MISTERI TAMBANG EMAS
JEJAKMISTERI - Angin kencang menerpa wajahku, ada perasaan aneh yang menjalari seluruh tubuh ini hingga tengkukku meremang. Aku mengusapnya kasar, mengusir segala keraguan yang mulai mengusik ketenangan hati ku.
Dengan langkah cepat aku mulai memasuki hutan seraya menjinjing tas usang milikku yang dipenuhi dengan baju-baju jahitan sana-sini. Hingga langkah kaki kini telah sampai pada tulisan hutan angker 01. Yang ku dapati hanyalah sepi dan suara jangkrik sebagai penghibur. Ku beranikan diri untuk meneriakkan satu nama, hingga suaraku terdengar menggema.
"Windi! Windi! Aku sudah disini!"teriakku lantang.
Berharap wanita itu keluar dari tempat persembunyiannya. Siapa tahu saja dia iseng ingin mengerjai ku dengan bersembunyi diantara pepohonan ini. Namun sekalipun panggilan ku itu tak ada sahutan. Entah aku harus apa, jangankan ponsel, senter pun aku tak punya untuk persiapan malam nanti.
Sejak masuk di area hutan ini, bulu kudukku tak juga berhenti meremang. Sampai bulu rambut di kepalaku pun terasa menegang. Aku mengamati pohon-pohon tua di sekitar ku, dahannya sudah pada jatuh menjuntai ke bawah bahkan sekilas mirip tangan siluman yang siap menangkapku hidup-hidup.
Deg!
Aku menelan ludah dengan kasar melihat pemandangan yang ada dihadapan ku kini, sungguh jauh dari ekspektasiku. Sebelumnya Aku membayangkan jalanan yang sangat lebar serta mobil dan motor lewat lalu lalang, nyatanya hanya jalan setapak yang sudah berlumut nyaris seperti tak ada jejak kaki manusia lewat disini.
Kembali aku memeriksa kertas yang ku selipkan dalam kantong celanaku, ingin memastikan sekali lagi bahwa aku tak salah jalan. Jantungku berdegup dengan kencang ketika kertas yang aku cari kini telah tiada, hingga tangan ini merabanya sampai ke kantong terakhir. Namun nihil kertas yang seharusnya menjadi petunjuk jalanku kini benar-benar lenyap.
'Ya ampun, kemana kertas tadi?' gumamku pelan, tanpa aba-aba setetes air bening jatuh dari kedua netraku, membayangkan berjalan tak tentu arah.
Aku menyapukan pandangan ke sekeliling hutan tak ada orang lain lagi selain aku seorang diri. Windi yang mengatakan akan menungguku disini tak terlihat batang hidungnya sedikitpun. Hari sudah semakin gelap, tak ada penerangan apapun yang bisa ku pakai untuk mencari petunjuk jalan.
Pikiranku semakin kalut entah bagaimana aku akan berjalan di tengah gelapnya malam di dalam hutan yang begitu rimbun. Siang hari saja nyaris sinar matahari tak dapat menembusnya apalagi malam hari seperti ini bisa dibayangkan bagaimana gelapnya.
Teringat akan kedua bocahku semangatku kembali berkobar, kemudian berjalan menenteng tas dengan langkah gontai meraba-raba jalanan yang ada dihadapan ku. Aku bergidik ngeri seandainya tanganku tak sengaja memegang hewan melata. Hih!
Entah berapa kilometer lagi tempat tambang itu, rasanya kakiku sudah terlalu sakit untuk melangkah lebih jauh bahkan kini perutku sudah keroncongan. Makanan ataupun sebotol air mineral aku lupa untuk membawanya. Seandainya tahu begini, sudah aku beli siang tadi sebagai pengganjal perut ku.
Aku berhenti sejenak mengatur napas yang terasa ngos-ngosan, hingga langkahku kini terseok-seok akibat berjalan terlalu jauh dalam kegelapan. Tak ku temukan sedikitpun tanda-tanda adanya tambang seperti yang di katakan Windi padaku.
