WARISAN MBAH DARMO
**Sepinya Kematian**
JEJAKMISTERI - Pagi itu, seperti biasanya, Sukri datang dengan sepiring nasi beserta lauk alakadarnya. Berjalan tanpa alas kaki menuju samping rumahnya. Rumah seorang lelaki tua yang senantiasa hidup sendiri.
Dinaikinya tangga kayu dan mengetuk pelan pintu rapuh di depannya,
"Tok tok tok!"
"Kulo nuwun...!"
Lama tak ada jawaban kembali Sukri berseru,
"Mbaaah! Mbah Darmooo! Mbaaah!"
Sebenarnya yang dikatakan rumah itu hanyalah sebuah gubuk kecil saja dengan ketinggian delapan puluh centi. Bagian bawahnya digunakan sebagai tempat menyimpan ayam-ayam peliharaan, sementara bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal.
Atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia yang dianyam dan ditumpuk beberapa lapisan. Cukup nyaman dan hangat, walaupun tentu tidak akan pernah cukup bagi yang membutuhkan kemewahan.
Sukri dengan gusar menengok kanan dan kiri. Sedari tadi tak ada jawaban yang berarti. Hanya kokok ayam dan jeritan anjing liar saja memenuhi kesunyian. Sementara bunyi tonggeret membuat suasana semakin terasa kesunyiannya.
"Mbaaah! Kulonuwun Mbaah!" serunya sekali lagi sebelum memutuskan turun dan mengedarkan pandangannya sekeliling.
Aneh memang. Seharusnya tak ada alasan untuk pria tua itu tidak mendengar panggilannya. Toh dengan suara sekeras itu dan ukuran rumah yang hanya empat kali enam tak mungkin bagi beliau tidak mendengarnya.
Beberapa kali memindai sekeliling, Sukri tetap tak menemukan jawaban. Harapannya menemukan pria tua itu di kebun kecil belakang rumahnya nihil. Keadaan pohon-pohon itu masih sama saja dari kemarin.
Atau jangan-jangan Mbah Darmo sedang pergi? Sepertinya tidak mungkin. Sejak memutuskan istirahat dari prakteknya, kesehariannya tidak pernah jauh dari rumah. Paling juga hanya sekedar mengurus ayam peliharaannya di kolong rumahnya itu, yang hidup nyaman berdampingan dengan beberapa ekor kambing gembel di sana. Atau paling jauh juga hanya berjemur di halaman. Kemana beliau? Sukri menghela nafas panjang sebelum akhirnya mundur dan menatap berkeliling. Namun nihil saja. Sosok yang dicarinya tetap saja tak ada.
Tak puas atas kedatangannya yang tidak membuahkan hasil, Sukri berkeliling rumah siapa tahu Mbah Darmo sedang ada di kebun belakang. Tapi sepertinya nihil. Tak ada siapapun disini. Bahkan kelihatannya tanaman itu belum tersentuh air seperti kebiasaan laki-laki tua itu kalau pagi, yang langsung menyirami tanaman yang tak seberapa itu.
Dipandanginya sekeliling. Rumah disini memang saling berjauhan. Antar rumah bisa dua puluh hingga lima puluh meter. Dan tak biasanya Mbah Darmo berkunjung ke tetangga. Beliau orang yang sangat tertutup. Tak banyak bicara. Apalagi betah berlama-lama berdekatan dengan orang lain. Tidak! Hanya dengan Sukri lah biasanya lelaki tua itu bercengkerama. Tentang apa saja. Termasuk kebiasannya sewaktu muda dulu.
"Le," ujar Mbah Darmo satu ketika.
"Iyo Mbah."
"Dulu, waktu Mbah masih muda dulu. Mbah akan berkelana dari hutan ke hutan, pantai, atau bahkan gua yang gelap. Dan Mbah paling senang kalau ketemu kuburan angker."
"Kamu tahu buat apa Le?"
Sukri tahu kemana arah pembicaraan lelaki tua itu. Tak terhitung lagi berapa banyak pria tua itu sudah bercerita hal yang sama. Tentang pencarian senjata keramat, tentang mencari khodam pendamping, atau bahkan tentang bertemu orang-orang suci dari jaman dulu. Tapi demi menghargai orang yang telah menolongnya itu, Sukri memutuskan mendengarkan saja dengan takzim. Toh paling hanya beberapa tahun lagi kan?
"Buat apa Mbah?"
Tiba-tiba lelaki tua itu terkekeh,
"Ya buat cari spot yang instagramable to Le? Masak gitu saja ndak tahu? hehehehe..." kekeh lelaki tua itu memamerkan barisan giginya yang panjang kehitaman.
"Gini-gini, Mbah juga dulu seorang YouTubers, hehehehe..."
"Hehehe...Mbah ini lho bisa saja. Hehehehe..."
Sukri garuk-garuk kepala. Memang hanya dengan dirinya sajalah pria tua itu bisa bercanda. Dengan orang lain, ia tak lagi betah berlama-lama.
"Hehehe...ndak, ndak Le. Mbah itu gemar prihatin itu ya buat cari kesaktian Le. Obsesi Mbah itu waktu muda dulu ya jadi orang tersakti, orang terhebat. Gitu lho Le, hehehehe..."
"Kamu tahu to kalau ucapan Mbah ini keramat? manjur?"
"Bahkan beberapa orang menjuluki Mbah ini punya 'idu geni'. Kamu tahu to Le?"
"Nggih Mbah. Saya tahu."
Memang, di kalangan penduduk desa Rawajati dan Rejomukti, Mbah Darmo ini dikenal punya ilmu 'idu geni'. Apapun ucapan buruk dari mulutnya akan mampu membuat si penerima menerima penderitaan. Maka itu, penduduk desa sangat jarang sekali mau mencari masalah dengan pria tua itu. Takut terkena tulah.
"Nanti, kalau Mbah memang ndak ada umur lagi, mau ndak Mbah turunin satu ilmu buat kamu. Mau?"
Sukri garuk-garuk kepala. Ia tak terlalu tertarik dengan hal-hal diluar nalar. Tapi ya...sudahlah. Demi menyenangkan hati diiyakannya saja.
"Insyaallah, kalau Mbah ridho, saya mau Mbah. Purun," ujarnya seolah bersemangat, dan ditanggapi senyum terkekeh oleh lelaki tua itu.
Begitulah kesehariannya. Tak banyak berubah. Hanya obrolan tanpa makna terjadi diantara mereka berdua.
Dulunya Mbah Darmo adalah seorang dukun terkenal. Kehidupannya mewah dan serba ada. Namun sikapnya cenderung congkak dan sombong. Kepada orang lain selalu saja merendahkan. Bahkan tak segan-segan berkata kasar jika saja ada yang berani mengusiknya.
Namun semua berubah sejak tiga tahun lalu. Tepatnya sejak kepergian istrinya. Istrinya sakit keras dan berujung kepada kematian. Entah sakit apa. Sekujur tubuhnya menghitam dengan kulit mengeras. Dan sepanjang sakit selalu saja mengeluh kepanasan dan kegerahan. Hampir saja tubuh itu telanjang kalau saja Sukri tak bosan-bosannya menutupi tubuh wanita tua itu dengan kain jarik.
Mbah Darmo sangat terpukul. Berhari-hari tak mau makan dan minum. Rasanya ingin mati saja. Matanya selalu saja sembab oleh air mata jika teringat mendiang istrinya. Dan ujung-ujungnya, ia berhenti total melakukan kegiatan perdukunan.
