Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 2) - Omah Kandang Mayit

Siapa sosok Raden yang memerintahkan dukun dan salah seorang warga desa untuk mengumpulkan Jenazah di rumah ini.
Terlebih Danan & Cahyo yang masih anak SMA harus berhadapan dengan sosok mengerikan pengabdi Raden itu.


JEJAKMISTERI - Langit yang semakin gelap membuat hutan ini semakin menunjukkan kengerianya. Ditambah lagi sosok mayat-mayat perempuan yang tiba-tiba muncul dalam kendali dukun itu kini mengincar kami dari segala sisi hutan.

“Roh pemilik mayat-mayat ini pasti sudah mati, dukun itu pasti mengisinya dengan makhluk-makhluk pengikutnya” Jelasku pada Cahyo.

“Benar, bisa jadi isinya makhluk sejenis pocong yang di bawah tadi” balas Cahyo.

Seandainya kami menyingkirkan rasa jijik dan kengerian dari sosok mayat-mayat ini, seharusnya kami tidak perlu takut dengan mereka.

“Minggir dulu Nan, mayat-mayat itu biar urusanku” ucap Cahyo semberi memintaku menyingkir.

Aku menoleh dan bersiap memberikan jalan untuknya. Namun seketika aku terkaget dengan wujud Cahyo saat ini.

“Lah, kita nggak lagi main ninja-ninjaan Jul!” Ucapku sembari tertawa melihat wujud Cahyo yang tengah mengenakan sarungnya hingga ke wajahnya.

“Ojo ngono, iki penting lho.. (Jangan begitu, Ini penting lho), ini tekhnik untuk menghindari belatung-belatung yang keluar dari tubuh busuk mayat itu” Balas Cahyo.

“Ealah... Seorang Cahyo takut sama belatung” ledekku sembari mulai menjauh.

Iapun hanya memelototiku seolah memintaku untuk berhenti meledeknya.

Tapi.. selain dari sarungnya, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Aku merasakan beberapa bagian tubuhnya diselimuti sesuatu yang kuat.
“Wanasura...” ucap Cahyo berbisik.

Tiba-tiba Cahyo menghentakkan kakinya ke tanah dan menerjang begitu cepat. Dengan beberapa gerakan Cahyo berhasil menendang mayat-mayat yang menghalangi kami hingga terkapar ke tanah.

Aku tidak melewatkan kesempatan itu, ada satu mantra yang sering digunakan Bapak setiap bertarung yang diturunkan kepadaku. Sebuah mantra penyambung ayat suci yang mengalun bagaikan puisi.. Gambuh Rumekso.

Raga yang telah membusuk itu menikmati angin yang terpanggil dengan mantraku, namun sosok yang merasuki jasad itu tersiksa dengan setiap ayat suci yang kubacakan.

Wajah dukun itupun terlihat kesal. Dengan serangan balik kami, ia terancam tidak dapat menggunakan jasad-jasad ini lagi sebagai senjatanya. Ayat-ayat suci yang kulantunkan bertujuan untuk menyempurnakan kematian jasad-jasad ini.

“Bocah-bocah brengsek, kalian terlalu berbahaya bila dibiarkan pergi” balas dukun itu.

Sekali lagi sesuatu dilemparkan ke cawan kuninganya dan menimbulkan percikan api dan bau kemenyan yang semakin menyengat.

Kini seketika tubuh kami berdua merasa gatal. Gatal yang teramat sangat sampai kami ingin menggaruknya dengan sekuat tenaga hingga terluka.

“Nan, opo iki Nan?” (Nan, Apa ini Nan?) Tanya Cahyo Panik.

“Tenang Jul, tenang dulu..” Balasku sembari berusaha membaca situasi.

Dukun itu tersenyum mengetahui seranganya berhasil menahan kami. Iapun menarik keris dari pinggangnya seolah bersiap untuk menikam kami.

Beruntung Paklek pernah mengajarkan beberapa mantra untuk memulihkan teluh seperti ini. Aku mengambil segenggam tanah dan membacakan doa.

Dengan sedikit olesan tanah itu gatal disekujur tubuhku dan Cahyopun berhasil mereda.

“Cih…” mengetahui siasatnya gagal, dukun itupun membatalkan seranganya.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kamipun segera berlari menerjang dukun itu.

Tapi sepertinya dukun itu tidak bodoh, ia membaca situasi dan memilih untuk mundur menghilang dibalik kegelapan hutan.
“Dia kabur?” tanyaku pada Cahyo.

Cahyo memanjat salah satu pohon yang cukup besar, tapi gelapnya hutan tanpa penerangan saat itu membuatnya tidak mampu menemukan sosok dukun itu.

“Nggak ada nan, nggak ketemu..“ balas Cahyo.
“Ya udah turun Jul, kita urusin dulu jasad-jasad ini” ucapku.

Cahyopun turun dan melihat jasad-jasad perempuan yang bergelimpangan di sekitar kuburan.

“Mau kamu apain nan? Nggak mungkin nguburin satu-satu kan?” tanya Cahyo.

“Lha, terus gimana? Ngebiarin jasad mereka di sini?”
“Kita kuburin, tapi nanti... minta bantuan warga desa juga..”

Kali ini aku setuju dengan ucapan Cahyo. Akupun segera beranjak dan pergi menuju lubang kuburan tempat kami masuk tadi.

