Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GERBONG TIGA BELAS (Part 2 END)


JEJAKMISTERI - "Mbak.. Mbak.. Bangun mbak"
Aku mencoba membangunkan salah seorang penumpang yang duduk tidak jauh di belakangku.

"Gimana no?" Tanya Kasdi.

Aku menggeleng, tidak ada satupun tanda-tanda penumpang itu akan bangun. Sama seperti penumpang lainya.

"Tapi mereka masih hidup kan No?"

"Harusnya iya, masih mereka keliatan masih nafas"

Tidak menyerah kamipun berjalan ke gerbong berikutnya dengan kondisi gerbong yang gelap gulita.

Sayangnya kondisi yang sama juga terdapat pada penumpang di gerbong berikutnya.

"Mereka ini kenapa sih?" kasdi terlihat kesal.
Iapun memaksa menarik salah seorang yang tertidur hingga terjatuh, namun orang itu tetap terbaring tanpa ada tanda-tanda akan kembali berdiri.

"Kasdi, kamu apa-apaan?" teriakku.

"Nggak no, kita harus pergi dari kereta ini"

Seketika wajah kasdi terlihat pucat. Ia seperti mengetahui sesuatu..

"Aku pernah dengar tentang sebuah kereta yang hanya digunakan sesekali, aku kira itu hanya mitos" ucap kasdi.

"Mitos? Yang jelas di!" paksaku kesal.

"Kereta itu cuma beroperasi sesuai permintaan, kereta yang mengangkut tumbal untuk proyek besar.." Kasdi menjelaskan cerita itu sembari merinding.

Sepertinya aku juga pernah mendengar desas-desus cerita itu.

"Maksudmu jenazah di belakang, penumpang di dua gerbong ini...?"

"Iya no.. Bisa jadi mereka tumbal." ucap Kasdi yakin.

"Nggak nggak.. Kamu ngawur!"

"Terserah kamu mau percaya apa nggak, yang penting kita harus segera turun!" Perintah Kasdi

Kasdipun bergegas berjalan menuju sambungan gerbong berikutnya.

Namun tidak seperti tadi, kereta ini tengah berjalan begitu cepat.

"Sejak kapan kereta ini berjalan secepat ini?" Kasdi terlihat heran, padahal memang sebelumnya kereta ini berjalan dengan pelan.

"Sepertinya sejak stasiun tua tadi, pas masuk hutan kereta ini tambah cepat"

Kasdi terlihat mencari celah dan cara untuk meninggalkan kereta ini. Beberapa kali ia mencari celah untuk melompat namun kecepatan kereta ini tidak memungkinkan untuk itu. Apalagi sedari tadi kami hanya melewati hutan-hutan yang tidak ada habisnya.

"Sialan! Kita nggak bisa ngapa-ngapain!"

Aku berpikir sejenak mencoba mencari cara untuk keluar dari permasalahan ini..

"Kita cari petugas di depan dan paksa untuk berhenti!" ucapku.

Tak mampu memikirkan cara lain, Kasdipun setuju denganku. Kamipun membuka pintu gerbong berikutnya.

Kosong...
Tidak ada seorangpun di gerbong ini. Kami bisa memastikanya hanya bermodalkan cahaya rembulan yang sedikit menerangi kereta.

Kami berjalan melewati gerbong itu, namun sampai di tengah kamipun terhenti.

"Di.." aku mencoba memberi isyarat pada kasdi.

Sepertinya Kasdi juga menyadarinya, ada suara langkah kaki yang terdengar di belakang.

Aku menoleh ke belakang namun sama sekali tidak ada siapapun di sana.

Aku menepuk pundak kasdi memberi isyarat untuk berjalan lagi. Tapi hal yang sama terjadi lagi.

Terdengar suara langkah kaki yang berjalan mengikuti irama langkah kaki kami.

"Siapa itu?" Kasdi yang sedang kesal mencoba memaksa sosok itu untuk memunculkan dirinya.

Tapi lagi lagi.. Tidak ada jawaban.

"Khekhekhe..."

Samar-samar terdengar suara parau dari seseorang.

Orang itu seolah tertawa mempermainkan kami.

Kasdi yang sudab kesal berbalik kebelakang dan memeriksa satu persatu kursi yang sudah kami lewati.

"Siapa? Jangan becanda! Keluar kamu!" tantang kasdi.

Namun saat kami memastikan tidak ada seorangpun disana, tiba-tiba seluruh tubuh kami lemas.

Kamipun membalikkan tubuh kami dan kembali berjalan ke gerbong berikutnya.

Tapi berbeda dengan tadi, saat melewati tengah gerbong tiba tiba suara langkah kaki di belakang kami semakin cepat.

Kamipun mempercepat langkah kami hingga berlari.
Kali ini kami yakin, itu bukan langkah kaki manusia.