Sontak sejak kegiatan pedukunannya berhenti, Mbah Darmo hidup kekurangan. Seluruh hartanya dijual dan diwakafkan ke langgar setempat. Hanya menyisakan sebidang tanah kecil yang dibangun gubuk reyot ini, lengkap dengan kandang ayam di kolong rumah dan tanaman palawija di sekelilingnya. Mbah Darmo hanya menginginkan hidup tenang sebagai orang biasa saja.
Namun pertaubatan Mbah Darmo bukan hal mudah. Masyarakat terlanjur antipati. Hanya Sukrilah saja yang mau mendampinginya menjalani hari-hari. Mereka menjauh dan cenderung membenci. Walaupun harta wakaf diterima namun tidak dengan orangnya. Bagi mereka dukun semacam Mbah Darmo adalah sesat, kafir dan layak dirajam hingga mati jika saja mereka tidak menyimpan rasa takut terhadap pria tua itu. Namun hal itu diterima lapang dada olehnya. Baginya mungkin itulah balasan akibat perbuatannya selama ini.
Rumah besar dijualnya sudah, dan dipilihlah gubuk ini sebagai tempat istirahatnya di hari tua. Tak lagi ia berambisi pada apapun. Hanya satu yang diinginkannya. Beliau ingin menikmati hari tuanya dengan tenang. Itu saja.
Namun, kendatipun Mbah Darmo sudah berubah, tidak demikian sikap warga padanya. Beliau selalu saja dikucilkan. Warga terlanjur antipati pada beliau. Tak sedikitpun mau berurusan dengan beliau kecuali yang berminat pada dunia hitam. Itupun ditolak karena Mbah Darmo sama sekali tak berminat akan itu. Bahkan untuk lewatpun harus memilih jalan lain biarpun itu harus memutar dan makan jarak lebih jauh.
Hanya Sukri dan istrinya lah yang senantiasa peduli pada nasib pria tua itu. Acapkali dikirimkannya sedikit makanan ataupun cemilan buatan mereka sendiri. Keadaan ekonomi membuatnya tak bisa memberikan yang lebih baik. Tapi Mbah Darmo tetap menerima dengan senang hati.
Selepasnya dari perdukunan, kini Mbah Darmo hanya menyibukkan dengan berkebun kecil-kecilan saja di sekeliling rumahnya. Pohon tomat, cabe dan terong adalah kesukaannya. Pun hasilnya tak pernah dijual. Hanya akan dibagikan pada tetangganya saja. Itupun tetap saja tidak ada yang mau. Mereka selalu saja menaruh curiga dan syak wasangka pada pria tua itu.
Selain itu, beliau juga gemar beternak. Ayam dan kambing adalah kegemarannya.
Hei! Ayam?
Mana ayam-ayam beliau?
Sepertinya ayamnya juga belum dikeluarkan dari kandang. Kemana gerangan beliau?
Jangan-jangan ...
Seketika muncul firasat buruk akan lelaki tua itu.
Dengan rasa penasaran didekatinya jendela kecil di samping rumahnya. Dan seketika matanya terbelalak kaget saat melihat sosok yang dicari ada di dalamnya.
"Astaghfirullah... Mbah! Mbah!" ujarnya berseru keras. Tak dipedulikannya piring berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada lelaki tua itu. Diletakkannya begitu saja di tangga hingga isinya tumpah berhamburan.
"Brakkk!"
Segera didobraknya pintu kayu rumah lelaki tua itu begitu melihat kondisi Mbah Darmo yang tak berdaya. Lelaki tua itu tergolek sekarat. Badan kurusnya meringkuk menggigil di lantai. Dan sesekali terdengar mulutnya mengerang seolah menahan sakit yang teramat berat.
"Sssssss... brrrrrrr..."
"Kriiiiii..."
Cepat diangkatnya tubuh kurus itu dan diletakkan di amben kayu. Ditopangnya kepalanya dengan sebuah bantal keras.
"Mbaaah..."
"Sampeyan kenapa Mbah? Mbah?" ujar Sukri seraya meletakkan kepala lelaki tua itu di pangkuannya. Dibalurkannya minyak angin untuk membuat tubuh tua itu agar lebih hangat. Dipijit-pijitnya tangan dan kaki untuk melegakan otot yang kejang.
Namun lelaki tua itu hanya diam tanpa suara. Nafasnya tersengal-sengal. Sesekali terdengar dengkuran lirih dari mulutnya,
"Mbah! Mbaaah!" Isak Sukri mendapati tubuh itu semakin lemah. Nafas memang sudah tak lagi tersengal, namun tubuh itu masih sangat dingin.
"Kriiii.....Sukriiiii..." ratap Mbah Darmo seraya menatap wajah pria di depannya.
"Iyo Mbah. Sabar nggih Mbah." ujar Sukri berniat mencari bantuan, tapi tak tega meninggalkan pria itu sendirian.
"Buuuuuu! Bueeeeeee!" ujar Sukri keras memanggil istrinya.
"Tolong bikinkan air teh hangat buat Simbah yo!" teriaknya lagi keras agar terdengar. Maklum, rumah mereka terpisah ladang selebar dua puluh meter, sehingga harus bersuara nyaring agar didengar.
"Kriiiii....." ujar lelaki tua itu lagi.
"Iyo Mbah..." ujar Sukri masih dengan isaknya. Ia tahu umur lelaki tua itu takkan lama lagi. Apalagi saat disentuhnya jari jemari yang seolah sudah tak lagi menyatu.
"Sepeninggalku....aku nitip yo..."
"Nitip apa Mbah?" ujar Sukri penasaran, karena setahunya tak ada keluarga atau apapun yang bisa dititipkan.
"Mbah nitiiiiip....."
"Iya Mbah. Nitip opo?"
Lelaki tua itu tak menjawab. Hanya telunjuknya tampak menunjuk satu sudut ruangan.
"Apa Mbah?" ujar Sukri mengikuti dengan sudut matanya.
"Itu....nanti tolong dirawat dan digunakan seperlunya..." ucap lelaki tua itu lagi. Suaranya terdengar semakin melemah.
"Itu apa Mbah?" ujarnya lagi. Tangannya menggaruk-garukrambutnya yang tak gatal.
"It...ttuuuh..." ujarnya lemah dengan jari tertunjuk pada pojok ruangan.
Sukri mengikuti dengan pandangannya, namun sesaat jari itu terkulai sebelum Sukri tahu persis titipan apa yang dimaksud. Ucapan Mbah Darmo terputus. Tak lagi sanggup ia meneruskannya. Ajal sudah menjemputnya lebih dulu.
"Mbaah! Mbaaah!" seru Sukri cemas. Dirabanya wajah dan kulit tangan pria tua itu yang berangsur-angsur mulai dingin dan beku.
"Mbaaaaah!" ucapnya keras dengan air mata menetes membanjiri pipinya. Tak lagi dihiraukannya ucapan Mbah Darmo yang terputus. Ia kini dihinggapi perasaan sedih yang luar biasa. Sosok tua yang sudah merawatnya layaknya anak sendiri.
Apa sebenarnya titipan Mbah Darmo? Apakah harta benda yang sangat banyak? Harta Karun? Atau...