Ditengah lamunanku, tiba-tiba aku melihat setitik cahaya yang berada tak jauh dari hadapan ku. Seulas senyum tersungging dari bibirku, meyakinkan diri bahwa aku tak sendirian disini. Cahaya itu semakin dekat jaraknya denganku, hingga alisku saling bertautan.
"Mbak, Idah?"tanyaku tak percaya.
Aku mengucek mataku berulang kali demi memastikan apa yang aku lihat adalah benar bukan halusinasi semata.
Aku mendekat hendak memegang tangannya namun dengan cepat dia menghentikan langkahku, lalu memainkan jari telunjuknya dengan artian aku tetap berdiri di tempat dan tidak untuk menyentuhnya. Hingga dia memerintahkan aku untuk mengikuti langkahnya.
Lepas dari apa yang dia lakukan kini kepadaku, aku tak peduli. Selagi ada temanku di dalam hutan ini aku sudah merasa senang sekali. Dapat ku lihat pemandangan di depan sana melalui cahaya senter mbak Idah, jalan yang kami lalui kini benar-benar lapang hanya ada beberapa pohon dan diantaranya terdapat lubang begitu banyak, yang aku perkirakan seperti bekas galian untuk mencari emas.
"Apa tenda mbak Idah masih jauh dari sini?"tanyaku memecah keheningan.
Mbak Idah menoleh dengan wajah datar dan mukanya terlihat pucat. Tanpa kata dia memandang ku sinis lalu kembali fokus membelah jalanan. Aku mencoba berfikir positif tentangnya, mungkin saja dia capek berjalan terlalu jauh untuk menjemput ku seorang diri di kegelapan.
"Apa mbak Windi sudah sampai kesana ya, mbak? Soalnya siang tadi dia berangkat duluan dan akan menungguku di hutan angker 01, tapi tak kutemukan dia di sana."tanyaku penasaran, karena aku bosan berjalan dalam kesunyian.
Lagi-lagi mbak Idah tak menjawab pertanyaan ku. Dia hanya fokus berjalan seraya mematahkan ranting-ranting kayu yang menghalangi jalan kami.
Akhirnya aku memilih diam ketika mbak Idah tak menanggapi pertanyaan ku yang kedua kalinya, namun tiba-tiba tas yang aku jinjing kini talinya putus dan jatuh ketanah tepat diatas kakiku. Baju-baju di dalamnya sedikit keluar karena tak mempunyai resleting. Aku hanya menutupnya dengan sejumlah jarum pentul, sampai jarum pentul itu kini semua terbuka.
"Tunggu, mbak! Tali tas ku putus ini."ucapku pada mbak Idah. Entah dia mau mendengarkan ku kali ini atau tidak, namun tanganku dengan sigap memungut kembali baju yang tercecer dan memasukkan nya kembali ke dalam tas.
Ketika selesai memperbaiki tas yang aku bawa, mataku langsung tertuju pada sosok mbak Idah yang kini diam mematung. Angin bertiup dengan sangat kencang sampai dedaunan dan ranting-ranting pohon berterbangan. Tapi mbak Idah tak juga beranjak ataupun menoleh ke belakang lebih tepatnya ke aku. Lagi-lagi aku harus membuka suara dengan sangat terpaksa.
"Jalan lagi, mbak! Aku sudah selesai memperbaiki tas ku."titahku padanya. Namun dia tetap bergeming, sesaat kemudian terdengar suara burung hantu yang saling bersahutan sedangkan angin bertiup semakin kencang.
Bulu kudukku kembali meremang dan kini tengkukku terasa dingin dan kaku. Aku kembali teringat dengan ucapan mbak Windi. Dia mengatakan bahwa kepulangan nya di kampung hanya untuk mengantarkan mbak Idah yang sakit karena asmanya sering kambuh di pertambangan.
'Lalu siapa dia yang berada didepan ku saat ini?'
Deg!
