Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CETIK BADUNG - Jasad Pembawa Dendam (Part 2)

Jasad itu mencoba untuk bangun, namun ia terjatuh kembali ke tanah hingga beberapa kali sembari menoleh ke arah kami.

Ia tersenyum…
Jasad itu menyeringai saat akhirnya berhasil menemukan kami..


JEJAKMISTERI - Seorang wanita dengan kebaya Bali berwarna hitam dengan rambut panjangnya yang kusut menatap kami dari luar. Entah aku harus berkata dia wanita yang anggun ataukah mengerikan? Kedua hal itu kurasakan dalam dirinya.

“Rala, kamu Rala kan?” ucap Mita yang mulai mengenali sosok wanita di luar.

Wanita itu tidak menjawab, sebaliknya ia malah tersenyum dengan matanya yang terus menatap ke arah Mita.

“Rala? Jadi kamu yang melakukan ini semua? Kamu yang membunuh meme?” Mita mulai mencari jawaban dari sosok yang ia lihat itu.

“Khahahaha... hahahaaa” Seketika Rala tertawa tak terkendali sembari mengacak-acak rambutnya. Matanya melotot seperti kesetanan.

“Semua akan mati! Kusisakan Ayahmu untuk menyaksikan hingga akhir! Dia pantas mendapatkanya!” Teriak Rala meluapkan seluruh emosinya.

Mita yang sudah tidak tahan segera melesat keluar mencoba mendekati Rala, namun tiba-tiba listrik rumah Rala tempat kami berada saat ini kembali mati. Hujan deras turun seketika bersama petir yang menyambar.
Entah kemana perginya, tiba-tiba Rala sudah menghlilang dari pandangan kami.

Aku mencoba mencari keluar tapi tidak ada satupun petunjuk mengenai kepergian Rala.

“Sra, cek meteran listrik lagi gih..” ucapku sambil menyalakan senter dari telepon genggamku.
Asra pun mengerti dan segera bergegas pergi sementara Mita terlihat sangat shock.

“Udah Ta, tenang dulu.. jangan terlalu dipikirin,” aku mencoba menenangkan Rala dari rasa kalutnya.

“Dia bener Rala Ndra, kenapa dia sampai bisa melakukan ini semua?” ucap Mita sambil terisak.

Aku yang tidak mampu menjawab apapun hanya mampu mengelus punggung Mita sembari menemaninya.

“Bukan dari listrik rumah Ndra, saklarnya masih naik” ucap Asra.

“Ya sudah terus gimana? Kita mau nerobos hujan atau nunggu di sini?” tanyaku.

“Ka..kalau gua sih mending hujan-hujanan, ogah gua di sini. Udah gelap, ada mayat juga di dalam,” balas Asra.

Benar ucapan Asra, akupun mulai merasa sangat tidak nyaman di tempat ini.

Selain gelap dan hujan deras, keberadaan sosok mayat yang sudah membusuk benar-benar bukan kondisi yang tepat untuk menunggu hujan usai.

“Kita terobos hujan saja ya Mita?” ajakku.
Mita mengangguk dan berusaha berdiri dengan bantuanku.

Kamipun melangkah keluar menuju pintu tempat dimana Rala menampakkan dirinya tadi. Namun baru beberapa langkah saat akan meninggalkan rumah, tiba-tiba Mita menahanku dan Asra menghentikan langkahnya.

“Ndra..” Asra memanggilku dengan suara yang bergetar.

Aku menoleh ke arahnya dan wajahnya terlihat memucat. Genggaman tangan Mita pada bahuku juga semakin keras dan gemetar.

“I..Itu apaan Ndra?” tanya Asra sambil menunjuk ke arah luar.

Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Asra namun tidak ada apapun di sana selain tetesan air hujan yang membasahi tanah dengan derasnya.

“Apaan Sra? Nggak ada apa-apa?” ucapku.

“Liat yang bener Ndra, i..itu kenapa ada orang-orang tanpa kepala di sana?” teriak Mita.

“Orang tanpa kepala? Nggak ada apa-apa mit?”

“Mereka semua nenteng bangkai hewan Ndra, kepala monyet, kepala kambing.. mereka apaan?” tambah Asra.

Aku tidak mengerti apa yang mereka maksud. Halusinasi? Atau aku yang memang tidak peka.