Terlebih langkah kaki itu tidak lagi terdengar hanya dari bawah. Langkah kaki itu bahkan terdengar dari langit-langit kereta.

Jantung kami berdetak semakin kencang, tengkukku terasa dingin saat suara langkah kaki itu bergerak semakin dekat.. Dan semakin dekat di telinga kami.

"Cepet No!" teriak kasdi mebukakan pintu gerbong dan menyuruhku keluar.

Tepat ketika aku mencapai sambungan gerbong, Kasdi menutup pintu gerbong itu dengan cepat.

Kami sampai dengan terengah-engah. Jantungku masih belum selesai berdegup dengan kencang.

Sementara itu aku yang masih penasaran mencoba mengintip mencari tahu makhluk apa yang mengejar kami tadi.

Aku tidak melihat siapapun di gerbong itu. Sama sekali tidak ada bahkan saat aku mengintip memastikan ke beberapa sisi..

"BALI RENEEE!!!" (Balik ke sini!!)

Seketika aku terjatuh, dengan munculnya sosok makhluk kurus yang merangkak dari atas.

Ia memamerkan wajah keriputnya dengan kepala yang botak dengan sedikit sisa rambut menempelkan wajahnya di kaca.

"Lari!! Lari No!!"

Kasdipun menarik bajuku dan membawaku menuju gerbong berikutnya.

Setelah lima gerbong sebelumnya aku tidak lagi berharap banyak dari gerbong ini. Terlebih saat aku melihat semua jendela di gerbong ini terbuka membiarkan angin dan air hujan masuk ke dalam kereta..

"Hati-hati Di, sedari tadi tidak ada gerbong yang beres.." ucapku.

Kasdi mengangguk sepertinya ia sangat sadar dengan itu.

Hampir seluruh lantai gerbong ini basah dengan air hujan yang masuk lewat jendela.

Angin yang berhembus juga menimbulkan suara-suara aneh.

"No, liat ini.." ucap Kasdi menunjukkan benda yang terdapat di kursi.

Tas, bungkus makanan, plastik berisi barang, jaket.. Benda-benda itu tertinggal dalam kondisi basah di kursi-kursi gerbong ini.

"Maksudmu gimana Di?" Tanyaku.

"Bukanya ini artinya tadi ada orang yang menempati gerbong ini?" ucap kasdi.

Benar juga, ini bukan barang-barang lama. Sisa-sisa makananpun masih belum membusuk.

"Terus mereka pada kemana?" tanyaku.

"Kamu udah tau kan aku bakal jawab apa?"

"Iya sih, tapi siapa tau kamu punya perkiraan"

Kasdi menghela nafas. Sepertinya bukan tidak punya firasat, Kasdi hanya berharap firasatnya salah.

Sambil berhati hati kami berjalan melewati gerbong ini. Selama berjalan sepertinya aku sedikit membaca firasat Kasdi.

"Orang-orang yang berada di gerbong ini sepertinya pergi dengan terburu-buru ya?" tanyaku.

"Nah, itu kamu tau.."

"Jangan bilang alasan semua jendela ini terbuka karena orang -orang itu pergi melalui Jendela Di?"

Saat menyadari hal itu seketika aku merasa gerbong ini berbahaya

"Pasti ada sesuatu yang membuat orang-orang itu nekat melakukan hal itu" ucap kasdi sambil berhati hati.

Aku tidak habis pikir apa yang bisa membuat hal itu terjadi.

Sembari memikirkan hal itu aku merasakan hal yang aneh.

Entah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa sakit.

Aku memperhatikan Kusno, ia juga memegangi kepalanya. Apa dia meraksakan hal yang sama?

"Kepalaku Di, tiba-tiba sakit.." ucapku.

"Iyo No, tadi aku kira cuma sakit kepala biasa.. Kenapa sekarang tambah sakit?" balas Kasdi heran.

Aku hampir saja terjatuh di tempat ini.

Kasdi mencoba menolongku untuk terbangun, namun seketika aku melihat hal yang aneh di sekitarku.

"Di.. Kok kita ada di kuburan di?" ucapku ketika semua apa yang kulihat berubah menjadi kuburan.

"Kuburan? Kuburan apa no? Kita di kereta.." jelas kasdi.

"Tapi di.. Tapi.."

Kali ini Kasdi tidak menjawab panggilanku. Sebaliknya ia kini terlihat ketakutan & menjauh dariku.

"Pergi! Setan busuk pergi!" teriak kasdi mencoba mengusirku.

"Setan? Apa maksud Kasdi"

Entah apa yang terjadi pada kami berdua. Berbagai hal mengerikan terpampang di hadapan kami.
Berkali kali Kasdi mencoba memukuliku, aku mencoba untuk kabur tapi selalu ada kuburan mengerikan yang menghadangku.

Kasdi semakin menggila, ia melompat-lompat menjambak rambutnya hingga sekali mencakari dirinya sendiri.