Seluruh tubuh menjadi dingin seakan membeku di tambah lagi kini sosok mbak Idah berjalan mundur mendekati ku, rambut panjangnya meliuk-liuk tertiup angin.
"Kamu mau ke tambang, kan? Ki...... Ki...... Ki...!"
Satu kali menoleh kini tampak jelas wajah mbak Idah berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan, tubuhnya melayang ke udara hingga kakinya tak menapak di tanah. Aku mundur beberapa langkah dengan degup jantung yang sudah tak beraturan. Sesaat punggung ku seperti terbentur di dada seseorang dan ketika menengok kebelakang lagi-lagi aku terkejut melihat sosok yang aku kenal, mukanya berlumuran darah yang kini tersenyum menyeringai menatapku.
Pandangan ku berubah menjadi gelap, dunia seperti berputar, lalu tubuh kurusku ambruk hingga aku tak sadarkan diri.
Ketika aku terbangun, ku dapati tubuhku masih terbaring dalam kegelapan dengan posisi tengkurap. Ku kumpulkan semua kesadaran mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya, hingga ingatanku kembali pada sosok mbak Idah sebelum akhirnya aku jatuh pingsan.
Jantungku kembali berdegup, refleks aku terbangun dari tidurku lalu duduk memeluk lutut. Aku tak tahu dimana aku sekarang, yang aku lihat hanyalah gelap, gelap dan gelap. Tanpa terasa air mataku menetes tanpa permisi.
'Andi, Rian, kalian sedang apa sekarang? Ibu kangen, huhuhu.'
Tangisku pecah dalam kesunyian di tengah hutan dalam keadaan gelap gulita.
Jika aku ditakdirkan mati dalam hutan ini, bagaimana nasib anak-anak ku? Tidak! Aku harus pergi dari sini, apapun yang terjadi aku akan mencari jalan keluar.
Aku kembali berdiri dengan tubuh yang hampir terjungkal sebab tak lagi bertenaga. Ku ambil tas lusuhku yang tergeletak di samping kakiku lalu berjalan menyusuri gelapnya hutan tanpa ada cahaya apapun yang bisa menerangi langkahku kini. Rasa haus dan lapar begitu mendera namun aku bisa apa dalam kegelapan seperti ini, bisa-bisa tanganku menarik hewan melata di saat aku memetik dedaunan untuk isi perutku.
Jauh sudah aku melangkah, samar terdengar di depan sana seperti ada musik yang begitu tak asing di telinga. Musik tarian khas sul***si itu makin terdengar nyaring saat kaki ku perlahan mendekati area tersebut.
Aku melongo tak percaya di tengah hutan seperti ini ada acara orkes dangdut khas daerahku terpampang jelas di depan mata. Di tambah lagi mata ini tak sengaja menangkap berbagai makanan yang sudah siap di sajikan tertata rapi di atas meja. Rasa lapar dan haus yang sudah ku rasakan sejak siang tadi membuat langkahku semakin mendekat ke tempat makanan tersebut. Seakan ada sesuatu yang menarik ku untuk terus mendekat ke arah meja itu.
Ketika tangan ini hendak mengambil sepotong daging yang tersaji, hati kecilku seperti terketuk dan berbicara bahwa makanan itu tak boleh ku makan. Sedang rasa lapar semakin meronta membuatku benar-benar kehilangan akal.
Aku mundur beberapa langkah, melihat-lihat orang-orang yang sedang menari, sebagian ada yang lagi menikmati makanan dengan rakus, membuatku seketika menelan ludah ngiler karena lapar. Beberapa di antara mereka juga berpasangan, hingga mataku tertuju pada Heru dan Asep teman sekelas ku dulu sewaktu sekolah menengah atas yang di bawah Windi kemarin, kini tengah menari tanpa henti.
Setelah melihat mereka berdua, kembali ku edarkan pandanganku ke seluruh penari itu dengan harapan melihat mbak Windi ada di antara mereka. Sedangkan mbak Idah, aku tak berharap lagi ingin bertemu wanita itu. Bahkan lebih baik aku tak bertemu dia lagi.
