Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GERBONG TIGA BELAS


"Tidak ada jalan untuk kembali, berhenti, atau kemanapun..
Gerbong ini terus mencoba membawaku ke satu tujuan.. Kematian"

***

JEJAKMISTERI - GERBONG TIGA BELAS

"Kusno! Jangan nekad! Kereta itu ga bakal berhenti!" teriak Kasdi mencoba menahanku.

Benar saja, kereta itu tidak melambat sedikitpun. Akupun terpeleset dan terjatuh tepat ketika kereta itu menjauh meninggalkanku.

"Kamu gapapa? Itu kereta cepat.. Ga bakal berhenti di stasiun perkampungan gini" jelas Kasdi.

"Iya iya, gapapa kok.. Kereta berikutnya kita harus naik ya, udah mau malam ini. Udah gak sudi aku balik ke kampung" balasku.

Akupun menoleh ke arah stasiun di belakang kami.

Jaraknya hanya beberapa ratus kilometer. Kami memastikan tidak ada petugas yang akan melihat kami yang masih ingin mencoba meyelinap.

Aku dan Kasdi menunggu cukup lama hingga langit mulai memerah. Seingat kami memang seharusnya kereta berikutnya ada setelah maghrib.

"Aku pipis dulu Di, kereta berikutnya masih lama kan?" ucapku yang segera meninggalkan Kasdi.

"Eh, Kusno! Tar dulu.. Itu kayaknya ada yang lewat" panggil kasdi.

Akupun membatalkan niatku untuk buang air dan melihat ke arah Kasdi menunjuk.

Benar ucapanya, ada sebuah kereta yang melintas dengan perlahan. Kami segera bersiap berlari untuk melompat menaikinya..
Tapi sekilas aku sempat terhenti saat melihat jendela di salah satu gerbong.

Seorang nenek.. Rambut putihnya tergerai menatap kami dengan kesal.

"Heh! Kok bengong? Naik ga?" teriak Kasdi yang sudah dekat dengan salah satu gerbong.

"i..iya!" Akupun tidak menghiraukan apa yang terlihat barusan dan menggenggam salah satu besi di pintu gerbong paling belakang dan berhasil menaikinya.

"Akhirnya, dapet kereta juga.." ucap kasdi.
Aku tidak membalas ucapanya, saat diatas kereta aku baru sadar, kereta ini terlihat terlalu tua untuk beroperasi dibanding kereta-kereta yang lewat sebelumnya.

"Kenapa No? Lu nyesel udah naik?" tanya Kasdi yang tengah mencari posisi nyaman di gerbong belakang yang ternyata merupakan gerbong barang.

"Eh, nggak.. Nggak lah! Seneng gua bisa pergi dari kampung busuk itu.. Suatu saat aku bakal balik dan ngebales perbuatan orang-orang disana"

"Iya bener, kita bukan kabur.. Tapi menempa diri" tambah kasdi.

Ada beberapa kantung besar kami gunakan untuk menjadi sandaran. Di sana kami mengobrol hal-hal kecil untuk menghabiskan waktu kami.

"Seharusnya kita udah ngelewatin stasiun Ranupitu nih, tapi kok gak berhenti ya?" tanya Kasdi heran.

"Mungkin beda jurusan, udah.. Tujuan kita masih jauh kan. Minimal kita dapet kota yang jaraknya lebih dari satu malam" ucapku.

Kasdi setuju, kamipun melanjutkan perbincangan kami hingga tanpa sadar langit semakin gelap dan hanya ada satu sumber cahaya berwarna kuning di gerbong ini.

Kami sempat tertidur sesaat, namun suara hujan deras mulai terdengar mengganggu tidurku.

Berkali kali aku berusaha tidak menghiraukan suara hujan dan gemuruh petir di perjalanan ini namun tetap saja gagal.

Akupun memutuskan untuk membuka mata dan mencari posisi yang lebih nyaman.