"Aku setan busuk! Aku setan busuk!! Aku harus mati!!

Mendengar ucapan itu aku segera berlari menangkap kasdi dan menahan gerakanya.

"Kasdi! Sadar kasdi"

Seketika aku mulai mengerti alasan orang-orang ini nekat melompat dari kereta.

"Ini halusinasi Di! sadar!"

Walaupun berucap seperti itu sebenarnya aku masih belum sadar dari penglihatan kuburan di sekitarku.

Setidaknya aku tidak seperti kasdi, aku menaham tubuhnya dan menyeretnya dengan paksa.

Ia terus memberontak, namun aku tidak akan melepasnya.

Sebagian tubuh kasdi sudah berdarah dengan cakaranya sendiri. Tak hanya itu, saat ini sepertinya kasdi mencoba mencongkel bola matanya sendiri..

"Di Eling di.."

Kondisinya semakin gawat, Aku harus menghentikanya sebelum terlambat.

Beruntung usahaku membuahkan hasil. Akhirnya aku menyeret tubuhnya hingga pintu. Dengan segeta aku membuka pintu itu dan membawanya keluar.

"Di! Sudah di! Tarik nafas!
Teriakku padanya.

Perlahan ilusi yang melingkupi diriku mulai memudar. Namun aku terus memegangi Kasdi.

Salah sedikit saja ia bisa terjatuh.
Cukup lama kasdi mengamuk, tapi akhirnya lambat launpun ia berhenti..

Wajahnya terlihat bingung dengan apa yang terjadi padanya.

"Di.. Udah sadar?" tanyaku.
"A..Aku kenapa No?" kasdi bingung.

"Kamu kesurupan.. Eh bukan, kita berhalusinasi." jelasku.

Kasdipun mencoba mencerna apa yang terjadi. Lambat laun ia merasakan sakit dari bekas cakaranya di tubuhnya.

Cukup lama kami menunggu di sambungan gerbong itu. Tak peduli seberapa angin dingin yang menerpa kami dan hujan yang mengguyur kami.

Untuk kami, saat ini kedua hal itu tidak lebih buruk dari kejadian yang kita alami tadi.

"Kereta ini sepanjang apa sih no?" tanya kasdi.

"Aku nggak tau di, gak sempat menghitung tadi.."

"Kalau gerbong-gerbong berikutnya seperti tadi, sepertinya aku gak kuat" ucap Kadi.

Ia mengusap matanya, entah itu air mata atau hujan yang membasahi wajahnya.

"Tenang di, tenang.. Kita hadapin ini bareng-bareng" ucapku.

Di hadapan kami sudah terpampang pintu gerbong berikutnya.

Kami belum siap untuk menghadapinya, tapi cepat atau lambat kami pasti harus membuka pintu gerbong itu..

Butuh waktu beberapa menit hingga Kasdi mulai bisa berdiri dengan tenang.
Sepertinya tetesan air hujan dan angin yang kencang juga membuatnya tidak betah di sambungan gerbong ini.

"Kira-kira apa yang ada di gerbong itu ya No?" tanya Kasdi.

"Nggak tahu Di, tapi kita harus cepat-cepat menemui siapapun petugas atau masinis yang ada di depan" balasku.

Kasdi mengatur nafasnya, ia menatap tajam pintu gerbong di depan dan mempersiapkan mentalnya.

"Pokoknya begitu kita buka pintu itu, kita langsung lari secepat mungkin! apapun yang ada di sana kita pura-pura tidak melihat saja" Perintah Kasdi.

Aku setuju denganya, kita tidak perlu tahu ada apa yang ada di gerbong setelah ini sampai kita menemui manusia siapapun.

"Satu.. dua... tiga!"
Aku membuka pintu sementara kasdi berlari duluan, aku segera menyusul mengikutinya.

Brakkkk!!!

Seketika Kasdi menabrak sebuah tembok yang membuatku juga terjatuh menabraknya.

"Aduh!!! Assemmm.. opo iki!" (assem, apa ini?) Ucap Kasdi.

"Gimana to? malah nabrak!" balasku.
Kasdi meraba-raba tembok di depanya, iapun menemukan jalan dari sisi sebelahnya.

"Asem.. gerbong makan No, penyok hidungku.."
Aku menepuk dahiku, kami sama sekali tidak menyangka akan gerbong berikutnya adalah gerbong makan.

"Ya udah hati-hati, nggak usah peduliin apapun" ucapku.

Kasdi setuju, dalam kegelapan kami berusaha mencari jalan untuk lekas meninggalkan gerbong ini.

"Ada makanan gak ya?" Tanya Kasdi tiba-tiba.

"Laper kamu? jangan aneh-aneh.. ini kereta nggak beres" balasku.

Kami berjalan melalui beberapa meja dan kursi yang berhadap-hadapan.