Membayangkan kejadian tadi saat bertemu dengannya membuat nyaliku semakin menciut. Lama aku memperhatikan keadaan sekitar, lagi-lagi tak ada Windi diantara mereka.
Ku lepas tas yang masih menyatu dengan tangan, lalu berjalan mendekati Asep dan Heru yang makin gencar melakukan tarian itu. Satu tanganku berhasil mencolek pinggang Heru namun sepertinya dia tak merasakan hal itu. Langkahku mengikuti arah tarian mereka hingga sampai berdiri ke belakang Asep dan ku lakukan hal yang sama, namun sepertinya Asep pun tak merasa kalau pinggangnya sedang aku colek.
Aku tak kehilangan akal, ku guncang tangan Asep sekerasnya sampai dia merasakan kehadiran ku di sini. Sedangkan ku lihat Heru makin gesit menari dengan memegang tangan seorang wanita.
Namun setelah aku mengguncang tangan Asep, musik tiba-tiba berhenti tanpa aba-aba. Sontak saja semua mata tertuju padaku, hingga Asep pun melotot memandang ku tanpa kedip.
"Asep! Ka-- kamu kenapa?"ucap ku sedikit terbata.
"Ini acara a-apa sebenarnya?"tanyaku masih tak beranjak dari tempat ku berdiri.
Ku lihat semua orang yang ada disini makin mendekati ku dengan langkah yang sedikit aneh, ibarat zombie yang sedang mengejar mangsa.
"Astaga! Kalian semua kenapa?"tanyaku pada Asep yang kini semakin dekat denganku.
Kakiku gemetar hingga tak mampu menopang tubuhku sendiri, wajah mereka semua kini berubah menjadi bentuk yang sangat menyeramkan. Ada yang wajahnya bolong, berdarah, hingga gosong tak karuan.
Namun wajah Asep dan Heru tak berubah bentuk sedikitpun, hanya saja pandangan mereka kosong ketika menatapku. Aku tak mampu menghadapi kenyataan seperti ini, karena sebelumnya aku tak pernah bermimpi maupun bertemu secara nyata dengan makhluk-makhluk menyeramkan.
Kembali tubuhku ambruk tak sadarkan diri setelah semuanya semakin mendekat bahkan ada yang berusaha mencekik ku.
***
Matahari pagi masih malu-malu menampakkan senyuman nya dan masih saja bersembunyi dibalik awan yang menyelimutinya.
Aku yang sedang bermimpi indah harus terbangun karena bisikan seseorang tepat di telingaku.
"Mbak Abel, bangun! Aku sudah menyiapkan secangkir teh dan roti goreng di atas meja."ucap seseorang itu, mataku masih tertutup rapat.
Aku menggeliat membuka mata perlahan, untuk pertama kalinya aku mencium aroma teh panas dan roti goreng di dalam hutan ini. 'Apakah aku sudah berada di tempat paling aman?'tanyaku dalam hati. Kemudian aku terbangun, mataku langsung tertuju pada secangkir teh hangat dengan sepiring roti yang asapnya masih mengepul.
'Siapa yang menyiapkan semua ini?'gumamku lagi.
Daripada bertanya-tanya, lebih baik aku keluar mencari seseorang yang sudah membawaku di sini, di dalam tenda yang nyaman dan rapi.
Ketika kakiku melangkah keluar, aku di kejutkan dengan tangan seseorang menepuk pundak ku secara tiba-tiba.
"Astaghfirullah!"ucapku kaget.
Aku membalikkan tubuhku dan mendapati mbak Idah sedang tersenyum manis ke arahku. Sontak saja tubuhku mendadak kaku, panas dingin ku rasakan sedangkan keringat semakin deras mengalir di sela-sela kulitku dan bajuku basah karenanya.
Mulutku bungkam melihat mbak Idah yang masih menatap ku memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Hey! Kamu kenapa?"tanya mbak Idah, seraya tangannya di lambai-lambaikan ke arahku.