**Pemakaman yang gagal**
"Mbaaaah!" jerit Sukri keras menyayat hati, seakan merobek heningnya suasana pedesaan. Memeluk jasad tua yang perlahan mulai mendingin dan kaku.
Ditatapnya lelaki tua yang kini hanya tersisa jasadnya saja. Lelaki yang sudah dianggapnya lebih dari orang tuanya sendiri, yang bahkan tega meninggalkannya sendiri di usia yang masih sangat dini.
Sukri hanya seorang anak buangan. Ia dipungut istri Mbah Darmo yang menemukannya dalam ketakutan, kebingungan dan menangis sedih di pojokan pasar. Hati beliau tersentuh dan memutuskan merawat Sukri kecil menjadi anak angkatnya sendiri.
Berbeda dengan suaminya yang congkak, kasar dan sombong, istri beliau seorang yang lembut dan keibuan. Bahasanya selalu tersusun rapi. Tak pernah ada rona lelah, kesal ataupun marah pada wajahnya. Senyum dan ucapan ramah adalah bahasanya. Siapapun yang berbincang dengannya dipastikan akan adem hatinya.
Namun dibalik sikapnya yang berlawanan, beliau seorang yang patuh pada suami. Tak pernah terdengar beliau mengeluh ataupun menentang suaminya. Baginya pilihan Mbah Darmo adalah yang terbaik. Dam ia sebagai seorang istri harus takzim padanya.
Tumbuh dalam asuhan yang berlawanan, membuat Sukri tumbuh menjadi pribadi yang ulet dan sabar. Mbah Darmo tidak akan segan-segan menghukumnya jika ia melakukan kesalahan. Meskipun beliau seorang yang dipandang negatif, namun Sukri sama sekali tak diijinkan merugikan orang lain. Sukri harus menjadi orang yang adil.
Berbeda dengan orang tua angkatnya yang sombong, kasar dan congkak, Sukri sangat supel dalam bergaul dengan masyarakat. Dia selalu aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan warga. Dan tak jarang pula terlibat dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan Mbah Darmo dan istrinya, sama sekali tidak tersentuh agama. Beliau terlalu sibuk dengan dunia kleniknya.
"Tolooong! Tolooong!" teriak Sukri keras membuat para tetangga berkumpul.
---
Awalnya warga tidak pada mau datang. Mereka masih menyimpan kenangan pahit terhadap almarhum. Namun setelah dibujuk oleh Sukri dan Ustad Basori, mau juga kiranya satu dua warga datang walaupun dengan sikap enggan yang kentara.
Proses pemakaman Mbah Darmo berlangsung lama. Juga susah. Berkali-kali galian makamnya selalu saja ambruk dan runtuh. Hujan gerimis pun tak henti-hentinya membasahi tanah makam, membuat para penggali mengalami kesulitan. Seakan-akan memang bumi tak menginginkan kehadirannya.
Setelah lebih dari lima kali galian, akhirnya dengan terpaksa jasad Mbah Darmo berhasil dikebumikan juga, walau dengan kondisi seadanya. Lubang makam tak lebih dari satu meter, karena begitu digali lebih dalam, mata air mengucur deras membuat sekujur tubuh almarhum basah oleh air kecoklatan.
Begitu juga dengan sisi kanan kirinya. Tak lebih dari enam puluh centimeter. Kanan kiri dihadang batu keras. Sedangkan atas bawah air yang mengucur layaknya pancuran. Mereka khawatir jika dilebarkan lagi maka akan menguak air yang lebih deras lagi. Dan hasilnya, dengan terpaksa jasad Mbah Darmo diselipkan sekenanya, dengan kepala dan kaki tertekuk. Astaghfirullah!
Selesai diletakkan, jenazah ditutup papan dan mulai ditimbun tanah merah. Cacing, lipan, tikus tanah dan berbagai binatang tanah lain langsung bermunculan seakan siap untuk langsung mengoyak tubuh mati itu. Para pelayat sampai berkali-kali mengusirnya, namun begitu pergi datang lagi rombongan yang lebih banyak, hingga akhirnya mereka menyerah dan membiarkan saja binatang tanah itu tinggal disana.
Namun, baru saja galian selesai diuruk, tiba-tiba turun hujan lebat dengan petir yang menyambar-nyambar dahsyat,
"Splash! Clap! Clap!"
Seketika bumi yang awalnya terang menjadi gelap dan basah.
"Jederrrrrr!"
Doa dilakukan dengan cepat. Para pelayat buru-buru berlarian pulang setelah doa dipanjatkan. Lebih baik berkumpul dengan anak istri daripada kehujanan disini, pikir mereka.
Hujan menjadikan bumi banjir. Tanah di seputaran kuburan menjadi becek dan banjir. Patok kayu nisan banyak tercabut dan hanyut oleh air banjir. Terhanyut begitu saja menuju sungai yang lokasinya tak jauh dari pemakaman.
Dalam sekejap, hanya tiga orang saja bertahan di sana; Ustad Basori, Pak RT dan Sukri tentunya. Tak sopan rasanya jika Sukri ikut kabur juga, karena hanya dialah yang mempunyai hubungan paling dekat dengan almarhum.
"Jderrr!"
Petir dan guntur kembali membahana. Langit yang awalnya gelap sontak menjadi terang benderang. Kilatan-kilatan listrik memenuhi cakrawala.
"Pak RT, bagaimana ini?" seru Sukri meminta persetujuan. Karena dilihatnya hujan semakin lebat. Tanah kuburan perlahan-lahan turun diseret arus yang semakin deras.
"Proses pemakaman belum selesai. Kita harus kembali menguruknya!" seru Pak RT. Beliau khawatir jika makam ditinggal begitu saja, jenazah akan dimakan binatang buas. Terlebih jenazah itu tidak terlalu dalam ditanam. Tak lebih dari satu meter. Apalagi tanah pekuburan bukanlah tanah keras, hanya serupa pasir saja. Hanya dengan beberapa kerukan saja, pasti mayat akan mudah diseret binatang buas.
"Baik Pak!" seru Sukri, kembali mengambil sebatang cangkul dan mulai menguruknya lagi.
Perlu beberapa kali urukan diulang sampai sempurna, karena urukan segera longsor begitu arus deras kembali menghantamnya.
---
Selang satu jam kemudian, udara perlahan menjadi cerah. Hujan belum berhenti sempurna. Satu dua tetes masih turun membasahi bumi.
"Bagaimana Pak Ustad? Apakah sudah aman?" ujar Sukri meminta persetujuan.
"Baiklah. Alhamdulillah proses pemakaman sudah selesai. Sekarang sebaiknya kita pulang saja," sahut Ustad Basori membenahi bajunya yang basah kuyup. Dilucutinya kain sarung dan diperas hingga agak kering, lalu disampirkan di pundaknya begitu saja.
"Iya Pak. Saya juga sudah dingin. Brrrrrrr..." timpal Pak RT dengan bibir bergetar menahan dingin.
"Saya khawatir kalau sampai lebih lama lagi, kita sendiri yang akan mati kedinginan."
"Brrrrrrr..."
Setelah sepakat, mereka bertiga segera beranjak pergi. Namun, belum juga sepuluh kaki mereka melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara...
"Drrrrrt...drrrrrrt..."
Tanah tempat mereka melangkah bergetar.
"Hah? Apa ini?"
Ustad Basori, Sukri dan Pak RT saling pandang.
