Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo - Omah Kandang Mayit (Part 1)

Seharusnya desa itu sudah ditinggal oleh penduduknya, tapi mengapa tiba-tiba ada sebuah bangunan baru di sana?

Anehnya, rumah itu tidak dihuni oleh manusia. Setiap kamar diisi dengan satu jasad perempuan..


Omah Kandang Mayit (Rumah Kandang Jenazah)

JEJAKMISTERI - Tetesan darah terlihat membasahi jalan desa.
Belum ada yang menyadari bahwa itu adalah darah manusia sampai salah satu warga bersaksi.

Seorang ibu melihat seorang wanita berjalan terhuyung sembari tertawa cekikikan menuju hutan perbatasan desa.

“Minah mas.. Minah mlaku sambil ngguyu, nanging mlakune koyo wong loro"
(Minah.. Minah jalan sambil tertawa, tapi jalanya seperti orang kesakitan) Ucap Mbok Mar yang mengaku melihatnya dari jendela rumahnya.

Mendengar kesaksian itu beberapa warga memasuki hutan dan mengikuti jejak darah yang terlihat.

Tidak sulit menemukan Minah, jejak darah dan suaranya yang berisik membuat warga dengan cepat menemukanya.
Sayangnya, yang warga temukan bukan Minah yang biasa mereka kenal.

Bukan seorang Minah yang biasa dengan ramah menyapa warga yang berpapasan denganya, melainkan yang mereka temukan adalah sosok seorang perempuan yang tertawa seperti orang gila.

Minah tengah menikmati seekor ayam hitam yang sepertinya sengaja diikat di tempat itu oleh seseorang.

Tanpa belas kasihan, ayam yang sebelumnya masih berusaha melarikan diri itu ia bunuh. Lehernya telah terputus oleh perbuatan Minah sementara darahnya tengah mengalir ke mulut Minah.

“Ojo Minah, uwis.. ayo mulih”
(Jangan Minah, sudah.. ayo pulang) larang seorang warga menghentikan perbuatan Minah yang membuat seluruh warga desa yang datang menahan mualnya.

Ada sekitar tiga orang warga yang mencoba membawa Minah kembali, namun Minah terus memberontak sambil terus tertawa seperti orang gila.

Sementara itu berlarilah seorang pria dengan wajah cemas yang dipanggil oleh warga lainya. Dia Mas Musi, suami Minah yang sepertinya baru saja kembali dari tempat kerjanya.

“Minah, kowe kenopo to Nah? Uwis, ayo mulih” (Minah, kamu kenapa Nah? Sudah, ayo pulang) Ucapnya sembari tak kuasa menahan air matanya.

Sayangnya Minah tidak menghiraukan ucapan suaminya itu. Ia masih terus berusaha menikmati darah dari ayam hitam yang sepertinya memang khusus disiapkan oleh seseorang untuknya.

Seolah tak ada jalan lain, merekapun memaksa sekuat tenaga mengikat Minah dan membawanya pulang ke rumah Mas Musi.

Sayangnya kejadian menjijikkan di hutan itu membuat mereka lupa tentang asal darah yang menetes dari tubuh Minah.

“Minah wis diincer sosok besar, aku wis ra iso opo-opo”
(Minah sudah diincar oleh sosok besar, saya sudah tidak bisa apa-apa)
Mbah Tumejan terlihat berkeringat setelah keluar dari ruangan dimana Minah diikat.

Selama ini mbah Tumejan merupakan sosok yang paling dipercaya dalam menangani kejadian seperti ini.

“Terus mbah, piye nasipe Minah.. aku ora tego ndelok Minah koyo ngene”
(Terus mbah, bagaimana nasibnya Minah.. aku tidak tega melihat Minah seperti ini)

Mas Musi masih berusaha memohon pada Mbah Tumejan.
Mbah Tumejan hanya menggeleng, ia berkata jujur pada Mas Musi bahwa ia memang tidak bisa membantu mengenai permasalah ini. Tapi ia akan berusaha mencari cara ataupun seseorang yang mungkin bisa membantu Minah.

Warga desapun hanya bisa pasrah, merekapun meninggalkan Mas Musi bersama Minah yang dipasung dengan mengenaskan di sebuah ruangan di rumah kayu milik Mas Musi di pinggir desa.

"Mas Musi” seorang warga tiba-tiba mengurunkan niatnya untuk pergi dan kembali sebentar.
"I..iyo mas?”

"Dulu desa ini juga punya orang sakti, yang konon bisa mengalahkan sosok seperti buto” ucap warga desa itu.

"Ma..maksud masnya?”

"Seandainya dia masih ada, dia pasti bisa menolong Minah..”

"Kalau memang orang itu sudah tidak ada, lantas maksud masnya memberi tahu hal ini apa?” tanya Mas Musi bingung.

Warga desa itu menoleh sebentar memastikan bahwa sudah tidak ada warga lain di dekatnya.

"Orang itu punya seorang anak yang juga diwarisi ilmunya, mungkin dia bisa menolong Minah. Tidak seperti Mbah Tumejan yang pengecut itu” bisiknya.

Seketika wajah Mas Musi berubah, raut wajahnya seperti menerima harapan baru akan kesembuhan Minah.

"Tolong kasih tahu saya Mas, siapa orang itu...”
Warga itu tersenyum kecil, ia menoleh ke arah salah satu sudut desa.

"Semua warga lama mengenalnya, rumahnya ada di pinggir sawah sedikit terpisah dari desa. Anak dari seorang sinden yang bernama Nyai Kirana..
Ia mewarisi nama keluarga dari ayahnya,,

Dananjaya Sambara..”

***

(Sudut pandang Danan..)

Suara pintu digedor berkali-kali sejak tadi pagi.
Akupun merasa sangat terganggu dengan hal itu, tapi orang itu masih tidak ingin pergi.

“Nyai, tolong nyai... Minah benar-benar butuh pertolongan” ucap orang itu.

Ibu terlihat cemas, namun ibu berusaha tidak menghiraukan ucapan orang itu. Tapi tetap saja suara pintu diketok masih terus terdengar.

“Wis to Mas Musi, Danan dudu Bisma.. bocah kuwi durung iso koyo bapake"
(Sudah to mas musi, Danan bukan Bisma, anak itu belum bisa seperti ayahnya.) ucap Ibu.

“Tapi Nyai, kabeh uwong wis nyerah.. mung Danan harapan kulo sing iso nyelametke Minah”
(Tapi Nyai, semuanya sudah menyerah, hanya Danan harapan saya yang bisa menyelamatkan Minah.) balas salah satu warga desa yang bernama Mas Musi itu.

Aku memang sudah mendengar sebelumnya. Tentang Mbak Minah istri Mas Musi yang baru beberapa bulan pindah ke desa.

Mbak Minah sudah beberapa hari dipasung di salah satu ruangan di rumah mereka karena tingkah lakunya yang aneh dan membahayakan nyawanya.

