Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PESUGIHAN JENGLOT (Part 1) - Dia Memakan Suamiku Sendiri


JEJAKMISTERI - Darmo tengah memanaskan motornya untuk bersiap-siap menuju kios tempat dimana ia berjualan sate ayam. Kios sate ayamnya jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya.

Sementara Asih, istrinya, tengah memasukkan bumbu kacang ke dalam panci di dapur.

"Bu, cepet, keburu siang," teriak Darmo.

"Iya pak. Tolong dong panggilin Dewi, suruh dia beli kecap. Spalnya kecapnya tinggal sedikit. Takutnya nanti kurang," sahut Asih.

Dewi adalah anak pertama Darmo dan Asih. Usianya masih 15 tahun. Sebentar lagi Dewi akan memiliki adik. Sebab Asih saat itu tengah mengandung anak kedua. Usia kandungannya menginjak 8 bulan.

Setelah segala sesuatunya siap, pasutri itu kemudian berangkat menuju ke kios sate ayamnya. Sementara Dewi ditinggal di rumah dan ditugasi oleh Asih untuk mencuci perkakas bekas membuat adonan sate.

Tiba di kios, keduanya langsung bergegas menyiapkan dagangannya. Darmo lantas menyalakan arang di tempat pembakaran.

"Semoga hari ini laku banyak ya pak," keluh Asih sambil menata tusukan sate yang dibungkus daun pisang di etalase gerobak.

Memang, hampir setahun ini, usaha dagangan sate ayam milik Darmo dan Asih sangat lesu. Hal ini disebabkan ada pesaing lain yang juga ikut menjual sate ayam tak jauh dari kiosnya. Meski hanya berupa tenda pinggir jalan, namun sate ayam pesaingnya itu sangat ramai pembeli.

Maklum, pesaingnya asli berasal dari Madura. Tentu saja, rasa sate dan bumbunya yang khas begitu diminati oleh penikmat sate di nusantara. Padahal untuk segi harga, sate milik Darmo lebih murah.

Sudah dua tahun ini Darmo menggeluti usaha sate ayamnya. Ia berjualan sate ayam karena harus tetap menafkahi keluarga setelah sebelumnya ia di-PHK menjadi seorang sopir di salah satu perusahaan distributor makanan ringan.

Namun, karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan, dimana salah satu managernya melakukan penggelapan uang, terpaksa Darmo harus dirumahkan. Pada akhirnya ia pun ikhlas menerima kenyataan itu.

Uang pesangon yang ia dapatkan lantas dijadikan modal untuk berjualan sate. Awalnya, memang dagangan sate ayamnya terbilang ramai. Karena rasa satenya -bumbunya hampir mirip dengan rasa sate khas Klaten.

Namun, sejak kehadiran pedagang sate asal Madura itu, pelanggannya semakin hari semakin menyusut. Darmo sempat berpikir yang tidak-tidak atas seretnya rezeki yang ia alami akhir-akhir ini.

"Bu, apa kita diguna-guna ya biar dagangan kita tidak laku?," tanyanya kepada Asih.

"Hush… Jangan suudzon pak, mungkin memang lagi waktunya begini. Namanya orang dagang, kadang ramai, kadang sepi," timpal Asih sedikit menenangkan Darmo.

"Tapi ini sudah hampir setahun lho bu, sebelum kamu hamil juga sudah mulai sepi. Apalagi sebentar lagi kamu mau melahirkan. Uang dari mana? Biaya sewa kios juga masih belum ada," keluh Darmo sedikit kesal menanggapi jawaban Asih.

Asih kemudian meminta Darmo untuk beristighfar, sekaligus menasihati agar Darmo untuk rajin lagi beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah. Memang, sejak dagangannya sepi, Darmo lebih sering meninggalkan kewajibannya sebagai umat muslim.

Darmo lebih sering melamun di waktu-waktu senggangnya.

Hari itu lagi-lagi bukanlah hari yang cukup beruntung. Dagangan sate ayamnya hanya laku sekitar 15 porsi dari 75 porsi yang sudah disiapkan dari rumah.

Padahal dulu, tak kurang mereka bisa menyiapkan 150 porsi setiap harinya. Dan rata-rata, dagangannya selalu habis terjual setiap harinya.

Tiba di rumah, Asih langsung memasukkan dagangan daging sate ayamnya yang masih tersisa ke dalam kulkas. Berharap, daging ayamnya tidak busuk dan bisa dijual kembali keesokan harinya.

