Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cetik Badung - Tetesan Air Mayat (Part 1)

Tetesan cairan perlahan mengisi cawan kayu yang sengaja kuletakkan di tanah. Bau yang sangat busuk tercium dari dekatnya.
Aku tertawa seperti orang yang kesetanan menyaksikan setiap tetesnya..


JEJAKMISTERI - "Nah Meme, tiang ane lakar ngwalesang gedeg memene. Tiang lakar ngwalesang gedeg iragane teken ia ajak makejang ane suba ngaenang Meme buka kene,”

(Baik ibu, akan kubalaskan dendamu. Akan kubalaskan dendam kita pada mereka yang telah membuatmu menjadi seperti ini) ucapku pada Meme (Ibu).

Cairan itu menetes sedikit demi sedikit dari mayat Meme-ku yang telah mati. Berhari-hari aku menangisi jasadnya hingga tidak tersisa lagi air mata yang bisa kujatuhkan.

Seolah menggantikan air mataku, cairan-cairan dari organ jasad ibu mulai menetes dari ranjang kayu tempatku menidurkanya. Aku melihatnya sebagai sebuah harapan. Harapan bagiku untuk menghabisi mereka yang telah melakukan ini semua.

Bau yang amat busuk menyelimuti seluruh ruangan tempatku hanya berdua dengan jasad Ibu. Namun bau busuk ini tidak dapat mengalahkan kegembiraanku mendapatkan tetesan air ini. Air mayat dari tubuh ibu yang bisa kugunakan untuk membalas mereka dengan sebuah ilmu..

Cetik Badung.. sebuah ilmu santet dengan perantara Air mayat.

***

Angin Hitam dari Timur

Bertahan hidup di Ibukota dengan status sebagai mahasiswa nekad bukanlah hal mudah. Bukan masalah mahalnya biaya hidup di sini, tapi kadang sedikit sulit untuk membedakan antara kebutuhan hidup dan gaya hidup.

Hal inilah yang kadang membuat mahasiswa perantauan nekad menyerah di tengah jalan karena tidak mampu mengikuti gaya hidup mahasiswa di kota ini.

“Surya, lu di dalem kan?” tanyaku sembari mengetuk pintu kamar kos yang tak jauh dari kamarku.

“Eh elu Ndra, kenapa pagi-pagi gini?” tanya Surya masih dengan wajah kasurnya.

“Tanggal tiga Ndra, udah disuruh narikin uang kosan nih,” ucapku yang sejak tahun lalu memang dititahkan oleh ibu kos untuk mengurus pembayaran kamar.

“Berapa? Tiga ratus tujuh puluh ya? Nih,” ucapnya sembari mengeluarkan empat lembar seratus ribuan yang sepertinya memang telah ia siapkan.

“Udah kembalinya buat lu aja, ongkos kemarin sering nitip beli nasi goreng,” tambah surya.

“Serius Sur?”

“Iya santai aja.”

“Gua udah bawa kembalian nih,” ucapku.

“Halah nggak usah basa-basi, seneng juga kan lu,” balasnya yang sudah mengerti gaya bercandaku.

Aku tertawa membalas perkataanya dan berterima kasih. Akupun melanjutkan ke kamar berikutnya.

Dalam waktu tiga hari aku sudah menyelesaian tugas ibu kos untuk menagih delapan belas kamar. Akhirnya aku bisa menghadap ke ibu kos dengan bangga kali ini.

“Cengar-cengir, udah lu tagih semua belum?” tanya Bu Royani, ibu kosku yang sudah menjadi ceesku tak lama setelah aku tinggal di sini.

“Sudah donk bu, lengkap delapan belas kamar!” balasku dengan meletakkan setumpuk uang di hadapanya.

“Nah, udeh tuh. Per kamar lu ambil dua puluh ribu. Ongkos lu nagihin mereka,” ucapnya sambil melirik ke tumpukan uang itu.

“Siap Bu, hari ini ibu cantik banget dah,” ucapku memujinya.

“Bisa aje lu, lagian biasanya juga udah tau itunganya,” balasnya.

“Ya kan tetep ijin dulu, siapa tau ibu juga butuh,” ucapku sembari mengembalikan sisa uang kos itu kepadanya dan berpamitan.
Haha.. Tuhan memang selalu punya rencana untuk memenuhi kebutuhan umatnya. Aku selalu percaya itu.

Setelahnya aku segera bersiap untuk berangkat ke kampus dan memasukkan satu box kartu perdana ke tasku. Ini adalah salah satu daganganku yang membuat ku menjadi terkenal di kalangan mahasiswa penghamba kuota.

Apa? Mahasiswa nekad? Gagal di tengah jalan?

