Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 56)


Malam ini langit cerah, tidak ada awan sedikitpun. Demikian juga angin, tidak seperti biasanya berhembus pelan sekali. Biasanya meski tidak berawan maka akan berkesiur juga sesekali. Alam benar-benar menghidangkan keheningan dengan cahaya yang lembut dan damai.

Sebenarnya malam ini beberapa kawanku mengajak jalan-jalan, sekedar mencari angin kata mereka. Ada lagi yang ngajak berkumpul ke rumah salah satu teman yang tidak jauh dari gang rumahku. Semuanya kutolak dengan alasan aku sedang banyak kerjaan. Padahal tidak ada. Sebenarnya aku kesepian. Bapak dan Ibu pulang ke Seberang Endikat pagi tadi. Adikku nginap di rumah kakak sampai tiga hari ke depan. Tinggallah aku sendiri seperti palang pintu penjaga rumah. Entahlah aku enggan saja. Ingin sendiri.

Bermula ketika istirahat sekolah, Elli kawanku sekelas memanggil katanya ada yang mencariku di luar pagar sekolah. Aku heran tidak seperti biasanya ada yang mencariku pas jam sekolah. Aku langsung menuju pintu gerbang sekolah dan mencari-cari siapa yang memanggilku. Jantungku serasa mau copot ketika aku melihat sosok tinggi, atletis, rambutnya pendek sedikit ikal, dengan senyum mengembang berjalan ke arahku. Lama aku tidak percaya dan menatap sosok yang nampak lebih dewasa itu. “Dedek! Ini kak Gun!” Ujarnya menunjuk dadanya ketika sudah dekat. Aku tidak bisa berkata-kata. Bagiku suatu hal yang mustahil di bumi Rafflesia ini bisa berjupa dengan Guntoro. Sungguh aku tidak pernah membayangkan bisa kembali bersua dengannya setelah kurang lebih empat tahun tidak bertemu. Masa SMP kembali terbayang. Rasanya baru kemarin Guntoro mengirim surat, lalu kami pulang sekolah bareng, menyisir jalan gunung Dempo yang berbatu. Rasanya juga baru kemarin di benakku berjejal sosok Guntoro saja. Hingga akhirnya aku menjadikannya Guntoro sebagai puisi cinta yang tak akan pernah mati namun meski tidak mengharapkannya. Aku sungguh menjadi manusia paling bodoh karena tak mampu berkata apa-apa. Ingin sekali bertanya mengapa dia tahu kalau aku ada di Bengkulu dan sekolah di sini.

Kami ngobrol di antara pagar sekolah sejenak. Aku salah tingkah tak mampu menghilangkan rasa grogiku. Selintas yang kutangkap darinya adalah bahwa ia tengah mempersiapkan diri untuk tes TNI. Ketika bell sekolah berbunyi aku minta izin masuk kelas. Aku tidak sempat bertanya apakah dia akan lama atau tidak tinggal di Bengkulu? Selama di Bengkulu tinggal di mana? Atau mengajaknya singgah ke rumahku, atau apalah basa-basi membuka obrolan supaya tidak terlihat kaku. Semuanya hilang. Aku tak mampu berpikir tentang banyak hal kecuali kaget dan tidak percaya bisa melihat sosok Guntoro lagi. Akibatnya jadilah aku sekarang seperti orang senewen. Rasa rindu menderu di dadaku justru membuatku ingin bisa kembali bertemu. Di benakku penuh harap besok Guntoro kembali menemuiku lalu aku akan bertanya apakah ada waktu untuk jalan-jalan bersama. Aku harus nekat dan berani! Batinku. Alhasil malam ini aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Wajah Guntoro seperti bayangan selalu di pelupuk mata. Suara lembutnya, senyumnya, ketika dia berjalan, gerakan bahunya, semuanya. Kupegang dadaku. Ternyata degupnya tidak jauh berbeda seperti ketika pertama kali membaca surat cinta darinya. “Aaaah!!” Aku menutup wajahku dengan bantal. You Fill Up My Senses yang dinyanyikan John Denver meski mengalun pelan namun terasa menghentak-hentak batinku. Perasaan seperti inilah yang paling menyiksa. Makanya aku sangat takut jatuh cinta. Sebab ketika cinta itu kembali menyentuh, bisa dipastikan batinku akan terasa tersiksa. Di benakku hanya akan berisi perasaan yang aneh dan aku tak mampu mengendalikannya. Aku benci itu.

“Ehemm!!!” Aku kaget mendengar suara berdehem tiba-tiba. Bantal masih kututupkan ke kepala. Kuangkat sedikit demi sedikit. Aku coba mengintip. Tidak ada orang. Sekali lagi kudengar berdehem. Sambil kembali merapatkan bantal ke kepala, aku mencoba mencari siapa yang berdehem-dehem mengagetkanku. Hmmm… ternyata di luar ada sosok siluman ular berwarna putih sejak tadi memperhatikan aku. Aku tidak tahu dari mana asalnya, dan apa maksudnya mengawasiku. Akhirnya aku kembali fokus pada diriku sendiri. Meski batin terasa tersiksa, namun masih saja mencuat perasaan rindu dan ingin bertemu. Berbagai skenario adegan pertemuan dengan Guntoro berjejal di benakku. Sesaat ingin melupakannya, kuusir perasaan itu jauh-jauh. Tapi akhirnya kembali. Begitu seterusnya. Hidupku seperti tidak punya pendirian. Semuanya jadi aneh. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Sebab dada kerap kali terasa sesak. Akhirnya aku hanya bisa mendekapkan tangan sambil manarik nafas panjang. Tersiksa!

