PENDAKIAN MALAM SATU SURO DI GUNUNG SINDORO TAHUN 2000
Kembali lagi dengan cerita masa lalu yang tidak jauh dari dunia pendakian gunung.
-----
JEJAKMISTERI - Mengingat kembali setiap detail kejadian lebih dari 20 tahun yang lalu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menuangkannya ke dalam sebuah cerita. Benar-benar menguras energi. Semoga apa yang saya ingat bisa saya sajikan sebaik mungkin.
Bulan februari tahun 2000, entah tanggal berapa. Tapi yang pasti ini adalah masa akhir tahun Hijriah dan akan memasuki awal tahun yaitu bulan Muharram atau bulan Suro dalam penanggalan jawa. Dimana banyak dipercaya sebagai bulan sakral yang akan banyak aktifitas alam gaib pada bulan ini.
Aku dan beberapa teman di organisasi pecinta alam yang belum lama kami bentuk merencanakan pendakian ke Gunung Sindoro pada malam 1 suro. Bukan tanpa alasan, karena tanggal 1 suro juga merupakan hari libur nasional, maka kami memanfaatkan hari libur ini untuk pendakian gunung. Bukan alasan-alasan lain apalagi yang berkaitan dengan hal gaib. Kami bukan kelompok yang menekuni dunia mistis dan sejenisnya.
Gunung Sindoro kami pilih karena kami memiliki kenalan yang berasal dari kaki Gunung Sindoro, sebut saja namanya Sandi. Bukan dari desa dimana jalur pendakian resmi berada, tetapi dari desa temanku tersebut juga ada jalur menuju ke puncak. Jadi kami menyambut baik tawaran dia dengan alasan jalur yang akan kami lewati nanti bakal sepi tanpa hiruk pikuk pendaki lain dan pastinya akan ada team yang mengawal pendakian kami hingga ke puncak, jadi kami tidak perlu khawatir terjadi hal buruk terutama tersesat.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, ada sedikit insiden dengan kelompok lain yang juga tergabung dalam satu forum pecinta alam di kotaku. Mereka berniat menggagalkan pendakian kami dan ingin mengalihkan ke kegiatan lainnya dengan dalih kami adalah anggota forum dan harus mengikuti kegiatan forum. Tapi dengan tegas kami menolaknya. Kalaupun kelompok kami dikeluarkan dari keanggotaan pun tak masalah, ujarku. Dan lucunya, tanpa konfirmasi sebelumnya, ternyata mereka malah ikut dalam pendakian kami dengan langsung menyusul ke lokasi. Inilah awal mula kekacauan yang nantinya terjadi karena minim koordinasi.
Singkat cerita, kami pun berangkat menuju ke rumah temanku di salah satu desa di kaki gunung sindoro. Sore menjelang petang kami semua sudah sampai di lokasi. Selanjutnya kami menyebut rumah temanku tersebut dengan basecamp.
Usai beramah-tamah dengan anggota keluarga lainnya, kami beristirahat sejenak karena pendakian akan langsung kami mulai malam ini juga.
Sekitar jam 21.00 kami sudah bersiap untuk mulai mendaki Gunung Sindoro. Tentunya beserta personil tambahan yang menyusul kami tadi.
Tapak demi tapak kali ayun merayapi punggung Sindoro dengan pelan namun pasti.
Usai meninggalkan pemukiman penduduk, kami mulai memasuki area perkebunan warga yang biasanya ditanami tembakau.
Udara dingin kini terasa semakin menusuk diiringi dengan butiran tipis rinai yang turun sejak sore tadi. Tidak deras, oleh karenanya kami tetap bergerak untuk melanjutkan pendakian.
(Semua percakapan aslinya menggunakan Bahasa Jawa, tapi saya langsung menuliskan dengan Bahasa Indonesia supaya tidak repot menerjemahkan)
"Nanti kalau dengar suara gamelan biarkan saja, sudah biasa warga sini ada acara di malam satu suro" ucap Sandi padaku.
Posisiku saat ini berada di depan bersama Sandi sebagai penunjuk jalan. Bersama denganku juga ada Anton. Sedangkan yang lainnya mengekor secara berurutan ke belakang.
Aku tidak tahu pasti berapa total peserta dalam pendakian ini. Yang jelas lebih dari 30 orang yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok.
Mendengar ucapan Sandi tadi, aku tidak begitu memikirkannya, mungkin dia hanya mengingatkan supaya aku dan yang lainnya tidak kaget apalagi takut jika nantinya mendengar suara gamelan karena hal itu sudah biasa.
Saat kami sampai di ujung area perkebunan dan hendak memasuki area hutan, tiba-tiba Sandi menghentikan langkah kami. Dia lalu memandang ke arah seberang lembah di samping kanan kami. Aku pun mengikuti melihat ke arah sana. Ternyata di atas punggungan seberang sana ada orang berdiri sambil merokok. Orang itu lantas berteriak kepada kami.
"Jangan lewat situ, kalian salah jalan, nanti kesulitan kalau mau kembali" ucap seseorang di seberang sana.
"Terus lewatnya mana kang?" Jawab Sandi
"Ambil kiri, turun sedikit lalu memutar. Nanti kalian ketemu jalan naik" ucapnya lagi.
"Terima kasih kang" jawab Sandi lagi.
Sebelum kami kembali bergerak, Sandi memanggil adiknya yang saat ini berada di barisan belakang, sebut saja namanya Yono, untuk menggantikan memimpin di depan sebagai penunjuk jalan.
Yono pun menerima tugas dari kakaknya dan segera mengajak kami semua melanjutkan pendakian.
Sebelum mulai berjalan, aku sempatkan kembali melihat ke arah orang yang menunjukkan jalan tadi, ternyata orang itu sudah tidak ada di sana.
Dan belakangan saat pendakian ini usai, kami baru menyadari bahwa yang menunjukkan jalan kepada kami sebetulnya bukan manusia. Bagaimana tidak, secara logika apa yang dilakukan penduduk malam-malam begitu di kebun? Apalagi ini bukan musim tanam tembakau. Tapi bagaimanapun juga, kami tetap berterima kasih kepada makhluk itu karena telah menunjukkan jalan kepada kami.
Sandi pun mengamini pendapatku. Sejak awal sampai di lokasi itu dia sudah merasa bahwa kami salah jalur. Lalu dia merasa ada yang memanggil dari seberang lembah, ternyata ada seseorang berdiri di sana. Dan perlu diketahui, Sandi merupakan warga asli kaki Gunung Sindoro, jadi tidak heran jika dia memiliki kepekaan lebih terhadap hal gaib. Apalagi orang tua dan leluhurnya nya merupakan salah satu tokoh masyarakat yang disegani di desanya.
Usai mengikuti petunjuk jalan dari seseorang tadi, akhirnya kami bisa kembali ke jalur pendakian. Yono meyakinkan kami bahwa benar ini adalah jalur pendakian.
Masih tetap di barisan depan, Yono, Aku dan Anton tetap mengayun langkah dengan pasti. Sesekali kami berhenti sejenak menunggu barisan belakang yang terkadang tercecer karena beberapa peserta mengalami kelelahan dan meminta beristirahat, terutama peserta cewek.