Sori, Premis di atas tadi bukan kisah tentang gua. Mana mungkin seorang Indra Askara, mahasiswa perantau dari Purwakarta ini bisa kebingungan masalah uang.

Bukan bermaksud untuk sombong, tapi aku adalah orang yang tidak mempedulikan apa kata orang. Kalau bahasa kerenya ..

“Gua gak peduli lu menghina apa, toh bukan lu yang ngasi gua makan..”

Memang itu bukan kata-kata bijak yang sering dipajang orang-orang di media sosialnya agar terlihat keren. Tapi kalimat itu cukup membuatku menjadi cuek dengan pandangan orang dan terus melangkah.

“Ndra! Udah siap belum,” panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamarku.

Itu adalah Arsa, temanku yang paling dekat. Kami memang beruntung sampai semester empat ini masih bisa satu kelas.

“Sudah donk, yuk” balasku sembari mengenakan tas ranselku yang cukup besar.

“Woy! Tungguin! Gua juga bareng..” Teriak seorang perempuan dari kamar di lantai dua.
Dia Amita, salah seorang sahabatku juga.

Mahasiswa perantauan dari Bali yang mendapat beasiswa untuk mencari ilmu di kampus dan kelas yang sama denganku.

“Iye! Jangan lama-lama!” ucapku.

“Nggak lah, ini langsung turun.. tapi habis make up, milih tas, sama milih sepatu,” balasnya.

“Yuk kita berangkat duluan!” balas Arsa sambil mengajakku keluar.

“Heh! Bercanda, ni gua langsung turun,” balas Amita yang dalam hitungan detik sudah menghampiri kami.

“Kalau sampe nungguin lu milih baju mending gua ngerjain skripsi duluan,” ledekku.

Amita pun menepuk pundakku dengan tertawa.

“Nggak selama itu juga kang kasep,” balasnya yang sok menirukan logat sunda mengingat kota kelahiranku.

“Yah, Geg Amita mulai belajar bahasa sunda. Awas betah,” ledek Asra.

“Yee biarin, Ini mau ngobrol apa mau berangkat nih? Kalau masi mau ngobrol gua bikin skripsi dulu nih,” balas amita.

“Yee, dibales..”
Kami bertiga memang sedekat ini. Walau Amita berbeda jurusan tapi hampir setiap jadwalnya tidak berbeda dengan kami.

Ada alasan ia tidak sering berkumpul dengan anak kos atau mahasiswi perempuan lainya dan lebih memilih dengan kami.
Menurutnya, mahasiswi beasiswa itu mengemban tanggung jawab yang besar. Baik dari soal nilai maupun biaya hidup.

Berteman dengan kami sudah terbukti bisa menghindari lifestyle anak kampus dan teman-teman kos kami.

***

Hanya dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit kami sudah mencapai gerbang utama kampus.

Kos kami memang tidak jauh, malah kadang aku curiga jarak dari gerbang utama hingga gedung kuliah masih lebih jauh dari jarak kosku ke gerbang kampus.

“Balik jam dua kan? Pada mau ke mana habis itu?” ucap amita.

“Ke warung nasi Bu Marti aja, biar kenyang sampe malem,” Ajakku.

“Oke, ketemu di sana,” balas Mita.

Aku dan Asra segera menuju kelas yang memang berbeda arah dengan Amita. Seperti ceritaku tadi, sudah ada beberapa mahasiswa yang menungguku di kelas menanti kartu perdana daganganku.

“Tar kalau habis, gua kontek lagi ya ndra,”

“Beres, thank you bro”
Dalam sekejap aku menghabiskan setengah box kartu perdana yang kubawa yang kuduga akan habis dalam hitungan hari.

Aku dan Arsa sudah siap di kursi kami tepat saat dosen datang. Aku tidak mau sampai ketinggalan materi pelajaran perkuliahan. Untukku, semua materi yang diajarkan pasti bernilai. Maksudnya bernilai dalam arti yang sebenarnya..

Setiap menjelang ujian, catatan dan kisi-kisi yang kucatat selama ini bisa bernilai sebungkus rokok.
Sesuai janji, selesai perkuliahan kami bertemu di warung Bu Marti. Warung ini letaknya cukup tersembunyi di dalam gang jadi tidak terlalu ramai.

Setelah menahan rasa laparku, akhirnya aku melampiaskana dengan memilih beberapa sayur rumahan sebagai lauk. Asra dan Amita sudah lebih dulu selesai memilih.

“Eh buset, lu jajan apa ngerampok?” ledek Asra.

“Amunisi sampe nanti malem, lagian lu pada irit-irit banget makanya. Bayarnya kan sama,” balasku.

Amita mengambilkan minuman yang telah selesai dibuatkan dan membawanya ke meja kami.