Dari yang kudengar, Mbak Minah tertawa seperti orang kesetanan tanpa henti. Bahkan ia tidak mau makan dan minum selain memakan ayam hidup. Mas Musi dan warga menjadi dilema akan kondisi Mbak Minah.

"Anak saya belum siap mas, sebaiknya kita tunggu Bimo kembali dari perjalananya” jelas ibu.

"Bagaimana kalau Minah mati duluan sebelum Mas Bimo kembali Nyai...” ucap Mas Musi.

Kali ini terdengar suara isakan tangis dari depan pintu rumah. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya dan segera menghampiri ibu.

"Bu, apa kita coba saja?” ucapku ragu.

"Ojo Nan, kowe isih cilik.. iki masalah nyowo, ora mung nyawa Mbak Minah, tapi yo nyowo kowe" (Jangan Nan, kamu masih kecil.. ini masalah nyawa. Tidak hanya nyawa Mbah Minah, tapi nyawa kamu juga ) ucap ibu sembari memegang bahuku.

Akupun menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menenangkan ibu. Perlahan dengan ragu aku membuka pintu rumah dan keluar untuk duduk di sebelah Mas Musi. la tengah meratap menahan tangisnya berharap ibu dan aku akan berubah pikiran.

"Mas, aku iki dudu sopo-sopo. Ilmuku adoh seko bapak. Opo wae sing terjadi mengko, kuwi atas kuasa Gusti yo..”
(Mas, aku ini bukan siapa-siapa. Ilmuku jauh dari bapak, apa saja yang terjadi nanti, itu semua atas kuasa Tuhan.) ucapku berusaha menyampaikan
perasaanku pada Mas Musi.

"Mas wis pasrah Le, saya hanya berharap Tuhan menitipkan kesembuhan Minah lewat tanganmu” ucap Mas Musi.
Ibu melihatku dari sela pintu rumah, ia terlihat menghela nafas dengan wajah yang cemas.

Tapi saat sudah mengerti keputusanku ia membawakan kopi hitam untuk Mas Musi sebelum akhirnya Mas Musi berpamitan.

"Sepulang sekolah besok saya akan mampir mas, biar saya mempersiapkan diri dulu” ucapku.

Mas Musipun mengangguk dan berterima kasih sebelum berpamitan pergi.

"Kamu yakin le?” tanya ibu.

"Ndak bu, makanya biar Danan mempersiapkan diri dulu” balasku pada ibu.

Sudah beberapa tahun setelah kepergian bapak, dan selama itu pula aku hampir tidak pernah berurusan dengan sosok-sosok tak kasat mata.

Ibu bersikeras menjagaku agar bisa fokus pada pendidikanku agar bisa lulus dan memenuhi salah satu cita-citaku berkuliah di Jogja.

Ada beberapa tulisan-tulisan yang ditinggalkan oleh bapak. Sudah beberapa kali aku membaca setiap tulisan yang ditinggalkanya.

Tapi alih-alih menulis tentang ajaran ilmu kanuragan, bapak malah memilih untuk menulis wejangan-wejangan untukku.

Itu bukan hal yang buruk, dengan tulisan peninggalan bapak aku jadi lebih bisa menengangkan diri dari rasa kehilangan.

Tapi, apa benar bapak tidak menuliskan sama sekali tentang ilmunya? atau minimal pengalaman spiritualnya?
Sebuah rumah kayu yang cukup besar terlihat di hadapanku. Bukan bangunan baru, Mas Musi membelinya dari warga yang memang sudah tidak tinggal di desa ini.

Walau begitu, rumah ini termasuk nyaman untuk ditinggali.
Aku dan beberapa warga masuk ke dalam rumah sementara ada beberapa warga yang berjaga di luar. Ada satu buah kamar utama yang sepertinya cukup besar sepertinya itu adalah kamar untuk Mas Musi dan Mbak Minah.

Tapi.. bukan disitulah Mbak Minah berada saat ini.

“Khekhekhe... Mas, pitikku ngendi? Aku luwe.. khekehekhe"
(Mas, ayamku mana? Aku sudah lapar... khekhekhe)
Terdengar suara seorang wanita yang terus tertawa dari sebuah ruangan yang berbeda, sayangnya suaranya terdengar sangat lemah. Mas Musi menjelaskan bahwa Mbak Minah hanya mau memakan ayam hidup dan menolak semua makanan yang disuguhkan untuknya.

Pintu kayu di ruangan itupun kubuka..

Ada seorang perempuan yang seharusnya sudah beberapa kali kulihat di desa, tapi wujudnya saat ini hampir tidak dapat kukenali.
Kedua tangan wanita itu terikat dengan rantai pada tiang pondasi rumah.

Tubuh dan wajahnya terlihat kurus dengan beberapa luka di tanganya yang sepertinya ia dapatkan saat berusaha melepaskan diri.

Posisi tubuh Mbak Minah tidak jauh dari kasur yang disediakan oleh Mas Musi, tapi sepertinya Mbak Minah tidak pernah meniduri kasur yang terkadang menjadi pelampiasan kegilaanya. Ada beberapa bercak darah di sana, entah sudah pernah melakukan hal senekat apa Mbak Minah di sana.

“Ngopo? Ngopo mbok gowo bocah iki?” (Kenapa? Kenapa kamu bawa anak ini?)

Saat menatapku seketika wajah Mbak Minah berubah serius. Matanya menatap tajam ke arahku seolah mengetahui niatku.

Mengetahui respon itu, akupun segera membaca doa untuk melindungi diriku sekaligus memohon keikhlasan dari Yang Maha Pencipta bila aku memang ditakdirkan membantu Mbak Minah.

Entah apa yang memicunya, saat itu juga Mbak Minah mengamuk.

Saat itulah aku samar-samar melihat sosok makhluk yang merasuki Mbak Minah. Ada makhluk hitam berambut panjang dengan wajah yang sudah tidak berbentuk terlihat merasuki dirinya.

Entah mengapa, saat ini kegilaan Mbak Minah semakin menjadi-jadi.

Ia yang tidak berhasil melepaskan diri dari rantai itu akhirnya menggigit lenganya dan mengoyak daging di tubuhnya. Darahpun kembali membasahi tubuh dan baju Mbak Minah yang terus menggila.

Sontak Mas Musi menahan amukanya itu dengan segala cara sementara aku mempersiapkan sebuah doa sambil menggapai kepala Mbak Minah.

Kalimat-kalimat penenang kulafalkan untuk menenangkan sosok roh di dalam tubuh Mbak Minah.

Ada segelas air yang juga sudah kusiapkan untuknya setelah ia mulai tenang.

Mbak Minah terlihat mulai tenang, tapi ada yang aneh dengan wajahnya. Ia mengangkat wajahnya dan menyeringai ke arahku..

“Ngomong opo?” (Ngomong apa?)

Aneh? Doa-doaku sama sekali tidak berpengaruh untuk Mbak Minah. Sebaliknya ia malah balik menantangku.