Ritme pendakian yang demikian membuat kami menjadi terlalu lama berada di jalur dan secara otomatis lebih menguras tenaga. Dalam situasi seperti ini, ego kami sebagai pemuda yang memiliki semangat berapi-api menjadi meningkat. Aku dan Anton mengusulkan untuk terus berjalan meninggalkan rombongan belakang supaya bisa segera sampai di puncak. Toh beberapa kelompok sudah memiliki pemimpin yang lebih senior yang bertanggung jawab terhadap kelompok mereka masing-masing.
Yono menyetujui pendapatku. Setelah berkoordinasi singkat dengan Sandi, kami memecah rombongan menjadi 2 bagian. Bagian pertama yang memiliki stamina prima terus melanjutkan pendakian tanpa menunggu rombongan lainnya, dipimpin oleh Yono. Sedangkan bagian kedua juga terus berjalan sesuai ritme mereka tanpa meminta ditunggu oleh bagian pertama. Tapi dengan syarat, di setiap bagian rombongan harus ada pendamping dari tim lokal. Dan Sandi memimpin di bagian rombongan kedua.
Bersama kelompok yang memiliki kondisi fisik dan stamina prima, aku bisa dengan cepat melibas tanjakan demi tanjakan punggung Sindoro untuk segera menggapai puncaknya.
Hingga suatu ketika rombongan kami telah sampai di bagian hutan Gunung Sindoro yang masih cukup rimbun dengan dominasi pohon mlanding gunung yang tidak terlalu besar namun lumayan cukup tinggi.
Yono menghentikan laju langkah kami dan menginstruksikan untuk break bersama. Mengingat kami sudah cukup lama berjalan dan beberapa orang juga sudah mulai terlihat kelelahan meski mereka tidak mengakuinya karena gengsi.
Break kali ini kami tidak membuat kopi. Hanya menikmati air putih dan rokok saja karena memang kami tidak berniat untuk berlama-lama di sini. Saat kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba sayup kudengar suara gamelan khas pertunjukan wayang. Kami semua saling pandang dan terdiam. Artinya kami semua mendengarnya.
"Tenang, itu desa sebelah memang ada pertunjukan wayang setiap malam satu suro" ucap Yono memecah kesunyian.
Kami pun lega, artinya suara gamelan ini bukan berasal dari dunia gaib. Setidaknya begitu pemikiranku.
Dirasa sudah cukup istirahat, kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Saat kami hendak beranjak, salah satu temanku yang bernama Diki menemukan sesuatu tergeletak di tanah terinjak olehnya.
Diki meraba bagian bawah sepatunya dan menemukan suatu benda. Setelah diambil dan diamati, ternyata benda itu semacam keris kecil sebesar telapak tangan dengan bentuk mirip salah satu tokoh pewayangan. Tetapi kami tidak mengetahui bentuk tersebut tokoh siapa.
Aku sempat ikut memegang benda tersebut. Dan ketika berada di tanganku, aku merasakan ada semacam sentakan energi yang keluar dari benda itu.
"Bawa saja tidak apa-apa. Jika memang itu rejekimu, benda itu akan terus ikut denganmu. Tapi jika bukan, dia akan hilang dengan sendirinya" ucap Yono kepada Diki.
"Tapi gunanya untuk apa ini, mas?" Tanya Diki.
"Aku juga tidak tahu. Kalau memang ada manfaatnya, biasanya nanti kamu akan tahu dengan sendirinya" jawab Yono.
Mengikuti saran Yono, akhirnya Diki membawa benda tersebut dengan memasukkannya ke dalam ranselnya, dan kami pun bergegas melanjutkan pendakian.
Pendakian pun kami lanjutkan. Malam semakin pekat, dan aura mistis gunung ini jadi semakin menebal. Entah karena efek dari benda yang ditemukan Diki tadi atau memang sudah kewajaran karena jalur ini memang sangat jarang dilalui. Bahkan saat ini hanya kelompok kami yang mendaki melalui jalur ini. Ditambah lagi malam ini adalah malam satu suro. Malam puncak "pesta" dunia gaib, menurut kepercayaan beberapa kalangan masyarakat.
Semakin lama kami berjalan, rombongan depan yang tadinya berisi sekitar 15 orang kini semakin terpecah menjadi 3 bagian dikarenakan mulai terlihat perbedaan stamina dari masing-masing personil.
Yono meyakinkan kami bahwa sudah tidak ada percabangan jalur, jadi meskipun ada yang tertinggal, kami tidak perlu khawatir akan tersesat. Yang terpenting jangan ada yang tertinggal sendirian, minimal harus ada yang menemani satu orang. Seperti halnya diriku kini yang berada di tengah bersama Anton dan dua orang lagi teman kami. Sedangkan bagian depan bersama Yono sudah cukup jauh meninggalkan kami dan bagian belakang juga berjarak lumayan jauh.
"Lumayan juga ya trek jalur ini. Jarang ada bonus, ga kayak jalur Kledung" ucapku ditengah percakapan kami saat istirahat sejenak.
"Jalur Kledung sih emang lebih enak, cuma lebih jauh kayaknya" jawab Anton.
"Jadi kita mau nunggu yang belakang apa mau lanjut aja?" Ucap Wisnu, salah satu teman yang tergabung di timku.
"Kalo dirasa cukup istirahat ya mendingan lanjut aja sih. Takutnya kelamaan kalo kita nunggu. Ntar malah jadi ngantuk. Menurut kalian gimana?" Ucapku
Mereka semua menganggukkan kepala tanda menyetujui pendapatku.
Saat kami hendak beranjak, lagi-lagi kami kembali mendengar alunan musik gamelan. Kali ini suaranya terdengar lebih jelas, seolah berada tidak jauh dari tempat kami.
Kami berempat saling pandang. Mungkin kami memikirkan hal yang sama, yaitu suara gamelan ini bukan berasal dari salah satu desa di kaki gunung ini. Karena kami sudah berjalan cukup jauh. Jadi rasanya tidak mungkin suara gamelan dari desa di bawah sana bisa sampai di sini, apalagi sejelas ini.
"Jalan aja yuk, Ton. Jangan kelamaan di sini. Dingin" ucapku setengah berbisik kepada Anton.
Anton mengangguk lalu segera beranjak dan kami mengikuti dibelakangnya.
Tak sampai 15 menit kami berjalan, tiba-tiba Anton menghentikan langkahnya. Aku yang tidak menyadari dia berhenti pun sempat menabraknya. Begitu pula Wisnu dan Andre yang berada di belakangku.
"Kenapa, Ton?" Tanyaku.
"Inget kejadian di Sumbing ga?" Ucapnya balik bertanya padaku.
"Iya kenapa?"
"Yang di depan mirip salah satu yang ada di sana"
"Gede?"
"Iya"
"Terus gimana?"
"Ga tau. Tunggu pergi kali ya"
"Yaudah, doa aja. Kalian yang dibelakang bantu doa ya" ucapku
"Ada apa emangnya?" Tanya Andre.
"Biasa, ada yg nunjukin kalo di sini tempat dia. Dan dia halangi jalan kita" jawabku.
Kami berempat pun berdiam diri sejenak untuk berdoa menurut kemampuan dan kepercayaan kami masing-masing. Kami hanya meminta dilancarkan perjalanan kami dan dijauhkan dari segala mara bahaya, baik dari alam maupun dari makhluk lain.
"Udah ga ada" ucap anton beberapa saat kemudian.
"Yaudah lanjut yuk" jawabku.