"Ada...ada gempa Pak."
"Apa kita langsung pulang saja?" ujar Sukri lagi. Terbersit satu kekhawatiran.
"Drrrrt...drrrrt..."
Bumi kembali bergocang. Kali ini terasa semakin keras.
"Splash! Jgerrrrr!"
Satu sambaran kilat mengarah mereka bertiga.
"Awassssss!"
"Allahu Akbar!"
Ketiga orang itu merunduk memeluk bumi. Nasib baik masih berpihak pada mereka. Ketiga orang itu selamat.
"Alhamdulillah,"
Mereka merasa bersyukur. Ketiganya selamat dari amukan guntur yang menyerang. Namun pandangan ketiganya terhenyak saat menengok ke belakang,
"Astaghfirullah! Api...api Pak Ustad!" seru Pak RT.
Makam Mbah Darmo yang belum juga hitungan jam itu terbakar habis. Api berkobar tinggi menyala-nyala.
"Blarrrr!"
"Jegerrrrrr!"
Petir kembali menyambar. Kobaran semakin tinggi bagaikan disiram minyak tanah. Dan bersamaan dengan satu ledakan keras, tiba-tiba sesuatu berwarna hitam legam terlempar tinggi, lalu melabrak pepohonan tinggi dan berakhir menghantam batu nisan salah satu makam dengan keras,
"Wussssshhh!"
"Brakkkk!"
"Krakkk!"
"Ahkhkhkh!" seru Pak RT dan Sukri bersamaan.
Ustad Basori segera memburu sosok itu. Sosok hitam gosong yang terlihat melambung tinggi itu. Jatuh berdebuk tak jauh dari makam Mbah Darmo. Ah, jangan-jangan...
"Astaghfirullah!"
"Ada apa Pak?"
Diperhatikannya sesaat, tampak sosok hitam gosong yang tergeletak di tanah lumpur. Sosok mayat berbalut kain yang tak lagi putih. Kobaran api menyisakan gosong dan sedikit nyala api, namun segera padam terkena percikan air dan lumpur. Dan kini, jasad itu tak ubahnya daging gosong saja, dengan kepulan asap di sana-sini nya.
Tanpa ragu Ustad Basori segera menyambut jasad itu. Dihilangkan segala keraguan. Yang ada dalam hatinya adalah rasa kasihan saja. Dienyahkan segala prasangka buruk terhadap jenazah itu.
"Tulang kerangkanya patah..." ucapnya seraya meraba punggungnya.
"Tengkoraknya pecah..."
"Astaghfirullah!" seru dua rekannya.
"Mungkin inilah balasannya akibat perbuatannya dulu Pak Ustad," ujar Pak RT mendekat.
"Makanya, hidup jadi dukun sih. Jadi begini kan akibatnya?"
"Nah, lihat itu Sukri! Kamu jangan coba-coba mengikuti jejak orang tua kamu ya!" lanjutnya.
"Menyusahkan saja!" gerutunya lagi.
Memang, semua tahu bahwa semasa mudanya dulu, Mbah Darmo adalah seorang dukun hebat. Juga kejam. Lidahnya pahit. Tak segan-segan menyumpahi siapapun yang tak sependapat dengannya. Apapun yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Dan itu sudah tak perlu disangsikan lagi oleh yang lainnya.
Pernah satu ketika, seorang warga sempat salah paham dengannya, maka dengan lantang Mbah Darmo berujar,
"Hei! Kamu sudah berani ngelawan perintahku? Tunggu saja ajalmu!" ujarnya pongah seraya mematahkan ranting kayu dengan tangannya.
Dan benar saja. Tak lama kemudian orang tersebut tewas dengan keadaan pinggang patah akibat jatuh dari pohon kelapa.
Dan sejak saat itu, setiap kematian tak wajar selalu saja dihubungkan dengannya.
Begitu juga dengan penggalian kubur. Selalu saja harus melalui ijinnya. Kalau saja dilakukan orang lain, maka niscaya tak akan bisa jasad itu terkubur.
Pernah satu ketika, ada seorang pendatang yang tidak mempercayainya. Dan satu kali ada kerabatnya yang meninggal. Berkali-kali digalinya makam, namun selalu saja runtuh dan berbagai gangguan lainnya. Dan setelah akhirnya menyerah dan meminta tolong kepada Mbah Darmo, tak sampai lima menit liang lahat itu sudah tersedia dengan sempurna.
"Astaghfirullah Pak RT. Jangan begitu! Biar bagaimanapun juga kita tidak boleh membicarakan hal buruk almarhum. Kasihan beliau Pak!" ujar Ustad Basori membersihkan tubuh jenazah dari kotoran yang melekat.
Diusapnya wajah tua dengan mata tertutup kapas yang tak lagi putih itu. Diabaikannya rasa jijik dan ngeri akibat luka menganga di sana sini akibat sambaran petir. Asap masih mengepul dari luka bakar.
"Sebaiknya kita doakan saja semoga pertaubatan almarhum di akhir hayatnya diterima Gusti Allah,"
"Iya Pak Ustad. Terima kasih," jawab Sukri ikut membersihkan tubuh jenazah.
"Lalu, bagaimana dengan pemakamannya? Apa kita ulangi lagi? Sementara sejak tadi sepertinya jenazah beliau tidak diterima bumi," gusar Pak RT. Sepertinya beliau sudah sangat lelah.
"Ehm...bagaimana kalau kita larung saja pak Ustad?" ucap beberapa warga yang tiba-tiba muncul.
"Hah! La...larung?" seru Sukri tertahan. Tak terbayangkan ada yang mengusulkan ide itu.
"Bu...bukankah...?"
Biasanya, jenazah yang dilarung adalah jenazah penjahat besar, tukang sihir ataupun jenazah yang dianggap mampu membawa petaka bagi kampung itu. Sedang jenazah Mbah Darmo? Apa masalahnya? Toh beliau sudah cukup bertaubat di akhir masa hidupnya.
"Ya. Lebih baik kita larung saja. Toh sudah tak ada gunanya lagi kan? Dia hanya seorang dukun sesat. Hidupnya tak lebih berguna dari matinya. Larung saja dia!"
"Ta...tapi..." seru Sukri tertahan.
"Iya. Daripada merepotkan? Iya to?"
"Toh kita sudah sama-sama tahu, berapa kali jenazah Mbah Darmo ini ditolak bumi. Iya kan? Itu artinya bumi saja enggan menerima jasadnya. Buat apa kita mempertahankan?"
"Daripada kita menghabiskan waktu lebih lama lagi, lebih baik kita lempar saja ke sungai saja. Bagaimana teman-teman?"
"Setujuuu!"
"Betul!" seru warga yang lain.
"Kita buang sama-sama ke sungai!"
Segera saja, tanpa bisa dihalangi oleh siapapun, warga mengarak jasad hitam Mbah Darmo.
Berulang kali Sukri dan Ustad Basori mencoba menghalangi. Namun urung. Warga terlanjur mengambil keputusan. Jasad Mbah Darmo harus dilarung.
"Ayo kita seret saja!" ujar salah satu warga diaminkan yang lain.
"Srekkkk...srekkkk...srekkkk!"
Diseretnya saja jasad itu dari potongan kain kafan yang tercabik. Tak dihiraukannya kain yang semakin lama tampak semakin lebar geroaknya. Saat ini yang terpenting adalah membuang jauh-jauh jasad dukun tua itu.