Tapi yang aku tahu, ketakutan mereka itu nyata.
“Ndra! Tutup Ndra! Tutup pintunya! Mereka ke sini!” Teriak Mita.

Asra mendahuluiku untuk berlari dan kususul untuk membantunya menutup pintu. Asra menahan pintu itu dengan punggungnya sekuat tenaga dan Mitapun mulai membantunya.

Aku yang masih belum mengertipun ikut duduk bersandar pada pintu itu.

“Mita, Asra.. kalian yakin, kalian nggak lagi berhalusinasi…”

Prang!!!

Seketika kaca jendela rumah pecah dengan lemparan batu dari luar. Satu persatu semua kaca pecah tanpa terkecuali.

Mita berteriak sekuat tenaga ketakutan dengan kejadian itu sementara aku dan Asra memastikan posisi kami aman dari pecahan kaca yang berserakan.

Sayangnya itu hanya permulaan, tak lama setelahnya sebuah benda dilempar ke dalam dan memantul ke arahku.

Tanpa sengaja aku menangkap benda itu dan tersontak dengan apa yang ku genggam.

“Ke..kepala monyet??!” teriakku yang spontan melemparkan kembali benda itu.

Tak lama kemudian menyusul dari jendela yang pecah kepala kambing, kepala ayam, dan berbagai kepala hewan menghujani kami dan mewarnai lantai rumah dengan darahnya.

“Hh… hoekk… jadi yang kalian lihat tadi beneran?” tanyaku.

“Beneran lah Ndra! Sejelas itu!!” protes Asra.
Akupun masih penasaran dan sedikit mengintip dari kaca jendela yang pecah tadi, namun sama saja tidak ada apapun yang terlihat dari sana. Apa maksudnya ini?

“Ndra, jangan ngeliat keluar.. mereka masih di sana, ada suara aneh yang muncul dari mereka,” ucap Mita dengan ketakutan.

Suara? Bukanya mereka tidak memiliki kepala? Lalu suara apa yang terdengar oleh Mita?

Asrapun memutuskan untuk mengunci pintu dari dalam dengan kunci yang dimiliki Mita. kami hanya terduduk lemas menanti derasnya hujan yang mengguyur bangunan ini.

Setiap kami merasa keadaan sudah mulai tenang, tiba-tiba ada kepala hewan yang dilemparkan masuk ke dalam rumah.

“Mita, coba hubungi Paknikmu? Minta tolong jemput kita di sini” ucapku pada Mita.

“Sudah Ndra, daritadi gua coba telpon gua kirim pesan tapi nggak ada respon,” jawab Mita.

“Duh… kenapa bisa nggak di jawab, bukanya mereka standby di rumah Mita?” ucap Asra kesal.

Mendengan jawaban itu aku teringat ucapan Rala tadi.

“Jangan-jangan terjadi sesuatu juga pada Paknik?” ucapku.

Asra dan Mita menoleh perlahan ke arahku. Mereka mulai merasa sepaham denganku.

“Terus gimana? Kita mau terus di sini?” tanyaku lagi.

“Mereka masih di luar Ndra, mereka ngelilingin rumah ini..” ucap Mita yang masih ketakutan.

“Kita cuma bisa nunggu mereka pergi, atau pagi datang lebih dulu Ndra” tambah Asra.

Aku tidak bisa berpikir lagi. Saat ini pecahan kaca dan kepala hewan yang berserakan berada di ruangan ini membuatku ingin segera pergi.

“Apa kita pindah ke dalam?” tawarku pada mereka.

“Nggak Ndra, dari tadi tiba-tiba gua ngerasa perasaan nggak enak dari kamar itu. Kamar yang ada jasadnya Menik” ucap Mita.

Aku semakin kalut, soal hal ucapan Mita aku sepakat.

Sedari tadi memang aku merasakan perasaan mengerikan dari ruangan itu, namun aku pikir itu hal yang wajar karena memang ada jasad manusia di sana.

“Ta? Makhluk itu ngomong apan ta? Mantra ? lagu? Atau apa?” tanya Asra yang semakin gelisah.

“Nggak Tahu Sra, itu juga bukan bahasa Bali. Gua nggak berhenti merinding dengernya”

Aku berdiri dan menatap Mita dan Asra, mereka benar-benar ketakutan sementara aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan.

“Baca doa sebisa kalian, tenang saja. Malam ini pasti bisa kita lewati,” aku mencoba sedikit menenangkan mereka.