"Abel! Woy, Abel! Kamu kenapa sih?"tanya mbak Idah lagi.
"M-mbak I-idah?"tanyaku lirih, suaraku seperti tertahan di tenggorokkan.
"Iya, ini aku!" Mbak Idah menunjuk dirinya sendiri.
Dia mendekati ku ingin memegang keningku, namun segera ku tepis tangannya dengan kasar.
"Hey, kamu kenapa sih? Kaya kaget banget melihat aku?"
"Kamu masih nggak enak badan?"cecarnya dengan berbagai pertanyaan yang belum juga ku jawab.
Tubuhku terhuyung ke belakang mencoba mencerna apa yang sudah terjadi dalam satu hari ini.
"Bukankah mbak Idah sudah... Sudah..."tanyaku tak mampu melanjutkan bahasaku.
"Iya, aku kenapa?"tanya mbak Idah lagi heran. Sekilas ku lihat wajahnya pucat tanpa ada aliran darah di sana.
"Mbak Idah sudah pulang ke rumah, mbak Windi yang mengatakan itu padaku. Mbak Idah juga berubah menjadi sosok yang mengerikan malam tadi, bahkan Asep dan Heru sudah bukan manusia lagi sepertinya. Itu karena pandangan mereka kosong bahkan telah berani mencekik ku." Jelas ku pada mbak Idah tentang kejadian mengerikan semalam yang aku alami.
"Hahaha! Windi itu sudah mati bunuh diri, mana bisa dia mau datang sama kamu lagi? Dia sudah gila karena kehilangan bayinya makanya bunuh diri, dan soal semalam itu kamu pasti mimpi. Mana ada Asep mau mencekik lehermu, sedangkan dia dan Heru yang membantu aku memapah kamu kesini."ucap mbak Idah menjelaskan, namun entah mengapa itu terkesan seperti mengada-ada.
"Gila kamu, mbak! Aku nggak mimpi, bahkan leherku masih terasa sakit dan nyeri. Bagian dadaku juga seperti tercakar oleh hewan yang berkuku tajam!"geram ku pada mbak Idah yang tidak mempercayai ku.
"Hahahaha. Kamu cuman berhalusinasi! Jadi, tutup mul*tmu itu! Kamu kesini juga mau kerja, kan? Nggak usah b*cot."
Mbak Idah semakin tertawa terbahak-bahak, entah apa yang di tertawakannya, ku rasa wanita itu sudah gila.
Aku memilih tak menanggapi lagi ucapan mbak Idah, karena perutku butuh di isi. Dalam hitungan menit sepiring roti dan secangkir teh habis tak bersisa.
Namun saat menelan roti terakhir, ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokan ku, sehingga roti itu enggan tertelan seperti ada sebuah benda yang menari-nari di sana.
Ku masukkan tangan ke dalam mul*t hingga menyentuh sebuah benda lunak berair sampai air itu menetes masuk mengaliri tenggorokan ku. Seketika bau anyir menguap begitu saja dan aromanya sangat kuat.
"Hoeeekk... Hoeeekk...!"
Ku muntahkan semua makananku tanpa jeda sampai air mata pun ikut berjatuhan. Bagaimana mungkin ada sebiji mata manusia terselip di dalam sepotong roti goreng dan ini sangat aneh!
Aku terkulai lemas setelah memuntahkan roti si*lan itu, mataku terasa panas memandang mbak Idah yang terlihat biasa saja setelah aku muntah-muntah barusan. Setelah mengatur napas, aku berdiri menghampirinya yang sedang asyik mengunyah daging rusa.
"Mbak!"sentak ku keras lantaran kesal.
"Hm, kenapa?"tanyanya masih fokus menggigit seluruh bagian daging itu. Entah kenapa aku yang melihatnya merasa jijik.
"Lihat ini!" Ku tunjukkan sepotong roti tadi yang di dalamnya ada sebiji mata utuh cairannya masih menetes membuatku bergidik.