“Heh.. heh... mau kemana lagi nan? Kamu gak bermaksud balik ke rumah itu lagi kan?” teriak Cahyo.

“Kita harus balik lagi Jul..“ balasku.

“Edan kowe! (Gila Kamu!) Nggak mungkin kita bisa melawan mereka. Belum lagi yang dipanggil Raden itu pasti juga punya pegangan” Tolak Cahyo.

Aku terdiam sejenak, memang berbahaya bila kembali ke tempat itu. Tapi tujuanku sama sekali belum tercapai.

“Tenang Jul, aku cuma ingin mencari sesuatu. Daripada beresiko, lebih baik kamu bantu memanggil warga desa kesini” ucapku.

“Ninggalin kamu gitu? Nggak nggak... udah cepetan mau ngapain? Tak temenin” balas Cahyo.

Kamipun memutuskan kembali masuk ke dalam, namun Cahyo memberi usul untuk masuk mengendap melalui desa tadi lagi. Pasalnya lokasi kami keluar kami tadi pasti sudah diwaspadai oleh mereka yang di dalam.
Cukup lama kami menemukan jalan kembali ke arah desa mati tadi.

Kami mengintip dan menemukan mobil yang kami lihat tadi masih berada di tempatnya. Ini menandakan Raden masih berada di tempat ini.
Kali ini kami lebih berhati-hati memasuki setiap ruangan. Ada sesuatu yang kucari, seharusnya ada di salah satu kamar di bangunan ini.

“Kamu nyari apa to nan?” tanya Cahyo bingung.

“Kamu inget kamar mana saja yang tidak ada jenazahnya?” Aku bertanya balik.

“Iya nan, dari baunya juga ketahuan mana kamar yang ada mayatnya” balas Cahyo.

“Kita periksa kamar yang masih kosong” ucapku sembari meminta Cahyo menunjukkan kamar yang masih kosong.
Aku memasuki kamar sementara Cahyo berjaga di pintu. Di bawah kasur ada sebuah nampan yang diisi sesajen tumpukan bunga dan kemenyan yang di bakar.

Aku membongkarnya dan menemukan apa yang kucari.
“Opo kuwi?” (Apa itu?) Tanya Cahyo bingung.

Aku menunjukkan pada Cahyo sebuah benda yang di bungkus kain kafan seukuran dua jari. Di dalamnya berisi gumpalan rambut, dan kertas bertuliskan mantra jawa yang ditetesi darah.

Aku menduga ini adalah rambut dan darah dari calon korban mereka.

“Jika dugaanku benar, benda ini yang mereka gunakan untuk menyandera sukma Mbak Minah dan korban lainya” jelasku pada Cahyo.

“Berarti kita sudah bisa pergi?” Cahyo memastikan.

“Belum, kita nggak tahu punya Mbak Minah yang mana. Kita bongkar semua sesajen di kamar yang kosong dulu” ucapku.

Secepat mungkin kami menyelesaikan mengelilingi bangunan ini dan mengumpulkan tujuh buah benda serupa.

Kami membawanya keluar dan besembunyi di salah satu rumah yang sudah hancur.
Cahyo berjaga di luar sementara aku melafalkan ayat-ayat suci dan memutihkan benda itu sebelum akhirnya membakarnya.

“Uwis nan?” (Sudah Nan?) Tanya Cahyo gelisah.

Sepertinya ia mulai melihat pergerakan dari arah rumah itu.

“Sudah, kita pergi.. hati-hati” balasku.

Kamipun pergi meninggalkan hutan dengan hati-hati menuju desa. Tanpa sadar sudah semalaman kami berada di sana, kamipun tiba di desa tepat saat matahari mulai terbit.

Kami segera berlari ke arah rumah bermaksud meminta ibu untuk meminta pertolongan Paklek. Namun ternyata sudah ada beberapa orang di sana.
Pak Jumito, Mas Musi, dan Mbak Minah yang sudah tersadar.

Aku menarik nafas lega melihatnya, namun tubuhnya yang kurus dan luka di tubuhnya masih jauh dari kata pulih.

“Itu Nyai.. Danan kembali” teriak Pak Jumito.

Akupun bergegas menghampiri mereka, sepertinya Mbak Minah juga sempat menceritakan sesuatu kepada mereka.

“Bu, coba cari cara untuk menghubungi Paklek. Ini bukan masalah biasa” ucap Cahyo pada ibu.
Mas Musi segera menghampiriku dengan wajah yang khawatir.

“Danan, ngapunten.. saya salah sangka dengan niat baik mas Danan” ucap Mas Musi.

“Sudah mas, tidak usah dipikirkan.. bagaimana keadaan Mbak Minah?” Tanyaku.

Mas Musi bercerita bahwa tepat saat subuh tadi tiba-tiba Mbak Minah tersadar. Samar-samar ia menceritakan tentang apa yang ia ingat. Ada sosok yang memang menjebaknya dan berusaha mendapatkan jasadnya.

“Benar mas, ada sosok yang dipanggil dengan sebutan Raden yang mengincar jasad perempuan untuk disetubuhi.. saya tidak mengerti itu sebuah ritual atau apa?” tambahku.

Mendengar ceritaku Pak Jumito dan Mas Musipun bergidik ngeri.

“Ada juga seorang dukun dan salah satu warga desa sini yang membantu orang itu untuk mendapatkan jasad ya ia incar” Cahyo memperingatkan.

“Warga desa sini?” Tanya Pak Jumito.