“Selasih…kamu mengapa? Ayo kemari. Ke tempat Eyang.” Suara Eyang Kuda halus sekali. Aku mencoba menjawab Eyang Kuda. Ternyata beliau tengah mendengarkan tausia di masjid Jamik, sedang ada kajian agama. Aku menolaknya. Sebab perasaan seperti ini membuat otakku sedikit tidak waras. Aku khawatir tidak sepenuhnya bisa mengikuti kajian agama, sebab separuh jiwaku tengah bergelut dengan perasaan rindu dan cinta. Aku khawatir tidak bisa mengendalikan perasaanku. Akhirnya Eyang Kuda memaklumi dan tersenyum. Lalu berpesan nikmati saja perasaan itu, anggap saja anugerah terindah. Sebab tidak semua insan bisa merasakannya. Buktinya dirinya, hingga saat ini katanya belum pernah merasakan jatuh cinta. Bahkan tidak tahu jatuh cinta itu seperti apa. Mendengar itu aku tertawa. Eyang Kuda bisa saja bercanda. Akhirnya aku mencoba mencari buku kumpulan puisiku. Kubuka lembar demi lembar. Lalu kubaca dengan bersuara. Lama-lama mengapa aku membacanya seperti membaca mantra. Akhirnya kuhentikan. Baru kali ini aku membaca puisiku yang isinya tentang perasaan rindu, sedih, dan cinta kok tiba-tiba seperti membaca mantra. Ada apa ini?

“Akulah yang telah menyimpangkannya menjadi mantra. Sebab aku ingin kamu membaca mantraku.” Suara ular siluman putih masih dari jarak jauh. Aku mengerutkan kening. Mengapa siluman ular putih itu ikut-ikutan mengatur aku. Menyimpangkan puisiku lalu membaca mantranya? Apa maksudnya? Aku masih tidak peduli. Entahlah ada rasa keenggananku untuk mengenal makhluk satu ini. Biasanya aku akan selalu peduli. Tapi kali ini tidak. Apakah ada hubungannya dengan perasaan anehku efeks bersua dengan Guntoro siang tadi. Entahlah aku tidak tahu. Aku merasakan malam sudah semakin larut. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana di luar sudah mulai sepi. Hanya Siluman ular putih itu saja masih nangkring di luar, berkali-kali berusaha hendak berinteraksi denganku, tapi selalu kutolak. Sejak awal, dia berusaha hendak masuk, ingin mendekati aku. Tapi tidak bisa. Aku memang telah memagari lingkungan rumahku agar tidak semua makhluk bisa masuk. Kecuali leluhurku dan orang-orang tertentu saja yang bisa menembus pagarku. Karena tidak bisa masuk itulah siluman ular putih berusaha berinteraksi dengan berdehem-dehem.

Di tengah perasaanku yang tidak karuan, muncul keinginan untuk bersua dengan Putri Bulan malam ini. Biarlah aku yang akan datang ke gunung Bungkuk menemuinya. Aku ingin menyisir jalan yang biasa dilalui oleh manusia. Aku ingin tahu dimana letak pintu gerbangnya dan dari sudut mana agar aku bisa melihat istana seperti emas dari jarak dekat. Mudah-mudahan perasan aneh karena Guntoro dapat kulenyapkan. Akhirnya aku mulai konsentrasi. Tapi baru saja aku hendak melakukan konsentrasi, kembali siluman ular putih berdehem-dehem. Akhirnya aku bertekad mengurus makhluk satu ini dulu. Kudekati dia dengan menatapnya tajam. “Ada apa dari tadi berdehem-dehem? Bahkan berusaha masuk ke rumahku. Kamu mau apa?” Tanyaku dengan nada tidak memberikan kesempatan padanya untuk beramah-ramah. Sebab aku melihatnya terkesan berlebihan. Ternyata makhluk asral ada juga yang over acting. Minta perhatian berlebihan.

“Aku Cuma mau kenalan saja, habis aku melihat dirimu seperti banyak betul masalah.” Katanya. Lalu aku tanya apa urusannya? Kenal juga tidak? Mengapa peduli? Makhluk asral itu tersenyum kecut tapi matanya terus menggoda.

“Katanya kamu hebat, tapi masak kamu tidak tahu kalau selama ini aku sering memperhatikan dan mengikutimu. Aku suka kamu, gadis manis” Tiba-tiba dia mengubah dirinya seperti Guntoro. Kurang ajar! Rupanya makhluk ini mengkonstruksi pikiranku. Dia pikir aku akan goyah ketika dia mengubah dirinya menjadi Guntoro.

“Kamu jangan coba-coba menggodaku. Kita berbeda alam. Kamu siluman, aku manusia. Jangan coba-coba menjebakku apalagi mencoba-coba menyerupai orang yang aku kenal. Aku akan buat perhitungan denganmu!” Ujarku tidak senang disambutnya dengan tawa lalu lenyap dari pandanganku. Ingin rasanya aku mengejar lalu menghajarnya. Tapi suara kakek Njajau megingatkanku.

“Jangan mau dibodohi makhluk iseng seperti itu, Selasih. Banyak hal lebih penting dibandingkan mengurus makhluk yang tidak jelas. Hati-hati dengan berbagai jebakan.” Ujar kakek. Akhirnya aku memahami dan berterimakasih pada kakek Njajau.