Keringatpun mulai menetes di pelipisku, rasa ragu mulai datang, namun aku ingat wejangan bapak.

Bukan doa dan ayat-ayat suci yang tidak ampuh untuk menangani masalah, melainkan kesiapan hati kita saat melafalkanya.

Sekali lagi aku menatap sosok di dalam tubuh Mbak Minah dengan segala kesiapanku. Mata Mbak Minah terlihat berubah kembali menjadi amarah.

Tak cukup sampai di situ, seolah berusaha untuk menjatuhkan mentalku ia memanggil sosok-sosok hitam yang saat ini berdiri dan merayap di sudut-sudut ruangan.

Aku menelan ludahku berusaha tetap tegar.

Kata Bapak, selama kita tidak lari dari jalan Yang Maha Pencipta kita tidak perlu takut dengan sosok-sosok seperti makhluk-makhluk itu.

Kali ini doa yang sama kubacakan dengan hati yang lebih siap. Sosok di tubuh Mbak Minahpun mulai merasa tidak nyaman dan meronta-ronta.

Aku meneruskanya dengan lafalan ayat-ayat suci untuk memaksanya keluar dari tubuh Mbak Minah.
Berhasil...

Mbak Minah terkulai lemah di lantai sementara aku melihat sosok wanita kurus hitam berambut panjang terpisah dari tubuh Mbak Minah dan terkapar di lantai.

"Jangan sombong bocah! Aku akan kembali lagi ke tubuh wanita itu!”

Mendengar ancaman itu akupun tersulut oleh emosi. Sebuah amalan api yang pernah diajarkan bapak kulafalkan ke arah makhluk itu dan meMbakarnya.

"A..api apa itu Nak Danan?” tanya Mas Musi bingung.

Mas Musi sudah pasti tidak bisa melihat pertarunganku dengan sosok ini.

"Makhluk yang merasuki Mbak Minah mas, dia masih mengancam untuk merasuki Mbak Minah lagi..” balasku.

Sekali lagi aku membacakan doa yang mampu meMbakar sosok itu hingga suara teriakan kesakitan menggema ke seluruh ruangan.

Seluruh orang yang ada di ruangan itu bergidik ngeri mendengar suara tanpa sumber yang terlihat itu.

Tak berapa lama, akhirnya suara itupun menghilang bersama sosok makhluk yang tadi merasuki Mbak Minah. Tak lama setelahnya, makhluk yang menyaksikan dari sudut-sudut ruangan itupun mulai meninggalkan tempat ini.

Merasa keadaan sudah mulai aman, akupun menutup doaku dan menarik nafas lega.

"Nak Danan..” Mas Musi memanggilku dengan nada suara bergetar, akupun segera menoleh ke arahnya.

"Minah.. Minah kenapa mas?” tanyanya padaku.

Mendengar pertanyaan itu akupun menoleh ke arah Mbak Minah.

Keringatku menetes...

Mbak Minah tidak seperti yang kulihat tadi saat setan itu meninggalkan dirinya.

Mbak Minah tidak lagi terkulai lemas. Saat ini ia terbujur kaku dengan mata yang terus melotot dengan rahang yang terus menganga.

Akupun bergegas memeriksanya. Tidak ada lagi roh yang merasukinya, namun mengapa keadaanya bisa seperti ini.

Seketika akupun panik..

Aku membacakan doa yang kupelajari untuk membersihkan penyakit ke segelas air dan mencoba meminumkanya pada Mbak Minah, namun itu sia-sia.

Tak putus asa, akupun membacakan doa dan beberapa mantra yang seharusnya dapat memulihkan jiwa seseorang tapi itu juga sia-sia.

"Mas.. kenapa bisa begini mas?” tanya Mas Musi.
Aku mengelap keringatku, beberapa warga mulai berbisik-bisik sembari menatap kearah kami.

"Dia membunuh Minah!” terdengar teriakan dari salah satu warga.

Aku menoleh ke arah kumpulan warga itu, namun aku tidak menemukan siapa yang mengatakanya.

"Tidak, Mbak Minah.. Mbak Minah masih hidup” jelasku sembari terus berusaha melakukan sesuatu terhadap Mbak Minah.

Sayangnya teriakan warga tadi membuat Mas Musi Panik.

"Danan? Apa yang sudah kamu lakukan?” Tanya Mas Musi dengan air mata yang menetes.

"Anak kecil sok berurusan sama setan, begini jadinya,” terdengar lagi kata-kata dari beberapa warga yang menyaksikan kejadian ini.

Jantungku berdegup kencang, apa benar ada yang salah dengan perbuatanku.

Satu-persatu tuduhan terdengar dari warga, ada yang mengatakanya secara langsung dan ada yang berbisik-bisik.

Di tengah kebingunganku tiba-tiba muncul seorang bapak dari tengah kerumunan itu.

Dia adalah Pak Jumito, sang kepala desa.
la menarik tubuhku dari dalam ruangan itu dan membawaku keluar.

"Jangan bergunjing, bawa Minah ke rumah sakit sekarang” perintah Pak Jumito sembari menarikku keluar.

Warga yang berada diluar terheran melihat Pak Jumito yang membawaku dengan wajah yang serius.

“Pak, sa...saya..”

“Saya tidak tahu apa yang kamu lakukan, saya juga belum bisa menilai apa yang terjadi.. sekarang pulang!” perintah Pak Jumito.

“Ta...tapi pak..”

“Pulang! Renungkan sendiri apa yang sudah kamu lakukan!”

Aku tidak mampu membantah perintah Pak Jumito. Saat itu juga aku meninggalkan rumah itu sembari menahan air mata. Tatapan warga yang bingung menghantarkanku sebagai seorang yang gagal dan menimbulkan masalah baru.

“Nan... Danan, ayo keluar dulu”
Terdengar suara ibu mengetuk pintu kamarku. Namun aku tetap terdiam.

“Maafin Danan bu, seharusnya Danan nurut sama ibu.. Danan belum siap” ucapku sembari meringkuk di salah satu sudut kamar.

Terdengar suara ibu menghela nafas merespon jawabanku.

“Sudah Nan, ingat selalu ucapan Bapak. Selama niatmu baik dan melakukan sebaik yang kamu bisa, Keputusanya tetap di tangan Tuhan. Jangan menghukum dirimu seperti ini” ucap Ibu.

Aku memikirkan dengan keras perkataan ibu. Namun aku tetap tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku. Entah beberapa kali ibu mencoba memintaku keluar, namun aku tetap tidak mengindahkanya.

“Yowis le, tenangkan dirimu dulu. Selalu ingat, jangan sampai satu kesalahanmu menghalangi tujuan- tujuan baikmu..”

Ibupun meninggalkanku dan membiarkanku menyendiri. Menit demi menit, jam berganti jam kuhabiskan untuk merenungkan perbuatanku dan mencerna ucapan ibu.

Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus seperti ini. Setidaknya selama Mbak Minah masih bernafas, aku harus terus mencoba untuk menolongnya.