Tapi.. Tepat saat aku membuka mata tubuhku merinding tidak karuan. Aku merasa ada sosok yang memperhatikan kami berdua. Padahal dapat kupastikan tidak ada orang lain di gerbong ini.

Aku mencoba untuk tidur lagi, tapi perasaan itu tidak juga menghilang.

Aku ingin membangunkan Kasdi, namun aku tidak punya alasan yang tepat untuk itu.

Tapi.. Saat beberapa saat aku terdiam. Aku baru sadar saat melihat ke arah kaca jendela.

Ada pantulan beberapa orang dengan wajah yang amat pucat memperhatikan kami.

Aku melihat sekeliling..

Tapi sosok yang dipantulkan di kaca itu tidak ada di sekitar kami.
Seketika bulu kudukku berdiri, aku berteriak mencoba membangunkan Kasdi namun suaraku enggan untuk keluar.

Dengan beberapa tepukan dan menggoyangkan tubuh Kasdi, iapun terbangun."

"Kusno.. Kenapa? Mukamu pucet banget tuh" tanya Kasdi yang masih mengusap matanya.

"I..itu, di kaca.. Kaca jendela" ucapku pada kasdi sembari menunjukkan sosok- sosok yang terpantul di kaca itu.

Kasdipun menoleh ke arah yang kutunjuk. Seketika wajahnya pucat pasi sembari menoleh ke arah sekitar mencari keberadaan sosok itu.. Tapi tidak ada.

"A..apa itu no?" tanya kasdi.

"Nggak tahu.." balasku sambil mendekat pada Kasdi.

Kamipun berdiri dan mencoba menjauh dari jendela, tapi tiba-tiba kami tersandung pada kantung barang yang kami gunakan untuk tidur tadi.

Saat itu tanpa sengaja aku membalik kantung itu, dan terlihat kantung itu hanya ditutup menggunakan ret sleting.

Aku dan Kasdipun curiga, sepetinya kami memikirkan hal yang sama.

"Nggak.. Nggak mungkin isinya itu" ucap kasdi.

Aku tidak ingin menebak-nebak, hanya satu cara untukku memastikan isi kantung itu.

Perlahan aku memegang ujung ret sleting kantung itu dan menariknya ke bawah.

Kasdi yang sebelumnya tidak setuju untuk membuka tetap mendekat terdorong oleh rasa penasaranya.

Dan benar, tepat saat kantung itu terbuka. Tercium bau menyengat yang hampir membuat kami muntah.

Wajah seseorang yang pucat tak bernyawa terlihat dari kantung itu.

"Ma..mayat, bener mayat?" teriak kasdi menjauh.

Reaksiku tidak jauh berbeda dengan kasdi. Akupun segera melompat menjauh, tapi samar-samar aku sadar.

Wajah mayat itu, sama persis dengan wajah yang menatap kami dari pantulan kaca jendela kereta itu..

***

"Pergi! Pergin Kusno! Kita harus pindah dari gerbong ini!" teriak Kasdi.

Aku setuju denganya dan segera mengambil posisi untuk meninggalkan gerbong itu.

Susah payah aku membuka pintu gerbong hingga akhirnya bisa keluar dari sana.

Dan benar saja, saat aku kembali menoleh ke belakang. Sosok-sosok yang tadi terlihat dari pantulan kaca jendela terlihat menatap kami dengan marah dari kantung jenazahnya masing-masing.

Kami bergegas meninggalkan sambungan gerbong dan memasuki gerbong berikutnya.

Sialnya, pemandangan yang terlihat tidak jauh berbeda.
Beberapa karung, kardus, dan benda besar tersusun bersandingan dengan kantung jenazah seperti di gerbong tadi.

"Ini.. Sebenernya kereta apa sih No?" tanya Kasdi dengan suara yang mulai bergetar.

