku. 
Sekiranya tadi Sang Ratu sempat menghisap darah di leher, mungkin manusia bisa hidup menjadi Sampir siluman yang hidup dari minum darah manusia. Tapi Kanjeng Ratu memilih lain. 

Dikala manusia merasa telah berjaya dengan segala kesaktian yang dimiliki dan berusaha untuk melawan takdir yang telah digariskan Empunya Kehidupan

Disaat itulah suratan nasib menuliskan kejatuhan paling hina bagi setiap keserakahan.

Mulut mungil Murni masih ternganga melihat kejadian sadis yang baru terhampar di depannya, entah beberapa jam yang lalu seonggok jasad itu masih hidup dan berusaha untuk mengambil hati perawan desa Bakor itu. Merayu untuk menikahinya, memiliki tubuhnya, entah untuk tujuan mengerikan apa.

Murni hampir-hampir saja terjebak oleh mulut manis rayuan Sasrobahu, sebelum ia tahu kalau pria itu sejatinya berhati iblis, telah berusia ratusan tahun lamanya akibat ilmu kesaktian pertapa yang dimiliki. Demi memuluskan niatnya mencapai tahapan ilmu adidaya ia korbankan semua yang dimiliki, anak, istri, guru dan kini secara tragis nyawa sendiri. 

Memikirkan hal itu perut Murni terasa mual.

"Hmmh nasibmu ini sudah aku ramal akan mengenaskan tua bangka! Kau terlalu serakah, ambisimu telah membutakanmu hingga kau lengah hihihi" ejek Nyi Ratu Gondo Mayit seakan belum puas. Tangan siluman itu merogoh rongga dada mayat itu lalu menarik organ dalam yang telah kisut. Darah kental menetes ke lantai menguarkan bau amis menyengat. 

"Kanjeng ratu mohon jangan menghina jasad manusia yang telah berpulang" pinta Murni sambil menutup mulutnya untuk menahan bau amis darah.

Nyi Gondo Mayit berbalik dan berkacak pinggang, matanya melotot tajam. 

"Hatimu terlalu lembek Murni, sebagai calon penerusku kau harus berhati setegar karang, jika tidak, mungkin kau sudah lama mampus dalam perangkap manusia berhati keji seperti ini! Tidakkah kau lihat sendiri kebusukan hati para manusia, jika kau lengah sedikit maka mereka akan memanfaatkanmu habis-habisan!" bentak Nyi Ratu sambil mendelik.

"Saat itu dia memaksaku mempelajari kitab ilmu Sangang Urip dengan alasan ingin menyembuhkan Nyi Melati, katanya ilmu itu berlawanan dengan ilmu Putih yang ia pelajari, hanya aku yang bisa. Kitab hitam itu membuatku kerasukan dan menjalin perjanjian dengan kaum iblis. Heh Lindu Pangaji terus memaksaku memperdalam ilmu ini dengan jalan menumpahkan darah tumbal. Lalu dia suruh aku mengumpulkan para panglima untuk menggalang kekuatan di Hutan Tumpasan. Makin lama kekuatan kami semakin kuat dan korban tumbal semakin banyak. Tapi Ia masih belum puas dengan ilmu kesaktian yang kumiliki, dan kali ini ia menginginkan kekuatan kerajaan Kalingga. Nah rasakan sekarang, jahanam ini merasakan buah yang ia tanam dahulu. Hihihi"

"Kanjeng Ratu, jika Kanjeng Ratu tidak menyukai diperintah oleh Sasrobahu, maka kali ini Gusti sudah terbebas dari segala tanggungan, bisa... kembali baik seperti dulu. Menjadi manusia lagi."

Kanjeng Ratu Gondo Mayit tertawa terbahak-bahak. 

"Kamu kira semua semudah itu Murni? aku tak pernah bisa lupa akan manisnya rasa darah manusia. Jika tak meminumnya sehari badanku terasa gatal, aku tak bisa hidup tanpa darah segar." seringainya melotot dengan gigi taring yang berkilat.

Suara Kanjeng Ratu terdengar berat dan aneh seperti bukan suara manusia lagi. 