“Ta, libur semester ini kan panjang. nyambung sama libur lebaran, Lu ga ada rencana balik ke bali?” tanyaku.

“Nah, itu gua baru mau ngomong. Rencananya sih gitu. Lu pada pulang kampung juga?” balas Mita.

“Gua pasti pulang. kalau nggak, nama gua bisa hilang dari kartu keluarga,” respon Asra.

“Gua pulang pas hari H lebaran aja, itung-itung nemenin ibu kos,” balasku.

Kampungku paling dekat dibanding mereka berdua. Selain karena bisa pulang kampung kapan saja, sepertinya lebih berfaedah bila aku tetap tinggal di kos membantu ibu kos menjaga kamar-kamar yang ditinggal oleh penghuninya.

“Bagus tuh, gua nitip motor ya. Males gua kalau pas balik harus repot-repot servis sama cek aki lagi,” ucap Asra.

“Tenang motor lu aman, di tangan gua,” balasku.

“Jangan tiba-tiba gua liat motor gua di tukang gadai ya!” balas Asra.

“Yakin nggak mau? Gua cariin harga yang bagus deh,” balasku meledek.

“Ngaco lu..”
Seusai makan dan perbincangan tidak jelas itu kami kembali ke kos. Biasanya kalau malamnya salah satu dari kami bosan, kami tinggal nongkrong di tukang roti bakar.

Satu roti bakar biasanya bisa bertahan beberapa jam untuk kami bertiga.

***

Menjelang malam angin mulai berhembus dengan kencang. Tiba-tiba saja jendela kamarku terbanting menutup beberapa kali. Akupun menghampirinya dan berniat menguncinya.

Saat menghampiri jendela, perhatianku tiba-tiba tertuju pada seseorang yang berdiri tertegun di halaman depan. Dari baju yang ia pakai aku tahu Itu Amita..
Sedang apa dia seorang diri berdiri di sana.

“Woi Mita! Ngapain di sana?” panggilku, tapi ia tidak merespon sama sekali dan hanya berdiri di tengah kencangnya angin yang berhembus.
Pikirku mungkin ia sedang menunggu seseorang. Akupun kembali menutup jendelaku dan bersiap berbaring lagi memainkan telepon genggamku.

Tok..tok..tok..
Baru saja aku bersiap merebahkan tubuhku tiba-tiba terdengar suara seorang mengetuk pintu kamarku.

“Indra..” panggilnya.
Itu suara Mita..
Lantas, siapa yang ada di luar tadi? Saat itu juga aku merasa ada yang aneh. Seketika bulu kudukku merinding.

Aku belum pernah merasa seperti ini di kos.

“Indra…” suaranya terdengar lirih tidak seperti biasanya.
Dengan perasaan ragu akupun membuka pintu. Dan benar memang benar itu Mita.

Tapi wajahnya terlihat pucat, matanya menguning dan seperti ada bekas air mata yang mengering di pipinya.

“Indra, aku nggak mau mati..”

***

Suara ketokan pintu terdengar membangunkanku dari tidurku. Aku terbangun dengan keringat yang mengucur deras dan jantung yang berdegup kencang.

Mimpi? Jadi yang barusan itu mimpi?
Belum sempat berpikir panjang terdengar lagi suara ketukan di pintu kamarku.

“Ndra, tidur lu Ndra?”, itu suara Asra.
Akupun segera membukakan pintu untuknya.

“Sori-sori, ketiduran gua,” balasku.

“Dih maghrib-maghrib tidur, dimimpiin yang aneh-aneh lho,” ucapnya.

Aku hanya menggaruk kepalaku tanpa menjawab.

Sepertinya setelah mimpi tadi aku jadi harus mempercayai mitos itu.

“Roti bakar yuk, bosen gua,” ucap Asra.

“Gua ganti baju bentar, udah ajak Mita?” tanyaku.

“Ya samperin ke atas aja nanti..” jawab Asra.

Akupun bersiap sebentar dan naik ke lantai dua menghampiri kamar Mita. Lantai dua memang dikhususkan untuk kamar putri. Awalnya Bu Royani memang sedikit ketat melarang pria naik ke lantai atas. Namun saat semakin dekat dengan anak-anak kosnya, iapun melonggarkan aturan ini.

“Mita, keluar yuk.” Panggil Asra sambil mengetuk pintu kamar Mita.
Walau sudah cukup sering naik ke lantai atas. Namun aku tetap saja canggung tiap berada di lantai yang dikhususkan oleh penghuni kos putri ini.

Bagaimana tidak, banyak dari mereka yang menjemur pakaian dalamnya dengan santai di depan kamarnya masing-masing.
Suara engsel kunci terdengar dari dalam. Mitapun membuka pintu dan terlihat wajahnya yang terlihat kusut.