"Nggak tahu di, aku belum pernah dengar ada kereta yang mengangkut jenazah sebanyak ini" balasku

Kamipun berjalan dengan hati-hati melewati tumpukan benda-benda itu. Tak satupun dari kami berani menoleh ke arah kaca jendela.

Mental kami masih belum siap menyaksikan wajah pucat yang mungkin saja terpantul seperti di gerbong belakang.

"Gimana kalau semua gerbong isinya begini semua di?" tanyaku.

"Gak mau tau, kalau beneran begitu kita turun di stasiun terdekat. Kita cari kereta lain lagi" jawab Kasdi.

Aku setuju, walau begitu sebenarnya kami berdua sadar betul.

Kami sadar bahwa sedari tadi, kereta ini belum berhenti sekalipun di stasiun manapun..

Tetesan air hujan masuk ke gerbong ini melalui sela-sela ventilasi.
Tumpukan barang-barang inipun mulai basah dengan air yang mulai menggenang.

"Kenapa keretanya bisa separah ini ya? Memangnya petugasnya gak dimarahin kalau barang- barang disini rusak karna air ini?" tanyaku.

Kasdi berjalan dengan hati-hati sembari mencoba menjawabku, "Nggak tau juga ya No, kecuali kalau memang semua benda di sini isinya mayat semua. Wajar saja mereka tidak peduli"

Sebenarnya aku setuju dengan pendapat Kasdi, tapi tidak mungkin mayat-mayat itu dibungkus berbeda.

"Ya gak mungkin lah, memang ada yang tega masukin jasad manusia ke dalam tong kayak gini" ucapku sembari mengetok salah satu tong di sebelahku.

Aneh.. Suara tong itu aneh. Seperti bukan berisi cairan. Rasanya seperti sesuatu yang padat berada memenuhi tong itu.

"Nggak.. Gak mungkin" ucapku meninggalkan tong itu.

"Kenapa no?" tanya kasdi heran melihat tingkahku.

"Yang aku tahu itu cuma desas desus, gak mungkin kan ada mayat yang di cor di tong itu?" ucapku pada kasdi.

Kasdipun tidak berani menjawab dan terus berusaha melewati becekan disekitar kami untuk menuju ke gerbong berikutnya.

"Semoga gerbong berikutnya lebih normal" ucapku yang mulai mendekat ke pintu gerbong selanjutnya.

Kami mengintip melalui kaca pintu terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk masuk ke gerbong berikutnya.

Berbeda dari dua gerbong di belakang, terlihat gerbong berikutnya merupakan gerbong penumpang dengan barisan kursi. aku dan Kasdi menarik nafas lega melihatnya.

"Gimana di? kita kan nggak punya tiket.. tetep mau ke sana?" tanyaku.

"Itu banyak kursi kosong, pemeriksaan tiket harusnya sudah lewat.. sudah pede saja" balas Kasdi.

Aku menuruti kata kasdi untuk masuk dengan tenang.

Penumpang yang sudah ada di gerbong itupun sepertinya tidak peduli dengan kehadiran kami.

"Tuh kan santai aja, selama kita nggak rusuh pasti aman" ucap Kasdi.

"Iya Di, tapi aku masih kepikiran dua gerbong di belakang tadi.. itu beneran atau halusinasi kita ya?" tanyaku.

Kasdi menghela nafas menikmati tempat duduk yang nyaman saat ini.
"Aku juga nggak tau No, yang pasti kita sekarang ada di gerbong yang aman.. udah tidur aja" ucapnya.

"Yakin aman?"

"Ya pait-paitnya paling diturunin di stasiun terdekat, kan tinggal cari kereta lagi.."

Akupun setuju dengan kata-kata Kasdi, melihat ia begitu tenang dengan keadaan saat ini akupun ikut merasa tenang.

Mengikuti jejak Kasdi akupun memilih untuk memejamkan mata dan melanjutkan tidur kami yang terganggu dengan penglihatan makhluk-makhluk tadi.

