Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL


JEJAKMISTERI - Semburat fajar masuk melalui celah ventilasi, menyilaukan mata yang masih terpejam. Rasa kantuk dan lelah masih setia menemani, tetapi tak pernah aku hiraukan. Aroma obat-obatan menjadi penawar rasa kantuk manakala hidung terbiasa menghirupnya.

Sudah hampir seminggu, aku menemani Mas Tejo, suamiku, dirawat di rumah sakit. Entah penyakit apa yang dideritanya, aku tak tahu. Setiap kali aku bertanya pada dokter maupun perawat, mereka hanya menjawab gejala tifus. Aku yang tidak terlalu paham akan hal medis, hanya bisa menurut apa kata mereka.

Tubuh Mas Tejo terkadang panas, kadang normal, kadang juga dingin. Perutnya bergemuruh seperti hendak mengeluarkan isinya, tapi selalu gagal. Tak ada luka luar, hasil Rontgen juga normal, tidak ada penyakit berbahaya.

"Sore ini Pak Tejo boleh pulang, Mbak Fara bisa ke bagian administrasi untuk mengurusnya," kata Novi, adik kelasku yang kini menjadi perawat.

"Oh ya, terima kasih."

Sembari berjalan menuju bagian administrasi, pikiranku tak henti membayangkan berapa besar nominal yang harus kubayarkan. Benar saja, jumlahnya melebihi dari uang yang kupegang saat ini.

Di tengah kebingunganku mencari tambahan, Bulek Sri datang membawa segepok uang untuk melunasi biaya rumah sakit keponakannya itu.

"Terima kasih, Bulek. Suatu saat pasti akan kuganti," kataku sambil memeluknya.

"Hilih, mau ganti pakai apa? Jadi istri tidak bisa bantu suami kok sombong. Giliran suami sakit, kelabakan," cecar Simbok, Ibu Mas Tejo.

"Sudah, Yu Sum. Anak lagi sakit jangan nambahi beban," ujar Bulek Sri seraya menarik tangan Simbok menuju bangsal di mana Mas Tejo dirawat.

Meskipun sering mendengar caci maki dari Simbok, hati ini terlalu rapuh untuk mengatakan "aku baik-baik saja". Mata pun tak bisa berbohong, ketika sepi, diam-diam meneteskan butirannya. Hanya dengan menangis, aku bisa lebih tenang.

Awalnya Simbok baik, tapi setelah aku berhenti bekerja dari pabrik dan semua penghasilan Mas Tejo diserahkan padaku, dia mulai tak suka. Bahkan ketika kami kesusahan, dia tak pernah mau tahu. Hanya Bulek Sri yang selalu datang menolong.

Semilir angin bertiup menyapa. Mendekap hangat dalam dinginnya suasana. Menerpa dedaunan hingga menimbulkan kegaduhan. Malam terasa senyap, hanya hewan malam yang menemani kehidupanku di desa yang terletak di pesisir pantai yang belum terjamah khalayak ramai.

Jarak antar rumah cukup jauh. Setiap rumah memiliki pekarangan samping yang luas. Pohon jati, pohon kelapa dan pohon pisang mendominasi dalam kebun tersebut.

Waktu itu, aku dibutakan cinta sehingga aku mau untuk tinggal di desa ini bersama Mas Tejo. Andai saja Mas Tejo mau tinggal di rumahku di kota dan membantu bisnis Bapak, dia tidak akan menjadi buruh pertanian yang bayarannya pas-pasan. Namun, dia bersikeras tetap tinggal demi orang tuanya.

Jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, tetapi mata ini masih terjaga. Berbagai pikiran berkecamuk menjadi satu yang hanya menyisakan kata "andai saja".

Aku terhentak dari lamunan manakala suara dengkuran Mas Tejo terdengar begitu keras. Tidak biasanya dia mendengkur ketika tidur. Berkali-kali membangunkannya, tapi sia-sia. Akhirnya aku hiraukan dan berusaha untuk terpejam. Baru 30 menit tertidur, telingaku menangkap suara gagak. Burung malam yang hinggap di atas genting kamar itu berteriak-teriak seperti mengisyaratkan sesuatu.