“Sori Ndra, tiba-tiba nggak enak badan gua. Skip dulu ya,” kata Mita.

“Eh, iya tuh.. muka lu pucet, mau kita anter ke klinik?” balas Asra.

Melihat wajah Mita tiba-tiba aku teringat mimpi barusan. Kenapa bisa kebetulan?

“Nggak usah Sra, masuk angin biasa kayaknya. Gua istirahat dulu aja,” balas Mita.

“Ya udah, tapi kalau tambah parah bilang ya. Biar langsung gua anter ke klinik,” Ucapku.

“Iya, tar gua kabarin..”

Kamipun mengurungkan niat kami untuk keluar dan memilih untuk standby di kos untuk siaga dengan kondisi Mita.

“Arsa…”
“Kenapa ndra?”
Aku berniat menceritakan mimpiku soal Amita tadi. Tapi mungkin saja bukan hal yang penting, sehingga aku memilih menyimpanya sendiri.

“Nggak jadi, tar kontek-kontekan ya kalau mita ngabarin,” ucapku.

“Iya, lu juga”
Kamipun kembali ke kamar masing-masing dan aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi.

Sampai malam tidak ada kabar dari Mita, sepertinya dia benar-benar beristirahat.

***

Pagi kali ini aku terbangun dengan suara dering dari telepon genggamku. Berkali-kali aku tidak menggubrisnya, namun suara itu terus berulang. Akupun mengalah dan beranjak dari tempat tidurku.
Rupanya telepon dari Asra..

“Ndra, ke kamar gua sekarang,” ucapnya singkat dengan nada suara serius.

“Kenapa sih Ndra pagi-pagi buta gini,” jawabku malas.

“Udah cepetan kesini sekarang, Mita di sini,” ucapnya.
Mita? Di kamar Asra? Pasti ada sesuatu yang penting.

Akupun segera mencuci muka seadanya dan pergi ke kamar Asra.
Pintu kamar Asra setengah terbuka, dan benar memang ada Mita di sana.

“Gua masuk ya Sra,” ucapku.

Terlihat Mita sedang terduduk menyandarakan dirinya ke tembok dengan memeluk bantal. Matanya terlihat sembab.

“Si Mita Ndra..” Asra ingin mulai cerita namun segera dipotong oleh Mita.

“Meme gua.. Nyokap gua ndra, nyokap gua udah nggak ada,” ucapnya yang segera disusul dengan suara isak tangis.

“Nyokap lu? Nyokap lu yang di bali?”

Mita mengangguk, ia berusaha menahan tangisnya namun sepertinya itu terlalu berat.

“Masalahnya nggak itu saja, Bokapnya Mita keadaanya juga kritis,” tambah Asra.

“Kritis? Mereka kecelakaan?” tanyaku memperjelas.

Mita menggeleng, ”Nggak, bukan kecelakaan. Tiba-tiba saja tadi pagi Pak Nik yang ngabarin”
Dari ucapanya sepertinya seseorang yang mengabari Mitapun masih belum bisa memastikan penyebab kematian ibunya.

“Ya udah Mit, lu balik aja.. ijin kuliah dulu,” ucapku.

“Udah gua cariin tiket pesawat, adanya jam satu siang gimana?” balas Asra.

Sekarang masih jam enam pagi. Bila kami beberes secepatnya kemungkinan masih bisa kekejar untuk sampai di bandara sebelum jam dua belas.

“Iya ambil itu aja, masih sempat. Sekalian buat gua Sra, biar gua nemenin Mita nanti gua transfer,” ucapku.

“Lu mau ikut?” Tanya Asra.
Akupun menggeser posisi duduku dan mendekat ke Asra.

“Ibunya Mita udah nggak ada, ayahnya sakit. Siapa lagi yang nemenin dia kalau bukan lu atau gua Sra,” ucapku.

Asrapun segera mengerti maksudku. Ia segera meminta data KTP kami dan memesankan tiket pesawat melalui aplikasi di telepon genggamnya.

“Udah nih, siap-siap jam sepuluh kita harus udah berangkat dari sini,”
“Kita?”
“Iye, gua ikut. Pasti nggak bakal tenang gua kalau gua di sini. Nggak kebayang bakal segimana repotnya di sana,” ucap Asra.

Akupun tersenyum mendengar niat Asra. Ini adalah perjalanan pertama kami bertiga keluar kota. Setelah ini aku harus menghitung sisa tabunganku dan menelpon orang tuaku untuk pamit. Aku tahu mereka pasti akan mengerti bila kujelaskan.

“Maafin gue ya Ndra, Sra.. gua nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa,” isak Mita.

“Ssst.. udah tenang aja yang penting lu tenangin diri dulu sambil siap-siap, nanti gua anterin sarapan ke kamar lu,” balasku.