Bulan berada persis di atas kepala. Bintang juga kerlap-kerlip memamerkan kecemerlangannya. Aku menarik nafas lega mencoba menghempaskan segala uneg dan risau dalam dada. Aku sudah bertekad akan ke gunung Bungkuk, menemui Putri Bulan. Aku kembali masuk ke dalam kamar, bersedekap lalu fokus menuju gunung Bungkuk. Jika sebelumnya aku langsung berada di sisi puncak gunung Bungkuk, kali ini aku ingin mulai dari lembah. Aku ingin menyisir hutan-hutan kecil yang kulihat dari puncak. Menyisir jalan yang biasa dilalui oleh para pendaki. Dalam waktu sekejap aku sudah berada di lembah gunung Bungkuk. Aku terkagum-kagum melihat gunung dari lembah. Gunung berupa gundukan batu cadas jika dilihat dari posisi tertentu mirip seperti orang bungkok ini, ternyata terlihat dari lembah sangat berwibawa. Batu cadas berwarna hitam lalu ditumbuhi pohon membentuk hutan kecil hingga ke puncak selain terlihat gagah juga terkesan mengandung misteri. Wajar saja jika Datuk Ratu Agung menjadikan gunung Bungkok sebagai pusat kekuasaan. Selain tempatnya strategis, ketinggian gunung Bungkok membuat pandangan dengan mudah dilempar ke segala penjuru. Aku mulai berjalan memasuki pemukiman manusia. Beberapa Rumah panggung nampak lengang. Karena manusianya tengah terlelap semua. Beberapa makhluk asral kulihat melintas seperti bergegas. Aku berjalan santai sambil melihat kiri kanan. Rata-rata rumah yang ada terlihat gelap tanpa penerangan. Beberapa sudut kulihat kerumunan makhluk asral. Makhluk-makhluk tersebut ada yang berbentuk harimau, macan, ular, monyet, pocong, kuntilanak, genderowo, raksasa, naga, bahkan ada yang seperti orang tua. Rata-rata mareka adalah siluman yang bisa menirurupa. Belum kutemukan nenek gunung berupa hewan arau nenek gunung berupa manusia harimau sepanjang jalan. Penciumanku kutajamkan. Aku hanya mencium bau makhluk jin.

“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakutu. Selamat datang di pintu gerbang gunung Bungkuk, cucu Adam. Mau kemana? Darimana?” Sepasang nenek gunung menyapaku ramah. Aku menjawab salam dan segera sujud mencium tangan mereka. Mereka sepasang nenek gunung, manusia harimau yang sudah sepuh. Melihat sosok mereka nampaknya mereka bukan makhluk biasa-biasa saja. Buktinya ketika mereka menemuiku nyaris tidak terdengar langkah mereka. Ilmu meringankan tubuh mereka sangat sempurna.

“Kenalkan nama saya Putri Selasih, nenek dan Datuk. Saya berasal dari tanah Besemah. Saya hanya jalan-jalan ingin menikmati keindahan gunung Bungkuk dan ingin menemui Putri Bulan. Sengaja saya memilih jalan yang dilalui oleh bangsa manusia, karena saya ingin tahu bagaimana medannya untuk sampai ke puncak. Selama ini saya hanya tahu di atas puncak gunung pemandangannya indah. Itu pun aku berdiri baru di sudutnya saja.” Ujarku sembari tetap menunduk. Sepasang nenek gunung itu tersenyum ramah. Keduanya terlihat sangat wibawa dan tegas. Sesuai dengan tugasnya. Tidak sedikit makhluk yang hendak naik puncak dihadang beliau dan dilarang masuk wilayah gunung. Entah apa alasannya aku juga tidak tahu. Tapi aroma yang kucium, mereka adalah petapa-betapa yang hendak bertapa di area gunung Bungkuk. Ternyata tidak semua makhluk diizinkan bertapa di sini. Buktinya yang berkumpul di lembah ini adalah makhluk-makhluk asral yang rata-rata berilmu tinggi dan ingin memperdalam ilmunya untuk berbagai keperluan. Ada untuk pengobatan, kekebalan, kekuatan, juga kejahatan, dan lain-lain. Setelah berbincang-bintang sejenak, sepasang nenek gunung itu mengizinkan aku melanjutkan perjalanan. Beliau memberikan petunjuk agar aku melalui jalan yang beliau arahkan. Selanjutnya beliau berdoa semoga di tengah perjalanan bertemu dengan seorang resi, yaitu petapa tua yang kerap muncul tiba-tiba dan hilang tiba-tiba. Menurut nenek gunung itu, beliau kerap menemui makhluk-makhluk tertentu yang beliau inginkan. Terutama dari bangsa manusia. Mendengar penjelasan beliau aku menjadi tertarik. Muncul keinginan untuk bisa bersua dengan resi yang dimaksud. Beliau pasti luar biasa yang tingkat kemampuannya melebihi makhluk asral pada umumnya.

