Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cetik Badung - Wasiat Dendam Sang Putri (Part 3 END)

JEJAKMISTERI - Sebuah kepala…
Matanya terbelalak dengan penuh dendam bersama darah yang masih terus menetes dari belahan lehernya. Tidak ada satupun dari kami yang tidak gemetar melihat hal ini.
Entah sehancur apa perasaan Mita saat melihatnya.


Ia harus menerima kebencian sahabat kecilnya dengan separah itu. Sontak aku dan Asra menggenggam erat tangan Mita. Kami merasa saat ini hanya kamilah yang mampu menguatkan Mita.
“Ta, gua janji.. gua bakal nemenin lu sampai semua masalah ini selesai,” ucapku.

“Iya Ta.. nggak bakal gua biarin lu ngehadapin ini semua sendiri,” Tambah Asra.
Mita hanya mengangguk sambil terus menghapus air matanya mencoba menahan isak tangisnya.
Saat ini aku yakin kami memikirkan hal yang sama.

Setelah kematian Rala, pastilah ada seseorang yang bertugas mengirimkan cetik menggunakan cairan mayat dari tubuh Rala untuk menghabisi Mita dan seluruh keluarganya yang masih tersisa.

“Sra, Kita harus nyari orang itu, orang yang menggunakan mayat Rala untuk menyerang Mita dan keluaranya,” ucapku.
Asra mengangguk setuju. Kamipun menemani Mita hingga ia tenang. Paknik dan yang lainpun sangat shock hingga tidak tahu harus berbuat apa.

Tak berapa lama polisipun datang ke tempat ini dan meminta keterangan atas kejadian ini.
Pemeriksaan berlangsung cukup lama, walaupun dalam keadaan shock. Mita tetap berusaha koordinatif untuk memberikan keterangan tentang kronologi kejadian yang ia tahu selama ini.

Polisi berjanji akan menyelidikinya, namun kami tahu mereka tidak dapat berbuat banyak dengan hal yang berbau dengan sihir.

“Sra, gua mau ke rumah Rala lagi..” ucapku setelah memastikan Mita sudah beristirahat di kamarnya.

“Lu gila Ndra? Nggak kapok sama kejadian semalem?”

“Bukan begitu Sra, sepertinya satu-satunya tempat dimana kita bisa mendapatkan petunjuk cuma di rumah itu.”
Kami tidak begitu mengerti tentang tempat ini, pulau ini, ataupun orang-orang di tempat ini, bahkan tentang keluarga Mitapun aku juga tidak dapat seenaknya mencari tahu.

Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah mencari petunjuk di rumah mengerikan itu.
Asra menatapku cukup lama, sepertinya ia cukup ragu. Namun aku yakin, rasa khawatirnya terhadap Mita juga sudah memuncak.

“Ya udah, kapan?” balasnya.

“Habis ini, kita siapin senter dan bawa benda yang kira-kira perlu,” ucapku.
Asra mengerti dan segera mengeluarkan beberapa benda dari tasnya. Kali ini kami harus datang ke sana dengan persiapan.

***

Garis polisi sudah membentang di gerbang rumah Rala. Sepertinya pemeriksaan telah dilakukan dan jasad ibu Rala sudah dievakuasi dari tempat ini.

“Gimana masih mau lanjut?” Tanya Asra.

“Iya Sra.. pasti masih ada sesuatu di rumah ini yang bisa menjadi petunjuk mengenai kebencian Rala,” jawabku.
Kamipun melanggar peringatan dilarang melintas itu dan memasuki rumah yang saat ini pintunya sudah tidak terkunci lagi.

Sisa sisa darah dari kepala-kepala hewan masih memenuhi lantai rumah. Bau anyir tetap tidak hilang walaupun bangkai kepala itu sudah dibersihkan dari tempat ini.

“Sudah tidak ada, jasad itu benar sudah di evakuasi,” jelas Asra yang memastikan ke arah kamar.

“Cari petunjuk apapun Sra, buku, tulisan, foto, atau apapun,” perintahku.
Kamipun berpencar, Asra memasuki kamar yang sebelumnya terdapat jenazah ibu Rala dan meruntut setiap tulisan yang tertulis di dinding kamar itu.

Aku membuka beberapa lemari di sekitar rumah untuk menemukan petunjuk. Ada beberapa buku dan foto-foto, namun aku tidak menemukan keanehan di dalamnya.
cukup lama kami mencari petunjuk, aku berusaha tidak melewatkan sedikitpun informasi yang bisa kudapatkan di tempat ini.

“Ndra, ke sini sebentar..” panggil Asra tiba-tiba.
Aku menghampiri Asra ke dalam kamar. Ia mengarahkan senternya pada sebuah goresan tulisan yang dibuat oleh Rala.

Hidup dalam hina, atau mati dengan dendam yang terpuaskan.

-- Meme kau sayangi, tubuh meme kau nikmati, meme kau hamili, meme dan aku kau biarkan menderita, dan meme kau bunuh dengan keji… --

Asra memindahkan lagi cahaya senternya dan menunjuk ke tulisan yang terletak di sisi lain di dinding kamar itu.