Beberapa menit kemudian, ayam di kandang belakang ikut berkokok. Ini baru tengah malam, tetapi suara hewan-hewan itu bersahut-sahutan.

Karena penasaran, aku bangun dan mengecek belakang rumah. Perlahan pintu terbuka. Cahaya bulan berpendar menyinari bumi yang kian sepi. Angin dingin menerpa kulit, aroma bunga mawar dan pandan menguar tiba-tiba. Entah darimana datangnya wewangian itu, padahal tak ada tanaman bunga maupun pandan di sekitar rumah.

Kuedarkan pandangan, yang nampak hanya seekor gagak bertengger di atas genting. Perlahan kulangkahkan kaki menuju kandang ayam, tetapi tangan tertahan. Seseorang menarik tanganku dari belakang. Spontan aku menoleh karena kaget.

"Mas Tejo!"

"Mau kemana?" tanyanya.

Aku menceritakan yang kurasakan, tapi dia malah marah. Aku heran dengan sikapnya yang berubah drastis semenjak dia sakit. Namun, aku mencoba sabar, mungkin dia jenuh dengan sakitnya yang tak kunjung sembuh.

Sesampainya di kamar, aku menatap Mas Tejo. Ada yang berbeda dari dia. Matanya melotot, tangannya mengepal lalu menghampiriku yang duduk di tepi ranjang.

Tiba-tiba tangannya mencengkeram erat lenganku. Aku takut, tak kuasa melawannya karena tenaganya lebih kuat. Aku berteriak memanggil Simbok.

Tidak lama kemudian, Simbok datang dan kaget melihat Mas Tejo sedang mencekik leherku. Dia mencoba menarik tangan anaknya, tapi tubuh rentanya malah terlempar. Nafasku mulai tersengal, mau bicara pun susah.

"Aku bukan Tejo. Dia telah lancang buang air di rumahku. Jika kalian ingin aku pergi, sediakan kembang tujuh rupa, menyan, telur kampung 5 butir, ayam cemani. Lalu, besok tepat jam 12 malam, bawa ke rumahku. Sebuah pohon cemara di pesisir laut kidul," ucapnya sebelum tubuh Mas Tejo luruh ke lantai.

Ya Tuhan, apa maksud semua ini? Aku terlalu lugu untuk hal semacam itu. Apa aku harus menelepon Bapak dan minta tolong? Atau ... aah, entahlah.

Malam terasa panjang, pagi tak kunjung datang dan mata ini masih terjaga. Berbagai pikiran singgah menyapa. Di mana rumah yang dimaksud? Seingatku, sebelum sakit Mas Tejo ke pesisir untuk menggarap lahan milik Bulek Sri. Besok pagi aku akan mencoba minta tolong, mungkin dia bisa membantu.

Pagi setelah aku selesai memasak untuk sarapan, Bulek Sri datang. Aku menceritakan semuanya. Dia menyarankan untuk melakukan apa yang makhluk itu minta. Dia juga akan mencari orang pintar untuk menyembuhkan Mas Tejo.

Jantungku berdegup, dari lubuk hati terdalam, aku tidak suka dengan kebiasaan orang di desa ini. Selalu mengaitkan apapun itu dengan hal mistis. Ujung-ujungnya, dukun yang mereka sebut sebagai orang pintar menjadi solusinya. Sangat bertentangan dengan kepercayaanku.

Secepat bumi berotasi, malam kembali datang. Suara jangkrik memecah kehangatan yang kini telah sirna. Entah berapa purnama lagi , aku bisa kembali merasakan kasih sayang tulus yang hirap seiring berputarnya roda kehidupan. Aku rindu Mas Tejo yang dulu, yang selalu mampu menenangkan hati dan pikiranku.

Semua persyaratan sudah siap, Bulek Sri memberi petunjuk tentang pohon cemara yang dihuni makhluk halus itu. Aku pergi ke pesisir ditemani Bulek Sri, sedangkan Simbok menunggu Mas Tejo di rumah.

Bulek Sri mengantar sampai pertigaan, selanjutnya aku berjalan ke arah kanan, mencari pohon yang dimaksud.