"Rotinya, kenapa? Nggak enak?"tanyanya lagi seraya mencuci tangan dan mulutnya yang di penuhi minyak dari daging rusa tersebut.
"Makanya lihat dulu!"pintaku lagi sedikit memaksa. Ku perlihatkan potongan roti itu di hadapannya.
Kemudian mbak Idah mengambil dan menggenggam roti itu lalu memperhatikannya dengan seksama.
"Nggak ada apa-apa!"ucapnya enteng.
"Nggak ada apa-apa bagaimana sih, mbak? Jelas-jelas tadi ada biji mata manusia sampai aku muntah-muntah gitu lagi!"tukas ku kesal karenanya.
Namun mbak Idah malah memelototi ku lalu di tutup dengan tawanya yang melengking. Dasar wanita gila!
"Kamu sedikit normal! Nanti aku perhalus lagi."ucapnya padaku dan berlalu pergi membuang semua sisa makanan yang sudah membusuk.
"Maksud mbak Idah, apa? Aku tidak normal gitu?"tanyaku seraya mengekor di belakangnya.
Sesaat mataku tertuju pada galian tanah pembuangan sisa makanan itu, tiba-tiba indra pendengaran ku menangkap suara-suara yang aneh berasal dari dalam galian tanah tersebut. Teriakan kesakitan dan minta tolong saling bersahutan membuatku sedikit ngilu.
Namun kembali mbak Idah mengalihkan perhatian ku dan mengajak ku segera meninggalkan lubang galian tersebut. Matanya tajam menatapku membut nyaliku sedikit menciut.
"Besok kamu sudah bisa mulai kerja, akan aku antarkan pada bos pemilik tambang!"pungkasnya lalu berbaring membelakangi ku.
"Ah, baiklah!"
Aku tersenyum mendengarnya, berulang kali ku ucapkan rasa syukur.
"Bentar malam, kamu ku antar ke sana!"ucapnya lagi, sebelum akhirnya dia benar-benar tertidur.
Aku menyunggingkan senyum termanisku, harapan akan segera bekerja sudah menari di pelupuk mata. Bayangan kedua anakku sedang tersenyum menanti ku, membuatku semakin gembira.
***
Malam pun tiba, dan anehnya mbak Idah belum juga membersihkan badannya. Bahkan dia masih tertidur dengan posisi membelakangi ku, hingga dengkurannya berubah menjadi sangat keras memekakkan telinga.
Seketika bau busuk bercampur amis terhirup olehku dan masuk memenuhi rongga hidung ku, membuatku mual berkali-kali.
Entah darimana datangnya bau busuk seperti ini, apa mungkin bangkai hewan yang terbawa angin?
Ah, daripada memikirkan bau yang membuat moodku hancur, lebih baik aku membersihkan diri saja dulu. Aku beranjak dari dipan untuk segera mencuci muka agar ke tempat kerja sebentar setidaknya aku terlihat lebih segar. Namun ketika hendak ku pijakan kaki di lantai, dipan yang menjadi tempat ku berbaring sejak malam tadi seketika patah hingga membuatku terjungkal ke belakang.
Pinggang ku terasa sakit, tanganku pun sedikit berdarah. Aku meraih senter di samping mbak Idah, lalu mengarahkan nya ke bagian kayu dipan yang patah tersebut dan ternyata memang sudah lapuk. Tapi anehnya, siang tadi dipan ini terlihat nyaman dan masih baru bahkan mungkin baik-baik saja.
Perasaan ku mulai tak enak seperti ada sesuatu yang tidak beres, namun segera ku tepis pikiran-pikiran buruk itu. Gegas aku berjalan keluar menuju ke tempat air yang di tampung pakai tenda mirip seperti bak mandi, tapi itu memang terbuat dari tenda yang ujungnya di ikatkan pada kayu dan disusun menjadi segi empat.