“Iya, saya sempat melihatnya juga saat saya mengobati Mbak Minah kemarin” ucapku.

Mas Musi dan Pak Jumito terlihat mencoba mengingat-ngingat sosok warga yang mungkin saja mencurigakan.

“Pak, sepertinya saya curiga dengan seseorang. Tapi lebih baik kita selidiki lebih dulu” ucap Mas Musi.

Pak Jumito mengangguk setuju. Sepertinya ia memang tidak ingin menuduh salah satu warganya dengan asal-asalan.
Aku menceritakan bahwa warga itu masih mengincar Mbak Minah. Bahkan warga itu diancam oleh dukun itu dengan cara yang mengerikan.

Hal ini seolah memastikan orang itu masih akan mengejar Mbak Minah.
“Minta tolong Mbah Tumejan dan orang-orang yang mengerti. Mbak Minah sementara harus dijaga dengan ketat, setidaknya sampai paklek datang dan membantu menyelesaikan masalah ini” jelasku.

Pak Jumitopun mengerti maksudku. Merekapun segera berpamitan untuk segera menghubungi orang-orang yang mungkin bisa melindungi Mbak Minah ataupun warga lain yang diincar.
“Mas Danan, jangan nekat seperti ini lagi ya.
Selanjutnya biar kami orang-orang dewasa yang melakukan peran kami..” Ucap Pak Jumito sembari berpamitan.

Ibupun mengajak kami masuk ke rumah dan memeriksa luka-luka kami.

“Jul, ke sini.. tak periksa lukamu” ucap Ibu.

“Ndak usah bude, Aku rapopo..” (Nggak busah bude, Aku nggak papa) Balas Cahyo sambil celingak-celinguk melihat ke dalam rumah.

“Heh, nyariin apa to kamu Jul?” tanyaku yang bingung memastikan tingkahnya.

“Hehe.. Bude durung masak to? Kangen aku karo sego bandenge Bude” (Hehe.. bude belum masak ya? Kangen aku sama nasi bandengnya Bude) ucap Cahyo sambil terus mengintip ke arah dapur.

“Ealah Jul... sana ke dapur, nggak Cuma bandeng. Sayur asemnya juga sudah mateng. Sana makan yang banyak” Balas ibu.
Seketika wajah Cahyo berubah sumringah.

Ibupun hanya menggeleng melihat tingkah Cahyo. Tak lama setelahnya akupun segera menyusul Cahyo ke dapur.

“Wahwah.. Laper apa doyan Jul?” Tanyaku.
“Dua-duanya, masakan ibumu pancen top!” Balas Cahyo.

“Kayaknya kamu ngomong gitu juga ke masakanya Bulek” balasku lagi.

Cahyo tersenyum mendengar pertanyaanku. Ia menyelesaikan makanan yang dikunyahnya dan meneguk sedikit air.

“Nggak bisa dibandingin Nan, masakan Bulek sama Bude sama-sama enak” ucap Cahyo.

Aku kembali mengeleng melihat Cahyo yang kembali menambah lauk ikan bandengnya.

“Buat aku masakan mereka bener-bener istimewa dibanding masakan siapapun. Cuma masakan Bulek sama Bude yang bisa ngingetin aku sama masakan Almarhum ibuku dulu” Tambah Cahyo lagi.
Cahyo menceritakan hal itu dengan wajah yang santai sembari melahap lauk di piringnya.

Namun aku mendengar ucapanya begitu dalam. Aku tidak menyangka masakan rumah yang selama ini kuanggap biasa saja ternyata sangat istimewa untuk Cahyo.

“Yowis, habisin jul.. tak bantu!” ucapku sembari menambah lauk.

“Nggak usah di suruh Nan” balas Cahyo.

Jarang sekali aku bisa menikmati masakan ibu senikmat ini. Ibupun tersenyum melihat tingkah kami sembari mengantarkan dua gelas teh untuk melengkapi menu makan kami.

***

Setelah kelelahan dengan kejadian semalam aku dan Cahyo tertidur hingga jarum jam menunjukkan pukul dua siang. Kami memutuskan untuk berjalan-jalan keliling desa sembari mencari tahu sosok warga desa yang terlihat di rumah itu.

“Eh Nak Danan, mau kemana?” tanya seorang ibu yang berpapasan denganku.

“Mau jalan-jalan saja bu sembari menjenguk Mbak Minah” balasku santai.

“Oh iya, maafin ibu ya.. dulu ibu ikut nyalahin kamu. Ibu ikut terbawa emosi saat itu”

“Sudah bu tidak usah dipikirkan, salah saya juga tidak antisipasi, ya sudah bu saya lanjut dulu” pamitku.

“Iya nak Danan, kalau sempat mampir-mampir ke rumah ya” balas ibu itu.

Akupun meninggalkan ibu itu dan melanjutkan jalan-jalan kami.

Tak berapa lama kami berjalan, kami menemukan Pak Jumito sedang mengobrol bersama Mas Musi dan beberapa warga di warung Koperasi desa.

Sepertinya Mbak Minah juga menginap di dekat situ dijaga oleh ibu-ibu desa.

“Pak Jumito, Mas Musi.. gimana apa sudah dapat petunjuk” tanyaku sambil dengan sopan bergabung dengan mereka.

“Eh, Danan... iya tadi ada beberapa perbincangan. Tapi sebisa mungkin biar kami saja yang mengurus. Kami tidak bisa membahayakan kalian lagi” jawab Pak Jumito.