Aku bisa berkata seperti itu mungkin karena aku tidak merasakan apa yang mereka rasakan.

Tapi setidaknya dengan doa kami masing-masing, kami bisa menguatkan mental kami.
Detik demi detik kami lalui menunggu dengan semua keadaan mengerikan ini. Petir yang saling bersahutan terkadang memantulkan bayangan sosok makhluk yang berada di luar yang tidak dapat kulihat.

Kami menunggu sembari menahan rasa takut kami. Saat berfikir kami sudah melewati puncak kengerian ini, kami salah besar.

DiBalik suara derasnya hujan kami mendengar suara pintu kamar yang bergerak.

Sontak mata kami tertuju pada setiap pintu kamar, dan suara itu berasal dari kamar dimana jasad ibu Rala berada.

“Nggak, nggak mungkin..” ucapku sembari menggelengkan kepala.

“Itu siapa?” tanya Asra.

“Nggak ada orang lain selain kita di rumah ini,” tambah Mita.

Hal yang paling tidak ingin kubayangkan.
Terdengar langkah terseok-seok dari arah dalam kamar itu. Terdengar suara pintu terbanting ke tembok beberapa kali seperti seseorang yang kesulitan untuk berjalan.

Jasad Ibu Rala…

Itu jasad ibu Rala yang tengah membusuk merayap keluar dari kamar.

“Ndra! I..itu mayat.. bisa gerak??” Wajah Asra semakin pucat sementara Mita hanya menangis tidak karuan menyaksikan hal mengerikan itu.

Jasad itu mencoba untuk bangun, namun ia terjatuh kembali ke tanah hingga beberapa kali hingga akhirnya jasad itu menoleh ke arah kami.

Ia tersenyum...

Jasad itu tersenyum menyeringai saat berhasil menemukan kami.
Saat itu jantungku berdebar sangat cepat.

Entah apa maksud dari senyuman itu.
Tidak tahu apa yang harus kami lakukan, akhirnya aku hanya bisa membacakan doa sebisaku walaupun aku harus mengulangi beberapa kali untuk menyelesaikan sebait doa.

Tepat saat petir menyambar seketika sosok jasad itu hilang. Kami menoleh ke segala arah dan sama sekali tidak melihat sosok jasad itu lagi.

“Kemana jasad tadi sra?”

“Nggak tahu Ndra, gua nggak ngeliat”

Kami mengatur nafas sembari tetap waspada.

Sampai akhirnya sesuatu menetes ke lantai tempat kami berdiri. Spontan kamipun mencari asal tetesan air itu. Tapi...

Dari langit-langit rumah, jasad yang tadi menghilang sudah merayap di atas memandang kami sambil wajah tawanya yang mengerikan.

"Khheoeekk…kheeoek.."

Tawanya terdengar aneh dengan tenggorokanya yang mungkin telah rusak dimakan belatung.

Seketika wajahku pucat, kakikupun bergetar lemas melihat sosok mengerikan yang wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari kepalaku.

“Lari... lari Mita!” ucap Asra sementara aku menarik tangan Mita untuk meninggalkan tempat itu.

Tepat saat kami pergi, jasad itu terjatuh di lantai. Ia terus menatap kami sambil merayap memakani satu persatu kepala hewan yang berserakan di ruangan ini.

Aku mencoba menahan mual melihatnya.
Perlahan kami menjauh dari makhluk itu ke arah dalam rumah menghindari semua kengerian itu.

“Ndra!”panggil Asra berbisik.
Aku segera menoleh ke arahnya. Ia terlihat terpaku menatap ke dalam kamar.

“Liat itu ndra, Mita..” tunjuk Asra.

Kami menoleh ke dalam kamar. Saat itu juga bulu kuduk kami kemBali merinding. Posisi kamar itu masih sama persis seperti saat kami keluar tadi. Dan Jasad itu masih terbaring mengenaskan di kamar.

“Jadi Sra, makhluk yang menyerupai jasad itu apa?” tanya Mita yang semakin cemas.

Seolah menyadari tingkah laku kami. Tiba-tiba sosok yang menyerupai jasad itu menghampiri kami sambil merayap memuntahkan berbagai darah yang ia hisap dari kepala-kepala hewan itu.

“Lari! Kita harus lari! Kita terobos aja makhluk di luar!” ajakku yang merasa panik saat mengetahui makhluk itu mendekat.