"Mbak, bikinin bapak kopi," pinta Darmo kepada anak sulungnya.

Asih kemudian menghampiri Darmo yang tengah menyulut api untuk membakar rokok kreteknya di ruang tengah sambil membuka kerudungnya. Ia lalu mengelus-elus paha Darmo.

"Sabar ya pak, ini ujian dari Allah. Mungkin kita kurang bersedekahnya," ucap Asih.

"Kurang bersedekah gimana? Apa yang mau disedekahkan, sementara kita saja hidup kekurangan begini. Lihat tuh Dewi, setiap hari tidak pernah aku bekali uang jajan untuk sekolah. Bapak macam apa aku ini?," jawaban Darmo bernada tinggi.

Darmo tak jadi menyeruput kopi yang sudah dibuatkan Dewi dan sudah tersedia di meja tamu. Ia lantas masuk ke kamar. Mengganti baju yang berbau sangit dan kemudian keluar rumah dengan sepeda motornya.

Asih hanya memandang wajah muram Darmo dan tak berani menyapa untuk menanyakan suaminya akan pergi kemana.

Malam itu ternyata, Darmo menemui teman SMA-nya, Slamet. Kepada Slamet ia menceritakan permasalahan hidupnya.

Slamet pun memberikan solusi agar Darmo ke Cilacap menemui salah satu ‘orang pintar’ untuk meminta pertolongan.

Slamet sendiri cukup tahu mengenai ‘orang pintar’ itu karena sering mengantar bosnya ke sana.

Dengan nada cukup rendah-khawatir didengar istrinya, Slamet menceritakan kepada Darmo jika usaha bosnya hampir-hampiran bangkrut waktu itu. Namun, setelah berulang kali datang ke ‘orang pintar’ itu, usaha bosnya akhirnya kembali normal.

“Mo, solusinya ya hanya ke Cilacap. Kamu temui Mbah Purwo. Minta penglarisan pasti di kasih, karena beliau memang suka bantu orang-orang yang sedang kesulitan. Maharnya juga enggak besar,” bisik Slamet ke telinga Darmo.

Darmo awalnya dengan tegas menolak. Ia khawatir jika nekat menemui ‘orang pintar’ itu maka akan ada dampak buruk bagi keluarganya. Apalagi ia juga khawatir, memakai jalan penglarisan biasanya sering kali menggunakan tumbal.

Namun Slamet meyakinkan jika tak ada tumbal sama sekali. Hal itu dibuktikan dengan bosnya yang sudah lima tahun menggunakan penglarisan, namun tak ada yang ditumbalkan.

“Tenang Mo, aman. Enggak ada tumbal-tumbalan. Lha buktinya bosku sampai sekarang damai-damai saja hidupnya. Besok aku antar kalau kamu mau,” Slamet menawarkan diri.

Darmo yang semakin penat mendapat solusi itu akhirnya mengakhiri obrolan. Ia berpamitan untuk pulang. Di perjalanan pulang, ia terus menerus mengingat-ingat saran dari Slamet.

Pada sampainya, ia meyakini jika sudah tidak ada jalan keluar lainnya ketimbang harus berhutang ke bank. Sebab, sudah tidak ada lagi barang berharga di rumah, kecuali kulkas dan TV yang menjadi satu-satunya media hiburan bagi anak dan istrinya.

Setibanya di rumah, Darmo langsung memanggil istrinya. Saat itu, Asih sedang tertidur pulas. Dengan setengah menahan kantuk, Asih kemudian terbangun dan langsung menghampiri Darmo di ruang tengah.

Darmo kemudian mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Cilacap. Ia meminta izin kepada Asih di larut malam itu.

"Bapak besok izin mau ke Cilacap ya bu, mau ikhtiar agar usaha kita bisa normal lagi," kata Darmo.

"Kok mendadak pak. Memang ikhtiarnya apa?," tanya Asih penasaran.

"Minta penglarisan bu. Tapi aman kok, enggak ada tumbal-tumbalan," jawab Darmo.

"Istighfar pak, itu syirik pak. Haram pak. Ibu enggak setuju. Ingat ini pak," ucap Asih sambil menunjuk ke arah perutnya yang sedang membuncit.

"Kamu mau hidup enak enggak? Atau suka dengan hidup seperti ini? Melarat terus menerus," nada Darmo meninggi.

Dewi yang mendengar suara bapaknya itu lantas terbangun dari tidurnya. Kebetulan, pintu kamar Dewi tak tertutup hanya terhalang kelambu. Ia lalu menguping pembicaraan bapak dan ibunya di ruang tengah.