Akhirnya aku kembali melanjutkan perjalanan masih dengan berjalan pelan. Kali ini aku menyisir jalan berbatu. Tanah liat berwarna kuning membuat batu besar dan kerikil yang menutupi punggung jalan pun berwarna kuning. Jika dicermati, di area ini nampaknya mengandung minyak dan batu bara. Air yang tergenang terlihat berkilau-kilau seperti karat. Meski hawanya sejuk, bahkan terasa dingin yang menggigit tapi bisa dipastikan bila siang hari area ini terasa panas. Kiri kanan aku masih melihat semak belukar. Karena pohon-pohon besarnya sudah habis di tebang. Jalan yang kulalui mulai mendaki. Makin lama makin terjal. Kiri kanan kulihat pohon lenggiang dan ilalang tumbuh subur. Beberapa tempat, pohon pakis dan resam seperti jumbun dan tinggi. Beberapa kali satwa reptil kulihat melintas. Ada ular, biawak, kadal, dan lain-lain. Aku juga melihat beberapa ekor ular raksasa yang usianya sudah sangat tua, mungkin juga termasuk hewan purba mengedip-ngedipkan mata seperti tak mampu lagi bergerak. Tubuhnya sangat besar dan panjang. Sebagian besar bagian badannya tertutup daun kering dan kayu yang sudah lapuk. Sejenak aku berhenti. Aku menatap matanya, berusaha berinterakasi padanya. Oh! Usianya sudah ratusan tahun. Sudah sangat sepuh. Dia bertahan hidup memakan mangsa jika lewat di hadapannya saja. Selebihnya dia banyak puasa. Bertapa dalam keadaan tidur. Membenamkan diri di bawah daun dan kayu buruk adalah salah satu bentuk penyamarannnya untuk bertahan hidup. Ada puluhan makhluk besar seperti dirinya tinggal di area hutan dan rawa Bengkulu ini katanya. Aku hanya terkagum-kagum melihatnya. Akhirnya aku mohon diri melanjutkan perjalanan. Perasaanku belum separuh aku mendaki. Di hadapanku terjal gunung seperti di depan hidung. Sejenak aku berdiri membelakangi gunung. Kuhadapkan wajahku ke lembah. Aku seperti melihat kulit penuh kurap. Bercak-becak di sana-sini. Iya, sebagian besar kulit bumi hutannya telah hilang. Bukan saja karena pemukiman manusia yang makin lebar, tapi hutan-hutan kecil yang dulunya rimba telah berubah menjadi kebun sawit muda. Aku menatap telapak tanganku. Andai telapak tanganku ini mampu mengubah kebun sawit yang terhampar sampai ke perbatasan itu menjadi hutan, akan kuubah sejauh mata memandang menjadi rimba.

Aku memandang di arah utara, pun sama. Sebagian kecil ke selatan, juga sama. Ke timur baru mataku terasa agak nyaman, kebun kopi dan sawah masih luas terhampar, tidak didominasi oleh kebun sawit yang mengesalkan. Bagiku sawit adalah tumbuhan serakah karena telah membuat sebagian besar rawa dan sungai di sini kering. Tanah menjadi tandus, kehilangan humusnya. Aku kembali mendaki. Ternyata medan untuk sampai ke puncak gunung Bungkuk tidaklah mudah. Tebing curam dengan kemiringan sembilan puluh lima derajat ini pasti sangat menyulitkan bagi pendaki yang tidak berpengalaman. Belum lagi angin yang berhembus dari lembah kadang seperti suling berdenging ketika menerpa telinga. Aku bisa merasakan sensasinya. Bisa kubayangkan, seorang pendaki butuh waktu seharian penuh untuk bisa mencapai puncak gunung.

“Mau kemana hei anak manusia. Berani sekali dirimu berjalan malam-malam ke mari sendiri. Apa yang kamu cari?” Seorang lelaki tua menegur tanpa memperlihatkan wajahnya padaku. Aku hanya melihat punggung seseorang yang bungkok dengan pakaian sedikit lusuh. Rambut panjang berwarna hitam pekat dan tongkat berbongkol seperti bambu.

“Maaf, aku harus panggil apa? Kakek, Datuk, Eyang, atau puyang? Aku mau ke puncak, bertemu dengan Putri Bulan. Mohon maaf jika kehadiranku mengganggu,” ujarku mengira-ngira usia lelaki yang memunggungiku. Tak lama dia terkeh-kekeh sambil memutar tubuhnya.

“Apakah wajahku tidak terlihat seperti wajah perempuan sehingga kamu memanggilku Eyang, Datuk, apa kakek?” Ujarnya tertawa memperlihatkan beberapa giginya yang hitam. Aku berusaha menyembunyikan rasa kagetku. Dan buru-buru minta maaf padanya. Sebagian rambutnya menutupi wajah. Dan nyaris aku tidak percaya jika beliau adalah perempuan. Angin kembali berhembus agak kencang menyibak rambut si nenek sehingga aku dapat leluasa menatap wajahnya. Benar! Beliau seorang perempuan. Meski kulit wajahnya telah berkerut namun mata yang bersembunyi di balik kelopak yang keriput itu nampak seperti mata bayi. Bening dan tajam. Melihat rambutnya yang terurai, ingin sekali aku mengikat atau menyanggulkannya agar si nenek tidak terlihat menyeramkan. Aku berusaha menahan diri untuk biasa-biasa saja. Aku ingin tahu, siapa nenek ini sebenarnya.

***

Tanpa pikir panjang, melihat aku berhenti, si nenek asal duduk saja di tanah. Melihat beliau duduk, aku buru-buru jongkok.

“Hmmm..kalau melihat wajahmu, kamu sedang risau. Tapi anak muda memang terlalu banyak masalah. Apalagi belum menikah seperti kamu.” Ujarnya kembali tertawa. Aku hanya membalasnya dengan senyum.

Hal ini tidak terlalu penting untukku. Yang penting adalah siapa nenek ini sebenarnya. Aku ingin tahu.

“Nenek siapa? Mengapa nenek sendiri di tempat sepi ini?” Ujarku rada lugu. Lagi-lagi beliau tertawa memperlihatkan gigi hitamnya.

“Kamu jangan pura-pura. Sepi itu terlihat kalau di alam manusia. Kamu sednag berada di alam kami, justru akulah yang patut bertanya berani sekali bangsa manusia sepertimu datang ke mari. Sendiri lagi. Apa kamu tidak takut digoda oleh makhluk-makhluk gunung? Soalnya banyak juga bangsa kami yang lajang dan hidung belang. Kalau kamu mereka gendam, pelet, kamu bakal lupa dengan pacarmu dan lupa pula dengan diri sendiri,” lanjutnya lagi sambil menunjuk ke arahku. Aku kaget melihat kukunya. Panjang sekali. Bahkan kuku itu melengkung hitam. Mengerikan. Mengapa si nenek tidak menyamar jadi putri yang cantik saja seperti sinar matanya yang bening itu. Aku membatin.