"Ratu... Eling yang mulia"

"Aku sudah bukan manusia lagi Murni, makananku hanyalah darah dan rasa takut dari manusia. Hihihi"

Gadis muda itu begidik, sekujur rambut ditubuhnya meremang, sekarang ia tak tahu lagi bagaimana cara meloloskan diri dari cengkraman Nyi Ratu. Ia sendiri tak mau menjadi penerus aliran hitam karena ilmu itu akan menjadikan orang haus darah dan lupa akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia telah berharap pada pasukan Kalingga namun mereka sudah dihajar habis-habisan oleh Kanjeng Ratu. Tak terkira kesaktian ilmu Sangang Urip yang dimiliki, bahkan Kitab 'Sakalaksa' Angin dan Hujan yang disebut-sebut sebagai kitab utama jagad alam tak mampu mengatasi.

"Bagaimana Murni? kau harus menjadi pengikutku bila tidak nasibmu akan sama seperti mayat ini, begitupun tikus-tikus yang merangkak itu, mereka semua akan mampus!" tuding Nyi Ratu ke arah pintu sambil tertawa lebar.

Wajah Murni memucat bagai kertas, "Jangan Gusti, mereka sudah terluka parah."

Nyi Ratu mendegus kesal, masih saja Murni mengambil berat pada cecunguk dari Kalingga itu. Jika saja ia memiliki calon pewaris ilmu lain mungkin ia sudah pites habis kepala Murni.

Di arah yang ditunjuk terlihat Jagadnata setengah merangkak menuju tempat kedua muridnya di totok seperti binatang terluka. Terlihat betapa kacau keadaan panglima Kalingga itu, nafasnya tersengal, tangan kiri menahan erat di lambung agar darah tak merembes keluar. 

Yang paling parah adalah harga diri dari panglima itu yang sudah hancur lantak, sedari turun gunung hasil berlatih ilmu kanuragan, belum pernah ada yang menundukkan Jagadnata selain kedua gurunya Malaikat Hitam dan Putih, namun saat ini ia sudah kalah dua kali. Dipecundangi oleh Nyi Ratu Gondo Mayit serta dikhianati Sasrobahu. Sekali kalah, nyawanya hampir saja melayang. Kini yang ada dalam pikirannya hanyalah bisa menyelamatkan nyawa kedua murid sekaligus keponakannya itu.

"Gu-guru, bertahanlah!" jerit kedua pendekar wanita dengan mata berkaca-kaca. Mereka tidak ingin kehilangan nyawa orang yang mereka kasihi, bagaimanapun juga. Namun apa daya seluruh tubuh mereka tertotok tidak bisa bergerak sejengkalpun.

Jagadnata berguman keras, setelah berusaha mengumpulkan tenaga ia akhirnya mampu meraih tempat kedua muridnya. Dengan sekali tepuk di kedua pundak, totokan itupun terlepas. Dengan sigap Candika dan Candini segera memapah gurunya yang limbung. Salah satu dari mereka bahkan merobek selendang dan mengikatnya ke perut sang Guru, berharap agar pendarahannya lekas terhenti.

"Sudah-sudah jangan merawatku lagi, aku punya rencana untuk kalian, cepatlah mendekat" perintah Jagadnata payah.

"T-tapi guru..."

"Cepat atau kalian mau aku mati penasaran?" ujarnya sengit. Ia punya rencana terakhir, tak ada pilihan lain. 

Kedua gadis itu berpandangan seakan keheranan, tapi tak mau membantah ucapan guru, mereka akhirnya saling berbisik satu sama lain.

"Dengarlah, aku akan menurunkan semua ilmu yang kumiliki padamu Candika, agar kau bisa melindungi adikmu. Kalian harus bersikap seolah menyembuhkanku, padahal sejatinya aku sedang menyusupkan tenaga dalam pada kalian. Jika Siluman itu menyerang kita maka aku akan sekuat tenaga menghalanginya, saat itu terjadi kalian harus bisa melarikan diri untuk mencari keselamatan. Camkan itu!"

"Tidak guru, kami tidak..."

"Jangan berdebat, aku sudah tua dan pikun sehingga lengah dan salah mengambil keputusan. Hampir daja mencelakakan kalian. Untung Dewata Agung masih melindungimu. Ini semua salahku, biarkan aku menebusnya."

"Tidak guru..."

"Hmmh kalian jangan lupa tujuan kita bertahan hidup di Kalingga, Ini demi kebangkitan trah sejati negara Sabrang Samudra." ujar Jagadnata dengan napas semakin payah. 