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Selepas dari sapaan salah satu penunggu Sindoro tadi, aku merasakan kini kehadiran mereka semakin banyak. Tapi mereka hanya muncul di sisi jalur pendakian saja. Tidak ada satu pun yang menghalangi seperti yang sebelumnya.
Aku memang tidak bisa melihat dengan jelas bentuknya, paling hanya berbentuk kabut tipis menggulung atau bayangan samar membentuk siluet tipis seperti bentuk manusia atau hewan. Tapi aku sangat jelas bisa merasakan jika mereka memang hadir di sini.
"Gantian depan, Hen" ucap Anton sambil nyengir padaku.
"Lihat apaan lu, Ton" jawabku sambil tertawa kecil.
Aku tahu betul kalau saat ini Anton sedang melihat jelas penampakan mereka. Berbeda denganku, Anton memang terkadang bisa melihat dengan jelas penampakan makhluk gaib. Bahkan dalam bentuk-bentuk yang menyeramkan.
"Banyak. Banyak banget. Ngeri" bisik Anton padaku.
"Yaudah kamu belakangku. Tapi masih sanggup kan?" Ucapku.
"Gaaasss" sahutnya sok berani.
Kami sebetulnya bukan kaum pemberani yang mampu melawan munculnya makhluk gaib. Jujur saja, kami sama-sama penakut. Tapi karena kami saat ini dalam satu rombongan, maka rasa berani bisa muncul dengan sendirinya. Mungkin karena faktor gengsi atau bisa juga karena keyakinan kami bahwa kami bisa saling menguatkan ketika bersama-sama.
Sambil terus mengayun langkah, kami terus mengobrol untuk memecah kesunyian sekaligus mengusir rasa takut karena kehadiran makhluk-makhluk penghuni Sindoro ini semakin lama menjadi semakin tidak terkendali saja.
Awalnya kami berempat masih saling sahut dan tertawa ketika berbicara. Tapi lama-kelamaan tinggal 3 orang yang mengeluarkan suara. Salah satu dari kami tiba-tiba terdiam. Aku yang berada paling depan memang tidak pernah menoleh ke belakang ketika berjalan. Cukup mendengar suara dan langkah mereka aku sudah cukup yakin bahwa kelompok kami berempat masih utuh.
Ketika aku menyadari tinggal 3 orang yang saling sahut, aku pun berhenti dan melihat ke belakang. Ternyata Andre yang tadi posisinya berada paling belakang sudah tidak ada di tempatnya.
"Andre mana?" Tanyaku
Seketika Anton dan Wisnu juga ikut menoleh ke belakang.
"Lah tadi di belakangku. Kenapa tiba-tiba ga ada" jawab Wisnu.
"Andreeee... Ndreeee... Andreeeee" kami bertiga berteriak memanggilnya, tetapi hanya kesunyian yang menjawab kami.
"Kayaknya kita harus turun nyari Andre. Bahaya kalau dia sendirian" ucapku.
"Yaudah, yuk. Masih kuat kan, Nu?" Jawab Anton sekaligus menanyakan kondisi Wisnu.
"Masih. Ayo cari Andre dulu, takut ada apa-apa" sahut Wisnu.
Kami bertiga pun turun menyusuri jalur yang kami lewati tadi. Tapi hingga hampir sampai di lokasi saat kami istirahat sebelumnya, kami belum menemukan Andre.
Aku merasakan ada suatu kejanggalan di sini. Aku pun berusaha tenang lalu merekonstruksi ulang awal mula perjalanan dari saat kami terakhir kali istirahat tadi.
Tadi kami kembali melanjutkan perjalanan saat mendengar suara gamelan. Lalu ada sedikit gangguan. Dan selama perjalanan itu tim kami berempat masih lengkap. Tapi tak lama Andre tiba-tiba hilang. Secara logika, jika dia berhenti sendiri entah dengan alasan apapun, seharusnya jaraknya tidak jauh. Tapi saat kami turun, bahkan hampir sampai di lokasi istirahat kami belum menemukannya.
"Gimana?" Ucap Anton membuyarkan lamunanku.
"Cari ke bawah lagi" jawabku
Kami bertiga pun kembali turun menyusuri jalur semula. Dan ketika kami sampai di lokasi kami istirahat tadi, kami bertiga benar-benar dibuat kaget dengan apa yang kami temui di situ.
Ternyata Andre berada di situ sedang duduk di sebuah batu besar sambil merokok.
Melihat kedatangan kami, Andre sempat terkaget lalu membuang sisa puntung rokoknya dan beranjak.
"Lah ngapain kalian balik lagi? Kan udah aku suruh duluan tadi" ucap Andre.
Haaaah..?? Ini bagaimana maksudnya?? Aku benar-benar bingung atas situasi ini. Kulihat Anton dan Wisnu pun tak kalah bingung, terlihat dari ekspresi wajah mereka.
"Bentar-bentar, aku benar-benar bingung ini. Coba kamu jelasin dulu, Ndre. Dari mana saja kamu tadi?" Ucapku
"Maksudnya gimana sih? Kalian bertiga kok kayak orang bingung ini ada apa sebenarnya?" Ucap Andre tak kalah bingung.
"Oke coba aku jelasin dulu ya. Sepertinya ada yang aneh ini" sergah Anton
"Jadi tadi kan kita istirahat bareng di sini. Lalu kita lanjut jalan bareng berempat. Terus di tengah perjalanan kamu tiba-tiba hilang. Terus kita cari sampai di sini. Ternyata kamu balik lagi kesini, Ndre" sambungnya.
"Apa maksudnya, Ton? Dari tadi aku duduk di sini, ga kemana-mana. Kita emang tadi istirahat bareng di sini. Terus kalian kan ngajak jalan lagi. Nah, karena rokokku belum habis, jadi kalian kusuruh duluan, nanti aku nyusul. Lagian kupikir tidak sampai 3 menit paling rokokku habis dan bisa nyusul kalian. Pas aku lagi siap-siap mau jalan, tau-tau kalian malah balik lagi kesini dengan wajah bingung kalian" jelas Andre.
Aku tertegun mendengar penjelasan Andre. Dia bilang hanya 3 menit. Sedangkan aku, dan mungkin saja Anton dan Wisnu juga merasakan hal yang sama, merasa kami tadi sudah berjalan setengah jam lebih. Dan satu lagi yang aneh, kami merasa Andre tadi juga ikut jalan. Jika penjelasan Andre benar, bahwa dia tetap di sini, lantas siapa yang ikut jalan bersama kami tadi?
"Nampaknya ada yang sedang mempermainkan kita" ucapku
"Yang bawa jam, coba cek jam kalian masing-masing" sambungku.
Ketika kami memeriksa jam yang kami bawa, kami kembali merasa terheran.
Ketika kami memeriksa jam yang kami bawa, kami kembali merasa terheran.
Jam kami masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda-beda. Milikku menunjukkan jam 00.15. Milik Anton menunjukkan jam 03.45. Milik Wisnu menunjukkan jam 04.30. Sedangkan Andre tidak membawa jam.
"Kenapa beda-beda gini? Yakin jam kalian tidak bermasalah?" Ucap Anton menyiratkan kecurigaan adanya kerusakan pada penunjuk waktu yang kami bawa.
"Punyaku ga mungkin kalo rusak. Ini jam masih baru. Baru beberapa bulan aku beli" ucap Wisnu.