“Sini lihat telapak tanganmu. Siapa namamu.” Ujarnya lagi. Aku mendekat padanya. Wajahnya kembali tertutup rambutnya yang tergerai. Kaki kanannya yang berlipat melebihi bahunya. Kuulurkan tanganku sembari kutiupkan kabut agar beliau tidak bisa membaca garis tangan. Aku hanya menyebutkan namaku, Putri Selasih. Matanya tiba-tiba membelalak menatapku. Entah apa yang membuatnya membelalak. Aku tetap menampakan ekspresi biasa saja.

“Mengapa kamu tutup telapak tanganmu, Putri Selasih! Kamu tidak suka saya lihat telapak tanganmu?” Tanyanya tajam. Aku menjawabnya dengan senyum. Tentu saja tidak semudah itu aku mau dibaca tentang garis tanganku. Biarlah aku menjalani takdirku tanpa campur tangan siapa-siapa dan apa adanya. Apalagi di telapak tanganku ada mustika biru kakek Andun. Aku khawatir benda itu mencuat menampakkan sinarnya. Nanti aku malah dibilang sombong, menantangnya. Kan berabe.

“Kamu mau coba-coba denganku? Rupanya kecil-kecil kamu berisi juga. Makanya berani melangkahkan kaki ke sini?!” Bentaknya.

Aku segera minta maaf. Aku jelaskan, aku bukan siapa-siapa. Aku tidak punya apa-apa. Aku berusaha menanggapinya dengan datar meski terlihat ekspresinya masih marah.

“Nama nenek siapa? Bagaimana aku hendak menjelaskan jika ada yang bertanya bahwa aku bersua dengan seorang nenek yang hebat, berambut panjang, berbaju serba hitam, berkuku panjang juga, berdiam di perut gunung Bungkuk?” Ujarku berusaha untuk tidak menyinggungnya.

“Iya, nenek sudah tua, keriput, bongkok, dan bergigi hitam,” lanjutnya lagi. Mendengar kalimat terakhir ini nyaris tawaku meledak jika tidak melihat sinar tajam matanya menatapku. Si nenek membuang muka. Aku kembali melihat punggungnya. Melihat beliau seperti tidak terima, akhirnya aku minta maaf lagi, dan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Lama aku menunggu jawabannya, tapi meski sudah berulang-ulang si nenek tetap diam.

Akhirnya aku berinisiatip meninggalkan si Nenek. Aku kembali menikmati jalan yang dilalui manusia. Kuabaikan keindahan-keindahan yang memukau di dimensi lain itu. Biarlah lain kali saja. Suatu saat aku ingin berjalan di jalan para lelembut kerajaan gunung Bungkuk itu.

“Hei! Tidak sopan!” Suara si nenek kembali membentakku. Aku kembali berhenti lalu membalikkan badan menatapnya. Posisi si nenek masih seperti tadi. Diam dan membelakangi. Aku mencoba melihat ke arah pandangnya. Apa ada yang menarik di sana? Tidak ada. Aku hanya melihat semak belukar berumput kecil menjuntai hingga disisi tebing.

“Nenek, mohon maaf. Saya minta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya mau bertemu Putri Bulan. Saya sengaja melalui jalan ini, karena saya ingin tahu medan untuk sampai ke puncak. Sekali lagi mohon maaf jika saya kurang sopan.” Ujarku lagi. Kutunggu kembali beberapa saat. Tapi lagi-lagi si nenek tidak menjawab. Apalagi memutar badan menatapku. Akhirnya kembali aku melangkah. Kali ini kupercepat meminta bantuan angin. Dalam sekejab aku meluncur ke atas. Kira-kira sudah tidak terlihat lagi oleh Si Nenek, aku kembali berjalan pelan. Baru beberapa langkah, di hadapanku Si Nenek sudah berdiri lagi dalam posisi menyamping. Wajahnya kembali tidak terlihat. Tertutup rambutnya yang panjang.

Melihat sosok beliau sudah di atas mendahuluiku, aku mulai merasa tidak nyaman. Aku mulai membaca apa maunya nenek tua ini. Tiba-tiba beliau ada di hadapanku, tidak membuatku heran. Dari awal aku sudah memperkirakan beliau bukan makhluk biasa-biasa saja. Tapi dengan menghadang jalanku, Si Nenek sedang mencari masalah padaku.