“Matur nuwun Pak, tapi kalau sekedar ingin tahu boleh donk?” balasku lagi.

Pak Jumito menoleh ke arah Mas Musi seolah memastikan sesuatu. Iapun akhirnya memutuskan untuk menceritakan kepada kami.

“Sebenarnya, bukan tanpa alasan dulu saya meminta tolong ke Nak Danan..” Mas Musi memulai bercerita.

“Maksudnya mas?”

“Mas Bahri, sewaktu warga lain meninggalkan rumah saya. Dia yang memberi saran untuk meminta tolong Nak Danan” jelas Mas Musi.

“Lantas, masalahnya dimana mas?” tanya Cahyo menimpali perbincangan tadi lagi.

“Tadi warga ada yang ingat, dia juga yang pertama menuduh Danan saat Minah tidak sadarkan diri” tambah Mas Musi lagi.

Aku dan Cahyo saling bertatapan.

Bukanya mau curiga, tapi bisa jadi seseorang yang bernama Mas Bahri ini memang sengaja ingin menyingkirkanku.

“Ciri-ciri orangnya seperti apa mas?” Tanya Cahyo.

Mas Musi menyebutkan ciri-ciri seorang warga desa dengan kumis tipis dan rambut belah tengah dengan umur yang sedikit lebih tua dari Mas Musi. Sekilas ciri-ciri itu memang mirip dengan seeorang yang diperintahkan oleh dukun itu.

“Pak Jumito sudah menemui Mas Bahri? Sebaiknya kita jangan menuduh dulu” ucapku.

“Kami sudah menghampiri rumahnya, namun tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana” Jawab Pak Jumito.

Tidak ada pilihan lain, sepertinya kami memang harus waspada dengan seseorang yang diceritakan oleh Mas Musi ini. Ternyata Pak Jumitopun sudah menyebarkan berita ke warga untuk menghubunginya bila bertemu Mas Bahri.

Semoga saja, usaha Pak Jumito dan warga desa tidak sia-sia. Seandainya Mas Bahri benar orang itu, dan ia bisa dihentikan mungkin teror untuk Mbak Minah bisa menghilang. Dan untuk urusan Raden dan dukun itu, biar Paklek yang memikirkanya.

***

“Jul, kayaknya masalahnya udah beres. Kamu kalau mau balik nggak papa lho” ucapku pada Cahyo.

“Santai dulu aja Nan, nunggu paklek sampe ke sini aja.. udah lama to kita nggak main bareng, nanti aku berangkat sekolah dari rumahmu saja” balasnya.

“Lha bukanya sekolahmu jauh dari sini?” tanyaku.
“Tenang, aman Nan... sekali-kali kan nggak papa” balasnya.

“Iya sih, bagus kalau begitu.. kebetulan, udah lama aku ga ada temen latihan, masak mau kalah terus dari kamu” ucapku pada Cahyo.

Cahyo yang mendengar ucapku segera menepuk punggungku dengan keras.

“Halah, kalah apaan.. kalau adu pukul emang aku yang menang, tapi kalau adu ilmu jelas sebaliknya. Tapi boleh sih, habis ini kita ke kebun belakang aja” balas Cahyo.

Kamipun kembali ke rumah dan pamit lagi kepada ibu untuk berlatih di kebun belakang. Awalnya aku kira ini akan seperti latih tanding biasa, namun entah mengapa sepertinya kami terbawa suasana.

Sepertinya tidak hanya aku saja, saat ini kami merasa begitu lemah setelah kejadian kemarin. Masing-masing dari kami ingin menempa diri untuk lebih kuat baik secara lahir dan batin untuk bisa menghadapi orang-orang semengrikan Raden dan Dukun itu.

***

Beberapa hari kami kami menghabiskan waktu untuk berlatih. Setiap sepulang sekolah Cahyo sudah lebih dulu sampai ke rumah dengan mengenakan sepeda ontel miliknya.

“Jul, waktu kemarin melawan mayat-mayat itu tiba-tiba aku ngeliat ada kekuatan yang menyelimuti tubuhmu, itu apa? Apa ada hubunganya dengan nama Wanasura yang kamu sebutkan itu?” tanyaku penasaran.
Mendengar pertanyaanku, Cahyopun mendekat ke arahku.

Ia memintaku menjulurkan tangan dan menempelkan kelima jarinya padaku.
“Coba rasain nan..” ucap Cahyo.
Aku menuruti ucapanya, sepertinya ia memintaku menerawang masuk ke dalam tubuhnya.

Dan benar, aku merasakan keberadaan sesosok makhluk. Sepertinya aku mengenal makhluk itu, tapi sepertinya tidak juga.
“I..itu? siapa? Kliwon?” tanyaku.
Cahyo menggeleng dan melepaskan tanganya dariku.

“Aku pernah cerita tentang dia saat kembali dari alas wetan, namanya Wanasura. Dia kembaranya Kliwon” Jelas Cahyo.
“Tu..tunggu, kamu menyimpan khodam?” tanyaku kaget.
Cahyo menggeleng.

“Kliwon masih memiliki tubuh, namun ia terjebak di suatu tempat di alas wetan. Namun tubuh fisik wanasura sudah mati, dia butuh tempat naungan untuk bisa tetap ada” jelas Cahyo.