Dalam situasi yang membingungkan ini, kami juga baru menyadari jika sejak tadi kami belum tersusul tim yang berada di belakang kami. Padahal seharusnya mereka sudah menyusul kami, jika mempertimbangkan selisih waktu dan kemampuan fisik mereka.
"Perasaan rombongan belakang kok ga sampai-sampai ya" ucapku
"Bener juga. Seharusnya mereka sudah sampai dari tadi kalau mereka jalan terus" sahut Anton
"Mereka berhenti kali. Siapa tau ada masalah atau kelelahan" ucap Wisnu.
"Bisa jadi. Terus sekarang kita gimana?" Sambung Andre.
"Jalan aja lagi yuk ah. Lagian Yono bilang ga ada percabangan jalan. Mereka pasti nyampai, ga mungkin nyasar" ucapku.
Kami pun sepakat melanjutkan perjalanan. Kali ini kami saling memegang tali tas teman yang berada di depan kami. Kecuali yang paling depan tentunya. Hal ini kami lakukan untuk antisipasi kejadian serupa seperti sebelumnya, yaitu hilangnya salah satu personil kami.
Selepas meninggalkan lokasi tempat kami istirahat tadi, aku merasa keheranan. Pasalnya jalur yang kami lalui berbeda dengan sebelumnya. meski baru sekali aku melalui jalur tadi, sedikit banyak aku bisa mengenalinya jika aku mengulang melalui jalur yang sama.
Pohon-pohon besar kini menghiasi sepanjang jalur yang kami lalui. Di setiap batangnya ditumbuhi lumut tebal dan hampir merata. Menyiratkan usia pohon itu sudah sangat tua. Tak hanya satu dua pohon saja. Di sekitar kami ada sangat banyak pepohonan sangat besar. Kami telah memasuki area rimba yang sangat lebat dan rapat. Bahkan langit pun tak terlihat karena tertutup dedaunan dari pohon-pohon itu. Hawa di sini menjadi lebih dingin, bahkan sangat dingin.
Menyadari adanya keanehan, aku menghentikan langkahku. Kulihat ekspresi teman-temanku semuanya sama. Mereka sama-sama heran, kaget sekaligus takut menghadapi situasi ini.
"Kita dimana ini?" Ucap Wisnu
"Aku juga ga tau, nu. Apa mungkin kita nyasar?" Jawabku.
"Kalo bener yang di bilang Yono, bahwa sepanjang jalur ini tidak ada percabangan, seharusnya kita tidak nyasar. Lagi pula sejak kita mulai jalan tadi kita memang tidak ketemu percabangan jalur. Tapi kenapa tempatnya beda ya" ucap Anton.
"Coba cek jam lagi" ucapku
Ketika kami melihat penunjuk waktu kami masing-masing, kami kembali terkejut. Waktu yang ditunjukkan ternyata sama sekali tidak berubah dari terakhir kami melihatnya. 00:15 punyaku, 03:45 punya Anton, dan 04:30 punya Wisnu.
"Aneh, kenapa jamnya tetep ya" ucap Wisnu.
"Sepertinya kita memang sedang dipermainkan. Kalau menurutku, kita lanjut jalan aja ikuti jalur ini. Kita lihat dulu ada apa di atas sana. Dan ingat, jangan putus berdoa sebisa kita" ucapku memberi pendapat.
"Aku setuju" ucap Anton
"Oke" Wisnu
"Aku ngikut aja" ucap Andre
"Jangan lepas pegangan kalian masing-masing. Tetap jalan beriringan dan jangan sungkan minta break kalo merasa kelelahan. Kita lalui situasi ini sama-sama dan keluar sama-sama" ucapku.
Usai berdoa memohon perlindungan dan keselamatan, kami pun melanjutkan perjalanan yang entah sampai kapan dan sampai dimana akan berakhir.
Tak ada satupun makhluk gaib yang menunjukkan diri di sini. Tapi aku sendiri merasakan tempat ini benar-benar singup dan mencekam. Tak kudengar pula suara binatang malam yang sering kali menemani setiap pendakian malam hari. Tempat ini benar-benar sunyi. Hanya suara gesekan daun atau ranting akibat terkena hembusan angin saja.
Hingga beberapa waktu lamanya kami semakin dalam memasuki hutan rimba ini, di kejauhan kulihat setitik cahaya berwarna jingga di depan sana. Ketika kami semakin dekat dengan sumber cahaya itu, tiba-tiba kulihat ada seseorang yang duduk di pinggiran jalur setapak yang kami lalui ini. Seorang lelaki paruh baya berjaket hitam dengan sebatang rokok menyala di sela jari tangannya. Postur dan pakaiannya mirip orang yang menunjukkan jalan kepada kami ketika kami hampir nyasar di area perkebunan tadi.
"Kalian mau kemana?" Ucap orang itu ketika kami sampai di depannya.
"Ke puncak pak" jawabku
"Mau ngapain ke puncak?" Tanyanya lagi sedikit aneh.
"Ya ngga ngapa-ngapain, pak. Kami hanya ingin menikmati keindahan alam saja, pak" jawabku.
"Hahahahaha.. aneh memang manusia ini. Kalian rela bercapek-capek bahkan membahayakan nyawa hanya sekedar untuk tujuan yang tidak jelas. Belum lagi sering kali mengotori tempat yang kalian datangi" ucapnya diiringi tawa yang sedikit aneh.
"Mmm kkamii tidak mengotori, pak. Ya paling tidak kami berusaha tetap menjaga supaya tetap bersih" jawabku lagi.
"Hahahaha.. aku tahu.. sudah-sudah, ayo kuantarkan kalian. Kalau terlalu lama di sini kalian tidak akan bisa pulang" ucapnya lagi sekaligus membuatku terkejut.
Orang itu lantas beranjak dan mulai berjalan ke atas. Awalnya aku ragu apakah harus mengikutinya atau tidak. Aku tidak mengenalnya. Apakah aku bisa langsung percaya padanya? Tapi melihat penampilannya, dia bukan seperti orang jahat. Bahkan lebih mirip warga perkampungan di kaki gunung ini. Tapi apa yang dia lakukan di atas gunung malam-malam begini? Sendirian lagi.
Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Kulihat ketiga temanku juga diam tak berkata apapun. Bisa jadi mereka memikirkan hal yang sama denganku. Atau mungkin saja mereka pasrah saja mengikuti alur situasi ini.
Kami masih berjalan mengikuti orang misterius tadi. Hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil dengan lampu minyak yang menyala di depannya. Nampaknya cahaya yang kulihat tadi berasal dari lampu ini. Aku sempat berhenti di depan gubuk itu. Kurasakan badanku sudah teramat letih dan ingin istirahat meski sebentar.
"Jangan berhenti di sini! Jalan terus" ucap orang tadi ketika aku baru hendak memasuki gubuk itu.
"Tapi kami capek pak, kita istirahat sebentar ya" ucapku
"Kalian mau selamanya di sini!?" Ucapnya tegas dan membuatku tersentak.
Kami berempat saling pandang. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama, yaitu kami belum sepenuhnya mempercayai orang itu.
"Ayo jalan!" Ucapnya lagi.