Kedua pendekar itu akhirnya mengangguk berbarengan. Sedari kecil kedua kembar itu memang telah dilatih oleh kedua orang tuanya untuk berbakti kepada leluhur bangsawan Sabrang Samudra. Mereka adalah kaum yang  terusir dari tanah kelahiran akibat adanya pemberontakan. Untuk itu, semua keluarga Candika dan Candini telah disumpah darah membangkitkan kerajaan itu kembali kelak. 

Mereka berdua lantas bersila sementara Candini berdiri disamping untuk berjaga, Jagadnata duduk di depan sementara Candika dibelakang menempelkan kedua tangan ke punggung gurunya. Saat tapak itu menempel terasa hawa dingin mulai merasuk ke dalam tubuh Candika, tubuhnya menjadi terasa lebih segar dan bertenaga. Rupanya sang Panglima sudah mengirimkan tenaga dalam yang tersisa pada muridnya. 

Hati Candika merasa teriris akan pengorbanan gurunya itu, dalam hati ia bertekad agar cita-cita Jagadnata tidak sia-sia. Walau dia harus mengorbankan semua yang ia miliki untuk membangun kerajaan Sabrang Samudra. 

Nyi Ratu Gondo Mayit kembali tertawa seram, Dengan mementangkan tangan, keluarlah tenaga penghisap yang kuat pada jasad Sasrobahu. Keris pusaka Luk Tujuh Kyai Guntur yang tertancap di ulu hati segera terbang meluncur ke genggaman Kanjeng Ratu. Dalam genggaman Ratu, senjata itu bergetar sambil mengeluarkan cahaya biru bercampur merah kehitaman, auranya berubah menjadi menyeramkan. 

Mata merah sang Ratu berbinar menyadari keris itu ternyata memiliki kesaktian yang besar. kini dalam wilayahnya ada dua senjata mustika yang kuat. Tak lama lagi impian untuk membangun kerajaan dengan kekuatan yang lebih besar lagi akan terwujud.

Dengan langkah gemulai ia berjalan satu persatu menuruni undakan memegang keris, bak bidadari maut pencabut nyawa. 

Kali ini dia tak akan melepaskan lalat dari Kalingga, yang telah banyak merepotkan segala daya dan upayanya untuk berkuasa di dunia. 

"Tak usah kalian repot saling menyembuhkan satu sama lain, sebentar lagi kalian akan mampus ditanganku. Akan kubelah tubuh kalian, kuminum darahmu sampai kering. Hahaha"

Candini merendahkan kuda-kuda, tangannya memegang belati bersiap untuk mempertahankan diri. Begitu tenaga dalam Angin dan Hujan dikerahkan, belati itu tampak sedikit bercahaya keperakan. 

Nyi Ratu terus berjalan sambil tersenyum, agaknya dia sedikit terkesan akan kegigihan kedua pendekar wanita tersebut. Mereka telah berkali kali terjatuh oleh gempuran ilmu Kuku Perogoh Sukmo namun masih terus bangkit dengan gagah berani melawannya. Ketahanan pendekar kembar itu memang diatas rata-rata. 

"Hmm.. usiamu masih muda, namun pondasi ilmu Angin dan Hujan sudah cukup lumayan, aku memiliki rencana bagus untuk kalian." sahutnya dengan mata berbinar. 

"Rencana apa? Jangan melangkah lagi atau kepalamu akan bolong oleh belati ini!" gertak Candini memasang muka galak. 

"Cah Ayu, semua Panglima tempurku sudah  muspro alias musnah dibabat si pemburu iblis sialan itu. Kecuali panglima perempuanku Nagindi, sepertinya kaum wanita memang lebih bisa diandalkan. Lebih ulet dan gigih dibandingkan lelaki yang cepat naik darah namun juga cepat mampus, hihihi. Nah aku ingin kamu berdua menjadi pengganti kedua panglimaku ya Nduk. Jangan khawatir aku akan menurunkan ilmu kadigjayaan nomor satu untuk semua panglima tarungku." rayu sang Ratu dengan suara yang lebih lembut. 

Namun hal itu membuat geram Jagadnata, sayangnya ia tengah terluka dan tengah mengirim tenaga ke muridnya. Lalai sedikit maka semua bisa jadi sia-sia dan ia semakin terluka dalam.