“Jadi kamu menjaga makhluk itu demi Kliwon?” tanyaku.
Cahyo mengangguk mengiyakan.

Sepertinya aku semakin mengerti, bisa jadi keberadaan sosok bernama Wanasura juga akan berperan besar dalam pertarungan Cahyo.

“Menurutmu gimana?” Tanya Cahyo tiba-tiba.

“Maksudmu ?”

“Apa salah bila aku membiarkan Wanasura menempati tubuhku” tanya Cahyo.

“Menurutmu apa salah bila aku membiarkan sebuah pusaka bersemayam di tubuhku?” aku bertanya balik pada Cahyo.

“Kok nanya balik?” Protes Cahyo.
“Ya intinya pertanyaan kita sama, keberadaan pusakaku dan Wanasura sudah ditakdirkan bersama kita.

Benar atau salah, akan kita ketahui nanti. Dan bila kita tahu ini hal yang salah, aku maupun kamu harus bisa merelakanya” jawabku.

Cahyo menatap mataku, sepertinya ia setuju namun sepertinya terbayang di matanya bahwa ia pasti akan berat bila harus berpisah dari sosok yang sekarang menjadi sahabatnya itu.

“Ya sudah nggak usah terlalu dipikirin, kalau memang kita melakukan kesalahan masih ada Paklek yang akan negur kita kan?” tambahku berusaha melepaskan suasana serius ini.

“Nah iya, bener juga tuh.. kalau emang salah minimal udah dapet sandal jepit kita” balas Cahyo.

Kamipun menyelesaikan latihan kami hari ini dan kembali ke rumah. Ibu sudah menyediakan air hangat untuk kami mandi dan menu makan malam untuk kami.

“Paklek belum ada kabar Bude?” Tanya Cahyo sembari mencomot tempe goreng panas yang sudah tersaji di meja.

“Belum Jul, semoga Paklek nggak kenapa-kenapa ya” ucap Ibu khawatir.

“Tenang Bude, Nggak ada masalah apa-apa. Paling paklek lagi mampir nyetok makanan burung. Udah tenang aja bude” Jawab Cahyo sengaja agar ibu tidak khawatir.

Malam itu aku dan Cahyo bersiap untuk tidur cepat. Dinginya malam itu seolah meninabobokan kami untuk tidur dengan nyenyak.

Di tengah tidur kami sayup-sayup aku mendengar suara gemericik air dari hujan yang sepertinya sudah menemani tidur kami cukup lama.

Sesekali terdengar suara petir yang menyambar di kejauhan.

Awalnya aku mencoba tidak menghiraukan, sampai suatu ketika kilatan cahaya memperlihatkan bayangan Cahyo yang terlihat tidak tenang.

“Jul, ono opo jul? ora iso turu?” (Jul, ada apa? Nggak bisa tidur?) Tanyaku yang bingung melihat keanehan padanya.

Wajahnya terlihat serius seolah cemas terhadap sesuatu. Walau begitu aku tahu dia juga merasa ragu.

“Nan, perasaanku nggak enak Nan” ucap Cahyo.
Mendengar jawaban Cahyo akupun bangkit dari tidurku dan meminta penjelasanya.

Belum sempat meminta penjelasanya, tiba-tiba ada sesuatu yang bereaksi dari dalam tubuhku.
Keris Rogosukmo...

Belum pernah aku merasakan hal seperti ini sebelumnya. Sepertinya Keris Rogosukmo juga merespon sesuatu. Bisa jadi hal inilah yang juga dirasakan Cahyo.

“Aku mau mengecek keluar Nan!” ucap Cahyo.

“Aku ikut, perasaanku juga nggak enak” ucapku.

“Tapi.. Sebaiknya sebelum pergi kita persiapkan diri dulu. Setidaknya kita mohon restu perlindungan dari Yang Maha Pencipta”

Entah, apa yang membuatku begitu cemas kali ini. Setelah kejadian kemarin, aku merasa hal apapun bisa terjadi pada kami setelah ini.

Tapi kami tahu, Tuhan akan selalu ada untuk melindungi umatnya yang bertaqwa.
Secepat mungkin kami berlari menuju desa. insting kami menuntun kami untuk pergi ke tempat dimana Mbak Minah berada.

Pemandangan yang mengerikan menyambut kami yang sampai di tempat itu.

Di tengah guyuran hujan deras terlihat Pak Jumito terduduk di tanah memegangi dadanya, sementara Mas Musi terbaring di tanah.

Mbah Tumejan menggenggam sebilah keris untuk melindungi mereka dengan nafas yang sudah terengah-engah.
Bagaimana tidak...

Wujud pocong yang sebelumnya kami lihat di ruang bawah tanah rumah Raden itu kini mengepung desa dengan mata terpusat kepada Mbah Tumejan.

“Mbah!!” Teriakku menghampiri mereka.

“Danan, jangan kesini! ini bukan tanggung jawabmu..“ Perintah Pak Jumito

Jelas kami tidak mengindahkan perintah Pak Jumito. Saat itu juga aku dan Cahyo berlari ke arah mereka.

“Nan, urus pocong-pocong itu bisa kan?” tanya Cahyo.

Aku mengangguk sementara Cahyo memisahkan diri denganku.

Aku tahu maksudnya, ia berusaha mencari sosok yang mengirimkan makhluk-makhluk ini ke desa.
Ada beberapa doa yang kubaca untuk memagari Mas Musi dan Pak Jumito dari serangan makhluk-makhluk ini.