**Larung**
Tak mengindahkan usaha Ustad Basori dan Sukri untuk menahan agar jasad Mbah Darmo tidak dilarung. Emosi mereka sudah memuncak. Sudah lama mereka menaruh dendam pada pria tua itu, dan inilah saatnya mereka membalas. Mumpung sudah mati. Dasar pengecut!
"Sreeeek...sreeeek...sreeeeek!"
Jenazah diseret kasar mengarah sungai. Kain kafan yang sudah kotor oleh air banjir, juga hitam gosong oleh sambaran petir semakin disiksa dengan diseret sembarangan. Hasilnya, terlihat kulit tubuh pria tua itu muncul dan mengelupas di sela-sela lubang kain kafan yang berlubang menganga. Wajahnya pun kotor sudah oleh cipratan lumpur dan air banjir. Kapas yang harusnya terselip di lubang hidung dan menutup kedua mata telah hilang entah kemana. Kini tampak sebongkah wajah melotot dengan mulut menganga mengerikan.
"Ayo cepet diseret trus dilarung! Cepet, mumpung masih banjir gede!" seru salah satunya menyemangati yang lain, karena dilihatnya mayat itu tampak terlalu berat untuk dibawa. Jangankan untuk dipukul, diseretpun rasanya terlalu berat. Empat orang yang mengerjakannya terengah-engah kelelahan. Sesekali mereka terjatuh duduk seolah menahan beban yang sangat berat. Sungguh mustahil untuk jasad pria yang sudah kurus kering kerontang seperti itu.
Air banjir bergolak-golak. Sesekali pucuknya mencium ujung dedaunan, seakan menari berpesta pora menyambut datangnya mangsa. Sementara suara pucuk dedaunan dan ringkikan batang bambu semakin menyeramkan suasana.
Ustad Basori dan Sukri setengah berlari menyusul mereka. Langkah mereka tertahan lumpur tebal.
"Bapak bapak...tolong hentikan ini semua! Kasihan jenazah beliau," ujar Ustad Basori memperingatkan.
"Tidak! Kami khawatir kalau kampung kita akan mendapatkan bala' kalau jenazah dukun sesat ini kita paksakan dikuburkan di sini!"
"Tapi beliau kan warga sini?" bela Ustad Basori lagi.
"Tidak! Kami tidak mengakui dukun itu sebagai warga. Atau...jangan-jangan Ustad pernah memakai jasanya ya sehingga merasa berhutang Budi?" tuduh salah satu warga dengan wajah marah.
"Astaghfirullah!" sebut Ustad mundur.
"Sudahlah Pak Ustad. Tak ada gunanya membela jasad mati ini. Dia sudah menjadi bangkai. Untuk apalagi dibela? Memangnya amal kebaikan apa yang mengharuskan kami menghargainya?"
"Betul Pak Ustad. Buktinya bahkan jenazah tadi bahkan dilemparkan bukan? Bahkan bukan hanya itu. Pak Ustad lihat sendiri kan kalau langitpun bakalan menolaknya?" timpal warga lain disusul sambaran petir yang memekakkan telinga.
"Iya Pak Ustad. Apalagi ini mumpung arus sungai sedang besar-besarnya? Mudah-mudahan jenazah dukun ini segera menjauh dari kampung kita agar terbebas dari segala bala."
"Astaghfirullah!" gumam Sukri pelan.
Melihat kekejaman warga, Ustad Basori hanya bisa beristighfar saja. Miris memang, di jaman yang disebut abad modern namun nyatanya masih saja ada kebodohan jahiliyah. Mata hati mereka dibutakan oleh dendam.
Memang, Mbah Darmo dulu dikenal sebagai dukun yang kejam. Lidahnya pahit. Namun ia tak menyangka kalau dendam warga sedemikian dalam.
"Maaf Mas Sukri...." ujar Ustad Basori menggelengkan kepala pada Sukri. Ia tahu sia-sia saja menghalangi kemauan warga. Salah-salah bukannya menuruti ucapannya, malah warga akan menuduhnya ada maksud tertentu.
Tak sampai hitungan menit, arak-arakan warga telah sampai di bibir sungai. Jenazah yang hampir tak berbentuk itu diayun-ayunkan keras dan siap dilemparkan ke arus deras.
"Satuuuu...duaaaaa...tiiii...."
"Tunggu!"
Melihat jenazah itu siap dilarung, gegas Sukri berlari dan berhenti tepat di depan rombongan. Kedua tangan terentang menghalang,
"Tolong...jangan lakukan itu!"
Kedua netra Sukri memerah. Ditatapnya rombongan satu persatu.
"Aku mohon, jangan kalian buang jenazah itu," ibunya.
"Heh! Sukri! Tidak kau lihat jenazah ini bahkan sudah ditolak langit dan bumi? Lihat jenazah gosong ini!" ujar salah satunya menunjuk jasad tua gosong.
"Lebih baik kita larung saja biar habis dimakan ikan. Ha-ha-ha..."
Sukri menjatuhkan diri. Ia kembali memohon,
"Tolong! Jangan kalian lakukan itu! Kumohon!" ibunya lagi. Air matanya berlinangan.
"Jika memang kalian tidak bersedia menguburkan kembali jasad itu, biar aku saja yang melakukannya!" ujar Sukri mengangkat kedua tangannya. Gerahamnya menyatu dengan wajah memerah.
Semua tahu kelakuan Mbah Darmo dulu semasa hidupnya. Semasa mudanya. Tapi, apakah setega itu warga pada jasad orang tua itu? Orang tua yang bahkan tak lagi memiliki sanak famili.
"Bagaimana?" ujar Ustad Basori yang tiba-tiba sudah berada di samping Sukri. Jemarinya sibuk dengan untaian biji Jenitri. Perlahan terdengar gumaman ucapan lirih memuji kebesaran illahi.
"Sabar Mas Sukri. Mudah-mudahan belas kasihan Mas Sukri mendapatkan imbalan dari Gusti Allah," lanjutnya kemudian.
"Inilah saat penghormatan terakhir sampeyan pada beliau. Dulu, sampeyan sudah dirawat beliau. Sekaranglah saatnya membalas budi. Hanya ini satu-satunya kesempatan."
"Kalau kita tidak bisa melihat kebaikannya pada kita, setidaknya lihatlah beliau sebagai orang tua, yang selayaknya kita yang lebih muda menghormatinya,"
"Baik Pak Ustad," jawab Sukri bersiap-siap. Lengannya kembali digulung dan bersiap menggali kubur. Jasad yang hanya tinggal gumpalan gosong diangkatnya kembali menuju pemakaman.
"Kita ulangi sekali lagi. Kita buat makam yang baru, lalu sama-sama kita adakan doa lagi, kita sholat kan lagi. Semua kita mulai dari awal," ujar Ustad Basori kemudian.
"Tapi..."
"Kita abaikan keadaan kita yang penuh percikan lumpur ini. Allah Maha Tahu apa yang menjadi kendala kita. Lumpur ini biarpun terlihat kotor tapi bukan najis. Insyaallah kita masih bisa bersuci. Sama-sama kita bermunajat agar Allah merestui apa yang kita upayakan ini."
"Aamiin..."