Kami seolah tidak mempunyai pilihan lain. Kalau kami tidak mengikuti orang itu, kami juga bingung dengan lokasi kami saat ini. Jadi kami memutuskan mengikuti saja. Siapa tahu memang dia hendak menunjukkan jalan kepada kami.
Ketika aku hendak beranjak, sekilas aku melihat ke dalam gubuk itu dan tiba-tiba terlihat sepasang mata menyala yang menatap tajam padaku. Seketika aku tersentak dan merinding hebat.
"Ayo jalan aja. Jangan lama-lama di sini" ucapku kepada ketiga temanku.
Kami pun lanjut mengikuti orang misterius tadi. Kami terus berjalan menembus pekatnya malam dan rimbunnya belantara ini. Belantara aneh yang tidak seperti ciri khas Gunung Sindoro.
Tak satu pun kata-kata terucap dari mulut kami semua. Seolah kami dibisukan oleh suasana mencekam hutan ini. Suasana gelap, rimbun dan sunyi. Sangat sunyi, bahkan tak satu pun suara binatang malam terdengar. Tak kupungkiri, eksistensi makhluk gaib sangat kental di sini. Mereka seolah memperhatikan dan mengawasi kami. Beruntung tak satu pun menampakkan diri secara jelas di depan kami. Hanya kelebatan bayangan berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya lalu menyelinap dan menghilang.
"Apa emang kayak gini ya jalur ini?" Ucap Anton sedikit lirih di belakangku.
"Aku juga ga tau, Ton. Kalo jalur Kledung kan hampir semuanya terbuka, ga ada pohon-pohon gede kayak gini" jawabku.
"Nanti kita tanya Yono aja yang lebih tau" sambungku.
Orang misterius yang menunjukkan jalan di depan kami juga masih terus berjalan. Dia tak sekalipun bicara atau menoleh kepada kami. Kami yang hendak berbicara padanya pun merasa sungkan, bahkan sekedar menanyakan namanya saja pun kami tak berani. Dia juga seolah tidak memiliki rasa lelah, padahal medan jalur ini terus menanjak. Padahal kami yang mengikutinya sudah hampir kehabisan nafas. Kami benar-benar telah letih terus berjalan merayapi tanjakan demi tanjakan.
"Pak tolong berhenti dulu sebentar. Kami sudah kelelahan" ucapku memberanikan diri.
Dia pun berhenti. Tetap tanpa menoleh atau pun bicara. Dia tetap berdiri dan terus menatap ke depan.
Merasa mendapatkan kesempatan istirahat, kami pun memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Kukeluarkan botol air minum dan menenggak isinya, lalu kuberikan kepada ketiga temanku supaya mereka ikut minum juga.
"Sudah. Ayo jalan lagi. Jangan terlalu lama di sini!" Ucapnya setelah beberapa saat tanpa menoleh kepada kami.
Seolah mendapatkan instruksi dari seorang pemimpin, kami berempat pun segera beranjak. Kami kembali berjalan mengikuti orang misterius itu. Entah sudah berapa jam kami terus menyusuri hutan ini, tapi kami belum juga sampai di tujuan kami. Seolah jalur ini tak berujung. Melihat waktu pun percuma, karena penunjuk waktu kami masih tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sesekali memang kami beristirahat, dan semua itu atas permintaan kami, bukan atas instruksi orang misterius itu. Dia memang seolah tidak memiliki rasa lelah sama sekali. Padahal sambil berjalan dia terus menerus menghisap rokok.
Hingga beberapa waktu kemudian, orang itu tiba-tiba berhenti di depan kami. Menoleh kepada kami lalu mengatakan sesuatu.
"Aku hanya bisa mengantar kalian sampai di sini saja. Kalian lanjutkan sendiri perjalanan kalian. Ingat pesanku, jangan sekali-sekali menoleh ke belakang. Jika bertemu seseorang yang menawarkan makanan, tolaklah baik-baik. Jangan sekali-sekali kalian menerima bahkan memakannya" ucap orang misterius itu.
"Nanti jalan ini tembusnya kemana, pak?" Tanyaku
"Tujuanmu" jawabnya singkat
"Jika kau kuat" sambungnya
Kami tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar kalimat terakhir darinya. Kami semakin yakin bahwa kami sedang tidak berada di alam kami sendiri. Mungkinkah kami tersesat di alam gaib? Bisa jadi, bisa juga tidak. Kami tidak bisa memastikannya. Bahkan kami sendiri masih dibingungkan dengan situasi ini.
"Sudah, tidak perlu dipikirkan. Kalian pasti selamat. Dan kau (menunjuk padaku), jaga teman-temanmu. Ingat pesanku. Aku pamit dulu" ucapnya lagi, lalu dia segera pergi ke arah yang berlawanan dengan arah kami.
Hanya sekejab, dia lantas menghilang ditelan kegelapan belantara ini. Bahkan kami tak sempat mengucapkan terima kasih.
Tak membuang waktu, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami mengikuti saja arahan orang tadi. Toh kami tak punya pilihan lain. Kami terus mengingat pesan orang tadi. Tapi hal yang membuatku selalu bertanya-tanya adalah, apa iya ada orang lain lagi di sekitar sini? Bukankah ini hutan belantara yang sangat rapat? Berapa lama kami akan keluar dari hutan ini? Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku yang tak terjawab.
Sepanjang perjalanan kami lalui suasananya masih tetap sama, sunyi, gelap, mencekam. Sesekali muncul kelebatan-kelebatan bayangan di sekitar kami. Dan aku pun merasa ada banyak sekali mata mengawasi kami dari balik kegelapan.
"Break dulu sebentar" ucapku karena merasa sudah cukup kelelahan akibat terus berjalan di tempat yang seolah tak berujung.
"Kok ga sampai-sampai ya. Kayaknya kita udah jalan lama banget tadi. Dan kayaknya kok ini waktu malam jadi lama banget" ucap Anton.
"Ga tau, Ton. Aku sendiri juga bingung. Kalo diitung-itung nih, kayaknya kita jalan udah ada 6 jam lebih dari awal kita masuk hutan ini. Harusnya ya udah sampe puncak. Dan seharusnya juga sudah pagi" ucapku
"Sumpah jadi takut aku" ucap Wisnu.
"Sama" sambung Andre.
"Aku juga takut. Kita semua takut. Tapi kita harus keluar dari sini" ucapku.
"Udah cukup. Ayo jalan lagi" sambung Anton.
Memang tidak seharusnya kami berlama-lama di sini. Apalagi kurasakan suasana semakin mencekam. Terkadang kami sayup-sayup mendengar suara alunan gamelan, lantas menghilang lalu terdengar lagi. Ya.. kami semua memang mendengarnya. Bukan hanya aku atau salah satu dari kami yang mendengarnya.
Tak kuhiraukan lagi suara-suara yang muncul menemani perjalanan kami. Yang kami pikirkan saat ini adalah sesegera mungkin keluar dari hutan ini.
Tak berapa lama kami berjalan, aku melihat sebuah bangunan di pinggir jalur ini. Tepatnya sebuah gubug kayu dengan anyaman bambu sebagai dindingnya.
Dari kejauhan gubug itu terlihat sangat reot seperti hendak roboh. Tapi semakin kami mendekatinya, terlihat bahwa bangunan gubug itu ternyata masih cukup kokoh berdiri. Terdapat sebuah lampu teplok menyala di salah satu pilarnya.