-- Tidak cukup kau buat meme menderita, bahkan tubuhkupun tidak luput dari nafsu biadabmu..
Aku tidak akan pernah lupa setiap helai bajuku yang kau tanggalkan dengan paksa bersamaan pukulan yang kau berikan untuk memaksaku diam..

Aku tidak akan pernah lupa rasa sakit di seluruh tubuhku dari setiap cengkraman tangan kotormu dan benda menjijikkan yang kau masukan ke kemaluanku..
Benda menjijikkan yang juga menjadi penyebab kelahiranku...

Aku tidak akan lupa ketika kau datang kembali, bersama orang-orang yang sama biadabnya sepertimu dan melakukan kembali perbuatan yang kau lakukan kepadaku.. darah dagingmu sendiri... --

Tulisan di dinding itu tertulis berantakan berhiaskan darah yang kurasa berasal dari benturan tangan seseorang yang menulisnya.
Tanganku gemetar, nafasku seperti tertahan merasakan getirnya takdir yang dialami oleh Rala.

Asrapun mengusap matanya yang berkaca-kaca membaca tulisan ini. Sekarang kami tidak heran mengapa Rala bisa sedendam itu.

Tapi.. apa hubungan ayah Rala dengan keluarga Mita?

Aku dan Asra kembali menelusuri dinding kamar mencari tulisan lain yang mungkin bisa petunjuk kepada kami.
Sebuah nama... kami berharap menemukan sebuah nama tertulis di dinding ini. Pemikiranku, bila dendamku sebegitu besarnya pasti aku akan menulis dengan jelas nama dari seseorang yang kubenci sebesar mungkin.

“Ada petunjuk lagi?” tanyaku pada Asra.
Asra menggeleng, tapi kami masih tidak ingin menyerah.

Beberapa kali kami menggeser perabotan, meneliti setiap sudut hingga akhirnya mata kami tertuju pada sebuah tembok yang sangat kotor seperti tertutup seperti bekas terbakar.

“Ndra, mungkin ga kalau ada orang yang sudah datang lebih dulu sebelum kita dan menutupi sesuatu di tempat ini?” Asra bertanya curiga.

“Lu ngeliat ada kemungkinan itu?”

Asra tidak menjawab, ia malah memperjelas tembok yang berwarna seolah bekas terbakar sesuatu dengan senternya.

“Bentuk tembok rusak dan warnanya yang sudah tidak layak membuat seolah bekas hitam ini terlihat wajar, bisa jadi ini bekas baru,” jelas Asra.

“Tapi apa polisi yang meriksa nggak sadar Sra?” tanyaku.
Asra mengambil sehelai baju yang berserakan dan mencoba mengelap dinding itu.

“Yang meninggal kan orang biasa Ndra, seniat apa sih mereka mengurus kasus-kasus orang kecil seperti Rala dan ibunya?” Ucap Asra sembari membersihkan sisa gosong di dinding itu.
Perlahan bekas hitam itu menghilang walau tidak sepenuhnya.

Melihat Asra sangat yakin dengan hipotesanya, akupun membantunya membersihkan dari bagian yang lain secara perlahan.
Dan benar saja, tidak begitu jelas.. namun perlahan terlihat sisa goresan tipis yang menuliskan beberapa kata.
Sebuah umpatan yang diakhiri sebuah nama..

“Sra, namanya nggak asing..” ucapku.
“Iya.. kalau ini benar, masuk akal sudah..” balas Asra.
Kata-kata itu terukir dengan benda tajam seperti pisau, bahkan bekas terbakar yang tebal tidak mampu menghilangkan ukiran itu. Nama belakang orang itu sama dengan nama belakang Mita.

“Pantas saja Rala begitu dendam dengan Ayah Mita hingga menginginkanya mati paling akhir dengan seluruh siksaan yang ia berikan,” ucapku.

“Iya, kita jelaskan ke Mita pelan-pelan. Jangan sampai dia tahu dengan kondisi yang membuatnya semakin shock,” jelas Asra.

Kami mengambil beberapa foto yang tertulis di dinding dan menutupnya dengan perabotan berjaga-jaga ada yang mengetahuinya sebelum kami memberi tahu Mita.
Setelah cukup mencari, aku dan Asra meninggalkan rumah itu dan kembali. Awalnya kami ingin beristirahat di rumah Paknik.

Namun sesampainya di depan rumah tiba-tiba Asra menahanku untuk masuk.

“Kalau kita tidur di rumah Mita gimana? Di kursi teras aja..” ajak Asra.

“Boleh aja..” balasku.
Aku menangkap maksud Asra, mungkin setelah mengetahui hal tadi..

Asra ingin kita saling berdekatan agar bisa menjaga Mita. Namun ternyata ia memiliki maksud lain.

“Menurutmu siapa yang mencoba menyembunyikan nama pelaku itu Ndra? Tidak mungkin ayah Rala yang tengah sekarat kan?

Rala berada di tempat itu bersama jasad ibunya sebelum menggunakan ilmu Cetik itu..” jelas Asra.

“Gua gak ada petunjuk Sra, emangnya lu tahu sesuatu?”