“Makhluk di luar banyak Ndra!! Gimana cara kita kabur?” balas Asra panik.

Akupun menarik mereka ke dapur mencoba memeriksa pintu belakang.

Namun ekspresi Asra dan Mita mengatakan bahwa kondisi di luar jauh lebih berbahaya.

Belum sempat memikirkan cara lain, tiba-tiba sosok itu sudah merayap semakin cepat menghampiri kami di dapur.

“Ndra.. kita terpojok ndra” ucap Asra.

Di hadapanku hanya terlihat satu makhluk menyeramkan, namun mengapa saat itu aku merasa ada makhluk lain yang mengikuti makhluk itu seolah menatapku dari seluruh penjuru ruangan ini.

Dongggg….
Samar-samar terdengar suara gong di telinga kami.

Anehnya, jauh atau dekat kami tidak bisa membedakan.

“Mita, lu denger suara gong?”

Mita mengangguk.

Dongggg….

Suara itu terdengar lagi bersamaan teriakan makhluk yang menyerupai jasad Ibu Rala. Sepertinya suara gong itu membuat makhluk itu tidak nyaman.

Ia berteriak gila setiap mendengar gong itu. Mita dan Asrapun mengatakan sosok diluar terlihat bingung dan perlahan menghilang.

“Ini suara gong dari mana?” ucapku kagum.

“Mungkin.. ada Balian yang berusaha nolongin kita,” ucap Mita menebak.

Benar saja, setiap gong itu terdengar membuat makhluk itu perlahan menghilang dari hadapan kami. Dan terdengar langkah mendekat ke arah rumah ini dari luar.

Saat itu juga kami berlarian menuju ke luar dan membuka pintu untuk beberapa saudara Mita bersama Balian dan Pecalang yang sepertinya membantu mereka.

“Mita, kamu nggak papa?” tanya seseorang yang sepertinya masih saudara Mita.

Mita mengangguk sembari berusaha menghapus sisa air matanya.

“Maaf Bli, ada jasad di kamar itu,” ucapku berusaha memberitahu mereka.

Merekapun mengecek kamar itu dan tercengang melihat kondisi kamar yang benar-benar mengerikan itu.

Jasad itu masih ada terbaring seperti sebelumnya..

“Bagaimana kalian bisa masuk ke rumah ini?” tanya salah seorang pecalang.

“Ini rumah Rala, ibunya sempat menitipkan kunci rumah ini pada Mita teman kecil Rala.

Kami ke sini karena Mita khawatir dengan Rala dan sama sekali tidak menyangka bahwa akan menemukan hal seperti ini..” Jelas Asra menggantikan Mita untuk bercerita.

Sepertinya penjelasan Singkat Asra sudah cukup untuk mereka.

“Paknik? Bagaimana keadaan Paknik? Tadi Mita telpon tidak ada jawaban,” tanya Mita khawatir.

“Tadi di rumahmu juga ada kejadian, Paknikmu terkena serangan namun ia selamat. Sekarang ia masih menenangkan diri,” ucap pecalang itu.

Wajah lega terpampang di wajah kami. Saat itu juga kami memutuskan untuk menerobos hujan yang mulai mereda untuk kemBali memeriksa keadaan Paknik.

Selama perjalanan Akupun menceritakan keberadaan jasad di kamar itu pada mereka dan tentang hal yang hanya dapat dilihat oleh Asra dan Mita tadi.

Mereka terlihat tidak heran, mungkin saja kejadian yang dialami Paknik tidak jauh berbeda dengan yang kami alami.

***

“Benar Paknik, terjadi sesuatu pada mereka” ucap seorang Balian yang menolong kami tadi.

“Syukurlah kalian selamat,” ucap Paknik yang terlihat khawatir dengan keadaan kami walau sebenarnya wajah Paknik masih terlihat pucat saat ini.

“Paknik, Banyak yang ingin Mita ceritakan,” ucap Mita Cemas.

“Kalian tenangkan diri dulu, di sini aman.. ada Bli Sande, Beliau Balian yang membantu ayahmu,” ucap Paknik.

Mita yang mendengar berita itu segera menghampiri Bli Sande dan menanyakan kabar ayahnya.

Namun ia tidak bisa berharap banyak, ayahnya masih belum sadar, dan saat ini ada temanya yang menjaga di rumah sakit.