Pagi yang biasa kami gunakan untuk bercengkerama dengan kasur kini berbeda drastis. Kami mengejar waktu untuk packing, mandi, dan sarapan sebelum akhirnya kami berangkat ke bandara.

***

Beruntung, siang itu LaluLintas tidak terlalu padat. Kamipun segera memasuki terminal keberangkatan dan melakukan check in di maskapai.
Sebenarnya sepanjang perjalanan aku merasakan Mita tidak hanya sedih. Ia seperti memikirkan seuatu yang seolah membuatnya bimbang.

Namun semua itu terjawab ketika kami bersiap memasuki gate boarding.
Tiba-tiba Mita menarik bajuku seolah ragu untuk berangkat.

“Ndra, Sra… ada yang belum gua ceritain,” ucap Mita dengan hidungnya yang masih merah setelah menangis cukup lama.

“Kenapa Ta?” Balasku.

“Gu...gua mimpi.. sebelum gua dapet kabar nyokap meninggal, gua dapet mimpi aneh,” ucap Mita.

Mita bercerita, malam itu saat ia merasa tidak enak badan dan beristirahat dia terbangun beberapa kali. Dan mimpi setiap tertidur selalu menyambung.

Di mimpi itu ada sosok perempuan dengan wajah yang dipenuhi garis biru dari urat-uratnya. Ia menatap Mita dengan mata yang sudah memerah. Berkali-kali ia mencoba mengejar Mita, mengetahui sosoknya yang seperti itu Mitapun selalu melarikan diri.

Entah berapa lama itu terjadi sampai akhirnya perempuan itu berhasil menangkap Mita. Namun yang terjadi perempuan itu hanya berucap pada Mita.
Eda mulih! Engken ja panadine, eda mulih!"
(Jangan pulang! Apapun yang terjadi jangan pulang!)

“Di mimpi itu perempuan itu ngelarang gua untuk kembali entah apa maksudnya. Gua nggak tahu itu Cuma mimpi atau peringatan,” cerita mita.

Aku saling bertatapan dengan Asra.
“Awalnya lu nggak cerita soal ini karna lu tetep pingin pulang ke Bali kan?” tanya Asra.

Mita mengangguk.
“Ya udah urusan kita sama keputusan lu, bukan mimpi lu lagi. Ayo jalan..” ucapku melengkapi maksud pertanyaan Asra.

Ini pertama kalinya aku menaiki kendaraan yang sering diumpamakan dengan nama burung besi ini.

Mungkin kalau bukan karena darurat aku akan lebih memilih naik bus yang harganya bisa lima kali lebih murah dari pesawat.
Dan satu lagi, beruntung ada Asra yang sudah pengalaman dengan perjalanan udara. Kalau tidak mungkin aku sudah seperti orang bodoh di bandara tadi.

Birunya lautan dan berbagai pegunungan terlihat dengan indah dari jendela. Seandainya ini bukan perjalanan darurat mungkin aku lebih bisa menikmati perjalanan ini. Namun sama seperti yang lain, mungkin pikiran kami semua sudah terpaku pada apa yang harus kami lakukan di tempat mita nanti.

Setelah mendarat kamipun melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taxi bandara. Ternyata desa Mita terletak di utara pulau bali yang membutuhkan waktu beberapa jam dari bandara.

Kamu turun di desa rumah orang tua Mita tinggal. Bukan desa seperti yang kubayangkan berisi rumah adat bali, ternyata rumah-rumah di desa mita sudah mengikuti perumahan sekarang. Hanya saja ciri khas arsitektur rumah bali tetap dibangun dengan halaman yang mengelilingi rumah.

Terlihat dengan adanya kuil kecil tempat meletakkan canang (sesaji) yang biasa disebut sanggah.
Kedatangan Mita disambut dengan wajah haru kerabatnya yang menunggu di sana.

“Geg, maafkan Pak Nikmu ini geg,” ucap seorang bapak yang cukup berumur yang air matanya menetes lagi ketika melihat Mita.

“Sudah Pak Nik, Tiang mau belajar ikhlas,” jawab Mita.

Belum sempat mereka berbincang lebih dalam. Kami melihat pemandangan yang sama sekali tidak kami duga.

Tidak hanya ada satu jenazah di sana. Ada empan Jenazah yang dibaringkan bersama dengan ibu Mita.

“Pak Nik, i..itu jenazah siapa saja?”
Paman Mita mengusap air matanya yang kembali keluar dan mendekat ke arah Mita.

“Pak Nik ga mau bikin geg khawatir. Jadi Pak Nik tidak memberi tahu geg soal mereka. Menik-Menik dan Ninimu juga bernasib sama,” cerita Pak Nik.