Dewi pun mendengar jika bapaknya ‘keukeuh’ untuk tetap pergi ke Cilacap bersama Pak Slamet. Meski waktu itu ibunya bersikeras untuk melarang.

Esok harinya, setelah pulang sekolah, Dewi diminta ibunya untuk ikut membantu berjualan di kios.

Memang hal ini sudah lumrah Dewi lakukan jika salah satu dari orang tuanya sedang ada keperluan atau sedang sakit.

"Bapak jadi berangkat bu ke Cilacap?," tanya Dewi kepada ibunya yang tengah menata arang di tempat pembakaran.

"Kok kamu tahu nduk?," jawab Asih sedikit kaget.

"Semalam, Dewi dengar pembicaraan ibu sama bapak. Memangnya bapak mau apa bu?."

"Bapak mau ikhtiar biar usaha kita lancar lagi. Mudah-mudahan bapakmu dilindungi Allah ya nduk," bibir Asih sedikit bergetar menjawab pertanyaan anaknya karena menahan tangis. Nampak masih tak ikhlas akan pilihan suaminya melakukan hal itu.

Hari itu dagangan masih saja sepi. Pukul delapan malam, Asih dan Dewi memutuskan membereskan dagangannya dan kembali pulang ke rumah. Sementara Darmo belum juga pulang.

Di rumah, Asih nampak begitu cemas. Berulang kali ia mondar-mandir di ruangan tengah.

Ponsel Darmo pun tak aktif sedari siang. Sementara itu Dewi tengah mencuci piring bekas makan bersama ibunya di dapur.

Pranggg… Terdengar suara pecahan kaca di dalam dapur.

"Apa itu nduk?," tanya Asih kepada anak gadisnya.

"Gelas bu, maaf enggak sengaja kesenggol," jawab Dewi.

Dengan adanya kejadian itu, Asih semakin was-was. Namun, kewas-wasannya mereda setelah ia mendengar suara motor Darmo memasuki halaman rumah.

"Asalamualaikum," Darmo mengucapkan salam sembari memasuki rumah. Disapalah istrinya sambil menyodorkan bibirnya dan mendarat tepat dikening Asih.

"Alhamdulillah pak, sampai juga. Aku dan Dewi cemas pak nungguin bapak dari tadi," ucap Asih.

Darmo terkekeh. Raut mukanya menunjukkan kebahagiaan. Berbeda dengan hari-hari biasanya dimana ia selalu terlihat murung. Dijinjingnya tas hitam kecil menuju kamar.

"Bapak mandi dulu bu. Keringetan, nanti bapak cerita ya," kata Darmo keluar dari kamar menuju ke arah kamar mandi seraya mencubit pipi Dewi.

Selepas mandi, Darmo meminta Asih untuk membuatkan kopi dan mi instan. Sementara Dewi masuk ke kamar untuk mengerjakan PR.

Sambil memakan mi instan, Darmo bercerita bahwa ia akan kembali ke Cilacap tiga hari lagi. Kata Darmo, setidaknya ia akan menginap selama seminggu di sana.

"Pokoknya tenang bu, aman. Ibu enggak perlu khawatir atau berpikiran aneh-aneh. Semuanya aman. Enggak ada yang berbahaya," kata Darmo meyakinkan istrinya.

Melihat suaminya pulang dengan kondisi yang baik-baik saja, Asih pun lantas mempercayai perkataan Darmo. Asih mencoba berprasangka baik dengan maksud suaminya itu, meski di dalam hatinya ia masih tak ikhlas dengan keputusan Darmo memilih mencari jalan keluar dengan penglarisan.

Tiba di hari itu, Slamet menyambangi rumah Darmo. Ia menjemput Darmo untuk bersama-sama pergi ke Cilacap. Asih pun kaget dengan kemunculan Slamet yang sudah tiba di rumah sepagi itu.

"Loh Mas Slamet. Kok sudah sampai di sini? Memangnya tidak berangkat kerja," tanya Asih.

"Saya sudah keluar kerja Mbak Asih, kan mau ikut kerja sama Darmo. Nanti Darmo jadi bos baru saya," jawab Slamet dengan tertawa kecil.

"Kamu enggak inget apa bu, kan hari ini bapak mau ke Cilacap," suara Darmo dari belakang mengagetkan Asih yang tengah berdiri di pintu depan.

"Astaga... ibu lupa pak. Sebentar ibu siapin sarapan dulu."