Aku membuka pintu dengan cepat dan menghampiri ke arah barang-barang peninggalan bapak.

“Nan, kamu nyari apa?” Tanya ibu.

“Barang-barang peninggalan bapak, semua ada di sini atau masih ada yang lain bu?” tanyaku.

"Setahu ibu ada di sana, ibu bantu cari kalau memang ada yang tercecer” balas ibu tanpa bertanya lebih jauh.
Ada beberapa peninggalan bapak yang kucari.

Mengenai catatan-catatan atau kitab yang mungkin bisa menunjukkan kasus serupa dengan Minah.

Cukup banyak waktu yang kuhabiskan di sudut ruangan dengan membuka lembar demi lembar. Ibu sesekali menoleh ke arahku memastikan keadaanku.

Sudah beberapa kali ia mengganti gelas kosong yang sebelumnya berisi teh panas yang ia buatkan untukku.

Ketemu...
Ada sebuah catatan dari bapak yang menceritakan tentang seseorang yang kesurupan.

Ada beberapa kasus dimana makhluk yang merasuki orang itu hanya kamuflase untuk menyembunyikan bahwa sukma orang itu sudah diambil.

Catatan itu membawaku pada sebuah tirakat untuk mendapatkan petunjuk akan hal ini.

Siapa yang meletakkan Ayam hitam di hutan?

Siapa yang mengambil sukma Mbak Minah?
Dan Siapa sosok besar yang dimaksud Mbah Tumejan?

Semua pertanyaan itu memantapkanku bahwa aku harus menghadapi sosok itu untuk menyelamatkan Mbak Minah.

Pagi itu aku terbangun setelah tanpa sengaja tertidur di ruangan barang-barang bapak. Ada sosok yang harus kucari, semua ini harus kutuntaskan untuk mengakhiri rasa bersalahku.

"Bu, Danan pergi..” teriakku sembari berjalan dengan cepat keluar rumah.

"Kemana le?” balas ibu.

Namun aku tidak menjawabnya, aku sengaja tidak menjawabnya dibanding harus berbohong pada ibu.
Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku berpapasan dengan Pak Jumito dan Mas Musi yang sepertinya menuju ke rumah.

"Danan, mau kemana?” Tanya Pak Jumito.

"Memperbaiki kesalahan saya..” Balasku tanpa memandang matanya sama sekali.

"Jangan nekat, biar kita coba cari jalan keluar untuk permasalahan Minah” balasnya mencoba menahanku.

“Iya Nan, maafkan saya kemarin terbawa emosi. Salah saya yang terpengaruh oleh seorang warga yang memintaku agar memaksamu” tambah Mas Musi.

Ada warga yang meminta Mas Musi untuk memintaku menolong Mbak Minah?

Aku menoleh sebentar ke arah Mas musi.

Muncul berbagai pertanyaan di kepalaku saat ini. Tapi.. saat ini akupun mengalihkan pandanganku dan memilih berlari meninggalkan Pak Jumito.

“Danan!”

Aku mengacuhkan teriakan Pak Jumito dan terus berlari mencari apapun petunjuk yang bisa kudapat.

“Pak Tumejan!” teriakku memanggil seseorang yang lebih dulu memeriksa Mbak Minah.

“Danan? Ada apa tiba-tiba?” tanyanya heran sembari menyambutku.

“Sosok besar yang menyerang Mbak Minah.. itu Siapa?” aku berbalik bertanya sembari terengah-engah.

Pak Tumejan menarik nafas, ia berusaha mengerti permasalahanku.

“Jangan salahkan dirimu Danan, semua sudah jalanya..”

"Tidak pak.. siapa sosok itu?” tanyaku memaksa.
Mbah Tumejan menatap mataku, sepertinya ia membaca keadaan saat ini.

Seandainya ia tidak mau memberi tahuku, mungkin aku akan mencari tahu dengan cara yang lebih berbahaya untuk mendapatkan nama sosok itu.

"Akan saya katakan.. tapi jangan berbuat nekat” balas Mbah Tumejan.

Aku mengangguk dengan spontan hanya untuk mendapatkan petunjuk mengenai sosok itu.

"Ada bangunan baru di bekas desa tengah hutan yang sudah di tinggal warganya, sebuah rumah kayu besar. Orang itu akan datang ke sana pada malam-malam tertentu.” Ucap Mbah Tumejan.

"Siapa orang itu pak?” tanyaku.

"Kamu akan tahu saat melihat wajahnya, dia sosok besar yang berpengaruh. Jadi jangan nekat” balas Mbah Tumejan.

Merasa tidak ada lagi petunjuk yang bisa kudapat akupun berterima kasih dan pamit menuju tempat yang ditunjukkan oleh Mbah Tumejan.

Aku tahu mengenai sebuah desa yang telah lama ditinggal warganya. Tidak ada sumber air di sana, dan ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi sebelum warga

Memutuskan untuk pergi. Yang membuatku cukup heran, ada yang membangun rumah di sana? Untuk apa?

Aku berlari menerobos hutan, satu demi satu semak dan dedaunan kusibak menuju arah desa itu. Cukup jauh, bahkan aku harus menyebrangi beberapa sungai untuk mencapainya.

Tak lama saat lewat tengah hari, tiba-tiba aku terhenti oleh seseorang yang menghadangku di tengah hutan itu.

“Wis Nan, ojo nekat.."

Aku mengenal pria itu, dia Cahyo atau biasa dipanggil Panjul seorang anak laki-laki seumuranku yang telah dianggap anak sendiri oleh Paklek Bimo.

“Minggir Jul, bukan urusanmu..” balasku sembari terus melewatinya namun tanganya menghadangku.

“Haha.. kamu mau ngapain ke sana? Ini bukan mainan anak-anak”

“Minggir!” perintahku.

“Kalau gak mau?” ucap Cahyo menantang.

“Kamu mau jadi seperti bapakmu kan? Orang Goblok yang nekat?”

Mendengar itu emosiku tersulut.

"Siapa yang kamu bilang Goblok?” Tanyaku memastikan dengan mata mengancam.

"Kurang jelas? Bapakmu!”
Saat itu juga pukulanku mendarat di pipi Cahyo.

"Tidak ada yang boleh menghina Bapak!” teriakku yang segera dibalas dengan pukulan serupa yang mendarat di pipiku.

"Terus kalau bukan Goblok apa? Tolol?” Kata- kata Cahyo kembali membuatku marah.

Aku kembali mengayunkan lenganku untuk memukulnya, tapi kali ini ia menangkisnya dan membalas dengan sebuah tendangan yang membuatku terpukul mundur.

Tak terima dengan seranganya, akupun membalas seranganya lagi dan berhasil mendaratkan beberapa pukulan. Namun ternyata tak sedikit juga luka lebam yang sudah terjiplak di wajahku.
Aku semakin kesal, amarah menguasai tubuhku, kali ini aku tidak peduli dengan siapa yang kulawan.

Kukerahkan semua ilmu beladiriku untuk melawan Cahyo.