"Mas.. masnya nggak salah kereta?" tiba-tiba terlihat seorang perempuan membangunkanku.

"Eh, mbak.. ini kursi mbaknya ya? maaf-maaf" ucapku yang ingin segera pindah.

"Nggak mas, cuman mastiin saja benar tujuan masnya benar sama dengan kereta ini?" ucap perempuan itu.

"I..iya mbak" balasku yang tidak ingin diketahui sebagai penumpang gelap.

Mendengar jawabanku perempuan itupun segera pergi meninggalkanku. Namun mendengar pertanyaan perempuan itu akupun penasaran, sebenarnya kereta ini menuju ke mana?

"Mbak, memangnya kereta ini tujuanya ke.."

Belum sempat aku bertanya, tiba-tiba sosok perempuan itu sudah tidak terlihat.
Aku beberapa kali mengucek mataku memastikan namun benar perempuan itu sudah tidak ada..

Yang terlihat hanya gerbong setengah penuh dengan salah satu lampu yang berkedut rusak..

Kali ini aku tidak ingin memusingkanya, rasa kantukku lebih berkuasa untukku saat ini sehingga membuatku memutuskan untuk kembali tidur.

Tepat saat lewat tengah malam, aku terbangun menyadari kereta tengah berhenti di salah satu stasiun.

Aku melewatkan nama stasiun itu, namun stasiun ini sepertinya terletak di desa kecil yang masih jauh dengan kota.

"Mas, kalau ingin turun ini kesempatan terakhir"

Tiba-tiba sosok perempuan yang membangunkanku semalam muncul lagi dari belakang.
Ia tidak menunggu jawabanku dan berjalan melewatiku dan turun di stasiun itu.

Kali ini aku mempertimbangkan ucapanya dan membangunkan Kasdi.

"Di.. bangun di, keretanya berhenti" ucapku mencoba membangunkan Kasdi.

Kasdi terbangun, ia menoleh ke arah jendela memastikan posisi kereta ini.

"Masih stasiun desa, masih jauh No.." ucapnya yang ingin kembali mencoba untuk tidur.

"Kamu yakin mau lanjut? hal aneh tadi gimana?" Tanyaku.

"Udah gak papa, toh sekarang juga udah nggak ada apa-apa kan?" balasnya.

Aku sedikit ragu, tapi ucapan Kasdi ada benarnya.

Hanya tinggal sebentar lagi seharusnya kami mencapai salah satu kota yang cukup besar untuk kami memulai kehidupan baru.

Akupun membiarkan Kasdi kembali untuk tidur, sementara aku menyaksikan kereta yang mulai berangkat meninggalkan beberapa orang di sana.

Tapi.. ada hal yang menarik perhatianku.

Orang-orang yang turun dari kereta ini adalah seorang berpakaian masinis dan seorang berpakaian petugas.

Tak jauh di belakang kedua orang itu terlihat perempuan yang membangunkanku tadi.

Anehnya, di sana wanita itu berwajah pucat dengan sebagian rambut menutupi wajahnya.

Ia mengenakan baju putih panjang yang sudah lusuh dan memandang kami sambil menyeringai dengan aneh..

Seketika aku bergidik ngeri melihat perempuan itu bersama dengan stasiun tua tempat kereta ini singgah tadi.

Namun, setelah berangkat rasa ngeri itu perlahan menghilang bersama lamunanku yang mulai muncul.

Sepanjang perjalanan aku mengingat tentang rasa sakit hatiku pada warga kampung yang meremehkanku.

Pekerjaanku sebagai tukang antar memang tidak sekeren sarjana-sarjana kota yang baru-baru ini mulai meramaikan desa.
Tapi membanding-bandingkan kami tentu bukanlah hal yang sepadan.

Mereka tidak tahu saja bagaimana orang tua sarjana itu mendapatkan uang untuk menguliahkan mereka.