“Bli,Paknik ini semua ulah Rala Bli..” ucap Mita.

Paknik terlihat cukup kaget dengan ucapan Mita, tapi mengingat kejadian yang kami alami tadi expresi Paknikpun tidak heran.

“Rala? Kami sempat ingin curiga, tapi dari hati yang terdalam kami berharap ini bukanlah perbuatanya,” ucap Paknik.

Kamipun menceritakan mengenai kejadian yang kami alami di rumah Rala tadi.

Mengenai keberadaan jasad ibu Rala yang sudah membusuk di sana, hingga kejadian aneh saat ada makhluk tanpa kepala di luar yang mengepung kami.

“Jadi Cetik Badung yang digunakan, ia dapatkan dari tetesan air mayat ibunya..” ucap Bli Sande dengan wajah kasihan.

Memang benar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Rala saat mengetahui kematian ibunya.

Terlebih ibunya mati dengan tidak wajar. Membayangkan ia mengurung diri berhari-hari di kamar bersama jasad ibunya itu benar benar membuat hatiku seperti merasa teriris.

“Maafkan bila saya lancang, tapi Rala melakukan itu semua karena ingin membalas dendam pada seluruh keluarga Mita. Apa kematian ibu Rala ada hubunganya dengan orang tua Mita dan kerabatnya?” Tanya Asra.

Paknik sedikit memalingkan wajahnya seolah belum yakin untuk bercerita.

Namun kejadian hari ini benar-benar memaksa siapapun di tempat ini untuk tidak menyimpan rahasia.

“Yang saya tahu, keluarga kami tidak ada yang beniat jahat terhadap Rala atau ibunya. Tapi memang dulu kami sedikit berhati-hati dengan mereka.
Terutama saat mengetahui bahwa ibu Rala adalah seorang Melik” jelas Paknik.

“Melik?” tanyaku bingung.

“Di Bali, melik adalah sebutan untuk beberapa orang yang terlahir istimewa dan ada tingkatanya. Kadang berdampak buruk dan kadang justru berguna untuk orang di sekitarnya..
mungkin mirip seperti Indigo,” jelas Mita.

Aku mengangguk mendengar penjelasan Mita.

“Dari tulisan-tulisan Rala, Ibunya mati dengan serangan ilmu hitam. Apa itu benar Bli?” tanyaku penasaran.

Bli Sande hanya menghela nafas mendengar pertanyaanku.

“Walaupun saya seorang Balian, tapi saya juga manusia biasa. Saya harus memeriksa kondisinya dulu bersama pihak medis untuk memastikan.” Jawabnya.

Memang masuk akal, anggapan orang umum mengenai seseorang yang memiliki kemampuan kadang menuntut mereka untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak bisa dia lakukan. Tapi aku merasa ada maksud lain dari jawaban Bli Sande.

“Sekarang, lebih baik kalian istirahat. Besok kita harus menguburkan jasad ibu Mita dan yang lainya. Dan satu lagi, cetik itu hanya bisa menyerang seseorang yang kondisinya sedang lemah. Jadi sebisa mungkin jaga kondisi kalian baik-baik,” peringat Bli Sande.

Aku setuju, saat ini tubuhku terlalu lelah dan mataku terlalu berat. Malam yang hanya tersisa sedikit ini harus bisa kami manfaatkan untuk melepas seluruh rasa lelah kami.

Mita memutuskan untuk tidur di rumahnya ditemani saudara perempuan yang lain. Aku dan Asra kembali ke rumah Paknik untuk secepat mungkin meletakkan kepalaku dan melewati malam ini.

***

Cukup banyak ritual yang dilakukan oleh Mita dan saudara-saudaranya sebelum akhirnya menguburkan jenazah ibunya.
Aku dan Asra hanya memantau dari jauh sembari sesekali membantu apa yang kami bisa. Setelah melihat hal ini aku sanksi apakah Mita akan kembali bersama kami ke kampus.

“Kalau gua Jadi Mita, mungkin gua nggak bakal ikut Balik ke Jakarta Sra,” ucapku.

“Iya Ndra, gua juga ngerti kalau dia sampai mutusin kaya gitu. Apalagi kondisi bokapnya masih belum stabil,” balas Asra.

Melihat prosesi ini aku membayangkan bagaimana seandainya ayah Mita bisa kembali pulih dan ia mengetahui istrinya telah meninggal dan ayah Mita tidak mampu mengantarnya sampai peristirahatan terakhirnya.