Ketika kami sampai di depan gubug itu, ternyata ada orang duduk di sebuah kursi panjang tanpa sandaran di depannya. Di dalam gubug juga ada orang sedang berdiri. Nampaknya ini sebuah warung. Terlihat ada jajanan tersaji di beberapa piring tanah liat.
"Silahkan mampir, mas. Istirahat dulu" sapa seseorang dari dalam gubug yang ternyata adalah seorang wanita paruh baya. Mungkin dia penjaga atau pemilik warung ini.
Usai mendengar sapaan pemilik warung tadi, tiba-tiba kurasakan perutku sangat lapar. Aku jadi tertarik untuk mencicipi jajanan yang tersaji di warung itu. Berbagai jajanan yang sangat menggugah selera. Ada pisang goreng, singkong rebus, kacang rebus dan bermacam jajanan lainnya. Tapi ketika aku hendak mendekati warung itu, tiba-tiba langkahku dihentikan oleh Anton.
"Mau kemana?" Ucap Anton.
"Laper, Ton. Istirahat dulu lah. Terakhir kita makan kan di basecamp tadi" jawabku
"Ayo kita istirahat dulu di sini" sambungku
Anton belum merespon perkataanku. Tapi kulihat genggaman tangannya di pergelangan tanganku jadi semakin kuat. Kulihat Wisnu dan Andre hanya tertegun memandangku.
"Ga inget apa yang dibilang orang tadi?" Tanya Anton.
"Coba lihat lagi" sambungnya.
Ketika aku kembali melihat ke arah warung tadi, ternyata hanya kegelapan yang ada di sana. Warung yang tadi kulihat kini sirna. Ketika kuarahkan cahaya senter ke arah tempat warung tadi berdiri, ternyata ada jurang menganga yang sangat dalam yang bahkan tak terlihat dasarnya.
"Astaghfirullah Haladzim" ucapku.
Beruntung Anton menyadari kejanggalan tadi dan segera mencegahku mendatangi warung yang kulihat tadi. Jika tidak, mungkin saja aku sudah berakhir di dasar jurang itu.
"Ayo jalan lagi" ucap Anton.
Kali ini gantian Anton yang memimpin di depan. Kami bertiga mengikutinya dengan tetap berpegangan pada tali ransel teman yang ada di depan kami.
Kami terus berjalan menyusuri pekatnya malam dan kesunyian belantara misterius ini. Tak terhitung lagi berapa banyak penampakan yang menyertai perjalanan kami. Tepatnya ketiga temanku ini yang sering melihat penampakan mereka. Sedangkan aku hanya melihat bayangan-bayangan sekilas yang tidak terlalu jelas. Tapi aura keberadaan mereka dapat kurasakan dengan sangat jelas dan kuat.
Semakin lama, hutan ini jadi semakin terbuka. Pohon-pohon besar yang tadi sangat rapat menjadi semakin jarang. Medan yang kami lalui sekarang pun menjadi semakin landai, bukan lagi tanjakan-tanjakan curam yang menguras tenaga dan menguji kekuatan otot paha dan betis kami.
Kini kami mulai memasuki hamparan padang rumput yang terlihat sangat luas. Pohon-pohon besar sudah tidak ada lagi. Di kejauhan tepat di depan kami terlihat beberapa titik cahaya. Semakin kami mendekatinya, titik-titik cahaya itu terlihat semakin jelas dan menunjukkan bentuk yang sebenarnya. Dan itu adalah hamparan perkampungan kecil. Kami menjadi semakin heran, apakah kami sudah sampai di perkampungan kaki gunung? Padahal seingat kami, kami tadi berjalan terus menanjak.
Tak berapa lama kami menemui persimpangan jalan. Ada dua arah di hadapan kami dan kami harus memilih salah satunya. Satu arah di sebelah kanan terlihat sedikit terbuka seolah sering dilewati. Sedangkan arah lainnya di sebelah kiri terlihat sedikit rimbun dan banyak ranting-ranting kering menghalangi, seolah jalan ini sudah lama tidak dilalui.
Kami berhenti di sini memikirkan arah mana yang harus kami ambil. Dan dari kedua percabangan jalur itu tidak terlihat arah mana yang nantinya bisa menuju ke perkampungan yang tadi terlihat.
"Bukannya tadi Yono bilang tidak ada percabangan di sepanjang jalur ini ya" ucap Wisnu.
"Memangnya kita tadi masih di jalur yang sama? Kalau aku yakin sih kita sejak tadi sudah melenceng, jadi wajar kalau jalur ini sudah tidak sesuai petunjuk dari Yono" jawabku.
"Bener juga sih. Terus kita kemana ini" timpal Anton.
"Kalian lihat perkampungan di depan sana ga?" Tanyaku pada mereka dan mereka semua mengangguk menandakan juga melihat apa yang kulihat.
Memang sejak menemui hutan dengan vegetasi pohon-pohon besar tadi aku sudah tidak yakin bahwa kami masih melalui jalur yang benar. Apalagi banyak kejanggalan yang tadi kami temui. Jadi aku pun tidak yakin bahwa perkampungan itu juga sebuah kewajaran.
Usai berfikir beberapa saat, aku sudah punya keputusan mau ambil jalur yang mana. Tapi aku harus membicarakan dulu dengan mereka dan mengambil keputusan bersama.
"Kalau menurutku, kita ambil kiri saja. Memang jalurnya terlihat seperti hampir tertutup, tapi melihat arah kanan yang terlihat seperti mulus saja, aku takut ini sebuah jebakan yang memang sengaja mengarahkan kita kesana. Bagaimana menurut kalian" ucapku pada mereka.
"Aku sama-sama ragu dengan kedua jalur ini. Tapi melihat keanehan sepanjang perjalanan tadi, aku setuju denganmu, Hen. Kalian bagaimana?" Jawab anton.
"Aku ngikut aja lah mau kemana. Udah capek mikir yang aneh-aneh dari tadi" jawab Wisnu pasrah.
"Sama" sahut Andre.
"Yaudah kita bedoa dulu. Semoga pilihan kita tidak salah" ucapku.
Usai berdoa kami pun melanjutkan perjalanan ke arah yang kami pilih. Meski masih ada keraguan, tapi kami berusaha meyakinkan diri bahwa arah yang kami ambil benar.
Jalur yang kami lewati ini memang sedikit menyulitkan pergerakan kami. Banyak ranting semak menghalangi seolah sengaja di taruh untuk mencegah orang melewati jalur ini. Bahkan beberapa diantaranya berduri hingga sempat melukai tubuh kami. Hal itulah yang sempat membuat kami semakin ragu. Tapi kami tetap melalui jalur ini dan terus meyakinkan diri berharap pilihan kami memang benar.
Beberapa waktu kemudian ketika kami masih berjibaku dengan ranting-ranting semak yang menghalangi pergerakan kami, tiba-tiba datang kabut tebal menyelimuti area kami berada. Kabut ini sangat pekat hingga benar-benar menghalangi pandangan kami. Bahkan cahaya senter kami tak mampu menembusnya.
Kami terpaksa harus menghentikan langkah kami dikarenakan datangnya kabut pekat ini. Tak ada yang bisa kami lakukan selain hanya menunggu kabut ini menipis atau hilang. Hingga sesaat kemudian kami dikejutkan dengan munculnya suara derap langkah di sekitar kami.