Sebenarnya kami merasa tidak ada hal aneh di tempat ini, namun kami melihat segelas kopi yang masih panas tersaji di salah satu meja.

"Kopi No.. masih panas" ucap Kasdi.
"Berarti tadi ada orang di sini.." balasku.

Kasdi mengangguk, kamipun merubah rencana kami dan mencari orang tersebut.

"Permisi!!!"
"Mas? Mbak.. siapapun, ada orang di sini?"

Kami mencari perlahan ke setiap meja dan bangku di bawahnya namun tidak ada petunjuk apapun.

Tidak menyerah, akupun melompat ke dalam meja bar tempat yang membatasi petugas restorasi dengan penumpang.

Aku mengecek ke kolong meja hingga ke rak yang ada di dalamnya.

Awalnya aku pikir tidak akan menemukan apa-apa, tapi saat sampai di lemari penyimpanan belakang tiba-tiba terdengar suara ketukan yang sepertinya tidak di sengaja.

Aku membuka lemari itu, dan benar saja.. ada seseorang di sana.

"Di.. sini di! ada orang!"

Kasdi segera melompati meja dan menghampiriku.
"Dia masih hidup No?" tanya Kasdi.

Aku mencoba mendekatinya dan beberapa kali menggoyangkan tubuhnya.

"Mas... mas.. bangun mas!" ucapku.

Aku memeriksa masih ada nafas di tubuh orang itu dan mencoba membangunkanya lagi.

"Permisi mas! bangun"

Dengan perlahan tiba-tiba orang itu membuka mata dan mencoba mengenali kami.

"Si-siapa kalian? Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanya orang itu.

AKu dan Kasdi saling menatap, kami sedikit bernafas lega ketika tahu masih ada satu manusia lagi d kereta ini.

"Masnya petugas kan, tolong mas.. kita mau pergi dari kereta ini. Ini bukan kereta biasa kan?" Kasdi langsung bertanya secara frontal.

Orang itu mencoba berdiri dan mendekati kami, namun sepertinya ia gagal. Wajahnya terlihat frustasi seolah sudah tau kondisinya.

"Kalian seharusnya tidak ada di kereta ini" ujar orang itu.

"I-iiya mas, makanya kita ingin pergi" balasku.

"Terlambat, kereta ini hanya berhenti di satu stasiun tua.. setelahnya kereta ini akan berjalan terus melalui jalur khusus" ucap orang itu.

"Jalur khusus? maksud masnya?"

"Harusnya kalian sudah tahu kan apa yang dibawa kereta ini?" petugas itu memandang mata kami memastikan.

"I-iiya mas" jawabku sambil menelan ludah.

"Mayat-mayat itu?" Kasdi memperjelas.
Petugas itupun mengangguk.

"Itu mayat apa mas?" Tanyaku.

"Harusnya kalian sudah tahu tentang kereta ini, kereta yang memang dikhususkan untuk mengangkut Tumbal untuk proyek raksasa" jelas petugas itu.

Walaupun sudah menduga, aku dan kasdi tetap saja merinding saat mendengar pembenaran dari petugas itu.

"Gila, sebanyak itu Mayatnya?" tanya kasdi.

"Tidak hanya mayat, mereka yang masih hidup juga sengaja di jebak di racun agar mati di kereta ini untuk menggenapi"

Mendengar ucapan itu kamipun mulai emosi. Berarti bisa saja penumpang-penumpang di gerbong yang tadi sebelumnya masih hidup.

"Brengsekk.. siapa orang biadab yang tega melakukan hal ini" ucap kasdi dengan penuh emosi.

"I..itu, saya" balas petugas itu.

Sontak aku dan Kasdi kaget.

"Mas? Mas yang membawa mayat dan menghabisi penumpang tadi?" tanyaku.

Petugas itu mengangguk.

"Brengsek! untuk apa ini semua?" Kasdi menarik kerah petugas itu dan melemparnya keluar.

AKu berusaha menahan tubuh Kasdi. Akupun terbakar emosi, tapi saat ini rasa takut tidak bisa lolos dari kereta ini lebih membuatku takut.

"Sabar Di, sabar... dia satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu kita selamat" ucapku.

Petugas itu mencoba untuk berdiri, tapi aneh.. ia sama sekali tidak bisa mengangkat tubuhnya.

"Lha.. masnya sendiri, kenapa bisa begini?" Tanyaku.

Mendengar pertanyaanku perlahan petugas itu mulai menitikkan air mata.

"Sa...saya dijebak.."

"Maksud masnya?"

"Kami sekelompok diancam oleh bos proyek dan diminta untuk mengumpulkan tumbal.. ada uang yang besar yang dijanjikan, namun bukan itu alasanya..