“Mohon maaf, Nek. Sekali lagi maafkan saya. Bukan saya lancang. Tapi saya minta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya hendak bertemu dengan Putri Bulan,” aku kembali menangkupkan ke dua tangan memberi hormat pada orang tua ini. Seperti sebelumnya, aku tidak mendapatkan jawaban. Akhirnya aku tetap berjalan ke arahnya, lalu berusaha melintas di sampingnya. Melihat aku masih hendak lewat beliau mundur, sehingga jalan yang akan kulalui tertutup tubuhnya. Aku menggeser ke kanan, beliau maju menghadang. Nyaris aku menabrak tubuh ringkihnya. Pahamlah aku beliau tidak menginginkan aku melanjutkan perjalanan. Akhirnya tanpa bicara, aku meluncur turun. Kukerahkan angin untuk membawaku kembali ke lembah. Dalam waktu singkat aku sudah berada kembali di tempat ketika bertemu dengan sepasang nenek gunung di dekat pintu gerbang. Aku mencari-cari ke duanya. Tidak ada. Akhirnya aku berpikir sejenak, apakah aku tetap naik ke puncak gunung dengan cara meluncur langsung ke puncak, atau lewat jalan lain, jalan hutan di sisi barat? Jalan sesekali dipakai oleh para penjelajah hutan dan pemburu. Atau pulang mengurungkan niatku untuk bertemu Putri Bulan malam ini? Belum sempat aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau tidak, tiba-tiba si nenek ada lagi tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengangkat bahu tidak mengerti. Aku tidak mau berbicara padanya lagi. Sudah cukup! Batinku sudah mulai marah melihat tingkahnya. Aku sudah turun kembali dari perut gunung. Tapi si nenek masih menyusulku. Aku malas berurusan dengannya. Aku segera membaca mantra memanggil angin. Dalam sekejap angin berpusar menggulungku lalu meluncur meninggalkan si nenek sendiri. Aku memutuskan pulang. Aku mencoba melihat ke belakang apakah beliau menyusul atau tidak. Ternyata tidak. Aku menarik nafas lega. Baru saja aku fokus dengan anginku, tiba-tiba di sampingku si nenek juga terbang. Rambutnya meriap-tiap disapu angin. Banju hitamnya pun seperti melekat di tubuhnya yang ringkih. Aku hanya membatin, apa maunya nenek ini. Melihat beliau merapat ke sisiku, aku pacu anginku lebih cepat lagi. Aku arahkan angin ke tempat Eyang Kuda. Sambil membatin kucari keberadaan Eyang Kuda. Semoga beliau sudah selesai mengadakan kajian agama di masjid Jamik malam ini. Tak lama Eyang Kuda memanggilku dan pemberitahu jika beliau sudah kembali ke Sentot. Yaitu ke makam Setot Alibasyah, junjungannya.

“Eyang, aku diikuti nenek-nenek dari gunung Bungkuk.” Ujarku masih membatin. Aku hanya mendengar desah nafas Eyang. Aku segera menuju Sentot. Kulihat Eyang Kuda duduk di sudut ruangan bersama seorang lelaki bertubuh kecil, kurus dan pendek. Selintas seperti anak kecil. Sementara Eyang Kuda seperti biasa tidak lepas dengan blangkonnya. Lelaki di sebelahnya mengenakan baju gamis putih. Duduk bersila sambil memegang tasbih. Tanpa sorban arau peci seperti kiayi pada umumnya. Mataku tertuju pada tongkat di sampingnya. Aku terkejut. Mengapa tongkatnya mirip tongkat nenek yang mengikutiku tadi. Kutatap wajahnya sambil membatin, apa hubungannya nenek gunung Bungkuk dengan kakek teman Eyang ini? Aku mulai bertanya-tanya.

“Kenalkan Datuk Sarik. Ini cucuku Putri Selasih.” Eyang mengenalkan aku. Aku sujud memberikan salam hormat padanya. Datuk Sarik? Aku mengeja namanya dalam hati.

“Aku sudah kenal sejak dulu dengan cucumu ini Eyang. Tapi baru kali ini bisa bertatap muka. Alhamdulilah. Ternyata tidak salah apa yang diceritakan beberapa saudara kita di Utara. Termasuk nenek Halamah yang mengatakan pernah jumpa Selasih. Beliau sangat senang berjumpa dengan Selasih, dan mengakui kalau Selasih berilmu tinggi, lalu disayangi para leluhur nenek gunung Bukit Barisan.” Ujar Datuk Sarik agak berlebihan. Aku hanya menganggukan kepala dan kembali menunduk.

“Kamu darimana Selasih?” tanya Eyang Kuda. Kuceritakan saja usai berinteraksi dengan Eyang pada waktu pengajian tadi, aku berniat ke gunung Bungkuk melalui jalan yang biasa dilalui para pendaki untuk bertemu dengan Putri Bulan. Aku ceritakan juga kalau di jalan aku bertemu dengan sepasang nenek gunung penjaga pintu gerbang gunung Bungkuk. Selanjutnya baru sampai di perut gunung, aku dihadang seorang nenek tua yang sudah bongkok. Tapi tidak tahu namanya, dan beliau menghadang perjalananku gara-gara aku tidak mau memperlihatkan telapak tangan. Ternyata beliau tersinggung. Ketika aku hendak melanjutkan perjalanan selalu beliau halangi. Karena aku enggan berselisih dengan beliau, akhirnya aku meluncur turun. Aku tinggalkan Si Nenek. Ternyata masih saja aku diikuti. Hingga ketika aku mau ke sini beliau merapat ke sisiku. Setelah aku turun kutoleh beliau sudah tidak ada. Entah kemana?” Ceritaku pada Eyang.

Eyang Kuda mengangguk-angguk. Lalu kata Eyang mengapa tidak aku layani saja untuk bertempur dengannya. Aku hanya menjawab, tidak tega karena beliau orang tua. Di samping itu masalah untuk bertempur sangat kecil cuma gara-gara beliau tidak kuizinkan melihat telapak tanganku.

“Mengapa tidak kau lihatkan saja telapak tanganmu? Bukankah beliau berniat baik?” Lanjut Eyang Kuda lagi. Aku katakan saja biasanya jika melihat telapak tangan akan berbicara tentang garis nasib. Tentang takdir seseorang. Kujelaskan jika aku tidak mau dibaca tentang takdir. Aku juga tidak mau diramal tentang nasib dan masa depanku. Sebab ramalan justru akan memunculkan rasa was-was pada diri kita. Aku mau jalani takdirku apa adanya tanpa rekayasa. Seperti aku berjumpa dengan Eyang Kuda, lalu hari ini berjumpa pula dengan Datuk Sarik. Ujarku ikut duduk bersila. Datuk Sarik dan Eyang Kuda tersenyum lebar. Eyang kembali bertanya, apakah aku yakin nenek yang kutemui itu hendak melihat jalan takdirku? Aku terperangah. Eyang benar, nenek itu hanya ingin melihat telapak tanganku. Beliau tidak ada mengatakan hendak meramal nasibku. Aku menyesal. Betapa mudahnya aku mengambil kesimpulan dan mencurigai seseorang, padahal belum tentu apa yang dilakukannya akan berefeks atau memunculkan keburukan pada diri kita. Aku menatap Eyang Kuda sambil menyesali sikapku.