Entah sesakit apa perasaanya saat itu...

Lewat tengah hari barulah Mita sudah selesai dengan acara pemakaman. Ia terlihat anggun dengan baju adat Bali yang ia kenakan. Namun kebaya hitam yang ia kenakan masih menggambarkan kesedihan dalam dirinya.

Saat aku terpaku dengan Mita, wajah Asra terlihat aneh dengan memandang sesuatu di belakang Mita.

“Sra, lu kenapa?” tanyaku bingung.

“Iya kenapa Sra?” tambah Mita.

Asra tetap terpaku ke arah itu, ia seolah ingin berlari ke sana.

“Aneh, masa nggak ada yang ngeliat orang itu..” ucap Asra.

Aku dan Mitapun menoleh ke arah ia menatap. Ada sekumpulan kerabat Mita, namun aku yakin yang dimaksud Asra bukan itu. Tapi rupanya responku berbeda dengan Mita.

Mita terlihat menelan ludah dan wajahnya terlihat cemas.

“Sra, orang itu nenteng kepala kambing?” tanya Mita.

Sontak aku menoleh ke arah Mita. Sekali lagi aku tidak bisa menyadari keberadaan seseorang yang dilihat oleh mereka berdua.

“Iya Ta, dan nggak ada orang yang curiga. Padahal jelas itu bukan pemandangan yang wajar.” Balas Asra.

Sepertinya kali ini mereka lebih berani dengan adanya orang lain di sekitar kita dan memutuskan untuk menghampiri orang itu.

Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba kami terhenti dengan sosok seseorang yang menghadang kami.

“Bli Sande?” tanyaku.

“Aku tahu apa yang kalian lihat, jangan dekati makhluk-makhluk itu,” ucapnya.

“Ta..tapi Bli, mereka itu siapa? Bahkan di rumah Rala mereka tidak memiliki kepala?” tanya Asra.

“Saya masih belum tahu dengan pasti, kemungkinan mereka adalah perwujudan ilmu hitam dari orang yang berniat jahat terhadap keluarga Mita,” jelasnya.

Perwujudan ilmu hitam? Bisa berwujud seperti manusia? Gila.. aku tidak mengerti tentang situasi ini.
Bli Sande mengaku belum bisa melakukan apa-apa terhadap makhluk itu. Yang ia bisa saat ini hanya menjaga keluarga Mita yang tersisa dari serangan orang-orang yang mengincarnya.

“Bli, bukanya Rala membunuh menggunakan Cetik badung. Apa ada orang lain yang berniat jahat terhadap kami?” tanya Mita.

“Pikirkan saja, apa mungkin anak polos seperti Rala bisa mengetahui dan mengirimkan Cetik badung untuk keluargamu begitu saja?” jelas Bli Sande.

Masuk akal, saat itu juga aku berpikir bahwa ada sosok yang membantu Rala untuk mengirimkan ilmu-ilmu itu terhadap keluarga Mita.

“Sebenarnya, Cetik Badung itu apa? Apa segitu mematikanya?” tanya Asra yang masih bingung.

“Yang gua tangkep sih itu semacem ilmu santet Sra, bener ga Ta?”

Mita mengangguk dan mencoba membantu menjelaskan.

“Cetik itu mirip santet, namun wujudnya racun yang tidak berasa, berwarna, dan berbau. Untuk cetik badung sendiri berasal dari tetesan air mayat.
Ada mantra dan ritual yang harus dilakukan agar tetesan air itu bisa mematikan dan tidak terdeteksi oleh korbanya,” jelas Mita.

“Kabar buruknya, Kamu dan semua kerabatmu sudah meminum racun itu, saat ini kita hanya kuat-kuatan antara ilmu Rala dan sosok yang membantunya yang menang, atau kita yang menang” ucap Bli Sande.
Aku menelan ludah mendengar ucapan Bli Sande.

“Tapi kapan aku terkena Cetik itu Bli? Bukankah saya baru datang dari Jakarta?” Tanya Mita bingung.

“Banyak cara untuk mengirimkan cetik itu, salah satunya melalui sosok ghaib. Tapi saya tidak bisa memastikan,” Jawab Bli Sande.

Mendadak aku teringat sosok makhluk menyerupai Mita yang terlihat di luar kos dan menghampiriku dengan wajah yang pucat.