Anak dan istri kami dijadikan jaminan apabila gagal mengumpulkan tumbal, merekalah yang akan dibawa"

"Maksudnya bila tidak dapat mengumpulkan tumbal, anak istri masnya dan yang lain yang akan dikorbankan?" tanyaku.

Petugas itu mengangguk.

"Terus, kenapa masnya masih di sini?" Tanya Kasdi.

"Saya bertugas menghitung seluruh jasad dan korban yang disiapkan. Namun ternyata kurang satu..

Saya mulai merasa ada yang tidak beres, dan ternyata dugaan saya benar.. sayalah yang harus menggenapi jumlah tumbal itu" jelasnya.

"Bagaimana bisa? apa yang dilakukan mereka sama masnya?"

"Kopi itu, saya membuat kopi sembari mencari cara untuk pergi.. ternyata ada racun di kopi itu" jelasnya.

"Seandainya bukan dari kopi itu, pasti ada cara lain yang dilakukan untuk membunuh saya"

Kasdi menatapku, kami menoleh kembali ke arah gelas kopi yang seharusnya sekarang mulai mendingin.

"Kalian pergilah, kalau kereta ini sudah sampai tujuan kalian tidak mungkin selamat" ucap petugas itu.

Sedari tadi memang itu tujuan kami..

"Tapi gimana caranya mas?" tanyaku.

"Rem darurat di setiap gerbong sudah di rusak, dari tiga belas gerbong yang ada hanya gerbong paling depan yang memiliki rem darurat..." ucap petugas itu.

"Tiga belas gerbong? berarti masih setengah perjalanan lagi" Balasku.

"Kami mengalami berbagai kejadian di gerbong sebelumnya mas, apa gerbong berikutnya juga sama atau malah lebih parah?" Tanya Kasdi.

Wajah petugas itu terlihat bingung.

"Kejadian? seharusnya hanya ada jasad dan orang baru saja meninggal mas" ucap petugas itu.

Aku berpikir, mungkin saja benar kejadian-kejadian sebelumnya adalah halusinasi atas rasa takut kami setelah melihat mayat sebanyak itu.

"Ya sudah mas, ada apa saja di gerbong berikutnya?" tanyaku mempercepat.

"Seharusnya hanya ada jasad manusia yang terjebak, sebagian diracun dengan gas sebagian lagi memang tidak bernyawa.. tapi.." ucapan petugas itu tertahan.

"Tapi apa mas?"

"Di barisan gerbong berikutnya ada seorang ne..."

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba ia terbatuk memuntahkan darah dari mulutnya.

"Mas.. kenapa mas? mas?" ucap Kasdi panik.

Sayangnya petugas itu terus batuk, darahnya bermuncratan ke dinding-dinding kereta.

Tak ada sepetahpun kata yang ia ucapkan lagi hingga terbaring tak bergerak.
Akupun panik dan mengecek nafas dan detak jantungnya.

"Mati di... dia mati.." teriakku panik pada Kasdi.

"Aaaagggrrhhh... " Kasdi menggoyangkan tubuh petugas itu dan memastikan namun petugas itu benar-benar tidak bergerak.

Kami melampiaskan kekesalan sesaat dengan memukul dinding kereta. satu-satunya harapan kami untuk bisa pergi kini menghilang.

"Kita harus lanjut No! nggak bisa diem di kereta ini" ucap kasdi.

"Tapi lanjut ke mana?" tanyaku.

"Denger kan tadi? ada rem darurat di gerbong paling depan.. kita berhentiin kereta ini dan pergi" Jawab Kasdi.

"Terus keretanya gimana?"

"Aku gak peduli, biar aja kereta ini berhenti di hutan-hutan begini.. sisanya kita tinggal cari cara untuk meninggalkan hutan-hutan ini" ucap kasdi.

Memang cukup beresiko, tapi ada benarnya juga. Di hutan lebih aman daripada di kereta ini.

Setelah mempersiapkan diri, kali ini kami benar-benar mengambil ancang-ancang untuk berlari secepat mungkin menerobos gerbong berikutnya.

Benar ucapan petugas itu. Gerbong berikutnya layaknya gerbong kereta biasa, namun semua orang di kursinya terlihat tertidur.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, Kami tidak lagi berniat mengecek kondisi penumpang itu dan memilih untuk menerobos ke gerbong berikutnya.

Gerbong berikutnya tidak jauh berbeda, namun ada bau kemenyan yang tercium di gerbong ini.

Seperti tadi, kami ingin berlari secepat mungkin meninggalkan gerbong ini. Tapi tiba-tiba Kasdi terhenti saat menyadari sesuatu..

"Biadab.." ucap kasdi setelah sadar dengan sosok di sekitar kami.

Aku yang baru saja menyadarinya juga berusaha menahan mual. Bagaimana tidak..

Seluruh penumpang di kereta ini sudah tidak bernyawa dengan kepala yang sudah tidak lagi berada di tempatnya...