Tapi...
Beberapa detik kemudian aku sudah terkapar di tanah tak berdaya dengan pukulanya yang membuatku kembali terjatuh.

"Si..sial!” ucapku mencoba berdiri tapi Cahyo kembali memukulku hingga terkapar lagi.

Akupun menyerah terbaring di tanah sembari kembali mencoba mengatur nafasku. Cahyopun terduduk kelelahan setelah hampir beberapa jam kami bertarung.

"Udah Puas?” tanya Cahyo.

"Sudah.. cukup, nafasku habis” balasku dengan terengah engah.

Percuma saja, untuk masalah baku hantam ilmu bela diri Cahyo masih lebih baik dariku. lapun mencoba memaksa berdiri dan menghampiriku lagi.

"Bapakmu tuh goblok, bisa-bisanya sendirian menantang maut. Bedanya sama kamu dia punya Paklek yang selalu siap ngebantuin di pertarunganya..” ucap Cahyo.

Mendengar ucapan Cahyo itu aku tidak lagi termakan oleh emosi. Ada benarnya juga ucapan Cahyo barusan.

"Kamu sama saja gobloknya, makanya aku dateng ke sini. Mana bisa aku biarin kamu berbuat bodoh sendirian” ucap Cahyo sembari menjulurkan tanganya.

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Di hati kecilku aku merasa senang ada seorang lagi yang khawatir denganku.

Akupun meraih tanganya dan berusaha untuk kembali berdiri.

"Sial, dasar bocah ketek.. mbok ya ngomong aja gak usah pake berantem” ucapku.

"Lha piye to? Kan kowe sing mukul aku disik?" (Lha gimana sih? Kan kamu yang mukul duluan) balas Cahyo dengan muka kesal.

"Lha tapi kan kamu yang mancing?” balasku.

"Haha.. udah-udah, toh kalau kamu masih kebakar emosi apa kamu mau dengerin omonganku?” ucap Cahyo.

Benar juga, mungkin jika aku tidak kelelahan dan tidak melampiaskan kekesalanku, mungkin aku tidak akan bisa berpikir jernih seperti sekarang.

"lya juga, matur nuwun yo..” ucapku sembari membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di bajuku hasil pertarungan tadi.

"Nggak usah dipikirin, yang penting kalau kamu masih niat ke desa itu kita harus benar-benar bersiap- siap” ucap Cahyo.

"Iya Jul, kamu sendiri gimana? Setahuku kamu tidak sepertiku, mata batinmu dibuka dengan bantuan paklek.. kamu yakin mau menghadapi sosok-sosok di sana?” tanyaku.

Cahyo menoleh ke arahku sembari melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Kamu lupa? Siapa barusan tadi masih terkapar di tanah?” ucapnya sombong.

Akupun menggaruk kepalaku sembari menahan malu atas kekalahanku tadi. Cahyo memang kuat, tapi yang terpenting adalah keberadaanya bisa mengingatkanku apabila mencoba bertindak bodoh lagi.

***

Langit yang memerah menyambut kedatangan kami di sebuah desa yang lebih pantas disebut dengan sekumpulan puing. Hampir semua rumah-rumah kayu disini telah hancur menyisakan kayu-kayu yang berlumut.

Tapi...

Ada satu rumah di sana, sebuah rumah besar dan mewah yang berdiri tegap diantara puing-puing bangunan lainya. Ada beberapa bangunan di sampingnya yang juga menempel ke rumah ini.

"Itu istana nan? Gueede banget..” tanya Cahyo.

"Mbuh, pokoknya hati-hati. Aku sudah merasa nggak enak semenjak tiba di desa ini” jawabku.

Aku memperhatikan Cahyo, sepertinya tanpa kukatakanpun ia sudah merasa jauh tidak nyaman. Beberapa kali ia menutup hidungnya dengan sarung yang selalu ia bawa.

"Bau bangkai nan, samar-samar.. aku nggak yakin, tapi ini bukan bau bangkai hewan” ucap Cahyo.

Aku semakin waspada mendengar ucapan Cahyo, namun aku masih belum mengerti. Kamipun memutuskan untuk mendekat ke rumah itu dengan mengendap-ngendap.

Besar.. sangat besar. Rumah yang kami lihat dari jauh cukup mencolok ternyata memiliki halaman yang luas dan bangunan yang besarnya tidak biasa.

"Ini bukan rumah biasa nan” ucap Cahyo. "Lebih mirip sebuah puri seperti di keraton-keraton gitu ya?”

"Iya nan, hati-hati.. kita intip dulu”
Kami memastikan kondisi rumah itu. Sepi, tidak terdengar suara orang dari luar. Tapi dari satu sisi rumah kami melihat sebuah mobil yang terparkir di dalam.

"Ada orang, perasaanku nggak enak” ucap
Cahyo.

"Memang harus ada orang. Kalau tidak, akan sia-sia kita ke sini” ucapku.

Kamipun menemukan celah untuk masuk melalui salah satu jendela menuju ke sebuah kamar. Ada bau dupa dan kemenyan yang menyengat di ruangan itu.

Dengan mudah kami menemukan asal bau itu di bawah ranjang rapuh, sebuah nampan yang berisi kembang sesaji, kemenyan, dan dupa yang baru saja habis.
Dari celah pintu kamar kami mengintip mencari tahu isi bangunan ini sekaligus mengecek keadaan.

Tidak ada tanda-tanda manusia di luar ruangan ini dan kamipun memutuskan untuk keluar.

Sialnya setiap sudut ruangan ini terasa aneh. Ada berbagai benda-benda pajangan dari tulang hewan maupun benda antik yang terkesan tidak wajar.

Cahyo berjalan ke salah satu kamar mengikuti penciumanya. Ketika membuka pintu kamar, seketika wajahnya berubah drastis.

"Bajingan..” gumam Cahyo.

Akupun menyusulnya dan seketika melihat apa yang membuat Cahyo mengumpat seperti itu.

Sebuah kamar, persis dengan kamar tempat kami masuk tadi. Bau kemenyan dan sesajen yang sama namun ada sosok yang terbaring di kasur.

"Itu mayat?” tanyaku heran.

"Nggak mungkin kondisi begitu masih hidup kan Nan?” balas Cahyo.

Kami mendekat, ada sesosok jasad perempuan yang hampir membusuk. Seharusnya baunya sudah menyengat, namun jasad ini sepertinya dirawat dengan wewangian rempah-rempah dan kemenyan yang di bakar di bawah ranjang khusus itu.

Banyak dugaan yang kami pikirkan tapi kami tidak banyak berbicara dan terus menyusuri kamar lainya.

Dan benar.. yang kami takutkan terjadi, banyak jasad perempuan dengan kondisi serupa di beberapa kamar lainya.

"Menurutmu.. ini apa Jul? Tumbal?” tanyaku.

Cahyo menggeleng, "Nggak tahu Nan, baru kali ini aku melihat ada tumbal diperlakukan seperti ini.”