“Nggak, tapi yang melakukan itu mungkin orang yang terlibat, atau setidaknya ia ingin menjaga nama baik pelaku.. yang artinya pelakunya…”

“Bagian dari keluarga Rala?” sahutku.

Asra mengangguk dan akupun menangkap maksudnya.

Ia merasa Paknik juga salah satu orang yang mungkin menyembunyikan hal ini.
Malam itu kami habiskan beristirahat di kursi teras rumah Mita berbekal jaket tebal dan celana panjang untuk menghindarkan kami dari hawa dingin dan gigitan nyamuk.

***

Gelapnya malam itu berhasil membuatku tertidur dengan cepat. Dinginya udara malam di tempat ini tidak sedingin di jakarta sehingga aku masih bisa tertidur dengan tenang.
Sama seperti Asra, sepertinya rasa lelah kami membuat kami cepat pulas.

Entah berapa lama kami tertidur, beberapa kali aku terbangun untuk merubah posisi tidurku. Tapi, di pertiga malam tiba-tiba mataku terpaku pada bulatan rembulan yang terpampang jelas di hadapanku saat ini.

Ada yang aneh, entah saat itu aku masih belum tersadar sepenuhnya atau memang yang kulihat itu nyata. Bulan yang terlihat di hadapanku bergoyang perlahan. Wujudnya seperti melayang-layang seolah memantau rumah ini.

Bukan... itu bukan bulan! Aku memperhatikanya sekali lagi dan berdiri mendekat.

“Sra, bangun sra..” aku berusaha membangunkan Asra untuk memastikan apa yang kulihat.

Bukan tanpa alasan, tapi perlahan sosok yang kukira adalah bulan purnama itu ternyata berbentuk seperti bola api yang melayang-layang.

“Kenapa Ndra?”
“Ini mata gua yang salah atau memang di langit itu bola api Sra?” tanyaku

Asra yang belum tersadar sepenuhnya mendadak terkaget melihat apa yang ada di hadapan kami.
Bola api berwarna oranye melayang layang di atas rumah Mita..

Aku yang orang biasapun menyadari betapa berbahayanya benda itu. Bukan seperti santet yang dikirim seperti di cerita di jawa, bola api ini seolah memiliki kesadaran. Seolah itu adalah perwujudan dari seseorang yang berilmu.

Sontak bulu kuduku berdiri, rasa takut menjalar diantara kami berdua.

“Bapak!! Bapak!!”

Dari dalam rumah terdengar suara Mita, suaranya tidak seperti orang yang berteriak melainkan seperti sedang mengigau.

Kami berpikir ingin masuk ke rumah memastikan keadaan Mita namun sosok di hadapan kami benar-benar tidak bisa diacuhkan begitu saja.

“Kita harus gimana ini Ndra?” tanya Asra Panik

“Entah Sra, itu perwujudan ilmu hitam.. kita nggak bisa apa-apa selain mencari pertolongan,” balasku.

Asra setuju denganku, namun pertolongan dari siapa yang bisa melindungi kami dari serangan makhluk itu. Dan apakah kami sempat menemukanya?

Di tengah kebingungan kami tiba-tiba muncul sosok seseorang yang memasuki pelataran rumah Mita dan berdiri menghadap ke bola api itu. Terlihat pemandangan yang tidak mudah kami percaya setelahnya.

Bola api itu terus mencoba menerjang ke arah rumah Mita seolah sudah mengincar beberapa orang di tempat ini, namun hebatnya orang yang baru datang itu terus menghadang serangan bola api itu dengan mantra dan dentingan benda yang ia bawa di tanganya.

Seorang pria dengan baju adat Bali mirip dengan Bli Sande Balian yang membantu ayah Mita sebelumnya.

Suara keras yang menggelegar membangunkan Mita dan beberapa saudarinya yang berada di rumah. Mereka bergegas mencari asal suara itu dan menghampiri kami.

"Indra, Asra? Lu disini?” Tanya Mita.

“Iya mit, kami ada perasaan nggak enak jadi kami pikir lebih baik kami istirahat di sini sembari ngejagain elu.. dan bener ternyata..” balasku.

“Itu apa? Dan orang itu siapa?” Mita bertanya lagi dengan wajah yang masih bingung.

“Nggak tahu mit, bola api itu dari tadi mengincar sesuatu di dalam rumah, beruntung pas hendak menyerang orang itu datang dan menghalangi,” jelas Asra.

Mita dan beberapa saudaranya memperhatikan dengan jelas wujud seseorang yang menjaga sosok bola api yang melayang di hadapanya agar tidak menyerang siapapun di rumah ini.

Suara menggelegar terdengar hingga ke beberapa sisi desa, wajar bila banyak warga yang mendengar suara ini. Merasa tidak mampu menembus pertahanan orang itu, bola api itupun pergi meninggalkan rumah Mita setelah berputar-putar dengan cepat mengelilingin sisi rumah seolah kesal dengan kegagalanya.

Merespon kepergian bola api itu, seseorang yang menghadapinya ikut pergi mengejar ke arah bola api itu terbang.