Awalnya terdengar seperti suara satu orang yang berjalan di sekitar kami. Lama kelamaan semakin bertambah dan kini terdengar cukup ramai suara orang-orang berjalan di sekitar kami.
Mereka hanya berjalan di sekitar kami mengelilingi tempat kami berada saat ini tanpa sekalipun menunjukkan dirinya. Ketika kami mengarahkan cahaya senter pun tak ada hasilnya. Cahaya senter kami tak mampu menembus pekatnya kabut di sekitar kami.
Dalam himpitan rasa takut ini kami tak mampu berbuat apapun. Semua pilihan sama-sama sulit dan beresiko. Jika kami nekat lanjut atau kabur juga berbahaya karena kami tidak mengenal wilayah ini. Ditambah adanya kabut tebal menyelimuti, jelas akan mengacaukan kemampuan orientasi kami. Diam di tempat pun sama juga. Kami tidak tahu makhluk apa yang meneror kami dengan suara langkah mereka. Meski tidak menampakkan wujudnya, kami tetap saja khawatir akan membahayakan kami.
Dalam suasana mencekam membaur dengan hati yang kalut, tiba-tiba suara-suara itu terdengar semakin cepat, lalu tak beraturan kemudian perlahan menghilang seolah menjauh. Entah apa yang terjadi.
Aku yang penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi mencoba mengarahkan senter ke beberapa arah. Siapa tahu ada petunjuk mengenai kejadian barusan, atau petunjuk arah perjalanan kami. Pada suatu titik aku menghentikan gerakan tanganku dan mencoba fokus ke cahaya yang kuarahkan karena pandangan mataku menangkap sesuatu.
Dalam cahaya yang terbias kabut, samar kulihat seperti ada seseorang berdiri di sana. Jaraknya tidak dekat, juga tidak terlalu jauh. Dia seperti berdiri melayang karena tak kulihat kakinya menapak pada tanah atau pun batu.
Aku mencoba lebih mengfokuskan pandanganku, tapi tetap saja hanya samar yang mampu kulihat. Meski begitu aku tetap bisa mengenali bahwa itu sosok manusia, bukan bentuk makhluk yang aneh. Perlahan kulihat tangannya bergerak ke depan lalu menunjuk ke arahku. Aku pun bergerak mendekatinya supaya bisa lebih jelas melihat serta memahami apa maksudnya.
"Mau kemana?" Ucap Anton yang menyadari gelagatku.
"Itu ada orang. Siapa tau bisa nolong kita" jawabku.
"Orang apa? Mana ada? Dari tadi ga ada apapun di situ" sergahnya.
"Jangan aneh-aneh. Bahaya!" Sambungnya
Aku yang tak mengindahkan peringatan anton masih berusaha mendatangi sosok tadi. Tapi ketika kembali kuarahkan cahaya senter padanya, sosok itu telah lenyap entah kemana. Dan sejak hilangnya sosok itu, perlahan kabut ini menghilang menyisakan halimun tipis yang tidak terlalu mengganggu jarak pandang.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati mengenai sosok itu. Tapi yang kurasakan adalah dia bukan membawa niat jahat kepada kami. Aku juga merasa dia bukan orang misterius yang sebelumnya menolong kami. Dia sosok yang berbeda.
Melihat kondisi sedikit membaik, setidaknya sudah tidak ada kabut tebal yang menghalangi pandangan, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami terus menyusuri jalanan setapak di antara semak belukar yang kadang kala batang-batang keringnya menghalangi jalan kami.
Jalanan ini masih terus menanjak, meski sudah tidak seterjal sebelumnya. Sesekali masih ada beberapa penampakan penghuni gunung yang menunjukkan eksistensinya. Tapi mereka sama sekali tidak mengganggu.
Semakin lama semak belukar di sekitar kami terlihat semakin rapat dan tinggi. Meski sudah tidak ada lagi penghalang di sepanjang jalur ini. Hingga tak lama kami sampai di semacam terowongan yang terbentuk dari semak yang ditembus bagian tengahnya. Terowongan ini seperti berkelok karena tak terlihat ujungnya di seberang sana, mirip sebuah labirin.
Meski ragu, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan memasuki terowongan semak tersebut. Benar saja, terowongan ini berkelok dan cukup panjang. Dan yang kami takutkan adalah hadangan binatang buas di tengah-tengah terowongan ini.
Kekhawatiranku semakin membuncah ketika Anton yang berada di depanku berhenti mendadak. Dia tak bicara apapun, hanya berdiri dan terus menatap ke depan.
"Kenapa Ton?" Tanyaku pelan.
"Ada yang menghadang" jawabnya.
"Apa?"
"Ada 2. Makhluk besar dan seperti kakek-kakek" ucapnya.
Aku memang tak melihatnya, tapi aku memang merasakan adanya perubahan aura di sini. Tandanya ada makhluk gaib di sekitarku yang hendak berinteraksi.
"Apa balik lagi aja?" Ucapku lagi.
"Tunggu aja bentar, siapa tau setelah ini aman" jawab Anton.
Kami pun mengikuti saran Anton. Tak ada yang kami lakukan sembari menunggu situasi ini berubah.
Demi mengusir hawa dingin dan rasa takut, aku pun membakar rokok dan menghisapnya untuk menenangkan diri. Dan ternyata ketiga temanku mengikuti apa yang aku lakukan. Mereka mengaku sampai lupa merokok sejak tadi gara-gara diliputi ketakutan. Ada-ada saja.
Setelah beberapa waktu Anton kembali memberi isyarat bahwa situasi sudah sedikit aman.
"Ayo jalan lagi. Udah hilang" ucapnya
"Yaudah ayo" kami menjawab serempak
Kami pun melanjutkan kembali perjalanan kami. Kembali menyusuri labirin semak yang berkelok ini. Hingga pada suatu ketika, samar di kejauhan kami melihat cahaya terang berpendar di antara ranting dan daun semak ini.
Semakin kami mendekatinya, cahaya itu terlihat semakin nyata dan terang. Hingga ketika kami sampai di kelok terakhir labirin ini kami melihat jelas jalan keluar dengan cahaya sangat terang di luar sana.
Melihat adanya cahaya, kami menjadi lebih semangat dan lebih tenang. Setidaknya nyali kami telah kembali.
Ketika kami keluar, ternyata kami telah memasuki area padang edelweis yang sangat luas. Dan yang lebih mengejutkan adalah sekarang hari telah terang, bukan lagi malam hari. Entah kapan terjadi pergantian hari ini. Mungkin ketika kami masih di dalam labirin semak tadi. Semak tadi memang sangat rapat, jadi mungkin cahaya tak bisa menembusnya, sehingga kami tidak menyadari bahwa matahari telah terbit dan hari telah berganti.
Karena semangat kami telah kembali, maka kami segera bergerak kembali menyusuri jalanan setapak di antara pepohonan edelweis ini. Sekilas kulirik jam di pergelangan tanganku, ternyata waktu telah menunjukkan jam 08.00 pagi. Aku baru ingat tentang kejanggalan penunjuk waktu yang kami bawa semalam. Maka aku pun menanyakan kembali kepada temanku.
"Cek jam kalian. Jam berapa sekarang" ucapku.
Mereka pun mengecek penunjuk waktu mereka. Dan ajaibnya, sekarang jam kami semua menunjukkan waktu yang sama.