Setelah kesepakatan itu, segera saja mereka bersuci dan kembali melaksanakan sholat jenazah, walaupun dengan keadaan seadanya. Dalam hati mereka hanya berharap agar jenazah almarhum diterima bumi dan diampuni segala kesalahannya semasa hidup.
Selesai berdoa, ketiga orang itu saling celingukan,
"Cangkul...dimana ya?" gumam Pak RT.
Dicari kesana kemari tidak juga ditemukan, akhirnya Sukri mengambil inisiatif sendiri. Dilepasnya baju yang basah dan kotor oleh lumpur,
"Baiklah. Kalau memang ndak ada lagi yang bersedia lagi mengayunkan cangkulnya, biar saya saja yang menggali dengan kedua tangan saya ini." ucapnya yang dengan sigap dan langsung mengais-ngais tanah layaknya tikus tanah yang besar.
"Krauk...krauk...krauk..."
Sukri terus saja mengais. Tak dihiraukannya sakit di tangannya yang sudah mulai berdarah akibat kerasnya tanah dan bebatuan yang menutupi bakal lubang galian. Begitu juga peluh yang menetes tak henti-hentinya. Tak dipedulikannya semua itu. Ia hanya ingin memberi penghormatan terakhir bagi lelaki tua itu. Bagaimanapun ia sudah menganggap orang tua itu layaknya bapaknya sendiri.
Satu jam lamanya Sukri berusaha, dan ternyata Sukri berhasil. Lubang galian sedalam satu setengah meter dengan panjang dua meter dan lebar satu meter berhasil digali. Tanpa ada gangguan sedikitpun. Hanya tangannya saja yang lecet-lecet dan memar.
"Hosh hosh hosh!"
"Nah ... Teman-teman, lubang...sudah...berhasil ...kubuat...silahkan diteruskan..." ucapnya dengan nafas terengah-engah. Dan selanjutnya langsung terkapar lelah.
"Alhamdulillah...." ujar warga berbarengan, dan segera mengakhiri proses pemakaman.
---
Sepulangnya dari pemakaman, tak ada lagi acara. Masing-masing tetangga pulang ke rumah dengan ceritanya. Bahkan tak diadakan acara doa selamat seperti biasa terjadi pada warga lainnya. Tak ada modal, itulah alasannya. Padahal itu hanya karena ketidaksukaan mereka saja pada almarhum. Memang dimana-mana hukum adat selalu lebih kejam dari hukum apapun.
Dan kini Sukri tinggal sendiri ditemani istrinya seusai pemakaman lelaki tua itu. Penat dan lelah diacuhkannya. Mereka masih berbenah di rumah lelaki tua itu. Barang-barang masih berserakan. Tak banyak, namun tetap saja mengganggu pemandangan.
"Kasihan Mbah Darmo ya Kang. Pasti nanti bakalan jadi buah bibir diantara para warga." ujar istrinya pelan. Tangan kanannya sibuk mengaduk kopi.
Sesaat tampak Sukri menghembuskan asap rokoknya pelan seraya berujar,
"Yah, begitulah hidup Dek. Kadang kita ndak tahu apa yang bakal terjadi. Dan kakang rasa Mbah Darmo juga tahu itu. Semoga kesalahan beliau diampuni oleh Gusti Allah,"
"Aamiin...Monggo Kang kopinya!" ujarnya menyodorkan gelas kopi dihadapan suaminya, yang langsung meneguknya tanpa ditiup terlebih dahulu.
"Bismillah..."
"Lalu bagaimana dengan rumah ini Kang? Apa anaknya sudah diberitahu?" lanjut Tuminah seraya membereskan baju kebanggaan Mbah Darmo, seragam hitam-hitam.
"Belum tahu Dek. Mungkin sementara kosong dulu. Soalnya kita belum tahu kapan anaknya bakal kembali," ujarnya seraya menghirup cairan hitam kental dalam cangkir itu.
"Slurrp...ahhhh..."
Terasa pahit dan manisnya pas. Sukri tersenyum, kopi buatan Tuminah selalu pas buatnya.
"Jadi, nanti malam akan diadakan Yasinan atau ndak?" ujar istrinya lagi.
Sesaat tampak Sukri menghela nafas panjang.
"Ndak ada Dek. Warga di sini ndak bisa menerima. Mereka terlanjur antipati dengan beliau,"
"Paling kalaupun mau nanti malam kita saja berdua yang baca Yasin disini."
Tuminah mengangguk. Dapat dirasakan kepedihan suaminya. Disusutnya air mata yang menggenang di sudut netra.
"Ya sudah ya Kang. Saya tak pamit ke belakang dulu. Masih banyak cucian yang harus dibereskan," ujarnya berlalu.
"Iyo. Ini juga Kakang mau membereskan barang-barang Mbah Darmo biar rumah ini lega."
Mulailah dibersihkan barang-barang di rumah gubuk itu. Dari peralatan berkebun, pakaian dan juga beberapa barang lainnya. Namun, sesaat sebelum Sukri beranjak pergi, tiba-tiba pendengarannya terganggu oleh sebuah suara,
"Crek crek!"
Sukri terdiam. Langkahnya terhenti. Apa itu?
Dipindainya sekeliling. Tak ada lagi barang tersisa. Semua sudah bersih. Sudah lega. Bahkan tak ada satu debu pun tersisa.
"Crek crek!"
Kembali terdengar suara itu, namun diabaikan olehnya. Dia tetap melangkah pergi. Namun sesaat langkahnya terhenti karena pintu yang tadi terbuka tiba-tiba tertutup sendiri. Entah oleh angin atau apa.
"Brakkkk!"
"Ya sudah ndak usah pamit segala. Kami sudah ikhlas," gumamnya lagi.
"Crek crek!"
"Ada apa to Mbah?" gumamnya pelan. Namun diam-diam pandangan matanya berusaha mencari sumber suara.
"Ya sudah tak cek lagi. Nyuwun Sewu nggih? permisi,"
Sukri kembali untuk mengeceknya. Dan sesaat pandangannya terpana. Karena ternyata, di salah satu sudut ruangan itu, terdapat sebuah pintu rahasia. Sebuah pintu yang tertutup papan dengan engsel besi yang telah berkarat.
"Ah, apa ini?" gumamnya pelan.
Hati-hati Sukri membukanya agar tidak sampai engsel itu rontok akibat sudah terlalu tua.
"Krieeeet..."
Dan setelah dibuka, ternyata sumber suara itu berasal dari sebuah bungkusan karung berwarna putih. Tergeletak begitu saja di lantai bawah tanah. Bergemeretak seolah memanggil-manggil dirinya.
"Crek crek!" kembali kantong itu berderak-derak.
Sukri tercekat. Ditatapnya takut-takut. Sesaat dia tampak tertegun. Seolah ragu untuk meneruskan langkah. Namun rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya.
"Apa ini?" ujar Sukri seraya meraih bungkusan itu, dan mencoba menariknya ke atas.
"Srekk!"
Susah payah ditariknya bungkusan itu dan dicoba untuk dibukanya.
"Srekkk!"
Begitu sulit bungkusan itu dibuka. Terlalu banyak lilitan tali sabut kelapa yang dipakainya. Dan begitu bungkusan berhasil dibuka, sekonyong-konyong keluar asap merah pekat yang berbau harum menyengat.
"Ahkhkhkh!"
"Apa ini?" gumamnya seraya menyibakkan tangan, namun tak urung beberapa hembusan sempat terhirup olehnya. Dan dalam hitungan tiga detik kemudian...