Akhirnya aku tahu mengapa Paman Mita hanya mengabari seadanya tentang kepergian ibunya Mita.

Rupanya istrinya juga bernasib sama dengan ibunya mita. Aku tidak menyangka akan melihat hal seperti ini.
Wajah Mita terlihat semakin shock. Aku hanya bisa mengelus punggung mita.

“Yang tenang ya Mit, di ikhlasin..” ucapku.

“Mereka orang-orang baik Ndra, mereka yang ngurus aku waktu kecil,” sekali lagi air mata Mita mengalir deras.
Mita berniat melihat terakhir kali jasad ibu dan kerabatnya. Ia membuka kain penutup yang menutupi wajah jenazah ibunya itu.

Betapa kagetnya kami saat mengetahui Ibu Mita meninggal dengan mata berwarna kuning yang tidak bisa menutup dengan rahang yang kaku.

“Saya cari!! Akan saya cari siapapun yang mengirim ilmu untuk membunuh mereka!”

Tiba-tiba terlihat salah seorang bapak yang mengamuk di tengah kumpulan kerabat Mita. Saat mita menatapnya sepertinya mita mengenal orang itu.

“Pak Nik, maksudnya apa? Membunuh? Ibu di bunuh?” tanya mita yang semakin shock dengan apa yang ia lihat dan ia dengar.

Pak Nik menjelaskanya sambil menangis. Sehari sebelumnya hari bapak dan ibu Mita mengalami sakit yang aneh. Matanya semakin lama semakin menguning dan tubuhnya terasa sakit.

Ayah Mita menelpon Pak Nik bercerita bahwa ia berniat berobat, namun setiap keluar niatnya selalu tertutup seolah ada yang menjaga rumah mereka.

Mendengar cerita itu Pak Nik meminta tolong seorang Terma Balian yang ia kenal untuk membantu Ayah Mita.

Sayangnya saat sampai di rumah Ibu Mita sudah kehilangan nyawanya. Balian itu berhasil menolong Ayah Mita namun sampai sekarang kondisinya masih kritis.
Seolah tidak senang dengan perbuatan Pak Nik, tiba-tiba tadi malam istrinya terlihat bertingkah aneh, seperti ada sesuatu yang menyerangnya. Pak Nik mencoba berbagai cara untuk menolong. Sayangya hanya dalam hitungan menit, istrinya meninggal dengan wajah yang ketakutan.
Mendengar cerita itu seketika tubuhku merinding.

Ternyata mitos tentang masih kentalnya klenik di Bali mungkin benar adanya. Tapi apa benar sehebat itu hingga bisa mematikan empat orang dalam satu malam?

“Salah Meme sama Bapak apa Pak Nik? Kenapa sampai ada yang ingin membunuh mereka?” tanya Mita dengan memelas.

Pak Nik menggeleng, sepertinya dia juga belum tau dengan jelas tentang apa yang terjadi.

“Polisi dan Pecalang sudah kemari, mereka akan mencari tahu pelakunya. Tapi sebaiknya Geg jangan berharap banyak, berusahalah untuk ikhlas,” ucap Pak Nik.

Setelah kepanikan Mita mulai reda, Mitapun mengenalkan kami pada Pak Nik mereka dan beberapa kerabat. Nama-nama yang disebutkan cukup membuatku kesulitan menghafalnya.

Mereka bercerita, untuk sementara jasad akan dikubur lebih dulu sebelum mereka memiliki kemampuan untuk mengadakan ngaben, atau mengikuti ngaben masal.
Aku baru tahu soal hal ini. Adat umat Hindu di Bali.

Tangguk jawab keluarga terhadap jenazah yang sudah meninggal baru sempurna ketika jenazah itu sudah di kremasi dengan ritual adat Ngaben.
Ritual ngaben membutuhkan sangat banyak biaya.

Oleh karena itu, mereka yang belum mampu memilih menguburkan jasad kerabatnya dulu hingga ada acara ngaben masal atau kemampuan finansial mereka sudah mencukupi.
Tanpa terasa mengikuti perbincangan mereka, akhirnya malampun tiba. Suasana di rumah ini menjadi sangat berbeda.

Walaupun masih ada beberapa kerabat yang menunggu aku tetap saja merasa aneh.

“Nanti kalian tidur di rumah saya saja ya, tidak jauh dari sini kok,” ucap Pak Nik.

“Iya pak, Terima kasih.” Balasku.
Pak Nik mengantarku ke rumahnya untuk meletakkan barang-barangku.

Sedari tadi Mita meminta untuk ditemukan dengan Ayahnya. Namun kerabatnya memintanya beristirahat dulu dan besok pagi baru menemui ayahnya.