Melihat kesamaan waktu ini, kami jadi yakin bahwa kami telah kembali di jalur yang semestinya. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat, meski tetap diliputi rasa lapar di perut kami.
Sekitar satu jam berikutnya, kami memasuki area yang mendatar. Di kejauhan kami melihat beberapa orang. Semakin kami mendekatinya, semakin terlihat ada banyak orang di sini. Dan kami jadi semakin lega karena pada akhirnya kami menemui orang-orang yang kami kenal, salah satunya Yono.
Ketika kami sampai di tempat yang paling atas, aku baru bisa mengenali bahwa ini adalah puncak. Puncak Gunung Sindoro, tapi dari sisi yang lain, bukan dari sisi Jalur Kledung.
Seketika kami berempat pun sujud syukur karena masih diberikan keselamatan dan bisa sampai di Puncak.
Satu hal yang menjadi tanda tanya kami saat itu adalah, rombongan yang tadi berada di belakang kami telah sampai lebih dulu daripada rombonganku, padahal aku dan ketiga temanku tadi tidak merasa didahului oleh siapapun. Artinya kami memang tidak melalui jalur yang sama dengan jalur yang mereka lalui. Entah kami tadi masih di alam nyata atau alam lain kami pun tidak mampu memastikannya.
Usai menikmati sarapan, aku sempatkan cerita kepada Yono mengenai kejadian yang kualami semalam. Tapi Yono tidak memberikan jawaban atau penjelasan apapun. Dia hanya bilang nanti setelah sampai rumah baru akan diceritakan. Yang penting nanti saat turun kami harus berjalan bersama, jangan terpisah-pisah lagi supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Sebelum turun dari puncak, aku dan yang lainnya menyempatkan berenang di kawah Puncak Sindoro. Ya, benar sekali kami berenang di kawah. Waktu itu Gunung Sindoro dalam kondisi "tidur panjang" dan tidak ada aktifitas vulkanik apapun dalam jangka waktu lama, sehingga kawahnya jadi terisi air hujan yang tertampung mirip seperti danau dan kami bisa berenang di dalamnya. Kalau sekarang jangan harap bisa menikmati suasana yang sama karena Gunung Sindoro sekarang telah kembali aktif menunjukkan aktifitas vulkanisnya, tepatnya sejak tahun 2011.
Usai menikmati suasana di puncak dan telah puas berenang, kami pun bersiap untuk turun. Memang masih ada beberapa orang personil pendakian ini yang belum sampai puncak. Tapi kami sengaja tetap turun dan ketika nanti bertemu di jalur mereka akan sekalian kami ajak turun juga. Mempertimbangkan waktu, maka lebih baik mereka tidak melanjutkan pendakian karena waktu yang tidak memungkinkan.
Perjalanan turun kami cukup lancar. Dan yang membuatku serta ketiga temanku semalam terheran adalah kami sama sekali tidak menemukan tempat yang kami lalui semalam. Labirin semak, hutan rimba, dan yang lainnya sama sekali tidak ada. Ketika kuedarkan pandanganku ke sekeliling pun aku tidak menemukan tanda-tanda area yang kami lalui semalam. Dan hal itu sukses membuatku merinding.
Tak mau memikirkan hal itu lagi, aku pun memilih diam tidak dan tidak membahasnya lagi. Lebih baik kami semua segera turun dan segera sampai di basecamp.
Di tengah perjalanan turun kami bertemu personil lainnya yang tercecer. Mereka pun setuju ketika kami mengajak turun.
Selepas maghrib kami telah sampai di basecamp. Kami pun segera membersihkan diri. Ketika Anton baru masuk kamar mandi dan aku mengantri di depannya, tiba-tiba dia kembali membuka pintu kamar mandi dan bicara denganku.
"Aku menemukan ini di kantong celanaku" ucapnya sambil menunjukkan sebuah cincin berhias batu berwarna merah.
"Yakin bukan punyamu?" Ucapku.
"Bukan. Aku tidak pernah memiliki cincin seperti ini. Tadi di puncak sampai perjalanan turun juga aku tidak merasa ada sesuatu di dalam kantong celanaku" jelasnya.
"Aku baru menyadari ketika hendak mandi tadi" sambungnya.
"Yaudah nanti kita tanyain sama Bang Sandi aja" ucapku.
Satu lagi keanehan di sini. Anton tidak merasa membawa benda tersebut. Bahkan dia merasa tidak pernah memiliki benda seperti itu. Tapi ketika turun dari Sindoro tiba-tiba ada benda itu di kantong celananya.
Usai mandi kami menemui Sandi untuk bercerita tentang kejadian semalam sekaligus menanyakan tentang benda yang ditemukan Anton di kantong celananya.
Berdasarkan penjelasan Sandi, ditambah Yono. Kami berempat semalam sebetulnya hanya berputar-putar saja. Masih di sekitar area jalur pendakian. Tempat-tempat seperti hutan rimba, warung, perkampungan dan labirin semak sebetulnya tidak ada. Setidaknya di alam nyata ini. Tapi karena ada sedikit gangguan, maka kami merasa seperti berada di tempat yang jauh dan asing. Lebih tepatnya adalah mata kami yang disamarkan oleh semacam ilusi yang dibuat oleh "mereka".
Beruntung kami mendapatkan pertolongan. Entah siapa yang menolong kami, Sandi atau pun Yono juga tidak bisa memastikannya. Tapi kami perlu mensykuri saja bahwa kami telah selamat. Sedangkan benda yang ditemukan Anton di saku celananya merupakan sebuah cinderamata dari Sindoro. Hanya sesederhana itu penjelasan mereka. Jika Anton yakin ingin memiliki benda itu maka disimpan saja tidak masalah. Tapi jika ragu-ragu, boleh membuangnya, dimanapun dibuang tidak masalah, dia akan kembali ke tempat asalnya atau kembali kepada Anton, asal jangan diberikan kepada orang lain. Begitu penjelasan Sandi. Dan sesampainya di rumah, Anton mengaku membuang benda itu di sungai depan rumahnya. Tapi dia tidak pernah menceritakan apakah benda itu kembali padanya atau tidak.
Sedangkan Diki yang menemukan benda semacam keris pun pada akhirnya mengembalikan benda itu di tempat dia menemukannya ketika dia turun. Dia mengaku takut karena tidak pernah memiliki atau menyimpan benda-benda semacam itu. Maka lebih baik dia kembalikan saja. Sebuah keputusan yang bijaksana menurutku.
Demikian cerita pendakianku dulu di Gunung Sindoro saat malam satu suro. Aku bukan orang yang menggeluti hal gaib, bukan pula memiliki kemampuan khusus dalam dunia mistis. Segala yang terjadi pada diri ini hanyalah sebuah kebetulan semata dan kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Yang terpenting dimanapun kita berada, selalu berusahalah untuk menghormati mereka yang telah tinggal lebih dulu di sana dengan tidak merusak dan mengotorinya serta menghargai tata kehidupan, adat istiadat dan budaya yang berlaku di sana. Begitulah prinsip yang selalu kupegang.
Semoga ada kesempatan bagi saya untuk kembali bercerita pengalaman-pengalaman pendakian lainnya. Mohon maaf jika ada kesalahan, baik dalam penulisan maupun dalam bertutur kata. Sekian, Salam rahayu..
~SEKIAN ~