Karena di luar dan dalam tenda begitu gelap, aku inisiatif untuk membakar lilin saja yang ku lihat pagi tadi dekat kompor, tapi korek api tak juga ku temukan. Terpaksa aku harus menyalakan senter untuk penerangan sementara.
Tak ingin membuang-buang waktu, segera ku basuh wajah dan seluruh tubuhku sampai benar-benar sejuk dan terasa nyaman. Ketika aku hendak menggosok gigi, tampak seekor laba-laba sedang nangkring di dalam timba berisi air, airnya pun berubah menjadi keruh dan bau.
Aku kembali memastikan dengan mengambil senter lagi lalu melihat ke dalam timba air itu lebih dekat. Sesaat kemudian aku langsung syok melihat perubahan warna pada air tersebut, yang awalnya bening berubah menjadi warna hijau penuh lumut.
Gegas aku berlari untuk membangunkan mbak Idah agar dia tahu keanehan pada air tersebut.
"Mbak, mbak, bangun! Airnya berubah warna, baunya juga sangat busuk."ucapku seraya mengguncang tubuhnya.
"Ayo, mbak!"
Aneh! Mbak Idah bukannya terbangun, malah mendengkur semakin keras, keras dan lebih keras.
Pikiranku mulai takut karena mbak Idah tak juga terbangun, aku takutnya dia itu pingsan.
Tanpa pikir panjang segera ku balik tubuh mbak Idah dengan perlahan, namun betapa terkejutnya aku saat tubuh itu terbalik sempurna. Salah satu mata mbak Idah sudah bolong menyisakan satu mata saja, sedang mukanya dipenuhi darah dan belatung yang baunya sangat busuk.
"Arghhhh!"teriakku dalam kegelapan. Senter di tanganku terlepas begitu saja.
Seluruh tubuhku gemetar, kakiku tak mampu berlari mulutku seperti bungkam. Sialnya lagi, mataku masih saja fokus memandangi wajah mbak Idah yang tersenyum menyeringai menatapku penuh arti.
"Ka-kamu siapa sebenarnya? Ke-kenapa selalu saja mengganggu ku?"tanyaku terbata-bata.
Seluruh tubuhku gemetaran bermandikan keringat hingga kakiku terasa berat untuk berlari.
Wanita jadi-jadian itu tak mengeluarkan sepatah katapun, sampai akhirnya dia berdiri menghadap ku yang sudah pucat pasi bagai mayat hidup.
Ku paksakan diri agar bibir segera berucap merapalkan segala doa yang aku bisa. Sementara keringat makin mengucur deras mengaliri setiap kulit yang masih saja meremang.
Sejurus kemudian aku langsung berlari dengan handuk yang masih melilit sempurna di tubuhku. Tak ku hiraukan lagi tas pakaian ku yang terlupa, yang penting aku bisa selamat dulu dari hantu tersebut.
Ku ambil langkah lebar seraya tetap memegang handuk agar tetap berada ditubuh. Entah bagaimana ceritanya kalau sampai handuk itu terlepas, apakah sosok itu makin gencar mengejar ku ataukah berbalik arah dan mengutuk ku.
Berlari dan terus berlari tanpa henti, kepala pun tetap menoleh ke belakang, takut kalau-kalau hantu itu masih mengejarku.
Setelah merasa aman, aku menghentikan langkah dan ku regangkan kaki yang sudah tak punya kekuatan lagi untuk berlari. Gegas aku memperbaiki lilitan handuk ku dengan kecepatan seribu tangan, lalu duduk mengatur napas yang terengah-engah. Panas dingin jadi satu!
***
Aku tak tahu sudah jam berapa sekarang, tampak hari masih saja gelap. Akibat terlalu capek berlari, tanpa sadar aku tertidur dibawah pohon yang rimbun.
Aku memutar bola mata dengan takut, celingak-celinguk mencari keberadaan hantu sialan itu, namun rupanya dia tak lagi mengejarku. Dan aku berharap dia tak muncul lagi.