Beberapa dari mereka mencoba merasuki Mas Musi, sepertinya sedari tadi Mbah Tumejan mencoba menahanya.

Melihat aku mampu melindungi mereka, Mbah Tumejan membacakan beberapa mantra pada kerisnya dan menghujamkanya ke setiap pocong yang mendekat.

Akupun tidak tinggal diam, aku mengigat satu-persatu ilmu yang diajarkan bapak padaku. Amalan api tidak akan berhasil melawan makhluk sebanyak ini, kalaupun aku ingin mencoba menenangkan sosok-sosok ini, sepertinya dukun itu juga menyimpan jimat yang mengikat mereka.

Yang kubisa saat ini hanyalah melindungi Pak Jumito dan seluruh warga yang masih berdiam di rumah dengan aji-ajian yang kubisa hingga Cahyo bisa menemukan dimana dukun itu.

Beruntung, tidak butuh waktu lama hingga terdengar suara pertarungan di balik salah satu rumah.

Aku memberi isyarat pada Mbah Tumejan untuk menahan sosok pocong-pocong itu dan berlari ke arah Cahyo.

Saat itu Cahyo terlihat mengamuk dengan bayangan seeokor kera yang merasuki dirinya.
Itukah Wanasura?

Aku mengira Cahyo kehilangan kesadaran, namun tepat saat menyadari keberadaanku Cahyo mengambil kesempatan untuk mengambil mangkuk sesajen yang dibawa dukun itu. Ia melemparkan benda itu bersamaan dengan sebuah kalung yang berhasil ia rebut.

“Danan urusin ini!” perintah Cahyo.

“Bocah brengsek! Kamu pasti mati! Setelah ini kalian pasti mati!” Ancam dukun itu yang sepertinya juga dilindungi suatu sosok hitam.
Aku menangkap benda yang dilempar Cahyo dan sebagian benda itu berserakan di tanah.

Ada beberapa tulang belulang di dalam mangkok itu dan beberapa ikatan tali pocong di kalungnya.
Aku mengerti dengan segera..

Saat itu juga aku mengumpulkan benda itu jadi satu dan membacakan doa-doa untuk memutihkanya.

Cukup lama hingga ayat-ayat suci berhasil melepas ikatan benda itu dengan pocong-pocong yang dikendalikan dukun itu.

Sayangnya saat aku hampir selesai, terlihat seseorang yang berlari ke arahku dengan membawa sebuah batu besar.

“Bocah brengsek! Aku tahu, pasti kamulah yang akan menjadi masalah untuk urusan kami!” ucap pemuda itu.

“Bahri! Jangan!” Teriak Mbah Tumejan yang sudah kewalahan menangani pocong itu.

Jadi benar, pemuda anak buah Raden itu adalah Mas Bahri yang merupakan salah satu warga desa.

Aku kebingungan memilih antara meneruskan doaku, atau menghindari serangan Mas Bahri.

Tanpa adanya waktu yang panjang, saat itu aku memilih untuk menyelesaikan doaku. Hanya sepersekian detik waktu dari aku menyelesaikan doa hingga batu itu hampir memecahkan kepalaku.

Namun anehnya aku bisa menghindar dengan tepat waktu.

“Ora ono sing iso ngalangi niat baik kowe..” (Tidak ada yang bisa menghalangi niat baikmu)
Samar-samar teringat di pikiranku tentang suara seorang kakek yang kami tolong di rumah itu.

Aku sedikit tidak percaya, apa benar hanya dengan ucapanya apapun bisa jadi kenyataan?

Ah.. saat ini aku tidak perlu memikirkan itu. saat itu juga, pocong-pocong yang mengepung desa menghilang. Tapi aku tahu masalah ini belum selesai.

Mbah Tumejan membantuku menahan Bahri sementara Dukun itu masih kewalahan dengan serangan Cahyo.

“Aarrrggghhh... bukan aku yang harusnya bertanggung jawab terhadap bocah-bocah sial ini” ucap dukun itu.

Dengan sigap ia menghindari serangan Cahyo dan berlari menghampiri Bahri.

“Heh Bocah! Ini semua salahmu! Kau yang harus bertanggung jawab!” Ucap Dukun itu.

“Ta..tapi bagaimana mbah? Saya tidak bisa melawan mereka sendirian” balas bahri.

“Tidak perlu! Aku hanya butuh pengorbananmu!”

Di tengah derasnya hujan, aku tidak pernah menyangka dengan apa yang kulihat. Dukun itu menarik mundur Bahri dan menarik kepalanya sekuat tenaga.

“Mbah! Mbah Dirwo... sakit mbah!” Teriak Bahri.
Namun sebaliknya, Dukun yang dipanggil dengan nama Mbah Dirwo itu malah tertawa terkekeh menikmati apa yang dilakukanya itu.

“Raden, Tak silih siji bolomu!” (Raden aku pinjam satu anak buahmu) ucap Dukun itu sembari membaca mantra yang dihiasi dengan darah yang bermuncratan dari leher bahri yang memisahkan kepala dan tubuhnya.

Suara teriakan bahri hanya terdengar sebentar hingga tenggorokanya terobek hanya dengan dua tangan dukun yang dirasuki khodamnya itu. sayangya kematian Bahri membangkitkan sosok yang mengerikan.
Sosok yang sepertinya merupakan anak buah ghaib yang dimiliki oleh Raden.