Di tengah rasa bingung kami, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka dari salah satu kamar.

Terdengar langkah kaki dari beberapa orang yang keluar dari sana.

“Wis tenang wae, kabeh wis tak atur. Sing juragan minta ora suwi meneh..” ucap orang itu.

Aku memperhatikan sosok orang yang berbicara itu dan wajahnya tidak asing. Dia.. dia adalah salah satu warga desa.

Salah satu orang yang ikut datang di rumah Mas Musi saat aku mencoba menolong Mbak Minah.

"Jul, orang itu..” aku mencoba berbisik, tapi Cahyo malah menahan mulutku sembari memberi kode untuk diam.
Tapi.. kejadian mengerikan terpampang di hadapan kami.

Kakek itu merespon ucapan pemuda itu dengan mencengkeram mukanya dan mengambil paksa bola mata pemuda itu dari tempatnya.

“Goblok! kowe wis ngerti masalahe nek geleme Raden boten keturutan” 16 balas seorang kakek berbaju jawa yang keluar dari ruangan yang sama.

"Ampun Mbah! Ampun..” balas pemuda itu memohon. Sepertinya ia tidak menyangka dukun itu akan bereaksi seperti itu.

Namun dengan ajaib, bola mata itu dikembalikan ke tempatnya di rongga mata pemuda itu.

pemuda itupun memastikan ia bisa melihat kembali seperti biasa walau masih ada sisa darah di pipinya.

“Maturnuwun mbah! Kulo.. kulo boten niat nguciwani Raden..” 17 Balas pemuda itu sembari terburu-buru meninggalkan rumah.

Kakek itu menutup kembali pintu itu tepat setelah pemuda itu pergi. la berjalan perlahan menuju ke ruangan tempat ia muncul.
Kami berusaha menyembunyikan keberadaan kami.

Namun seolah merasakan sesuatu tiba-tiba kakek itu berhenti dan menoleh ke arah kamar tempat kami bersembunyi.

Deru nafas kami semakin cepat seirama dengan detakan jantung kami. Apa yang harus kami lakukan bila kakek itu menghampiri kami? bertarung?

Tidak..
kakek itu bukan kakek-kakek biasa, ada sosok besar tak kasat mata yang melindunginya.

Mencabut bola mata dan mengembalikanya seolah tidak terjadi apa-apa, itu jelas bukan ilmu biasa.
Suara langkah kakek itu semakin mendekat.

Cahyo menahan mulutku dengan lebih erat. Namun tepat sebelum kakek itu sampai ke pintu kamar ini tiba-tiba terdengar suara dari salah satu kamar yang terletak di ujung.

“Brakk!!” “Prangg”

Suara benda terlempar seolah ada seeorang yang memberontak di sana.

Terdengar langkah kaki dukun itupun menjauh. Kami mengintip dan memastikanya.

Suara pintu didobrak dengan kasar. Terdengar suara pukulan beberapa kali, namun anehnya tidak ada suara teriakan dari ruangan itu.

"Soyo suwe sampeyan terus bertahan, soyo suwe sampeyan bakal nandhang sangsara"
(Semakin lama kamu bertahan, semakin lama kamu menderita) Ucap kakek itu yang kembali meninggalkan ruangan itu dan berjalan ke tempat dari mana ia datang.

Setelah memastikan kakek itu pergi kamipun berjalan dengan berhati-hati menuju ruangan kamar yang disambangi kakek tadi.

Kami membuka perlahan pintu itu dan mengintip, dan memang ada seseorang di sana.

Seorang kakek terbaring lemah terikat di bawah dengan berbagai luka di sekujur tubuhnya. Dan satu lagi yang membuatku meringis.

Mulut kakek itu dijahit dengan tali hitam dengan sembarangan. Sisa darah masih tersisa di bibirnya.

"Kek.. kakek!” aku mencoba membangunkanya, namun sepertinya tenaganya masih terlalu lemah.

Aku mencoba mencari beberapa benda tajam dan menemukan beberapa pecahan kaca. Dengan sigap aku membuka ikatan di tangan dan kaki kakek itu.

"Nan, kamu serius mau menolong kakek ini? kalau ternyata dia juga orang jahat gimana?” Tanya Cahyo Ragu.

"Kakek ini manusia Cahyo.. walaupun dia orang jahat, belum tentu juga dia pantas diperlakukan seperti ini” balasku sembari terus melepas ikatan kakek itu.

Aku melihat, kakek itu sempat menatap memperhatikan kami beberapa kali.

Cahyo dengan mudah menerima pendapatku, ia mencari ke beberapa ruangan dan berhasil menemukan sebuah gunting yang sudah berkarat.

"Harusnya ini bisa membantu Nan” ucap Cahyo sembari menyerahkan gunting itu.

"Ngapunten yo kek, saya akan coba sehati-hati mungkin..” ucapku sembari perlahan menggunting jahitan di bibirnya.

"Sudah kek, ini saya bawa minum..” ucapku sembari membantunya meminum air yang kubawa.

la meringis kesakitan dengan luka di bibirnya, namun sepertinya rasa haus kakek itu lebih menyiksa dibanding lukanya.

"Kek sebenarnya apa yang terjadi di tempat ini?” tanya Cahyo penasaran.

Kakek itu menatap kami berdua, namun tidak berkata sepatah katapun.

"Ngapunten kek, nama saya Danan dan teman saya ini Cahyo. Kami ingin membantu warga desa kami yang sepertinya berhubungan dengan seseorang di tempat ini” jelasku sembari sesopan mungkin memperkenalkan diri.

Sayangnya, kakek itu tetap tidak mau bicara.

Kami mencoba mengerti, mungkin rasa sakit di mulutnya membuatnya menahan untuk bicara.

"Ayo nan, kita bawa kakek ini ke tempat yang aman dulu” perintah Cahyo.

Aku mengangguk dan bersiap membantu kakek itu berdiri.

Anehnya kakek itu malah menggenggam tangan kami seolah menolak untuk diselamatkan.

“Pangestu kawula dhumateng panjenengan sedaya ingkang nindakaken karsa ingkang sae, mboten wonten ilmu hitam ingkang ngalang-alangi panjenengan kekalih"

(Restuku kuberikan untuk kalian yang berniat baik, tidak ada ilmu hitam yang akan menghalangi kalian berdua)

Sebuah kalimat dengan suara yang berat terdengar dari mulut kakek itu.

Seperti sebuah restu dari seorang sesepuh, namun entah mengapa aku merasakan kekuatan aneh dari kata-kata itu.

“Kek..” Cahyo menyadari keanehan dari kakek itu.
Akupun segera menyadari setelahnya.

Tepat setelah mengucapkan kalimat itu kakek tertunduk menjatuhkan kepalanya sembari terduduk.

“Nafasnya... nafasnya ilang” ucapku panik.
Aku dan Cahyo menyentuh tubuhnya yang mendingin.

Beberapa kali aku membacakan mantra penyembuh yang pernah kupelajari dari bapak namun sepertinya tidak berhasil.