"Siapa? siapa yang tega melakukan hal ini?" ucapku.

Kami berusaha menahan rasa takut kami, dan terus berjalan. dan tepat saat akan memasuki gerbong berikutnya, pertanyaan kamipun segera terjawab..

Dari kaca di pintu gerbong, terlihat seorang nenek tua berambut putih panjang dengan baju kebaya yang sudah bersimbah darah.

Ia menggenggam sebuah parang di tanganya dan menghampiri satu persatu penumpang yang baru saja menjadi mayat itu.

Ia memenggal kepala setiap penumpang itu tanpa belas kasihan...

Sebaliknya, ia malah tertawa seolah menikmati apa yang ia lakukan itu.

"Khekehkeh..."

Suara tawa nenek itu menggema hingga keluar. Ia mengangkat kepala penumpang itu dan menikmati tetesan darahnya.

"Edan... dia siapa No? nggak waras dia" ucap Kasdi.

Samar-samar aku teringat wujud nenek yang kulihat saat hendak menaiki kereta ini.

"Nggak tahu Di, yang jelas dia berbahaya... " jawabku.

"Terus gimana cara kita ngelewatin gerbong itu?"

Tidak ada jalan lain, di tengah hujan malam itu dan cepatnya kereta melaju. Kami memutuskan untuk memanjat gerbong untuk melewati nenek-nenek itu.

"Kamu bisa naik ke atas?" Tanyaku pada Kasdi.

"Bisa, tangan.. luka segini mah ga seberapa" balasnya percaya diri.

Aku membantu Kasdi naik terlebih dahulu. setelahnya aku memastikan nenek itu tidak menyadari keberadaan kami dan menyusulnya naik ke atas.

Aku pernah beberapa kali menaiki atas gerbong kereta, namun biasanya di siang hari dan tidak pernah secepat ini.

Saat ini kami berhati-hati sembari merangkak di gerbong menahan terpaan angin dan air yang terasa tajam di wajah kami.

"Khekhekhekhe..."

Sudara nenek itu masih terdengar, hal itu seolah menandakan ia baru saja memenggal satu jasad penumpang lagi.

"Hati-hati No, jangan sampai kedengeran sama nenek itu" peringat Kasdi.

"Iya, kamu juga... awas, licin"

Walau cukup lama, kamipun akhirnya sampai ke ujung gerbong. kami berpikir untuk turun atau terus melakukan perjalanan dari atas.

"Kalau kita lanjut perjalanan dari atas sini, kira-kira bisa lompat ke gerbong berikutnya?" tanyaku pada kasdi.

"Bahaya.. licin banget, tapi kalau berhasil berjalan di atas gerbong saat ini lebih bahaya dibanding di dalam" balas kasdi.

"Ya terus gimana?"

"Aku milih ngambil resiko itu, kita coba lompat ke gerbong depan.." balas kasdi.

Aku sedikit ragu, tapi aku setuju bahwa itu pilihan terbaik saat ini.

Kasdipun mengambil ancang-ancang ia sedikit berlari dan melompat ke gerbong berikutnya.

Brakk!!!

Terdengar suara yang cukup keras saat Kasdi mendarat ke atap gerbong berikutnya.

Akupun bersiap melakukan hal yang serupa, aku berlari dan melompat menuju gerbong berikutnya. seharusnya ini bukanlah hal yang sulit.

Brakk!!!

Sekali lagi terdengar suara yang keras tepat saat aku mendaratkan kakiku di atap gerbong, namun sialnya air hujan membuat pijakanku meleset hingga tubuhku hampir terjatuh di celah sambungan gerbong..

"No! Pegang!!" terak Kasdi menjulurkan tanganya. Dengan sigap aku meraih tanganya dan beberapa kali menendang dinding gerbong untuk naik kembali.

Aku selamat, jantungku berdegup kencang membayangkan bila aku terjatuh dan tergelincir ke hutan.

"No.. Kusno..."

Aku mengatur nafas mencoba menenangkan diriku kembali.

"No.. I..itu No.." Kasdi memukul pundakku sembari menunjuk ke bawah.

"Apaan di?" tanyaku bingung.

Akupun memperhatikan arah kemana jari kasdi menunjuk.

Siall.. dari kaca pintu gerbong yang kami lewati sebelumnya, terlihat nenek itu menatap ke arah kami.

"Ketahuan.. kita ketahuan Di" ucapku.

Wajah nenek itu terlihat marah. Matanya melotol sembari menggenggam parang di tanganya. Ia membuka pintu gerbong itu seolah bersiap mengejar kami.

"Lari!! lari terus!" Perintah kasdi.

Sekuat tenaga kami berlari dengan hati-hati. samar-samar terdengar langkah yang sama dari bawah seolah mengikuti kemana arah kami.

Kami melompat ke gerbong berikutnya dan benar saja nenek itu sudah berada di ujung gerbong sebelumnya mengejar kami.