“Sebelum lu sakit di kos kemarin, gua sempet ngeliat sosok mirip elu di luar. Habis itu sosok itu mengetuk kamar gua ta.. wajahnya mirip elu dan pucet. Waktu itu gua kira itu mimpi” aku mencoba menceritakan apa yang aku lihat sebelumnya.

“Bisa jadi itu salah satu kirimanya, sosok itu menyerupai Mita agar mudah mencarinya,” balas Bli Sande.
Tak banyak lagi perbincangan di antara kami setelah itu. Bli Sandepun setelahnya mengajak kami menjenguk Ayah Mita.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di sana, hanya pemandangan Mita yang mendoakan ayahnya dan mencurahkan perasaanya saat ini pada ayahnya yang hanya membalasnya dengan diam.

Sebuah pemandangan yang sangat pilu. Namun Mita cukup tegar, aku merasakan ia masih ingin berusaha menyelamatkan ayahnya dan mencari tahu tentang mengapa Rala ingin menghabisi keluarganya.

Kamipun kembali ke rumah Mita dihantarkan oleh pemandangan langit yang mulai memerah. Tidak banyak perbincangan sepanjang perjalanan kami. beberapa kali aku membuka pembicaraan, Mita hanya membalas dengan seadanya. Mungkin ia juga terlalu lelah.

Tapi keheningan itu terhenti saat sampai di salah satu ujung jalan, kami terhenti dengan sosok seseorang yang berdiri di ujung jalan itu.
Aku belum sempat melihat sosoknya dengan jelas, tapi rasa merinding sudah menyelimutiku saat ini.

Saat kami semakin mendekat, sontak tubuh kami bertiga kaku saat melihat sosok itu…
Perempuan dengan kebaya hitam berdiri tepat dihadapan kami. Dari bajunya dan bentuk tubuhnya aku menduga itu adalah Rala.

Tapi yang membuat kami bertiga bergidik merinding adalah saat mengetahui, itu adalah sosok tubuh Rala yang menggenggam kepala seekor kerbau.
Dan sialnya, tidak ada kepala yang menyambung di leher Rala..

Kebaya hitamnya sudah bercampur dengan darah dari lehernya. Pemandangan itu terlihat begitu mengerikan bersama langit merah yang seolah membakar dendam Rala.
Ditengah kepanikan kami, tiba-tiba sosok itu menghilang tanpa jejak.

Kami mencari keberadaan sosok itu, namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Saat itu juga kami mempercepat langkah kami menuju rumah Mita. Dan betapa terkejutnya kami saat mengetahui rumah Mita masih ramai dengan orang.

“Paknik? Ini ada apa? Kenapa semakin ramai?” tanya Mita.

Mata Paknik terlihat berkaca-kaca. Entah sepertinya permasalahan yang rumit baru saja terjadi.

“Kamu tenangin diri kamu dulu ya Mita, setelah itu kamu bisa melihat ke dalam isi kardus itu,” ucap Paknik.

Aku menoleh ke arah sebuah kardus yang dikerubuti oleh beberapa warga. Kira-kira apa isinya sampai bisa membuat Paknik gelisah dan warga berkumpul di tempat ini?
Rasa penasaran membuat kami bertiga memilih untuk segera mengecek isi kardus itu.

Tepat saat melihat isinya, seketika rasanya jantungku ingin segera berhenti.

Mita menutup mulutnya dan menangis dengan air mata yang tak lagi dapat ia tahan.

Kepala Rala…

Kardus itu hanya berisi sebuah kepala seorang perempuan yang semalam kami lihat.

Sebuah kepala yang terlihat dengan jelas bahwa matinya tidak tenang dengan mata yang masih terbelalak.

“Ndra, gua nggak kuat lagi Ndra,” tangis Mita yang meminjam bahuku untuk menumpahkan air matanya.

Sayangnya pemandangan itu bukanlah yang paling mengerikan. Ada sebuah surat yang datang bersama dengan kepala itu.

Sebuah pesan…

Membacanya sekilas membuatku penasaran, apakah yang dilakukan keluarga Mita hingga Rala melakukan ini semua?

"Bila tetesan air jasad meme tidak cukup untuk membunuh kalian semua, maka tetesan air dari jasadku yang telah membusuk dan rohkulah yang akan membunuh kalian semua…"

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close