Beberapa saudara Mita mencoba mengejar orang itu, namun terhenti saat keberadaan kedua sosok itu tak lagi terlihat. Tubuh Mita terlihat gemetar mengetahui kejadian barusan.

“Tenang Mita, nggak usah panik,” ucapku mencoba menenangkan.

“Nggak mungkin nggak panik Ndra, semua orang Bali tahu kalau wujud bola api itu ilmu tingkat tinggi. Ini artinya Balian yang membantu Rala juga menguasai ilmu pengleakan,” jelas Mita.

Pengleakan? Apa yang Mita maksud adalah ilmu yang terkenal di Bali di mana manusia yang memiliki ilmu itu bisa berubah berbagai wujud untuk mendapatkan korban untuk ilmunya?

“Yang bener lu mit?” tanya Asra.

Mita tidak menjawab, dirinya masih berusaha menenangkan tubuhnya yang tak berhenti gemetar melihat kejadian tadi.

“Ya udah lu istirahat lagi mit, masih ada beberapa jam sebelum pagi.. biar kami jaga di sini,” ucapku.

“Kalian istirahat di dalam juga nggak papa, ada tempat kok..” ucap Mita.

“Kalau kami ke dalam berarti tujuan kami ngejagain lu ga ada gunanya mit,” balas Asra.
Mitapun menatap kami memastikan niat kami dan akhirnya masuk ke dalam rumah untuk istirahat.

***

Malam telah melewati batas tengahnya, teror dari bola api yang mencoba menyerang Mitapun tidak lagi kembali. Aku dan Asra memutuskan tidur bergantian untuk menghindari hal serupa.

Kami sudah menyimpan nomor Bli Sande dan Paknik dari Mita apabila terjadi teror-teror lain seperti yang terjadi barusan.

Asra tertidur dengan pulas sementara aku berjaga sembari memainkan telepon genggamku. Ada beberapa pesan dari teman-teman kos yang menanyakan kapan kami kembali?

“Ndra, kapan balik? Repot nih ga ada yang bisa dititipin beli lauk..”

“Ndra, di Bali sampai kapan? Butuh Joki nih buat tugas kelompok gua..”

“Kalau sudah pulang kabarin ya? Nggak papa deh gua puasa kuota sampe lu balik,”

Aku sedikit tersenyum saat mengetahui cukup banyak yang mencariku di Jakarta walaupun atas asas membutuhkan. Sayangnya, setelah kejadian barusan aku merasa mungkin kami bisa lebih lama di pulau ini.

Mau bagaimana lagi, saat berangkat ke tanah ini kami sama sekali tidak menyangka bahwa sesuatu yang kami hadapi ternyata semengerikan ini. Terlalu banyak hal yang terjadi diluar nalar kami. Akupun hanya bisa melamun membaca setiap pesan yang beberapa hari ini sempat kulewatkan.

Di tengah lamunanku, perlahan aku mendengar suara langkah dari dalam rumah. Awalnya aku tidak menghiraukanya, namun perlahan pintu yang berada di dekat kami terbuka.

Itu Mita, apa dia tidak bisa tidur?

Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi ternyata bukan itu. Ada yang berbeda dari Mita.

Ia tidak menoleh ke arahku sama sekali. Ia menatap gelapnya langit malam dengan raut wajah yang aneh.

“Ta? Nggak bisa tidur?” tanyaku memastikan.

Mita tidak menjawab. Sebaliknya, tanpa memandangku sedikitpun ia berjalan meninggalkan rumah dengan terburu-buru dengan hanya memandang ke satu arah.

Tidak, ini tidak wajar...

“Ta! Mita!!” teriakku sambil menarik tangan Mita mencoba menghentikanya.

Kali ini Mita menoleh perlahan ke arahku, ia menyeringai dengan mengerikan dengan tatapan mata mengancam ke arahku.
Seketika rasa merinding muncul seolah ada berbagai makhluk yang memandangku dari segala sisi.

Dan hanya dengan sekali hentakan tanganya, aku terjatuh tak mampu menahan Mita. Yang aku tahu, Mita tidak punya tenaga sebesar ini.

“Asra! Bangun Sra! Panggil Bli Sande!” teriakku membangunkan Asra.

Asra yang segera membuka mata mencoba menyusulku, namun ia terhenti dengan wajah yang pucat.

“Ndra! Mita kenapa? Terus mereka kenapa bisa ada di sini?”

“Mereka?..”
Aku tidak mengerti maksud Asra, hanya ada kami bertiga di tempat ini. Tapi wajah pucat Asra menandakan ada hal lain di tempat ini.
Aku yang tak mampu menahan Mitapun menoleh ke segala arah. Tidak ada siapapun di sekitarku, namun memang aku merasakan ada sosok-sosok yang memperhatikanku dari kegelapan malam. Apa mungkin mereka kejadian ini sama seperti saat di rumah Rala?
Tapi mengapa hanya aku yang tidak bisa melihat sosok mereka?

Tidak ada waktu untuk menebak-nebak, kami harus meminta pertolongan seseorang.
“Sra, gua ngejar Mita elu panggil Bli Sande!” teriakku sembari mengikuti Mita yang pergi semakin cepat meninggalkan rumah.