Suasana tiba-tiba terasa sangat mencekam. Angin berembus di sela dedaunan, suara binatang malam bersahutan. Berbekal cahaya senter yang temaram, kuberanikan langkah untuk tetap maju. Mengubur ketakutan yang kini mulai menjalar.

Embusan angin mulai kencang, aroma kemenyan dan wewangian menembus indera penciuman. Bulu kudukku merinding, merasa seperti ada banyak mata yang sedang mengawasi dari berbagai penjuru.

Bruughh!!!

Aku terlonjak, sebuah kelapa jatuh dari pohonnya. Detak jantungku semakin cepat, nafas memburu, kupercepat derap langkah hingga pohon cemara yang dimaksud berada di depan mata.

Segera kuletakkan sesaji itu. Tanpa berpikir panjang dan tanpa melihat sekitar yang ternyata banyak bunga tersebar, aku berlari menuju tempat di mana Bulek Sri menunggu.

Dari jarak jauh, aku melihat dia sedang berbicara dengan seseorang. Malam-malam di pesisir ada orang lewat juga ternyata.

"Bulek ngobrol sama siapa tadi?" tanyaku penasaran.

"Oh, itu tadi Lek Parman, mau berangkat njaring (mencari ikan dengan jala)," jawabnya seraya menunjuk ke arah laut.

Gegas kami pulang. Sesampainya di rumah, Mas Tejo sedang mengamuk sambil bicara tak jelas. Bulek Sri mengeluarkan cairan yang dibungkus plastik dari tasnya. Dia menyuruhku untuk meminumkannya pada Mas Tejo. Dia bilang, itu ramuan dari orang pintar yang dia peroleh sore tadi.

Setelah meminumnya, Mas Tejo seketika muntah-muntah. Aku tercengang, melihat muntahan yang berupa belatung disertai darah. Aroma anyir menguar, aku menutup hidung. Perut pun ikut bergemuruh melihatnya.

"Nasinya keluar semua," seru Simbok.

Apa??
Jadi, Simbok dan Bulek Sri tidak melihat itu?

Tubuh Mas Tejo semakin lemah, sehingga kembali dibawa ke rumah sakit dengan mobil milik Bulek Sri.

Sesampainya di UGD, Mas Tejo menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Tak berapa lama hasil CT Scan keluar. Diagnosa Hepatitis B dan pembengkakan otak membuat Mas Tejo meregang nyawa pada pukul 05.15.

Tubuhku lunglai, tapi aku sadar. Aku tak menyangka bila akhirnya dia pergi meninggalkanku dengan cara seperti ini.

Hingga tujuh hari berlalu, kesedihan itu masih terasa. Aku terpukul. Namun, aku harus kuat demi kehidupan selanjutnya.

Acara tahlilan telah selesai, aku membersihkan rumah, mencuci piring dan gelas kotor, lalu menghangatkan lauk yang tersisa.

Beberapa lauk kumasukkan ke rantang untuk dibawa ke rumah Bulek Sri karena telah banyak menolong.

Sesampainya di rumah Bulek Sri, aku melihat sebuah mobil terparkir di teras. Mungkin sedang ada tamu. Aku berjalan melalui pintu samping. Sekilas terdengar jelas apa yang mereka bicarakan. Perlahan aku mendekat, menempelkan telinga pada jendela yang tertutup tirai.

"Tumbal yang kemarin itu masih kurang, kamu harus mempersembahkan lagi besok pada malam Jum'at Kliwon pada bulan Suro. Seseorang yang lahir pada hari Sabtu pahing, agar kekayaan yang kamu miliki tiada tertandingi di desa ini," ucap seseorang itu.

"Iya, Mbah. Aku sudah menemukannya, tinggal menunggu waktu saja," balas Bulek Sri.

Degh!!!

Bagai disambar petir tanpa hujan. Aku teringat beberapa hari yang lalu, Bulek Sri pernah menanyakan hari lahirku.

Mungkinkah kematian Mas Tejo ada sangkut-pautnya dengan pembicaraan mereka? Jika memang benar, betapa liciknya Bulek Sri selama ini. Berperilaku baik, sering menolong, tetapi menikam secara sadis.

Aku harus segera pergi dari desa ini, sebelum menjadi tumbal selanjutnya.
~S E K I A N~

close