“Pak, memangnya bisa ya semudah itu membunuh orang dengan ilmu?” Tanya Asra yang wajahnya penasaran sejak tadi..

“Tidak semudah itu, mereka butuh benda-benda dan informasi yang sangat pribadi dari korbanya. Baru mereka bisa melancarkan serangan,” jelasnya.
Pak Nik menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Maka itu, biasanya pelakunya bukan orang jauh dan masih kerabat sendiri.”

Mendengar penjelasan itu aku dan Asra saling bertatapan, buat kami ini adalah fakta yang mencengangkan. Bagaimana mungkin orang terdekat malah menjadi ancaman terbesar?

Pak Nik kembali lebih dulu ke rumah Mita sementara kami membereskan barang dan mandi terlebih dahulu.

Kami melakukan semuanya secepat mungkin dan ingin segera kembali ke rumah Mita.
Sambil mendengar cerita mereka, pandanganku terpancing pada sosok perempuan yang melihat dari depan rumah.

“Ta, itu siapa? Nggak diajak masuk aja?” tanyaku.

Mita menoleh ke arah perempuan yang mungkin seumuran dengan Mita dan mencoba mengenalinya.

Perempuan itu mengenakan baju kebaya Bali berwarna hitam lusuh dengan rambut yang terurai hampir menutupi wajahnya.

Walau dengan penampilan itu sepertinya Mita mengenali perempuan itu.

“Rala? Itu Rala Pak Nik?” Tanya mita.

Pak Nik melongo melihat sosok yang ditunjukkan oleh Mita. Seolah sadar keberadaanya diketahui, perempuan itu berjalan pergi meninggalkan rumah Mita.

“Sra, gua yang salah liat atau gimana ya? Itu cewe senyum?” tanyaku.

“Iya Ndra, gua juga liat. Tiba-tiba merinding gua,” balas Asra.

Pak Nik mencoba mengejar perempuan itu.

Tapi anehnya baru beberapa detik sejak kepergianya, tiba-tiba sosok perempuan itu sudah menghilang dari pandangan kami.

Wajah Pak Nik terlihat bingung. Ia seolah mencoba berpikir mengingat sesuatu.

“Pak Nik itu bener Rala?” tanya seorang kerabat yang penasaran.

“Dak tahu, sudah hilang saja wujudnya,” balas Pak Nik.

“Itu Rala Pak Nik, Tiang ingat wajahnya,” ucap Mita.

Pak Nik kembali menatap mita dan menghela nafas. Sepertinya ada sesuatu yang memang belum diceritakan oleh Pak Nik.

“Sudah lebih dari satu minggu kami tidak melihat Rala dan ibunya. Rumahnya kosong, dan teleponya sudah tidak aktif,” ucap Pak Nik.

Penjelasan Pak Nik cukup membuatku berpikir curiga dengan seseorang yang dipanggil dengan nama Rala itu.

“Jangan-jangan Rala juga sedang ada masalah Pak Nik,” tanya Mita yang khawatir dengan keponakanya itu.

“Entahlah geg, Pak Nik sudah mencoba menghubungi tapi tidak ada hasil,” balasnya.
Setelah ucapan itu Mita melamun sebentar.

Setelah itu ia meninggalkan pelataran terasnya dan mengajak kami berjalan-jalan keluar.

“Keluar sebentar yuk, cari angin” ajak mita.

“Sekalian cari makan aja, lu belum makan kan?” tambah Asra.

“Nggak laper gua, lagian di rumah juga udah disiapin makanan,” balasnya.

Wajar, dalam kondisi emosinya seperti itu ia mungkin tidak terpikir untuk makan.

Kamipun berjalan memutari desa mengikuti arahanya. Dari arah Mita melangkah sepertinya ia menuju ke suatu tempat.

“Kita ke arah mana Mit?” tanyaku.

“Rumah Rala, gua yakin perempuan tadi itu Rala,” ucap mita.

Aku menoleh ke arah Asra. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang buruk dengan seorang yang bernama Rala itu.

Perjalanan kami sampai di sebuah rumah yang sedikit terpisah dari rumah lainya. Bangunanya tidak sebagus rumah Mita sebagian temboknya masih berupa bata. Lampunya padam seolah lama tidak disinggahi. Melihat bangunan itu di tengah kegelapan membuatku merasa merinding.

“Permisi! Rala!” Teriak mita memastikan apakah ada orang di dalam.
Tapi seperti dugaan kami, tidak ada orang yang menjawab salam dari Mita. Kemungkinan memang tidak ada orang di dalam.

Sayangnya dugaan kami berubah menjadi keraguan ketika menemukan canang dan dupa yang berada di sana seperti belum lama dipersembahkan.

“Canang dan dupanya masih baru, berarti tadi ada orang di sini,” ucap Asra.