"Brukkkk!"
Apa yang terjadi? Apakah Sukri terkena racun yang dipasang Mbah Darmo? Atau ada kekuatan lain yang masih tertinggal disana?
**Warisan**
"Kriii....Sukriii..."
Sebuah suara lamat-lamat memanggilnya. Sukri berusaha memindainya. Namun sia-sia belaka. Tak ada satupun orang di sana.
"Kriiii..."
Lagi-lagi suara itu. Suara dari seorang lelaki tua. Tegas menyebut namanya. Suara dari seseorang yang sudah sangat dikenalnya. Seseorang yang sangat dekat dengannya. Tapi siapa?
Sukri terbangun. Sesaat ia tercenung. Tak ditemukannya siapapun disana. Hanya ada kehampaan saja. Ditempat yang sama sekali tak dikenalnya. Dimana ini?
"Kriiiii!" kembali suara itu memanggil. Namun kembali menjadi hampa. Seolah sumber suaranya ada dalam dirinya sendiri. Berdengung dalam otaknya.
Sukri mengucek kedua matanya. Ia kebingungan. Dimana ia kini berada? Kenapa tempat ini sama sekali tak dikenalnya.
Sesaat ia berpikir mungkin ia sendiri telah mati. Dan bisa jadi itu adalah suara malaikat yang hendak menanyainya selama hidup di dunia.
Tapi... masa sih begitu? Setahunya ia belum mati. Bahkan tadi siang ia masih beraktivitas normal.
Tapi...jika ia belum mati? Lantas, dimana ia kini berada? Sekelilingnya hanya ada gelap. Hanya ada kehampaan. Udara terasa dingin dan singup. Bahkan terasa pengap.
Samar-samar tercium semerbak harum aroma bunga melati. Berpadu dengan sedap malam dan kapur barus. Ah, kenapa harus kapur barus? Bukankah bau itu identik dengan kematian? Sedangkan ia yakin sekali bahwa ia belumlah mati. Ia masih ingat betul kejadian tadi, saat dirinya menggali kubur Mbah Darmo dengan kedua tangannya. Ia masih sehat. Ia masih kuat.
"Kriiii... Sukri....!"
Kembali suara itu terdengar. Kali ini jauh lebih keras dan jelas, membuat Sukri sontak menoleh arah datangnya suara.
Dan bersamaan dengan datangnya suara itu, sontak perhatiannya teralihkan. Karena tak jauh dari tempatnya berdiri kini, tampak berdiri tegak sosok orang yang sangat dikenalnya.
"Mbah...Dar...mo?" ujar Sukri tak yakin. Netranya memindai sosok di depannya.
Alih-alih menjawab, sosok itu hanya tersenyum dan mengangguk kan kepala.
Benar ini Mbah Darmo?" ujar Sukri masih tak yakin.
Sukri tercengang. Bagaimana mungkin sosok Mbah Darmo yang tadi sudah dikebumikan muncul kembali? Bahkan sama sekali tak terlihat sakit. Tubuhnya sehat. Segar bugar. Tak nampak tua sama sekali. Usianya diperkirakan tak lebih dari lima puluhan.
Pakaian yang dikenakan pun sangat bagus untuk ukuran pria tua itu. Baju sutra hijau pupus dengan sulaman benang emas. Rambutnya yang sedikit panjang kini tergelung rapi, dan ditutup dengan selembar ikat kepala berwarna senada. Sementara tak jauh darinya tampak seorang wanita tua dengan dandanan bersahaja namun anggun. Berpakaian senada dengan beliau. Seulas senyum tampak ditujukan padanya.
"Hehehehe....kamu ndak usah bingung Kriii. Ini memang Mbah. Aku Mbah Darmo mu,"
Sukri diam tak menjawab. Hanya pandangannya menyapu sekeliling.
"Ini tempat tinggal ku sekarang." ujarnya lagi dengan tangan melebar. Seulas senyum tampak tergambar di wajah tuanya.
Sukri manggut-manggut mendengar penuturan lelaki tua itu. Namun, sesaat ia penasaran dengan sosoknya.
"Bukankah Mbah sudah meninggal?" ucapnya lagi dengan hati-hati. Ia tahu benar dan sadar bahwa lelaki didepannya sudah meninggal. Namun terselip sedikit rasa kekhawatiran jika saja keyakinannya salah.
"Iya Krii...kau tentu sudah tahu itu."
Sukri manggut-manggut mengiyakan.
"Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,"
"Mbah mau menitipkan sesuatu,"
Ahhh! Iya. Ia baru ingat perihal titipan itu. Tapi...titipan apa?
"Ehm...ampun Mbah. Kalau boleh tahu...titipan apa ya Mbah? Lalu...harus diserahkan pada siapa?"
Lelaki tua itu diam. Mengusap jenggot yang berkibar. Lalu, dengan setengah berbisik kembali lelaki tua bergumam,
"Titipan itu...buat kamu Sukri."
"Jagalah baik-baik. Gunakanlah hanya jika kau benar-benar membutuhkan." lanjutnya mengurai janggut panjang dengan tangan kanan.
"Ingat! Rawat baik-baik," lanjutnya, "Jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat!"
"Baik Mbah. Tapi..."
"Tapi apa Le?"
"Barang apa yang Mbah titipkan? Lalu..." ujar Sukri tertahan, karena belum juga ucapannya selesai, tiba-tiba sebuah tepukan melayang pada punggungnya, membuat kesadarannya bangun, dan seberkas asap putih kekuningan menghembus perlahan membawa Mbah Darmo dan istrinya terbang tinggi. Tinggi sekali hingga akhirnya hilang tanpa bekas.
"Kang! Kang Sukri! Bangun Kang!" ujar Tuminah istrinya pelan. Tangannya menepuk-nepuk punggung Sukri.
"Ahkhkhkh.... Apa?! Apa yang terjadi Dek?! Apa yang terjadi?" ujar Sukri kebingungan melihat dirinya tergeletak di rumah Mbah Darmo. Suasana telah sunyi.
"Eh, sampeyan ini yang apa? Wong jam segini kok ya sudah ketiduran lho?" tukas istrinya cepat.
"Kalau mau tidur Mbok ya pulang!" lanjut wanita itu membereskan sisa-sisa sampah bekas makanan yang masih tercecer.
"Memangnya ... jam berapa ini Dek?" ujarnya melihat Tuminem sudah rapi dan tampak cantik dengan daster merah mudanya. Tampak selembar kain kerudung merah jambu terlampir di kepalanya hingga pundak. Tampak seperti kerudungan saja baginya.
"Sudah jam empat sore lho Kang. Wis sembahyang Ashar belum?"
"Lagian Kakang ini gimana to? Bilangnya mau beberes kok malah tiduran disini? Memangnya barang-barang ini ndak mau dibuang apa?!" ujarnya sembari mengemasi dan membawa barang-barang itu keluar rumah, termasuk bungkusan yang tadi diambilnya dari bawah tanah.
"Tunggu! Tunggu Dek!"
Lalu, Sukri bercerita tentang mimpinya tadi.
"Aneh bener lho Dek. Masa Kakang mimpi ketemu Mbah Darmo. Lalu, beliau bilang mau menitipkan benda ini." ujarnya sembari menunjuk kantong besar yang tadi dibawanya.
"Hallah! Rasah digubris Kang. Mimpi kok siang-siang gini? Ra mutu!"