Dewi keluar dari dalam kamar lalu bersiap-siap pergi ke sekolah. Ia pun lantas berpamitan kepada Darmo dan Asih. Seperti biasanya, Dewi tak pernah sarapan terlebih dahulu.

"Dewi berangkat ya Pak, Bu. Asalamu'alaikum," katanya.

"Walaikumsalam. Pakai saja motor bapak nduk. Bapak mau ke luar kota. Motor bapak tinggal, siapa tahu nanti kamu butuh untuk belanja sama ibu," kata Darmo sambil memberikan uang saku yang lumayan cukup banyak kepada Dewi.

"Enggak pak. Dewi naik angkot saja. Takut ditilang polisi nanti. Enggak salah pak? Ini uangnya banyak. Lagi dapet rejeki ya? Alhamdulillah," kata Dewi dan dibalas dengan tangan Darmo mengelus-elus kepala Dewi.

Hidangan sarapan sudah ada di depan meja makan. Asih kemudian memanggil Slamet dan Darmo yang sedari tadi berbincang di teras rumah.

Keduanya langsung menuju ruang makan dan langsung melahap nasi goreng buatan Asih. Asih duduk disamping Darmo sambil berpesan agar tak bermain serong selama berada di Cilacap.

Wajar Asih berkata demikian, masalahnya Asih baru kali pertama ini ditinggal Darmo ke luar kota dengan waktu yang cukup lama. Tentu saja ada rasa was-was di dalam hatinya. Namanya laki-laki, bisa saja tergoda wanita lain saat jauh dari istrinya.

Setelah selesai sarapan, Darmo kemudian masuk kamar dan memasukkan beberapa baju ganti untuk ia bawa ke Cilacap. Ia lalu memberikan sesuatu yang dibungkus koran kepada Asih.

Bungkusan kecil itu berisi uang. Namun, Darmo tak menjelaskan dari mana uang itu ia dapatkan. Asih pun hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia lalu memanjatkan doa kepada Allah agar suaminya dijauhkan dari malapetaka. Doa itu ia panjatkan tepat di hadapan Darmo.

Darmo kemudian berpamitan sambil memeluk istrinya. Tak lupa ia juga mengelus-elus perut istrinya yang tengah hamil tua itu.

"Bu, bapak berangkat ya. Doakan bapak," pinta Darmo kepada istrinya.

***
Ritual Pesugihan
***

Pukul satu siang, Darmo dan Slamet sudah tiba di Cilacap. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke gunung (nama lokasi disamarkan), lokasi yang sudah ditentukan oleh Mbah Purwo sebelumnya. Tempat ini cukup terkenal di Cilacap.

Darmo dan Slamet akhirnya kembali naik bus jurusan Cilacap-Jatijajar-Kebumen. Karena memang lokasi gunung itu berada sekitar 25 kilometer dari Cilacap Kota.

Tiba di gunung itu, kedua sekawan itu kemudian mencari sebuah warung makan untuk mengisi perut sekaligus menunggu Mbah Purwo. Mbah Purwo menjanjikan akan bertemu keduanya sebelum Asar.

Sambil mengisi perut, Darmo dan Slamet berbincang. Jika jalan yang diambilnya ini berhasil, maka Slamet ia janjikan akan dibukakan kios sate di wilayah lain dan menjadi cabang dari kios sate miliknya.

“Pokoknya nanti kita harus sukses bersama-sama, Met. Semoga berhasil,” kata Darmo.

“Iya mo, aku sudah bosan hidup seperti ini. Pasti berhasil, buktinya kemarin saja belum apa-apa kamu sudah dikasih uang sama Mbah Purwo,” timpal Darmo.

Tak lama Mbah Purwo datang. Ia datang bersama dua orang yang Darmo dan Slamet juga tak mengenalinya.

“Sudah lama sampainya nak? Maaf lama, tadi simbah cari minyak dulu sebagai syarat kalian. Perkenalkan, ini Sudir dan Wahyu. Murid mbah,” kata Mbah Purwo.

Darmo dan Slamet saling menjabat tangan. Kelima orang itu akhirnya larut dalam obrolan di sebuah warung kecil sebelum diajak Mbah Purwo bermalam di rumahnya.

Menjelang petang hari, kelima orang itu beranjak menuju rumah Mbah Purwo dari lokasi Gunung itu yang nantinya akan dijadikan sebagai lokasi pertapaan Darmo.

Rumah Mbah Purwo sendiri cukup jauh dari lokasi Gunung itu. Mbah Purwo memang bukanlah warga desa dimana lokasi gunung itu berada. Ia juga bukanlah kuncen gunung itu.