Makhluk besar yang tingginya bahkan melebihi rumah ini. matanya memerah seolah dengan mudah dapat mengincar kami.

Genderuwo? Bukan... makhluk ini lebih kejam dari itu.

“Gi..gila! Aku tidak percaya makhluk ini bisa ada di tempat ini..” ucap Mbah Tumejan panik.

“Itu makhluk apa mbah?” tanyaku.

“Aku pernah gagal berhadapan dengan makhluk seperti itu di luar pulau ini, padahal itupun tidak sebesar dan sebuas ini. Makhluk ini bisa membunuh siapa saja yang mencoba mencuri harta tuanya atau merusak ladang tuanya”

Penjelasan Mbah Tumejan benar-benar menjatuhkan mental kami.

“Tapi.. Untuk menggunakanya sebagai makhluk pembunuh. Ada tumbal nyawa yang harus dikorbankan. Orang sana menyebut makhluk itu dengan nama.. Begu Ganjang…” jelas Mbah Tumejan.

Penjelasan Mbah Tumejan membuatku bergidik ngeri. Terlebih entah perasaanku saja atau makhluk itu terlihat semakin besar.

“Wanasuraa!!” Cahyo berteriak sekeras mungkin memanggil sosok yang berada di dalam tubuhnya itu.

Samar-samar terlihat lenganya dipenuhi rambut kera dan berubah semakin besar. Sekuat tenaga ia memukul sosok makhluk besar itu hingga goyah.

Pukulan Cahyo berpengaruh terhadapnya, seketika aku sedikit percaya diri untuk mencoba menghadapinya.

Kali ini aku mencoba membacakan Ajian Gambuh Rumekso dengan melantunkan ayat-ayat suci yang membuat makhluk itu tidak nyaman. Anginpun berhembus menyayat sedikit demi sedikit tubuh hitam itu.

Makhluk yang disebut Begu Ganjang itu merespon serangan kami dengan menghantam kami dengan tanganya yang besar, namun Cahyo bisa menahanya walau dengan sekuat tenaga.

Aku terus menyerang dengan berbagai cara sembari mencari cara untuk mengalahkan makhluk ini.

“Kita harus gimana Nan? Makhluk ini nggak sembarangan!” tanya Cahyo bingung.

“Makhluk yang dipanggil dengan tumbal pasti punya pengikat. Biar kucari tahu dulu..” ucapku.
Pertarungan sengit terjadi di antara kami.

Mbah Tumejan terus mencoba menyerang dukun itu sementara aku dan Cahyo bertarung dengan tidak seimbang melawan makhluk besar itu.

“Kalau begini terus, kita pasti babak belur nan..” ucap Cahyo setelah sempat menerima serangan dari makhluk itu lagi.

Aku tidak membalas Cahyo dan terus membacakan ajianku untuk menyerang makhluk ini sembari mencari celah.

Beruntung, salah satu angin dari gambuh rumekso menyayat bagian dada makhluk itu dan menunjukkan benda berwarna merah darah di dalam tubuhnya.

“Jantung.. makhluk itu punya jantung, sepertinya itu yang menjadi pengikat makhluk ini dengan bayaran nyawa bahri” ucapku sembari terengah engah.
Cahyo yang mengerti maksudku segera mengincar titik itu, sayangnya itu tidak mudah.

Dukun bernama Mbah Dirwo itu membacakan sebuah mantra dan menusukkan sebuah jimat yang terbuat dari bambu pada makhluk besar ini.

“Kehekheke... jangan lama-lama! Habisi mereka!” perintah Mbah Dirwo.

Dengan tusukkan benda itu dan perintah Mbah Dirwo tiba-tiba Begu Ganjang itu menjadi semakin buas dan mengamuk. Ia menghujami Cahyo dengan berbagai pukulan hingga dari mulutnya bermuncratan darah.

Beruntung Cahyo bisa melindungi dirinya dengan kekuatan Wanasura. Seandainya itu aku, aku pasti sudah mati.
Jantungku berdegup kencang. Rasa amarah, emosi, takut, dan kesal menjadi satu.

Aku sudah tahu kelemahan makhluk ini, namun ilmu apa yang harus kugunakan untuk menghabisinya.

“Da..Danan...” ucap Cahyo berusaha mengatakan sesuatu.

“Gunakan ilmu itu..”

Aku menoleh sebentar kepada Cahyo dan memalingkan kembali ke arah Begu Ganjang yang mulai mengarah ke arahku.

“Ilmu yang pernah digunakan ayahmu waktu di bukit batu. Ilmu pukulan jarak jauh, entah apa namanya” ucap Cahyo.

“Ilmu bapak?”

Aku mencoba mengingat semua ilmu yang pernah bapak gunakan dan aku mengerti ilmu apa yang dimaksud Cahyo. Tapi.. aku baru melihatnya satu kali.

“Nggak Jul, aku belum menguasai ilmu itu” ucapku yang kembali menggunakan ajian Gambuh rumekso untuk menyerang makhluk itu.

Sayangnya, dengan wujudnya yang sekarang seranganku tidak lagi berpengaruh. Sebaliknya serangan serupa yang digunakan untuk menyerang Cahyo kini mengarah ke arahku.

Tapi belum sempat seranganya sampai kepadakau, Mbah Tumejan menghadangnya dengan kerisnya hingga terbelah.