“Tenang Nan, tenang..” ucap Cahyo yang berusaha menenangkanku walau aku tahu dia juga panik.

Kami mencoba beberapa cara untuk mengembalikan nafasnya baik secara medis maupun dengan mantra yang kami tahu. Sayangnya itu tidak berhasil.

Kamipun berniat membawa tubuhnya pergi dan membawanya ke rumah sakit, tapi tiba-tiba kami berdua merasakan sesuatu dari dalam tubuh kakek itu. entah apa itu, tapi itu seolah pertanda bahwa kakek itu belum mati.

"Gimana Nan?” tanya Cahyo memastikan keputusanku.

Aku menggeleng tidak mampu membuat keputusan, namun aku mengingat tentang kondisi Mbak Minah dan seseorang mengerikan yang menjadi dalang kejadian ini.

"Aku merasa dia bukan kakek biasa, semoga saja kita bisa menyelamatkan dia setelah mencari tahu dalang atas semua ini” ucapku.

Cahyopun mengerti. Kami berpamitan kepada kakek itu sembari meletakkan air minumku di sebelahnya bila saja kakek itu tersadar.

Dengan berhati-hati kami mengintip isi ruangan yang dimasuki dukun tadi. Tapi, tidak ada seorangpun di ruangan itu.

Setelah memastikan ruangan itu kosong, kamipun memutuskan untuk masuk dan dengan segera kami langsung mengetahui kemana dukun itu pergi.

"Pintu ke ruangan bawah tanah? Aku pikir hal beginian Cuma ada di film-film aja nan” ucap Cahyo.

"Lha iya, ngeri yo.. tapi kok aku penasaran”
balasku.

Kami melanjutkan perjalanan kami dengan hati-hati. Tepat saat menuruni tangga kami terkagum dengan apa yang berada di bawah. Sepertinya bangunan di bawah tanah ini sudah ada sebelum rumah ini dibangun.

Ada beberapa ruangan menyerupai goa namun sudah direnovasi dengan dinding. Ada jalan yang menuju ke ruangan-ruangan lain pula. Sepertinya tempat di bawah tanah ini bahkan lebih besar dari luas rumahnya sendiri.

Tidak seperti di atas, di bawah terdengar beberapa suara orang-orang yang beraktifitas. Kami berjalan berhati-hati mencari sumber-sumber suara itu.

Ada seseorang yang berjalan melintas. Seorang ibu dengan kebaya jawa dengan rambut yang disanggul.

Ia berjalan terburu-buru ke suatu tempat dengan membawa peralatan.

"Cepet, Raden wis ngenteni..." (Cepat, raden sudah menunggu) ucap seseorang yang ternyata merupakan dukun tadi.

“lyo, iki wis karik sitik..“ (Iya, ini sudah tinggal sedikit) balas ibu itu.

Mereka berduapun berjalan menuju sebuah ruangan. Terdengar beberapa kali siraman air dari ruangan itu. Sang dukun menunggu dengan cemas di depanya. Aku sungguh penasaran dengan apa yang ada di sana.

Seolah tidak sanggup menahan sabar, Dukun itupun pergi meninggalkan tempat itu entah ke mana. Kesempatan itu kami gunakan untuk mencari tahu ada apa di ruangan itu.

Terlihat Ibu itu sedang merias seseorang perempuan.

Sepertinya suara air tadi adalah suara ibu itu memandikan perempuan itu. Wanita itu terlihat cantik, tapi.. ada yang aneh.

Tangan Cahyo terlihat mengepal seolah menahan emosi. Aku berniat menanyakan apa yang terjadi, namun terdengar langkah dukun itu yang mendekat kembali.

“Uwis?" (sudah?) tanya dukun itu.

Ibu itu mengangguk. Mereka berduapun saling membantu membawa perempuan itu dengan menidurkanya di tandu bambu dan membawa ke sebuah ruangan.

"Tu..tunggu, perempuan itu..” aku berbisik memastikan ke Cahyo.

"lya nan.. itu mayat” Jawab Cahyo.

Aku tidak habis pikir, untuk apa ada jasad perempuan didandani secantik itu dan dibawa ke sebuah ruangan. Semoga saja yang kubayangkan salah.

"Kapan perempuan di desa itu siap?” ucap seseorang yang berada di ruangan ujung.

Suaranya terdengar berwibawa, sang dukun dan ibu yang membawa mayat itu terlihat patuh padanya.

"Sebentar lagi Raden, tidak akan lama..” ucapnya.

"Aku tahu kalian tidak akan mengecewakanku” balas seseorang yang dipanggil raden itu.

Tapi, terdengar nada ancaman dari kalimat yang diucapkanya.

Setelah cukup lama berada di ruangan, dukun dan ibu itu keluar sembari menghela nafas. Mereka saling bertatap sebentar dan segera berpisah seolah sudah memiliki kesibukanya masing-masing.

Dengan berhati-hati kami mendekat ke ruangan itu. Pintunya tertutup rapat, tidak ada sedikitpun celah untuk kami mengintip.

Tak putus asa, kamipun memanjat bebatuan yang membentuk ruangan itu dan mencoba menggapai lubang udara untuk memperhatikan apa yang ada di dalam ruangan.

Aku.. aku dan Cahyo tertegun menyaksikan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Sekuat tenaga aku menahan mual dengan pemandangan di sana.

Gila.. orang itu sudah gila. Saat melihat ke dalam sosok jasad yang sudah didandani dengan cantik tadi sudah berantakan tanpa busana.

Dan sosok yang dipanggil ‘Raden’ tadi dengan buasnya menyetubuhi jasad itu.

Nafasku berderu cepat, aku tidak mampu lagi melihat pemandangan menjijikkan itu.

Sayangya tepat saat kami menoleh tiba-tiba terlihat sesosok pocong yang tergantung terbalik di langit-langit memergoki kebaradaan kami.

Braak!!!

Seketika kami terjatuh. Suara Raden dari dalam ruanganpun terhenti. la menyadari keberadaan kami.

“Mbah!!” teriak Raden dari dalam ruangan.

Terdengar seseorang bergegas berlari, namun kami segera bersembunyi di salah satu ruangan terdekat.

“Kalian tahu kan apa yang harus diperbuat pada mereka?” perintah Raden dari dalam ruangan.

"I...iya raden” balas dukun itu.

lapun mengambil keris dari ikatan belakang pinggangnya. Ada beberapa mantra yang ia baca di hadapan kerisnya. Pocong yang tadi memergoki kami seolah bergetar.

Sayangnya tak hanya satu..
Perlahan satu-persatu muncul makhluk serupa dari berbagai sudut di ruangan ini.

"Lari! Lari sebelum kita terkepung!” teriak Cahyo menarik tanganku.

Kami berlari ke arah tangga tempat kami masuk, namun ibu yang memandikan mayat tadi sudah berada di sana dengan membawa sebilah pisau. Kamipun berlari mencari arah lain.