“Selasih, coba kau tatap Datuk Sarik dengan mata batinmu. Apa yang bisa kau lihat pada diri beliau?” Eyang Kuda menatapku. Aku melihat sepenuh jiwa Datuk Sarik. Kebaca dengan mata batinku. Masya Allah! Seketika aku langsung sujud pada beliau. Beliaulah nenek yang kutemui tadi. Sejenak aku bingung, mengapa beliau menyamar jadi perempuan? Datuk satu ini rada aneh.

Eyang kembali bertanya, darimana aku tahu kalau beliaulah yang menyamar jadi nenek-nenek tadi? Aku jelaskan pertama tongkatnya, ke dua mata batinku melihat beliau sengaja menyamar menjadi nenek-nenek untuk mengelabui aku.

“Bukan mengelabui! Tapi ingin melihat sampai dimana ketajaman batinmu. Benar kata kakek Andun, kamu suka abai. Suka meremehkan kemampuan.” Ujar Eyang Kuda memotong pempembicaraanku. Aku langsung memeluk beliau. Eyang Kuda benar sekali, di sinilah kelemahanku. Malas mengolah rasa. Datuk Sarik tertawa terbahak-bahak sambil bercerita pada Eyang Kuda bagaimana beliau tiba-tiba muncul menghadangku berkali-kali dalam sosok perempuan tua. Tidak menjawab ketika aku bertanya dan minta maaf, akhirnya aku dibilang ngambek meluncur turun, kabur dan kukejar. Kata Datuk Sarik sambil tertawa lebar sampai tubuhnya bergoyang-goyang. Nampaknya beliau sangat puas dapat membuatku marah.

“Untung aku masih menghargai Datuk sebagai orang tua, aku masih sabar. Kalau aku tidak sabar, sudah kuhantam Datuk dari atas ketika Datuk maju mundur.” Ujarku ikut tertawa.

Akhirnya kami bertiga ngobrol panjang lebar tentang banyak hal. Datuk Sarik ternyata memang sangat lucu. Bahasa Bengkulunya sangat kental. Beliau bercerita bagaimana dia pernah mengelabui beberapa orang pemburu sekaligus pemikat burung. Ketika mereka mendaki Datuk Sarik mengubah dirinya menjadi burung yang cantik. Burung langka yang vum pernah ada di hutan Bengkulu. Lalu katanya beliau pura-pura jinak. Si pemburu berusaha mendekat hendak menangkap. Aku geser sedikit, ketika pemburu itu hendak menangkap lagi, aku kembali bergeser. Sesekali kubiarkan tangannya tersentuh buluku, ujaranya lagi. Akhirnya pemburu makin penasaran dan terus mengejar. Lama-lama tanpa dia sadari dirinya makin jauh masuk ke dalam hutan larangan. Dia lupa jalan pulang. Akhirnya aku sesatkan dia ke arah hutan menjauhi gunung Bungkuk. Perasaannya masih di gunung Bungkuk padahal dia menjauhi gunung Bungkuk. Sambung Datuk Sarik kembali sambil terkekeh-kekeh.

Ketika kutanya mengapa sampai Datuk iseng seperti itu. Dengan enteng beliau berkata, siapapun yang hatinya tidak bersih akan kubelokan ke jalan pulang. Dia tidak akan kuizinkan naik gunung.

“Jadi aku tadi Datuk hadang karena menurut Datuk hatiku tidak bersih?” Protesku. Beliau buru-buru mejawab, mengatakan jika aku berbeda. Beliau justru ingin mengajarkan sesuatu. Tapi sayang katanya aku terlalu cepat emosi.

“Gara-gara risau karena jatuh cinta, kamu tidak dapat pelajaran dari saya.” Kata Datuk Sarik masih tertawa. Aku juga ikut tertawa. Ternyata beliau jiwa humor yang tinggi. Kocak dan isengnya mirip kakek Njajau.

Datuk Sarik bercerita panjang lebar. Dari ceritanya kuketahui Datuk Sarik adalah salah satu penjaga gunung Bungkuk yang suka marirupa. Beliau sebenarnya petapa di salah satu sudut gunung Bungkuk. Kerap menghalangi orang yang hendak naik. Apa lagi kalau tahu orang tersebut tidak bersih batinnya.

“Akhirnya malam ini aku batal bertemu Putri Bulan gara-gara Datuk Sarik.” Ujarku.

“Percuma juga, Putri Bulan sedang tidak ada di puncak gunung Bungkuk.” Ujar Datuk Sarik. Lalu kutanya kemana Putri Bulan? Mengapa tidak ada di gunung? Aku setengah tidak percaya. Siapa tahu Datuk Sarik sengaja mempermainkan aku lagi. Tak lama Datuk Sarik menggerakkan tangannya seperti membentangkan sesuatu di hadapannya.