Sialnya tak hanya itu, Begu Ganjang itu menyapu tubuh Mbah Tumejan sekuat tenaga hingga tubuhnya terpental ke pohon besar.
“Mbah!!!” teriakku panik.

Mbah Tumejan juga memuntahkan darah, dan dengan serangan sebesar itu Mbah Tumejan gagal mempertahankan kesadaranya.

Tubuhku terbakar amarah, namun hembusan angin gambuh rumekso masih berhembus menenangkanku. Samar-samar teringat sebuah mantra yang sering diajarkan bapak kepadaku. Sebuah kata-kata yang juga tertulis dari catatan wejangan-wejangan bapak.

Tanganku mengepal dengan keras, mulutku tak henti-hentinya membacakan doa itu hingga perlahan kekuatan berkumpul di kepalan tanganku.
“I..iya Nan! Ilmu itu!” Ucap Cahyo semangat.
Makhluk itu terus menerjang ke arahku. Tapi kali ini aku tidak takut sama sekali.

Anehnya, entah mengapa tubuh makhluk itu tidak sebesar sebelumnya seolah mengikuti rasa takutku yang mulai hilang.

“Bapak, ijinkan saya menggunakan ilmu ini..” ucapku.

Tepat saat Begu Ganjang itu menyerangku, aku menghindarinya setipis mungkin dan melemparkan sebuah pukulan jarak jauh dari kepalan tanganku tepat ke jantungnya.

Ajian Lebur Saketi...

Sebuah ilmu andalan prajurit jaman kerajaan dulu, kini kugunakan untuk menghadapi sosok yang mengancam Nyawa warga desaku.
Benar saja, jantung makhluk itu terlepas. Bentuknya menyerupai kepala manusia.

Dan saat itu juga makhluk itu kehilangan kekuatan dari empunya dan perlahan menghilang dalam gelap.
Saat itu seketika aku terbaring kelelahan bersama dengan Cahyo dibawah guyuran hujan.
“Jangan tidur dulu, dimana dukun itu...” ucap Cahyo.

Aku mencoba melihat ke sekitar, namun tidak ada satupun petunjuk di mana dukun itu berada.
“Kabur, dia kabur..” ucapku.

Akupun mengatur nafas sembari terkapar di tanah lapang itu.

Nafas kami terengah-engah, baru sebentar berusaha mengatur nafas tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat.

Sekuat tenaga kami mencoba untuk bangkit. Dukun itu pasti sadar bahwa kami sudah kehabisan tenaga.

***

“Bocah-bocah gemblung... bisa-bisanya ngelawan makhluk begitu” ucap orang itu.

Seketika Aku dan Cahyo tertawa mendengar suara yang sangat familiar itu.

“Pakleek!” teriak Cahyo sekuat tenaga.

“Telat!! Demite wis minggat!”
(Terlambat! Setanya sudah pergi) Aku tertawa mendengar teriakan Cahyo. Paklek tidak menjawab dan malah mengirimkan api kecil yang tetap menyala walau di bawah hujan. Api itu melayang ke arahku, Cahyo, dan Mbah Tumejan.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba luka kami menutup. Walau tidak pulih sepenuhnya namun nyawa Mbah Tumejan sepertinya tidak lagi dalam bahaya.

“Paklek dari mana saja?” Tanyaku.

Paklek masih tidak menjawab, ia malah melemparkan sebuah benda seperti jantung besar berbentuk kepala manusia. Persis seperti milik Begu Ganjang yang kami lawan.

“Paklek ngelawan makhluk begitu juga?” Tanya Cahyo penasaran.

“Iyo, Orang-orang biadab.. dia menumbalkan seorang ibu yang mengabdi padanya hanya demi memerintah makhluk itu” ucap Paklek.

Mendengar ucapan itu aku teringat sosok dukun perempuan yang memandikan janazah sebelum diserahkan pada Raden. Apa ibu itu yang dimaksud?

“Dukun itu.. dukun itu kabur Paklek” tanyaku.

“Dukun itu tidak sempat kabur, sewaktu paklek coba menangkapnya tiba-tiba ada bola api yang menerjang ke arahnya dan membakar dukun itu hingga hangus.

Sepertinya itu kiriman tuan dukun itu yang tidak ingin identitasnya terbongkar” jelas paklek lagi.
Mendengar hal itu aku bergidik ngeri penasaran dengan siapa sosok yang dipanggil Raden itu sebenarnya. Sepertinya kami masih harus berhadapan dengan sosok itu suatu saat.

***

Sudah seminggu sejak pertarungan kami melawan dukun ini. Mbak Minah sudah pulih sepenuhnya. Gangguan-gangguan sudah tidak terjadi lagi di desa.

Aku, paklek, dan beberapa warga desapun sempat mengecek desa mati di tengah hutan itu dan rumah besar itu tiba-tiba sudah hancur.

Kami mencari ke dalam dan tidak menemukan sesuatu yang berarti.

Tapi... ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah lembaran kertas dari sekumpulan kertas tua yang berserakan. Sebuah kertas yang bertuliskan aksara Jawa dengan latas sebuah simbol.

Entah mengapa aku merasa terhubung dengan simbol yang tergambar di kertas itu...

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Note:
Kemunculan sosok tak kasat mata di pabrik gula awalnya hanya menjadi isu biasa, sampai diketahui bahwa kemunculan mereka adalah disebabkan oleh ritual sosok yang misterius..

close