Baru menoleh ke Asra sebentar saja, Mita sudah menjauh hampir hilang dari pandanganku. Akupun berlari menyusulnya sementara Asra menghubungi Bli Sande dan berlari ke arah rumah Pak Nik.
Aku terus berusaha mengikuti Mita yang berjalan cepat dengan gelisah entah menuju kemana.

Berkali-kali aku memanggilnya namun ia sama sekali tidak menghiraukan panggilanku. Setidaknya saat ini aku hanya bisa mengikutinya dan mengupdate posisiku pada Asra yang mencari pertolongan.

Mita melewati sebuah gerbang pura di selatan desa dan menuju sebuah pohon beringin besar yang berada di dalamnnya. Nafasnya semakin cepat, ia terlihat semakin gelisah ketika tiba di bawah pohon itu.

Aku merasa mungkin Mita akan melakukan hal yang berbahaya setelahnya. Akupun menyusulnya dan sekuat tenaga menahan tubuh Mita, namun aku terus saja gagal. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang kesurupan dan sialnya itu adalah temanku sendiri.

“Mita! Sadar mit.. kuatin diri lu!” teriakku.
Mita semakin terengah-engah, tatapanya terlihat kosong dan bingung. Lambat laun dari matanya mengucur dengan deras air mata yang menetes tanpa kuketahui alasanya.

Raut wajahnya terus berubah, berkali kali aku meraih tubuhnya berusaha menenangkanya namun berkali-kali juga ia berhasil mementalkanku.
Mita semakin menggila, ia mendekat ke arah pohon beringin meraup tanah dibawah pohon itu dan memakanya sambil tertawa dengan mengerikan.

“Mit, jangan gila mit! Sadar!” ucapku terus mencoba menahanya, namun ia hanya tertawa seperti kesetanan.
Sialnya, suara tawa Mita seolah memancing sosok di sekitar tempat ini.

Aku tidak bisa melihatnya, namun aku mendengar suara makhluk-makhluk yang bergumam dengan bahasa yang tidak kumengerti.
Purnama saat itu terasa sangat begitu mencekam. Dan aku baru sadar, sedari tadi Mita tertawa dengan menatap ke satu arah.

Salah satu sisi di atas pohon beringin.
Saat inipun Mita terus mencoba memakan tanah di bawah pohon itu yang ternyata lebih basah dari pohon lainya. Akupun akhirnya menoleh ke atas mencari tahu apa yang dilihat oleh Mita. Dan saat itu juga tubuhku hampir terjatuh lemas.

Sesosok jasad tanpa kepala tergantung di atas pohon itu…
Jasad seorang wanita dengan mengenakan kebaya bali hitam dan masih mengenakan kamen-nya dengan rapi dengan hiasan darah di seluruh tubuhnya.

Sesosok jasad yang mulai membusuk meneteskan cairan dengan kedua tangan yang menggantung ke bawah. Darah dari lehernya menetes dari lengan kananya, dan air dari organ-organya yang sudah membusuk menetes dari tangan kirinya.

“Rala?”

Aku ingat, sosok inilah yang menampakan diri pada kami kemarin.
Mita seperti kesetanan mencoba memakan tanah dimana terdapat tetesan cairan dari jasad itu, saat mengetahui keberadaan jasad itu aku setengah mati menahan Mita.

Tidak peduli apapun itu, ia tidak boleh menyentuh tetesan air itu ataupun tanah tempat tetesan itu terjatuh.

“Mita, udah mit! Cukup!”
“Khhikhi… khi..khi…” tawa mita tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Mita semakin menggila saat mengetahui masih ada cairan yang menetes ke tanah. Aku tetap menahan tubuhnya, berkali kali aku terhempas oleh tenaganya yang begitu kuat namun aku terus kembali mendekap Mita menahanya agar tidak mendekat ke tetesan itu.

Malam itu semakin mencekam ketika terdengar suara gong di sekitar kami. Rasa sakit tiba-tiba muncul di kepalaku bersamaan dengan terlihatnya sosok-sosok makhluk yang sebelumnya tidak dapat kulihat.

Sosok-sosok makhluk yang membawa kepala hewan di tanganya bermunculan di sekitar kami. Walaupun wujudnya manusia, tapi aku tahu dengan jelas, mereka bukanlah bagian dari kita.

Beruntung rasa khawatirku pada Mita mampu mengalahkan rasa takutku. Akupun terus mencoba menahan Mita, sementara makhluk-makhluk itu sepertinya memutuskan untuk mendekat ke arah kami.

“Pergi Mita.. ki..kita pergi dari sini,” ucapku dengan jantung yang berdegup kencang.

Mita tetap berusaha pergi dariku dan mengarah ke tetesan mayat di tanah itu.
Sialnya, samar-samar dari jauh juga terlihat sesosok bola api melayang-layang seolah memantau kami dari kejauhan.

Belum pernah aku merasa setakut ini. Berkali-kali aku berharap ini hanyalah mimpi, namun setiap rasa sakit dari cakaran Mita dan hawa dingin yang kurasakan benar-benar nyata.

Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Saat ini aku hanya mendekap Mita dan menjaganya agar tidak melukai dirinya lebih dari ini.
Di tengah keputus asaanku, tiba-tiba terdengar suara-suara dentingan benda logam yang dibenturkan menggema dari jauh.

Suaranya sama seperti yang kudengar saat diselamatkan dari rumah Rala.

“Asra! Itu Asra Mit! Dia datang bersama Bli Sande!” ucapku pada Mita.
Namun Mita yang masih belum sadar hanya terus mencoba melepaskan diri dariku.

Terdengar suara lantunan doa dengan bahasa Bali yang tidak kumengerti. Suara itu diikuti dengan suara lonceng yang terus dibunyikan oleh seseorang di sebelahnya. Seseorang yang kusadari bahwa ialah yang menghadang bola api yang menyerang rumah Mita.

Tepat saat doa yang mereka lantunkan selesai, sosok-sosok yang mengepung kami menghilang perlahan. Aku sedikit menarik nafas lega melihat kejadian itu.

“Waja, bisa bantu urus balian pengiwa itu?” Perintah Bli Sande.

Seseorang yang dipanggil dengan nama Waja itu mengangguk mematuhi permintaan Bli Sande. Sama seperti tadi, ia mengusir sosok bola api itu dengan kemampuanya hingga bola api itu benar-benar menjauh dan menghilang.

“Ndra! Mita! Lu nggak papa?” teriak Asra didampingi dengan Paknik yang menghampiri kami.

“Paknik, Asra.. diatas” ucapku memberitahu keberadaan sosok jasad yang digantung diantara dedaunan itu.
Wajah mereka terlihat panik..

“Berani-beraninya melakukan hal seperti ini di pura dalem,” geram Paknik.

Bli Sande membaca doa di hadapan Mita sembari memegang dahinya dengan keras. Mita awalnya terlihat gelisah, namun perlahan ia mulai tenang.

Tapi... ada sesuatu yang tidak berubah. Ia terus menangis, menangis tanpa henti.

“Mit, Mita.. udah, kita udah aman,” ucapku mencoba menenangkan Mita.
Mita menggeleng sembari menutup wajahnya.

“Paknik, tiang melihat semuanya.. Tiang melihat tentang apa yang dilakukan bapak saat tiang kehilangan kesadaran tadi,” ucap Mita.

Sontak jantungku tersentak, aku saling menatap dengan Asra.

“Mita, itu bukan salah lu.. jangan salahkan dirilu lebih dari ini,” ucap Asra yang yakin bahwa Mita sangat terpukul.

Mendengar ucapan Mita, Paknik hanya menghela nafas. Sepertinya ia tidak begitu kaget dengan apa yang Mita katakan.

Aku menatapnya dan ingin segera membunuh rasa penasaranku.
“Paknik..” ucapku ragu.

“Apa Paknik yang menyembunyikan nama ayah Mita di dinding rumah Rala?” tanyaku sembari terus mendekap Mita.

Paknikpun tersentak, wajahnya terlihat tidak menyangka dengan pertanyaanku.

“Ma..maksud kamu apa Ndra?” tanya Mita.
Aku tidak akan menyembunyikanya lagi. Misteri dendam Rala harus dituntaskan saat ini juga. Mita tidak boleh tersiksa lebih dari ini.
Aku dan Asrapun menceritakan kejadian kemarin saat kami menelusuri rumah Rala.

Awalnya kami sedikit ragu saat menceritakan tentang perbuatan ayah Rala, namun sepertinya Mita juga sudah mengetahuinya lewat penglihatanya.

“Rala.. Rala adalah darah daging bapak, dan dengan biadabnya bapak juga memperkosa Rala..” Mita kembali menangis memperjelas semua yang kuceritakan.
Wajah Bli Sande dan Bli Waja cukup kaget mendengar cerita kami. namun Paknik malah berusaha untuk menghindari cerita ini.

“Paknik tahu ini semua?” tanya Mita.

Paknik terlihat ragu untuk menjawab.
“Paknik! Tolong pak.. jangan sembunyikan apapun lagi!” pinta Mita.

Paknikpun menghela nafas mencoba mengatur emosinya.

“Paknik tidak tahu Mita, Paknik hanya menemukan jasad memenya Rala saat memeriksa rumahnya karena khawatir.

Paknik juga kaget melihat semua tulisan yang tergores di dinding kamar itu, saat mengetahui nama ayahmu tertulis di dinding itu seketika Paknik berpikir setidaknya Paknik masih bisa melindungi nama baik keluarga kita dan melindungi perasaanmu,” jelas Paknik.

Mita terlihat tidak terima, namun sepertinya ia bisa menjaga emosinya.

“Tiang akan berusaha mengerti maksud Paknik, tapi apa menurut Paknik ini adalah perbuatan yang benar?” tanya Mita.
Paknik ragu untuk menjawabnya..

“Ini juga kesalahan Paknik, Paknik selalu berpikir seandainya Paknik tidak melakukan itu mungkin saja Rala tidak membunuh menik,” ucapnya sedih.