“Lihatlah, kau Kenal mereka bukan?” Kata Datuk Sarik. Tiba-tiba aku seperti melihat film yang sedang ditanyang. Aku melihat sosok Putri Bulan bersama Macan Kumbang di suatu tempat. Banyak orang di sana. Tampaknya seperti tempat pesta atau pasar. Jantungku berdegup kencang. Satu sisi aku bahagia Macan Kumbang dan Putri Bulan bisa bersama. Bahkan kerap aku berdoa keduanya bisa sejodoh. Tapi satu sisi aku merasa cemburu karena keduanya sudah tidak perhatian lagi padaku. Mereka pergi berdua saja. Apalagi Macan Kumbang. Tidak ada lagi perhatiannya padaku. Lama aku menatap keduanya dengan perasaan tidak menentu. Kadang rasanya hidup ini tidak adil. Aku ingin seperti mereka. Bisa pergi jalan-jalan, bercerita, menikmati alam dengan orang yang kita cintai. Sementara aku? Aku seperti baru sadar. Hari-hariku selama ini selalu disibukkan dengan urusan makhluk asral, berpetualang di alam gaib dan berkelahi melulu. Lalu kapan aku bisa menikmati hidup normal apa adanya seperti kawan-kawaku yang lain tanpa direpotkan dengan dunia tak kasat mata lagi? Aku berdiri dengan perasan perih. Sementara Datuk Sarik seperti menutup lagi layar yang dibentangnya. Hilanglah bayangan Putri Bulan dan Macan Kumbang.

“Datuk, Eyang, aku ingin pulang ke Besemah. Aku ingin melihat nenekku. Aku rindu.” Ujarku sedikit galau. Tapi ternyata Eyang Kuda melarang.

“Kalau hanya sekadar rindu minta bantu Datuk Sarik saja.” Katanya. Tak lama Datuk Sarik kembali mengembangkan tangan seperti tadi. Lalu aku melihat Nenek Kam tengah tidur lelap. Ah, ini kan malam hari bagi kehidupan manusia. Wajar kalau nenek Kam sedang tidur. Aku ingin sekali memeluk dan menyentuhnya. Lama aku menatap nenek Kam. Aku ingin sekali tidur di sampingnya seperti dulu, memeluknya, lalu malam-malam diajaknya masuk ke luar hutan sembari mengajarkan tentang banyak hal padaku. Tidak terasa air mataku meleleh.

“Ternyata cucumu anak tanah Besemah ini cengeng juga, Eyang. Cengeng dan perasa. Bahaya ini. Ini ciri-ciri karakter yang labil” Ujar Datuk Sarik menatap Eyang Kuda. Aku buru-buru menghapus air mata. Aku dibilang Datuk labil? Benarkah? Ah, Datuk seperti tidak pernah muda. Aku kan manusia biasa, dalam kehidupan sebagai manusia banyak hal yang harus kujalani dengan tidak berpura-pura. Satu sisi kehidupan gaib pun menjadi bagian hidupku harus kujalani pula. Menempatkan diri di tengah kehidupan manusia biasa tidak mudah. Karena tiba-tiba dalam kehidupan nyata jiwa harus berinteraksi dengan dunia tak kasat mata. Aku membatin sembari terus menatap nenek Kam.

“Libur sekolah aku akan pulang ke Besemah, Eyang. Bukan pulang dengan batin saja, tapi ingin pulang dengan jasadku.” Ujarku.

“Banyak sekali keinginan-keinginan di dadamu, Selasih. Manusia kok banyak sekali masalah ya?” Datuk Sarik kembali tertawa.

Aku menguap beberapa kali. Baru terasa jika aku letih. Waktu sudah mendekati subuh. Sudah pukul empat pagi. Sebentar lagi nampaknya Eyang Kuda dan Datuk Sarik akan ke masjid Jamik. Masjid singgahan para lelembut. Aku segera pamit pulang. Sebelum pulang Datuk Sarik memberikan sesuatu padaku yang ditiupkannya ke telapak tanganku. Kami berjanji akan bersua kembali di gunung Bungkuk suatu saat bersama Eyang Kuda.

Jalanan Kampung Bali hingga ke Rawa Makmur masih sepi. Beberapa kendaraan kulihat melintas sebelum azan subuh tiba. Mereka para pedagang mengejar waktu untuk segera menggelar dagangannya ke Pasar Minggu. Pasar tradisional, pusat pasar di Bengkulu sejak dulu. Konon pasar ini adalah adalah pasar yang digelar sepekan sekali. Setiap hari Minggu. Lama-kelamaan menjadi pasar yang besar terus berkembang hingga kini. Aku buru-buru menuju rumah

“Putri Selasih…selamat pagi? Puas ya petualang sendiri. Coba kalau mau beramah-ramah denganku, kan bisa kutemani. Dijamin kamu tidak akan kesepian lagi.” Tiba-tiba siluman ular putih menyapaku lagi. Sejenak aku berpikir, apa perlu kuhantam makhluk satu. Tapi kembali kunasehati diriku, jangan terlalu mudah mengambil kesimpulan. Belum tentu makhluk asrama satu ini berniat jahat meski kelihatan nyeleneh. Buktinya kakek Njajau, Datuk Sarik, adalah sosok-sosok yang kadang membuat kita ikut senewen.

“Selamat pagi siluman ular. Selamat istirahat. Capek kan ngikutin manusia seperti aku.” Sapaku menahan diri agar tidak terlihat emosi.

“Terimakasih Selasih, aku tidak capek, karena dari tadi aku menunggu di sini sambil menjaga rumahmu. Selamat istirahat juga Selasih. Izinkan aku tinggal di sini ya” Nada suaranya ramah, tidak seperti tadi. Kulempar senyum padanya. Aku bergegas wudu, menunggu waktu subuh tiba. Angin berhembus pelan. Terasa sangat dingin. Bulan semakin condong ke barat. Bayangan pohon bunga tanjung seperti sosok penari andung bergoyang-goyang anggun ke sana kemari.

Bersambung…
close