Orang tua mereka ada yang rentenir, pejabat desa yang menggunakan uang desa dengan alih-alih beasiswa, hingga juragan kaya yang uangnya disetor oleh beberapa preman pasar.

Arrghh.. kadang dunia ini memang tidak adil.

Puncak kekesalanku dan Kasdi terjadi ketika tanah tempat kami tinggal digusur untuk pembangunan. Hampir sebagain warga mendapat ganti rugi yang banyak.. namun tidak dengan kami.

Alasan mereka, kami tinggal di tanah milik pemerintah. Tidak ada surat-surat yang menunjukkan kalau itu tanah kami.

Hei bung! Kami sudah tinggal di tanah itu puluhan tahun!

sayangnya sarjana-sarjana kota itu bukanya membela kami malah ikut membantu orang proyek itu untuk mengusir kami.

Hanya sedikit lembaran uang yang kami terima dengan alasan uang belas kasihan. Namun uang itu sama sekali tidak ada artinya.

Lihat saja.. suatu saat aku akan kembali ke tempat itu dan membuat perhitungan dengan mereka.

***

Tanpa sadar, hujanpun mulai mereda. Aku menikmati perjalanan kami kali ini.
Bukan lagi pedesaan, tapi jalur kereta ini melewati hutan-hutan yang masih asri.

Sayangnya gelapnya malam menghalangi pemandangan kami.

Sesekali aku melihat ada proyek-proyek penebangan pohon yang cukup besar di hutan yang kami lewati. Ada beberapa alat berat dan tumpukan kayu yang tersusun rapi di sana.

Aku baru tahu kalau kereta api antar kota ternyata memang melewati tempat ini.
Sempat aku berpikir apakah itu adalah proyek ilegal?
namun apabila sering dilewati kereta dan dilihat oleh banyak orang. Tidak mungkin itu proyek ilegal.

Sebelum berpikir lebih panjang entah mengapa aku merasa kereta ini berjalan dengan lebih cepat.
Tak hanya itu, tiba-tiba seluruh listrik di kereta inipun mati.
lampu-lampu sama sekali tidak ada yang menyala.

Tidak.... ini ada yang tidak beres..

Seketika aku teringat perkataan perempuan tadi.
"Ini kesempatan terakhir kalau mau turun"

Sontak aku mulai panik dan membangunkan Kasdi.

"Di! Kasdi! Bangun!!" Teriakku membangunkanya.

Kasdipun terbangun, ia terlihat panik saat mengetahui keadaan di kereta sudah menjadi gelap gulita.

"Ke..kenapa No? Mati lampu?" Tanya Kasdi.

"Iya Di, gua semakin ngerasa ada yang nggak beres sama kereta ini" balasku.

"Paling petugasnya lagi usaha benerin, keretanya juga masih jalan kan?" ucap Kasdi.

Seketika aku teringan sosok petugas dan masinis yang turun di stasiun tadi.

"Nggak di, bangun! Kita harus cari tahu kemana tujuan kereta ini" ucapku.

"Kok kamu jadi panik sih? dari tadi juga aman-aman aja" balas Kasdi.

"Kamu nggak ngerasa aneh, udah lumayan lama lampu mati tapi ga ada penumpang yang protes. Petugas juga nggak ada yang meriksa?" Balasku.

Kasdi mulai berpikir sejenak. Ia berdiri dan mengintip ke arah penumpang lain..

"Bener penumpang lain nggak ada yang protes?" tanya Kasdi.
Aku mengangguk.

"Sedari tadi kamu denger ada penumpang yang ngobrol?" Tanya kasdi lagi.

Aku menggeleng. Sepertimnya aku mengerti apa yang dimaksud Kasdi.

"Nggak... nggak mungkin, waktu kita masuk tadi masih ada penumpang yang menoleh ke arah kita" balasku.

Akupun ikut berdiri melihat penumpang yang lain. Di dalam gelap aku melihat semua penumpang tertidur tanpa ada satupun tanda-tanda akan terbangun.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close