"Mandek!!! Kowe kabeh kudu mati! ora ono sing oleh urip!" (Berhenti, kalian semua harus mati! tidak ada yang boleh hidup)

Terdengar suara teriakan nenek itu yang terdengar jelas di telinga kami.
Sudah jelas, nenek itu punya kekuatan aneh..

Kami tidak mempedulikanya dan terus berlari sehati hati yang kami bisa, namun sialnya tepat di ujung kereta ini wajah nenek itu muncul dan berusaha menaiki atap gerbong..

"Gila.. nenek itu! nenek itu Di!" Teriakku.
Kakiku lemas melihat keberadaan nenek itu. Kasdi yang berada di depanku pun terlihat gentar melihat nenek yang tua yang menyeret parang sambil tertawa terkekeh..

"Nek.. jangan nek! kita tidak bermaksud apa-apa! kita hanya ingin pergi!" Ucap Kasdi.

"Kekehkeh... terlambat! Kalian sudah melihat semuanya" balas nenek itu.

Nenek itupun berjalan perlahan mendekat ke arah kami.

"Gimana di?"
"Ka..kabur lah No.."
"Tapi gimana?"

Kasdi melihat ke arah sekitar..
"Lewat samping.. " ucapnya.
"Gila kamu? jatoh langsung mati kita.."
"Makanya jangan jatoh..."

Aku tidak bisa berpikir lagi, kamipun spontan turun lewat samping di sisi berbeda dan merambat dengan pijakan kisi-kisi jendela..

aku sekuat tenaga menggenggam pinggir atap dan merayap perlahan. Ini sulit! sangat jauh berbeda dari adegan-adegan yang sering kulihat di film.

Aku merayap perlahan, namun sialnya tiba-tiba dari atas wajah nenek itu muncul di tengah hujan sembari mengajungkan parangnya.

Aku menghindar dengan melepaskan salah satu genggamanku, namun salah satu bahuku terluka tak mampu menghindar.

"Tahan Kusno! Aku berhentikan kereta ini!" Teriak Kasdi yang kembali naik.

Aku tahu, tujuan Kasdi bukan berlari lebih dulu melainkan untuk memancing nenek itu.

Benar saja, nenek itu terpancing dan kembali mengejar kasdi.

Aku memperbaiki posisiku dan kembali ke atas, Kasdi melompat ke gerbong berikutnya. sialnya tidak seperti bentuk tubuhnya, nenek itu mampu mengimbangi kecepatan Kasdi dan ikut melompat.

Dengan menahan lukaku aku mengejar mereka, tapi sepertinya nenek itu punya rencana lain.

Ia menarik sebuah tusuk kondenya, mengambil sebuah boneka jerami dari dalam kebayanya dan membacakan mantra sambil menatap kasdi.

"Mati kowe!" (Mati kamu!)

Nenek itu menusuk boneka jerami itu, bersamaan denganya Kasdi yang berada di depanya terjatuh. Samar-samar aku melihatnya memuncratkan darah dari mulutnya.

"Kasdi!!" Teriakku.

Kasdi berusah berdiri, ia masih ingin mencoba berlari meraih gerbong terakhir.

"Sudah Kasdi! Jangan bangun lagi!" teriakku menyadari sesuatu.

Nenek itu kembali menusukkan tusuk kondenya, Kasdipun kembali terjatuh tengkurap.

"Nenek brengsek! biar aku lepaskan gerbong-gerbong ini!" Teriakku yang bersiap melompat ke sambungan gerbong.

Berhasil, nenek itu mengalihkan pandanganya ke arahku.

"Ojo kewanen kowe!" (Jangan berani-berani kamu)
Teriak nenek itu mengancam.

"Aku ra guyon! tak lepas gerbong-gerbong ini" (Aku tidak bercanda! Akan kulepas gerbong-gerbong ini)

Nenek itu menatap marah ke arahku, aku harus memastikan nenek itu tidak menatap ke arah kasdi.

"Kusno sekarang!!!"

Tepat dengan ancang-ancang dari kasdi akupun melompat ke arah sambungan gerbong.

Bersamaan dengan itu kereta ini melewati terowongan jembatan yang dengan sekejap menghantam tubuh nenek sialan itu.

"Mati kau nenek brengsekk!" umpat kasdi.

Tepat saat melewati terowongan jembatan itu seketika wajah nenek itu sudah ada di depan wajahku yang jatuh terduduk.

Tidak.. bukan nenek itu, itu kepala nenek itu yang terpisah saat menabrak terowongan jembatan tadi.

"Aaararrggg.. nenek sialan!" Akupun melempar kepala itu ke hutan tempat kami melintas.

"Kasdi!" aku segera bergegas melewati gerbong berikutnya untuk memeriksa keadaan Kasdi.