Mita melangkah masuk ke dalam mendekat ke arah pintu. Saat semakin dekat menuju rumah samar-samar aku mencium bau yang aneh yang membuatku mual.

Mita merogoh tasnya cukup lama dan mengeluarkan sebuah kunci yang kuduga merupakan kunci dari pintu rumah di hadapan kami.

“Ta? Lu ada kuncinya?” tanyaku.

“Gua sama Rala temenan dari kecil, mungkin udah kayak saudara. Makanya Memenya nitipin kunci rumah biar aku bisa sering mampir pas Rala di rumah sendiri,” jelas Mita.

Pantas saja Mita begitu khawatir dengan perempuan bernama Rala itu. Ternyata ia mempunyai hubungan yang erat denganya.

Tepat saat pintu terbuka, bau yang menyengat semakin tercium. Aku tidak pernah mencium bau seperti ini sebelumnya.
Kami menyalakan penerangan dari telepon genggam, dan menelusuri rumah Rala yang terlihah berantakan.

Ada sebuah kamar yang tertutup rapat di belakang tidak seperti kamar lain yang terbuka.
Sepertinya kami bertiga mengambil kesimpulan yang sama dan menuju kamar itu.

“Hoeeekkk!!”

Tepat ketika kamar itu terbuka, Asra tak bisa menahan rasa mualnya dan terus menutup hidungnya.

Benar, bau itu berasal dari kamar ini.
Tak cukup sampai di situ, saat kami mengarahkan cahaya senter kami ke arah dalam. Di sana terbaring sosok jasad seorang perempuan yang sudah membusuk dan hampir tidak berbentuk.

Posisi kepalanya yang menengok ke arah kami membuat mita seketika panik dan terjatuh.

“I..Itu Mayat!!” ucapku panik.

Asra masuk melihatnya dan segera berpaling tidak tega melihat kondisi jasad yang ada di hadapanya itu.

“Ma..mayat itu..” Mita mencoba mendekat memastikan.

“Sra! Cari meteran listrik.. coba nyalain lampunya,” perintahku.

Asrapun mencari meteran listrik dan menemukanya di samping rumah. Tak berapa lama setelahnya beberapa lampu di rumah ini menyala. Lampu dari bohlam berwarna oranye pun menerangi ruangan ini.

“Itu! Menik! Meme-nya Rala!!” teriak Mita yang kembali menangis saat bisa melihatnya dengan jelas.
Sayangnya bukan hanya sosok jasad itu saja yang bisa terlihat dengan jelas. Tembok-tembok meja dan semua benda di ruangan itu penuh dengan coretan-coretan.

Bahkan ada beberapa yang ditulis dengan darah.

Matiang Cang iba! Makejang arus mati!
I Meme kanti ngalahin, arus walesang!

(Kubunuh kalian! Semua harus mati!
Kematian meme-harus dibalas!)

Nyak Dewa, nyak butha, Cang sing peduli, makejang lakar sembah apang ngidang ngwalesang ene makejang!

(Dewa atau setan aku tidak peduli, siapapun kusembah demi membalas ini semua!)

Berbagai umpatan, cacian, sumpah serapah tertulis oleh seseorang yang memendam rasa dendam yang sangat dalam. Aku melihat hampir seluruh tulisan itu sampai tiba-tiba aku berhenti pada sebuah tulisan.

Lima hari.. lima hari aku menunggu jasad meme, kukira lebih baik aku mati bersama meme. Tapi meme berkehendak lain, jasad memepun menuntut keadilan.

Dengan air yang kudapat dari jasad meme, akan kubalaskan kematianya kepada mereka yang telah membunuhnya.

Aku menelan ludah membaca tulisan itu. Mitapun menemukan beberapa cawan kayu yang berisi cairan berbau sangat busuk.

“Nggak mungkin.. nggak mungkin Rala yang membunuh Meme??” ucap Mita dengan air mata yang masih menetes.

Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi melihat bencana yang menimpa Mita Saat ini. Aku hanya bisa membantu Mita untuk berdiri dan mengajaknya meninggalkan rumah ini untuk melapor kepada Pak Nik.

Wajah Asrapun menggambarkan ia benar-benar tidak mampu menangkap kejadian ini dengan nalar. Kehidupan Mita yang selama ini nyaman di Jakarta mendadak berubah menjadi begitu pelik dalam satu hari.

Kamipun memilih untuk segera keluar dan meninggalkan tempat yang mengerikan ini..
Tapi, tepat saat akan meninggalkan rumah, samar-samar kami melihat bayangan sosok wanita menatap dari luar.

Wanita dengan kebaya bali berwarna hitam dengan rambut panjangnya yang kusut menatap kami dari luar seolah menanti kami.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close