"Tapi beneran lho Dek. Tadi itu Mbah Darmo. Istrinya juga ada kok." ujar Sukri membela diri.
"Wis to Kang. Namanya juga mimpi. Kembang turu, Bunga tidur! Ndak usah terlalu dipikirkan. Ndak stres mengko!" ujarnya lagi.
"Lagian semua barang berharga Mbah kan sudah dijual to? Tinggal rumah ini saja. Itupun tetap saja bukan milik kita. Kalau nanti anaknya Mbah datang, ya harus dikasihkan. Iya to?" ujar Tuminem lagi, diaminkan suaminya.
"Tapi, memangnya apa sih isinya Kang?" ujar Tuminah lagi seraya menyibakkan bibir kantong, dan seketika matanya menatap nanar.
"Astaghfirullah.... Kang!" ujarnya tercekat.
"Opo? Opo Dek? Ada apa?" ujar Sukri seraya menarik kantong besar itu.
"Astaghfirullah hal adziiiim.... ini...ini...?!"
Tampak jelas setelah kantong besar itu dibuka, tampak jelas didepan matanya sebuah kotak kayu berwarna coklat. Tak terlalu besar, berukuran tak lebih dari tiga puluh kali dua puluh sentimeter saja. Namun yang membuatnya istimewa adalah adanya ukiran ornamen naga yang saling berhadapan diatasnya.
"Ap...apa ini Kang? Apa ini yang disebut harta karung?"
"Hush! Harta Karun Dek, bukan harta karung!" sergah suaminya.
"Harta Karun itu kalau bentuknya emas. Lha ini di dalam karung kok, ya namanya harta karung!" ujar Tuminem berseloroh.
"Wislah karepmu!"
"Cekrek!"
Dibukalah kotak itu. Dan lebih terkejut lagi saat kotak itu dibuka. Seberkas sinar merah berkilauan disertai harum bunga dan asap merah keluar menyeruak dari dalamnya. Tuminem sampai harus menutup hidung dengan tangan khawatir asap itu mengganggu pernafasannya.
"Lihat Kang! Lihat!" ujar Tuminem ternganga.
Benda itu tampak tertutup rapat dengan banyaknya onggokan bunga kantil, melati dan mawar yang telah mengering terkalung padanya. Namun dari auranya terasa sekali begitu kuat energi yang terdapat di dalamnya.
"Ini....." ujar Tuminem dengan tangan gemetar.
"Iya Dek. Inilah benda yang sudah lama sekali tidak terlihat penampakannya. Konon kabarnya siapa yang mampu menguasai benda ini akan mampu mendatangkan kekayaan besar bagi pemiliknya,"
"Wah...kalau begitu kita bakalan kaya Yo Kang? Bakalan sugih!" seru Tuminem girang.
"Iya Dek. Ini pusaka Mbah Darmo. Dan kini....diwariskan pada kita," ucap Sukri dengan mata berbinar-binar.
"Kini...tak ada siapapun yang bakalan memandang kita remeh lagi Dek. Semua orang akan menghormati kita, hehehe...." ucap Sukri terkekeh, namun segera diperingatkan oleh istrinya.
"Kita.....kita akan kaya raya Dek!" ujar Sukri tertawa lebar, namun segera dicegah istrinya,
"Istighfar Kang! Istighfar!"
"Ndak boleh ngomong begitu!" ucapnya seraya kembali mengemasi alat-alat itu dan menutupnya kembali.
"Takutnya dengan Kakang menguasai benda ini, justru membuat hidup kita ndak tenang. Sebaiknya kita kembalikan lagi saja Kang. Ndak usah kita pakai barang-barang begini,"
"Tapi Dek. Ini sudah diwariskan pada kita lho Dek," bela Sukri.
"Tapi tetep saja Kang. Benda ini bisa membuat kita musyrik. Membuat kita jadi jauh dari Gusti Allah."
"Sudahlah Kang. Lebih baik hidup kita biasa saja, tapi tenang. Lebih berkah Kang. Daripada sugih tapi hati kemrungsung. Iya to?"
"Baiklah Dek," ujar Sukri mengalah. Ia percaya ucapan istrinya ada benarnya.
"Lalu? Mau diapain barang-barang ini?"
"Dikubur!" tukasnya keras, "Dikembalikan ke asalnya!"
"Ingat Kang! Jangan mudah tergoda oleh cara instan. Dosa!"
Sukri hanya terdiam. Ia tahu apa yang tadi terlintas di pikirannya salah. Ia harus meminta maaf.
"Yo wes kalau begitu. Apa sebaiknya dibalikin kesini saja ya?" ujar Sukri lagi, namun dalam hatinya terbersit pikiran lain.
"Iya Kang. Lebih baik barang-barang ini tetap disini saja. Itu lebih baik. Kakang ndak usah mimpi untuk memiliki barang-barang ini, kecuali sampeyan kuat membawanya." tukas istrinya lagi.
"Aku kuat kok! Lihat ini!" ujar Sukri seraya menjinjing karung besar itu.
Tuminem mendengus kesal.
"Bukan itu Kang! Bukan itu! Tapi imanmu kuat ndak membawanya?"
"Daripada nanti malah jadi bumerang buat kita? Aku ndak mau jadi pengikut setan. Sudah cukup Mbahmu itu saja yang mengambil jalan salah. Kita jangan!"
"Tapi Dek..."
"Sudah sudah! Simpen lagi saja barang-barang itu. Berbahaya!"
Akhirnya, atas desakan istrinya, dibawalah kembali benda itu dan diletakkan di tempatnya semula. Dan setelah dipastikan keadaan aman dan tak bakalan didatangi orang lain, maka mereka segera bersiap pergi setelah sebelumnya menutup pintu dengan baik. Juga memasukkan ayam-ayam Mbah Darmo.
"Ayo kita pulang! Sampeyan belum mandi. Nanti habis Maghrib kita kesini lagi. Yasinan!" ujar Tuminem seraya menutup pintu itu dengan kayu besar.
Sukri pun melangkah pulang. Namun, entah mengapa kali ini hatinya tak bisa berpaling dari benda-benda pusaka itu. Benda pusaka yang konon setelah dikeluarkan dari tempatnya tidak akan bisa dimasukkan lagi sebelum meminta korban.
Walaupun terlihat sepintas hanyalah merupakan sebuah peralatan sederhana dan mudah untuk didapatkan, namun sekali alat itu dikeluarkan, artinya harus ada satu nyawa yang harus dimasukkan ke dalam liang lahat.
Alat itu didapatkan melalui perjalanan ritual panjang Mbah Darmo. Butuh puluhan tahun bagi kita lelaki tua itu untuk mendapatkannya.Dan butuh waktu lama juga untuk membuatnya memiliki khodam besar. Khodam pelindung yang berfungsi juga untuk menguatkan auranya. Dan selama ini hanya dia, Mbah Darmo yang bisa.
Sukri tercenung. Sungguh sebuah alat luar biasa. Tak sembarangan orang bisa menguasainya. Butuh perjalanan ritual panjang untuk bisa memilikinya. Dan kini, setelah terang-terangan pusaka itu diwariskan padanya, apakah akan ditelantarkan begitu saja? Sungguh amat disayangkan. Sementara di luaran sana banyak orang yang mati-matian berusaha agar bisa memilikinya.
SEKIAN