Ia turun dari atap gerbong tepat sebelum gerbong paling depan.

"Gimana di? lukamu?" Tanyaku memastikan.

"Tenang aja, nggak papa.. aku tahu ilmu santet begituan, kalau dia ga punya rambut atau darahku dia ga bakal bisa langsung ngebunuh" jelas kasdi.

"Kok kamu bisa tahu begituan?" Tanyaku.

"Bapakku kan dibunuh pake santet kaya begitu, udah nggak usah dibahas" Balasnya singkat.

Aku tertegun sejenak mendengar jawaban Kasdi. Namun itu tidak berlangsung lama.

Dihadapan kami saat ini adalah gerbong terdepan, benar ucapan petugas itu.. ada sebuah tuas rem darurat yang tertutup kaca. Sepertinya itu memang masih bisa berfungsi.

"Gila.. bener-bener ga ada manusia lagi di gerbong ini?" ucapku.

"Mereka mempercayakan memberhentikan kereta ini cuma sama nenek-nenek itu? bener-bener gak waras" tambah kasdi.

Tak mau mengulur waktu lagi, kamipun memecahkan kaca pengaman tuas rem darurat itu dan menariknya sekuat tenaga.

Berhasil... Kereta mulai melambat walaupun dengan kasar.

Kami merasakan beberapa tubrukan dari gerbong-gerbong belakang, mungkin saja ada beberapa gerbong yang terlepas dari rel.

Kami tidak peduli, setidaknya kereta berhasil melambat.

Tidak menunggu kereta itu berhenti, saat kecepatan sudah mulai aman kamipun melompat menuju pinggir hutan. Dengan segera kami berlari menjauh dari kereta yang sepertinya beberapa gerbongnya akan keluar dari lintasan rel itu.

"Lari! Jangan berhenti.. ikuti arah ruas pohon saja biar gak tersesat" Perintah kasdi.

Aku mengikuti perintah kasdi. Hutan ini sangat gelap, tapi setidaknya pohon-pohon disini adalah pohon jati yang memang ditanam manusia. Jadi posisinya sedikit teratur.

Kami berlari sekuat tenaga. Dan ketika merasa sudah mulai aman, kamipun berhenti di daerah yang tidak begitu jauh dari jalan utama.

"Sudah aman?" tanyaku.
"Harusnya sudah, kita jalan aja cari jalan raya.. terus kita cari tumpangan truk saja" ucap Kasdi.

Malam itu terasa begitu panjang, saat matahari terbit barulah kami sampai di pinggir jalan yang dilewati berbagai kendaraan.

Kasdi akhirnya berhasil memberhentikan sebuah truk untuk kami tumpangi.

"Ngapunten pak, ijin numpang sampe kota ya" ucap kasdi.

"Lah tumben mas, jarang-jarang ada yang numpang dari tempat beginian?" tanya supir itu.

"Iya, mas tadi kita naik ke.." belum sempat menjawab supir itu Kasdi menyenggol tubuhku.

"Iya mas, tadi kita salah turun. Boleh ya numpang?"

"Boleh.. naik aja di belakang" Ucap supir itu tanpa curiga.

"Matur nuwun mas" balasku.

Kamipun bergegas memanjat bak truk itu dan mencari posisi yang nyaman.

"Akhirnya No.. kita bisa bernafas lega" ucap Kasdi.

"Iya Di, soal kejadian di kereta itu apa kita laporin ke polisi ya?"

"Gila kamu.. mereka itu pemain proyek bisa, kita nggak tahu siapa kawan mereka. Salah-salah kita yang diincar" jawabnya.

Benar juga, tidak mungkin kereta sebesar itu bisa beroperasi tanpa sepengetahuan lembaga terkait.

"Udah tidur aja, sampai kota baru kita pikirin mau ngapain" ucap kasdi.

Akupun bersiap untuk tidur, tapi belum sempat untuk itu tiba-tiba Kasdi menatapku dengan aneh.

"No.. yang kamu tidurin itu, kantung apa? besarnya kok nggak wajar?" Tanya kasdi.

Sontak aku kembali terduduk dan memastikan apa yang dimaksud Kasdi. Tidak mungkin kantong seperti di gerbong kereta tadi juga kami temukan di saini.

"Hahaha.. becanda No! udah tidur!"

Kasdi tertawa terkekeh merasa berhasil mengerjaiku. Aku membalasnya dengan melemparkan sepatuku yang basah kepadanya.

"Sial kamu! awas, tak bales kamu nanti" ucapku kesal.

Truk yang kami tumpangi melaju dengan tenang menuju kota.

Kisah mengenai kereta yang mengangkut puluhan tumbal itupun kami putuskan untuk kami simpan dan tidak kami ceritakan ke siapapun.

Selain mungkin akan membahayakan kami, lagipula apa ada yang akan percaya?

- TAMAT -

close