Ku tarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Aku merutuki diri sendiri dengan segala kebodohan ini. Karena bayangan akan mendapat uang banyak, ku pertaruhkan nyawa dan meninggalkan anak-anak ku yang masih membutuhkan kasih sayang dariku.
Entah kenapa aku masih belum mau beranjak dari tempat ini, rasanya aku sudah lelah dan putus asa menghadapi kenyataan ini. Aku capek dengan takdir yang aku alami, namun aku akan sangat berdosa jika berprasangka buruk pada ketentuan-Nya.
Lama aku berdiam diri sedangkan perutku sudah keroncongan minta di isi, tapi tak ada satupun makanan yang bisa ku makan sebagai pengganjal perut. Niat ku ingin kembali ke tenda tadi begitu besar bagaimana pun caranya, karena tas pakaian dan dompet ku masih tertinggal di sana. Namun tidak untuk malam ini, lebih baik besok saja.
Ketika aku masih betah berdamai dengan pikiran ku, tiba-tiba saja aku merasakan sebuah tangan menarik rambutku dari atas pohon diiringi dengan suara burung hantu yang terdengar menyeramkan.
Deg!
Kembali jantung ku berdegup dengan kencang, ku coba menguatkan mental agar tak kehilangan kekuatan. Namun nihil, aku lemah, aku takut, buktinya dadaku sudah seperti gendang lagi.
Ku beranikan diri untuk menoleh ke arah atas tepatnya ke atas pohon, apa yang sudah menarik rambutku kini. Samar hanya ranting pohon yang terlihat olehku. Karena gelap juga aku tak bisa memastikan.
Setidaknya aku bisa menarik napas lega, ternyata itu bukanlah makhluk menyeramkan seperti yang ada dalam pikiranku. Ku putar kepala kembali menoleh ke arah depan dan mencoba menenangkan pikiran. Tapi lagi-lagi rambutku ditarik bahkan lebih keras lagi kali ini, hingga membuatku sedikit meringis kesakitan.
Tanpa sadar ada setetes cairan yang jatuh tepat di atas kepalaku, perlahan aku menyentuhnya dengan hati-hati namun teksturnya agak kental. Tak kehilangan akal, aku membaui cairan tersebut tapi itu sungguh membuatku terkejut sekaligus takut karena baunya amis.
'Apakah ini darah?'gumamku pada diri sendiri.
"Itu bukan darah!"sahut suara seorang wanita yang berada tak jauh dariku.
"Ki... Ki... Ki...!"
Sekelebat bayangan putih terbang di atas kepalaku. Berayun dari pohon satu ke pohon yang lain. Bisa dipastikan, itu kuntilanak yang datang menggoyahkan iman ku lagi.
"Ki...ki...ki...!"
Ku tutup mata dengan kedua tanganku, seluruh tubuhku meremang sampai rambutku ikutan berdiri.
Ku rasakan sentuhan di bagian punggung ku, bisikan dan nyanyian mengerikan hampir membuatku mati ketakutan.
"Arghhhh...! Pergi! Jangan ganggu aku, pergi kamu!"teriakku, seraya tangan tak lepas dari wajah ku.
"Kamu... Harus... Mati!"
Wushh......
Setelah mengatakan itu, akhirnya makhluk sialan itu telah pergi meninggalkan aroma melati dan bau tak sedap di sekitarku. Air mata yang sejak tadi ku pertahankan akhirnya lolos juga.
"Arghhhh...! Aku benci dengan semua ini."
Suaraku terdengar lantang, derai air mata masih setia menghiasi pipi tirus ku.
Tak lama setelah mengatakan hal itu, aku merasakan kehadiran seseorang. Langkah kakinya terdengar jelas menuju ke arahku. Sampai aku harus berdiri dan bersembunyi dibalik pepohonan seraya memperjelas kembali pendengaran ku. Aku yakin dan tak salah dengar langkah itu semakin mendekat.
Tak bisa dipungkiri bahwa hatiku sudah gelisah takut hal yang sama terulang lagi.
S E K I A N