Sementara Candika meludah, "Cuih lebih baik mati daripada hidup dibawah bayang-bayang siluman sepertimu!" 

Tawa kanjeng Ratu kembali mengisi ruangan. 

"Memang aku tak perlu orang hidup untuk menjadi panglimaku. Cukup jasad kalian yang aku butuhkan untuk wadag roh iblis bawahanku. Seperti yang kulakukan pada iblis Siluman Rai Loro, mungkin kalian sudah bertemu dengannya. Mau tak mau, hidup atau mati, kalian berdua akan jadi budak kaum iblis hihihi."

Wajah cantik kedua pendekar itu segera memucat. Menjadi mayat hidup yang diperintah oleh wanita siluman merupakan mimpi buruk terbesar. Jiwa mereka selamanya akan tersandera di alam roh, sementara raga kasar mereka akan terus berbuat kejahatan di muka bumi ini. Terutama Candika yang pernah bersua dengan iblis bersosok mengerikan itu.

Saat keyakinan mereka mulai goyah, Jagadnata terbatuk kecil. 

"Jangan terpancing ucapan siluman itu anakku, tetaplah fokus tujuan utama kita, sebentar lagi tenaga dalamku akan habis. Kalian kaburlah sementara aku akan menghadang siluman itu sekuat tenaga." bisik Jagadnata. 

Semakin dekat Ratu berjalan ke arah ketiga orang itu, jarak mereka hanya tinggal sepuluh langkah lagi. 

Srekk Srekk..

Tiba-tiba terdengar langkah kaki diseret dari luar Pendopo, kadang terasa jauh namun beberapa saat terdengar dekat. Langkah itu begitu berat, mengandung tenaga dalam yang tinggi hingga menusuk telinga Nyi Ratu. 

Wanita siluman itu tercekat dan menghentikan langkah kaki. Dari arah luar pintu ruangan, angin dingin bertiup kencang, terasa hawa murni tenaga dalam datang bersama angin. 

Mengetahui ada lawan bertenaga besar Nyi Ratu mengira ada bala bantuan lain yang datang untuk membantu Jagadnata, ia harus segera melumpuhkan ketiga orang didepannya agar rencana membangun pasukan baru bisa berhasil.

Wuttt...

Bayangan merah terbang ke arah Candika sambil melayangkan cakaran penuh kuku tajam. Nyi Ratu terbang dengan kecepatan kilat.

Tahap melebur ilmu sudah dilakukan Jagadnata namun ia terlalu lemah untuk berjibaku menghadang serangan, iapun jatuh tak sadarkan diri. Tak ayal Candika bangkit dan segera melayangkan tapak penuh tenaga dalam.

Plakkk...

Kedua tapak beradu menimbulkan suara ledakan, dengan kekuatan lama Candika dia akan langsung terpental jauh namun siapa sangka karena mendapatkan tambahan tenaga dalam dari Jagadnata ia hanya terdorong ke belakang satu langkah. Tenaganya cukup kuat menahan Ratu Gondo Mayit!

"Apaa kalian bisa melawan, hah!" 

Siluman berbaju merah itu mengerahkan separuh tenaganya membuat Candika semakin terdesak mundur, darah segar meleleh dari sudut bibir merah jambunya. Tapi ia belum mau tunduk, walau ia belum menguasai cara mengendalikan tenaga dalam yang baru ia dapatkan Candika akan berusaha sekuat tenaga menahan serangan. Segera kedua tangan ia gunakan untuk menahan gempuran telapak tangan kanan.

"Menyerah saja Nduk!"

"Tidak!"

Nyi ratu dengan gemas bersiap meledakkan tenaga dalamnya, mengirimkan tenaga hebat yang bisa membuat lawan muntah darah. Jari tangan kirinya terpentang lebar bersiap mengirimkan serangan susulan.

Saat itu nasib Candika sudah diujung tanduk, kedua telapan terkunci menahan serangan tapak kanan Ratu, bila Kanjeng Ratu melayangkan tangan kirinya niscaya kepala Candika akan remuk.

Tiba-tiba telapak Candika bergetar hebat, dari telapak itu muncul kekuatan yang luar biasa dahsyat bagai air bah menyapu dataran. Tangan Ratu seperti dilontarkan ke batu cadas yang keras.