"Ada tangga di sana!” ucapku yang melihat sebuah jalan yang menuju ke sebuah lubang ke atas.

Kami berlari ke sana sembari membaca doa hingga akhirnya kami tiba di luar. Sayangnya semua tidak seperti yang kami harapkan. Kami muncul di sebuah pemakaman.

Lubang tadi berada di salah satu makam yang dihiasi dengan sebuah nisan.

"Kuburan? Ada kuburan di tengah hutan ini?” tanya Cahyo.

"Nggak, ini kuburan baru. Bisa jadi ini adalah kuburan mayat yang sudah tidak berguna lagi” balasku.

Aku menduga seperti itu dikarenakan tidak ada nama di seluruh nisan yang berada di pemakaman ini.

“Kowe wis ndelok opo sing ra seharuse kowe ndelok” (Kalian sudah melihat apa yang tidak seharusnya kalian lihat) tiba-tiba terdengar suara dukun itu dari salah satu sudut hutan.

"Kalian lah yang gila! Apa yang kalian lakukan terhadap mayat-mayat itu dosa besar” teriakku.

“Dudu urusanmu” balas dukun itu.

Aku menoleh ke arah suara itu, namun tepat dihadapanku seketika muncul sosok jasad perempuan dengan wajah yang sudah hancur.

Tubuhnya sudah membusuk dengan belatung yang sudah menggerogoti tubuhnya.

Spontan aku melangkah mundur, namun di sisi belakangku tertahan mayat lain yang juga bernasip sama. Aku tidak ingin membayangkan bahwa ini adalah jasad korban nafsu biadab Raden itu.

"Jadi kau ingin menjadikan Mbak Minah seperti mereka?” Teriakku kesal.

Dukun itu hanya tersenyum tipis seolah meremehkan kami.

Saat itu juga aku membacakan sebuah doa dan ayat-ayat suci. Aku yakin hal ini bisa melepaskan ikatan jasad itu dengan dukun itu.

Benar saja, jasad itu kembali terkulai di tanah. Cahyopun berlari mendekat ke arah dukun itu.

Seolah bersiap, dukun itu membacakan mantra dan melemparkan benda ke cawan kuningan yang ia bawa dengan kemenyan terbakar di dalamnya.

Saat itu tiba-tiba ada sesuatu yang menarik kaki Cahyo hingga terseret menjauh. Aku menangkap tangan Cahyo, dan dengan membacakan beberapa ajian Cahyo berhasil melepaskan dirinya dari makhluk yang menariknya.

“Khekehkehe... kalian berguru rupanya” ucap dukun itu.

Dukun itu tertawa, apa dia yakin ilmunya lebih hebat daripada kami?

“Apa dukun yang menjadi gurumu mengajarkan kalian menghadapi mereka. Kehkehkehe” ledek dukun itu.

Seketika seluruh hutan di sekitar kami dipenuhi sosok mayat perempuan yang berdiri diatas makamnya masing-masing. Mereka menatap kami dengan wajah yang telah membusuk seolah menaruh dendam kepada kami.

"Nan, kapan terakhir kali kamu berurusan sama beginian?” Tanya Cahyo yang terlihat gentar.

"Waktu masih kecil, pas masih ada bapak..
kamu?”

"Sama.. terus ini kita gimana?

Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Belum pernah aku bertarung melawan ilmu hitam sekuat ini tanpa keberadaan bapak atau paklek.

"Ki..kita lari saja gimana?” ajakku.

Cahyo terlihat mempertimbangkan usulanku, tapi sepertinya itupun tidak akan mudah.

Sekuat tenaga kami berlari meninggalkan pekuburan itu. Namun entah bagaimana tiba-tiba mayat itu selalu menghadang di hadapan kami.

“Kehkehkehkeh...” suara dukun itu terdengar menggema di hutan seolah meledek kami.

Mungkin memang aku yang bodoh.

Apa yang bisa dilakukan oleh dua bocah SMA seperti kami melawan kekuatan hitam kelompok mereka. Harusnya saat melihat mayat di kamar tadi kami langsung melarikan diri meminta bantuan.

Nafas kami sudah mulai habis mencoba melarikan diri.

Langkah kami semakin lambat dan sosok mayat-mayat itu kembali mengerubungi kami.

“Kehkehe.. mayat wanita itu jatah raden, tapi mayat kalian sudah pasti menjadi jatahku. Kekehkehkehke... ” ucap dukun itu.

Keringat dingin mengucur di tengkukku.

Jantungku berdegap kencang membayangkan apa yang terjadi pada kami saat melawan mereka.
Namun di tengah keputus asaan kami, tiba-tiba dari jauh terlihat sesosok kakek yang wajahnya tidak asing.

"Lawan mereka, kalian sudah mendapatkan restuku..” ucap kakek itu.

Aku menepuk pundak Cahyo dan menunjuk ke arah kakek itu.

"I..itu kakek aneh tadi?” tanya Cahyo.

Aku mengangguk..

"Ta..tapi kek, ilmu kami masih jauh dari dukun itu” balasku.

Cahyo menengok heran ke arahku.

"Kakek itu ngomong?” Tanya Cahyo.

"lya, masa kamu nggak denger? Suaranya sekeras itu..” ucapku namun Cahyo hanya menggeleng.

"Aku berbicara dengan perantara pusaka di tubuhmu.. mulutku tidak boleh terbuka, ada sebuah berkah ataupun kutukan yang ada padaku” ucapnya.

"Maksud Kakek apa?” tanyaku lagi.

"Kalian berkomunikasi?” tanya Cahyo.

Aku mengangguk sembari menahan pertanyaan Cahyo. Ada sesuatu yang ingin disampaikan kakek itu sebelum akhirnya ia menghilang.

Setelahnya aku tersenyum.

Entah harus percaya dengan ucapan kakek itu atau tidak, namun sepertinya kami tidak punya pilihan lain.

“Idu geni sabdo dadi ...pernah dengan kata-kata itu?” tanyaku pada Cahyo.

"Pernah, terus hubunganya apa?”

Kini aku tahu mengapa mulut kakek itu dijahit oleh dukun itu.

"Kakek itu memiliki kutukan mengerikan, dimana setiap kata yang ia ucapkan pasti menjadi kenyataan” jelasku.

"Maksudmu?”

“Tadi bukanya kakek itu sudah memberi restu dan mengatakan tidak ada kekuatan hitam yang bisa menghalangi niat baik kita berdua?” balasku.

Cahyo mengerti dan mulai tersenyum.

“Hahaha... terus kamu percaya?” balas Cahyo yang mulai memasang kuda-kudanya.

“Nggak tahu, toh kita nggak punya pilihan.. anggap saja restu kakek itu sebagai penyemangat kita.”

Sebenarnya bukan hanya ucapan kakek itu saja yang membuatku semangat. Tapi perubahan wajah dukun itu yang membuatku semakin percaya diri.

la terlihat tegang saat mengetahui keberadaan kakek itu dan mendengar apa yang disampaikan pada kami.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close