Mita melangkah perlahan ke arah Bli Sande, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

“Bli, bapak tidak bisa diselamatkan kan?” tanya Mita.
Aku dan Asra saling bertatapan, apa maksud dari pertanyaan Mita itu?

“Jadi kamu sudah tahu?” tanya Bli Sande.
Mita mengangguk.

“Bapak, menerima karma atas perbuatanya kan? Ia menerima semua penderitaan yang diarahkan kepadaku dan yang lain. Bapa juga menerima bayaran atas ilmu pengiwa yang ia pelajari?” tanya Mita.

Bli Sande mengangguk mengiyakan. Ia menghela nafas saat mengetahui Mita sudah mengetahui semuanya.

“Saya berniat memberi tahu saat kamu sudah siap, saya bisa membantu meringankan penderitaan bapa untuk cepat pergi dengan tenang.
Namun itu harus berdasarkan keikhlasan Mita, karena saat ini kalian yang masih hiduplah yang terpenting,” jelas Blis Sande.

“Tiang mengerti Bli, saya titipkan keputusan yang terbaik untuk Bapa pada Bli Sande,” ucap Mita.

“Mita kamu yakin?” tanya Paknik.

Minta mengangguk dengan mantap. Ia yakin penderitaan yang ia alami tidak sesakit apa yang dirasakan oleh Rala.

“Paknik, seandainya bapa dan meme masih memiliki peninggalan harta. Tolong gunakan seluruhnya untuk menyempurnakan kepergian Rala dan Memenya.

Juga menik dan keluarga kita yang telah pergi.. Walau tidak meninggal dengan sempurna Mita ingin seluruh jasad mereka diaben dengan semestinya..” ucap Mita.

“Kamu yakin?”
Mita mengangguk dengan mantap.

Malam itu adalah kali terakhir mendapat teror yang berasal dari dendam Rala. Aku menanyakan pada Bli Sande bahwa Rala juga sudah menelan air cetik dari tubuh Rala, namun menurutnya seluruh kutukan yang Rala terima diterima sepenuhnya oleh ayahnya.

Mengenai sosok Balian Pengiwa yang membantu Rala, Bli Waja menemuinya dan menjelaskan tentang niatan Mita. Mereka sempat bersitegang, bahkan sempat ingin beradu ilmu. Untungnya Bli Waja bisa menenangkanya walau dengan sedikit ancaman.

***

Persiapan upacara ngaben cukup panjang. Beruntung ada kenalan Bli Sande yang mau membeli harta penginggalan keluarga Mita dan mendanai upacara ngaben sesuai permintaan Mita.
Sayangnya, kami tidak bisa hadir di sana.

Aku dan Asra harus kembali ke kampus dan meninggalkan Mita di tanah kelahiranya. Namun, ia berjanji setelah selesai menunaikan kewajiban pada keluarganya ia akan kembali ke ibukota dan melanjutkan pendidikanya.

Aku dan Asra menyampaikan permasalahan yang dialami Mita pada pengurus kampus agar setidaknya Mita mendapat ijin untuk melanjutkan semesternya. Beruntung prestasi Mita juga menjadi pertimbangan dan pihak kampus masih mau mengerti.

Malam ini aku menghabiskan waktu di warung roti bakar bersama Asra. Cukup aneh tidak ada seorang Mita yang mengajak rebutan mengambil sisi tengah yang merupakan bagian terenak dari roti bakar ini.

“Besok masuk apa sra?” tanyaku.

“Pagi gua, elu?”

“Sama.. udah nelpon Mita?” tanyaku.

“Terakhir dua hari yang lalu, habis itu belum lagi. Balas bisanya juga jarang-jarang, mungkin masih sibuk,” jawab Asra.

Yah, setidaknya Mita masih memberi kabar. Terakhir Mita memberi kabar masih ingin di sana untuk melakukan bakti pada keluarga-keluarganya yang telah tiada dan mencari ketenangan dengan tuntunan Bli Sande.

“Kalau dua minggu lagi Mita nggak balik, kita susul gimana?” ucapku pada Asra.

“Boleh tuh Ndra, sepi banget nggak ada dia,” jawab Asra spontan.

Hari-hari tanpa Mita memang tidak lengkap, tapi kami sangat yakin bahwa saat waktunya tiba. Dia akan kembali bersama kami dan merusuh kembali di kos yang mempertemukan kami.

***

Suara telepon genggam berbunyi di tengah lamunanku menunjukkan sebuah pesan yang muncul di layarnya.

“Gua sampe bandara jam 16.00 ya!”
Tiba-tiba terlihat sebuah pesan saat sedang asik menikmati siang di akhir pekan yang tidak seharusnya diisi dengan kesibukan.

Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar dengan terburu-buru.

“Ndra! Dapet pesan dari Mita ga?” teriak Asra dari luar.

Aku segera membukakan pintu dan mengiyakan ucapanya.

“Anjir si Mita, lama ga ada kabar terus ngasi tau mendadak..” ucapku sembari tertawa.

Ya udah cepetan siap-siap, dari sini ke bandara lumayan lama.
Kamipun segera bersiap dan menaiki motor Asra.