Dhuarr...

Kanjeng Ratu terlontar berjumpalitan kebelakang. Sekujur tangannya terasa linu dan berdenyut.

"Siapa itu!" bentak Nyi Ratu marah.

Namun tiada balasan, malah angin kencang itu mendadak lenyap. Sementara di belakang Candika tahu-tahu telah berdiri sesosok pria bercaping lebar dengan baju serba hitam. Sosok itu berjalan sambil menyeret langkah kaki yang kiri. Setiap jejak langkahnya tercetak di lantai marmer istana,  menandakan tenaga dalam sosok itu begitu tinggi. 

Rona merah terbit dari tiga wanita di ruangan itu, Murni, Candika dan Candini. Kebahagiaan  terdengar dari nada suara mereka.

"Kakang Larantuka!" jerit mereka serempak.

"Kalian minggirlah dari tempat pertarungan" perintah Larantuka.

"Kau lagi! Belum mampus juga?" hardik Kanjeng Ratu dengan melotot. 

Larantuka mengangkat sedikit kepala, matanya yang berkilat menyapa tajam sang Ratu. 

Si wanita siluman bukan main gusar, jelas-jelas dia sudah menusuk pendekar itu di dada tembus ke punggung. Bagaimana mungkin dia bisa kembali lagi dari akhirat? Ataukah jangan-jangan dia adalah... 
Tidak-tidak mungkin, apabila dia termasuk kaumnya maka dia harusnya menjadi sosok yang kejam dan haus darah. Tidak mungkin lelaki itu berpijak pada sisi kebenaran. 

"Gondo Mayit, aku kembali dari akhirat untuk menjemputmu, aku takan berhenti memburu sebelum menarik semua kaummu ke neraka!" geram Larantuka.

"Kau harus membayar semua upah tindakan yang telah kau lakukan kepada manusia."

Nyi Gondo Mayit menyeringai seram, ia teringat akan sesuatu..

"Memang aku baru menyadari sewaktu aku meninggalkan padang rumput getah getih, samar-samar aku melihat lembayung merah di langit dari kejauhan. Artinya adalah orang lain yang bisa menguasai ilmu kitab Sangang Urip. Itu adalah kau bukan? Hanya ilmu Nitis Sungsang yang bisa mengembalikan keadaan, termasuk nyawamu yang sudah melayang. Sayangnya ilmu itu hanya bisa digunakan dengan tumbal luar biasa besar. Kau memanfaatkan ritual Tumbal Sewu untuk menggunakan ilmu itu bukan?" kejar Nyi Ratu.

Namun Larantuka hanya diam saja sembari melangkah semakin mendekat.

Dengan mata batin Nyi Ratu Gondo Mayit menerawang sosok Larantuka, jika dugaannya benar maka pria itu juga seharusnya memiliki perewangan. Bangsa iblis yang turut dalam perjanjian terlarang dengan manusia pengguna ilmu Sangang Urip. Tapi ia tidak melihat sesuatu yang ganjil.

Larantuka menggeleng perlahan. "Aku berbeda dengan para pemuja iblis sepertimu. Aku tak menjadikan setan sebagai tuan majikan."

Kemarahan Kanjeng Ratu meledak, ia segera mengayunkan keris kyai Guntur ke arah Larantuka. Raungan Angin disertai ledakan bunga api petir berwarna biru dan hitam segera merangsek ke empat arah lalu mengerucut ke arah Larantuka. Kesaktian keris ditambah tenaga Ratu menyebabkan serangan itu berbahaya dan memiliki daya rusak yang besar.

Seketika lantai dan pilar yang dilewati lesatan api itu pecah berhamburan. Candika dan Candini segera menghindar ke pinggir membawa Jagadnata yang sudah pingsan tak bergerak.

Larantuka menarik sesuatu dari balik baju, cahaya semburat merah terang segera memenuhi ruangan ketika ia mencabut senjata pusakanya Pedang Merah Darah.

Suara ledakan terdengar memekakkan telinga. Kilatan petir merekah di udara akibat benturan kedua tenaga mahadahsyat dalam kedua pusaka.

Wajah sang Kanjeng Ratu tampak menyeramkan, giginya meruncing semua. Dari dahinya tiba-tiba tumbuh sepasang tanduk setan.

BERSAMBUNG
close