“Eh tunggu Sra, kalau kita naik motor tar Mita taro di mana?” Tanyaku bingung.

“Lha iya si gobl**.. cari taksi!”

Asrapun segera memarkir motornya lagi dan bergegas ke jalan utama dekat kos mencari taksi yang memang cukup sering lewat di jalan ini.

“Bang, ke Bandara ya bang..” ucap Asra memberi petunjuk pada abang taksi yang mengangkut kami.

Anehnya, saat kami sudah masuk sopir taksi itu tidak segera menjalankan kendaraanya.

“Pak kenapa pak? Kita lumayan buru-buru nih,” ucap Asra.

Aku tidak ingin berkomentar dan hanya mencoba sekuat tenaga menahan tawaku.

“I..itu, masnya mau pake helm ke bandara?” ucap supir taksi itu.

Sontak tawaku meledak di dalam mobil ditemani pukulan Asra yang menyalahkanku karena tidak mengingatkan mengenai helmnya.

Sepanjang jalan akupun terus tertawa dengan kejadian ini dan berjanji akan menceritakan kepada Mita Nanti.
Tidak sesuai ketakutan kami, rupanya kami sampai lebih awal dari yang kami perkirakan.

Sungguh canggung menunggu di bandara seperti ini yang merupakan tempat yang jarang sekali kukunjungi.

“Ndra, tar kalau Mita dateng kita bahas apa ya?” tanyaku.

“Nah itu, takutnya dia masih shock.. salah ngomong bahaya,” jawabku.

Sontak perbincangan bodoh itu merubah suasana menunggu kami menjadi lebih canggung. Masing-masing dari kami memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya kami ucapkan untuk menyambut Mita.

Tepat pukul 16.00 terdengar suara informasi tentang mendaratnya nomor persawat dari bali yang ditumpangi oleh Mita.
Aku dan Asra bersiap di pintu penjemputan sembari melingak linguk mencari sosok Mita.

Akupun maju ke depan untuk mencari lebih dekat agar jangan sampai Mita tidak melihat kedatangan kami.

“Asra! Indra!” Panggil seseorang yang baru saja muncul dari kerumunan.

Aku segera menghampiri orang itu, seorang wanita yang masih mengenakan kebaya bali namun dengan celana panjang. Sepertinya ia tidak sempat mengganti pakaianya setelah acara tadi pagi.

“Cepet banget nemuin kita, gua kira lu bakal bingung dulu nyariin..” sambutku.

“Gimana bisa bingung, tuh liat kelakuan Asra di belakang lu!” ucap Mita.

Aku menoleh ke arah belakang. Baru saja kutinggalkan sebentar, Asra sudah membawa lembaran kardus cokelat bertuliskan nama Mita yang sebelumnya ia angkat setinggi-tingginya.

“Buset bisa-bisanya lu Sra!” ucapku.

“Lah, di film-film caranya gini kan kalau jemput orang di bandara,” balas Asra sambil tertawa.

“Ya nggak pake sobekan kardus juga, yang ada malu gua sama semesta,” balas Mita.

Akupun segera membantu membawa bawaan Mita, terutama kardus bertuliskan toko oleh-oleh yang terkenal dari pulau dewata.

“Yee.. tau aja lu barang bawaan yang berfaedah,” ucap Asra.

“Bantuin doank, niat gua baik kok..” ucapku.
Mitapun tertawa mendengar perbincangan kami.

“Gila, udah lama gua nggak ketawa begini,” ucap Mita.
Mendengar ucapan itu seketika rasa cemas kami akan keadaan Mita sirna sudah. Sepertinya Mita sudah mampu menenangkan dirinya dari tragedi itu.

Aku dan Asra bertatapan memberi isyarat untuk tidak membahas tentang kejadian sebelumnya.

“Ayo cepetan, jangan lama-lama.. masih banyak yang harus dikerjain, list gua banyak” ucap Mita.

“Cie, dateng-dateng udah sok sibuk aja. Kerjaan apan sih?” tanya Asra.

“Makan sayur di warung Bu Marti, nongkrong sama kalian di Roti bakar, bayar utang ke ibu kos… banyak deh” ucap Mita yang segera menarik tangan kami berdua untuk berjalan lebih cepat.

***

Yah itulah sepenggal kisah tentang kami bertiga. Bukan.. sebenarnya tentang Mita, dan sedikit cerita tentang kami.
Akupun tidak pernah menyangka bahwa pulau dewata yang merupakan surga bagi sebagian orang ternyata membawa kisah kelam untuk kami.

Namun kami tetap yakin, suatu saat kami akan kembali ke pulau itu bertiga untuk menikmati keindahan dan pesona alamnya yang pasti tidak akan dapat kami lupakan.

-TAMAT-

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung baik secara alur cerita maupun kesalahan literasi.

mohon diambil positifnya saja dan dibuang negatifnya dan diterima sebagai hiburan.

Minggu depan kita akan lanjut 2 cerita
1. Kelanjutan getih sedulur
2. Babak baru kisah Danan & Cahyo
close