Namun untuk perkara satu ini, ia ahlinya. Ia cukup tenar dikenal oleh warga Cilacap dan sekitarnya. Tamunya pun banyak yang datang dari luar Jawa.

Sepengakuan Mbah Purwo, ia dulu menjalani laku tirakat selama lima tahun di gunung itu. Saat menjalani laku tirakat itu ia mendapatkan sebuah wangsit dan bisa menjadi seperti sekarang ini. Menjadi perantara penghubung manusia dengan jin yang ingin mendapatkan kekayaan.

“Kamarnya sudah disiapkan. Silahkan kalian mandi dulu. Nanti kalian tidur di sana ya,” kata Mbah Purwo sambil menunjuk ke arah samping kanan ruang tengah di rumahnya.

Darmo dan Slamet berpamitan masuk ke dalam kamar. Keduanya langsung membereskan barang bawaannya dan bersiap untuk mandi. Setelah selesai mandi, kedua sekawan tadi menuju ruang tengah.

Mbah Sri, istri Mbah Purwo menyuruh Darmo dan Slamet masuk sebuah kamar. Ternyata Mbah Purwo sudah menunggu di dalam kamar. Saat membuka kamar, aroma dupa dan kemenyan menyeruak ke dalam hidung mereka berdua.

Kamar itu merupakan tempat praktik Mbah Purwo. Ternyata Sudir dan Wahyu juga sudah ada di dalam kamar.

Kamar itu cukup membuat Darmo dan Slamet merinding. Benda-benda pusaka tertata rapi. Ada pula alat mediumisasi seperti Jenglot dan Boneka yang dibuat layaknya pocong tergeletak si sudut kanan kamar.

“Duduklah. Minum air yang digelas itu,” ucap Mbah Purwo sambil menunjuk gelas berisi air putih bercampur bermacam aneka bunga.

Karena yang akan mengikuti praktik ini adalah Darmo, maka dialah yang meminum air itu.

Setelah itu, Mbah Purwo kemudian merapalkan berbagai macam mantra. Darmo diminta menutup mata. Sementara Slamet disuruh mundur untuk duduk bersila dan bergabung dengan kedua murid Mbah Purwo.

Darmo tiba-tiba menggeletak tak sadarkan diri. Sekitar hampir setengah jam, ia kemudian bangun setelah Mbah Purwo memanggil namanya.

“Apa yang kamu lihat?,” tanya Mbah Purwo kepada Darmo.

“Ada seorang pria gagah menghampiri saya mbah. Sosoknya gagah memakai baju-baju seperti orang kerajaan. Dia meminta untuk saya bertapa ke salah satu petilasan di gunung itu,” kata Darmo.

Mbah Purwo menyudahi ritual itu dan meminta Darmo untuk beristirahat. Masalahnya, keesokan harinya ia akan ke sendang (tenpat pemandian) di salah satu goa, di Kawasan Pantai Sodong, Cilacap.

Sekitar pukul empat subuh, Mbah Purwo membangunkan Darmo dan Slamet. Ia meminta Darmo dan Slamet untuk bersiap-siap menuju goa. Di depan rumah, mobil sewaan sudah terparkir. Wahyu dan Sudir sudah menunggu. Mereka berlima akhirnya menuju ke sana sebelum fajar menyembul.

Di lokasi goa, sang Juru Kunci sudah menunggu. Mbah Purwo menghampiri dan berbincang sebentar. Entah apa yang mereka perbincangkan. Setelah itu Mbah Purwo mengajak Darmo masuk ke dalam goa.

Sementara Slamet menunggu di mulut goa ditemani Sudir dan Wahyu. Cukup lama ritual yang dijalani Darmo di dalam goa. Setidaknya hampir dua jam lamanya. Sambil menunggu, Slamet iseng bertanya-tanya kepada juru kunci goa tersebut.

Dari penuturan juru kunci goa, memang goa itu sering dijadikan salah satu syarat ritual seseorang untuk mencari pesugihan. Di dalam goa, terdapat beberapa petilasan yang juga dianggap keramat.

“Pesugihan? Bukan untuk syarat penglarisan mbah?,” kata Slamet sedikit terkaget mendengar penjelasan sang juru kunci.

“Celaka. Yang namanya pesugihan pasti meminta tumbal,” ucapnya dalam hati.

Selesai ritual, mereka kemudian kembali ke rumah Mbah Purwo. Sepanjang perjalanan Slamet terus saja mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun di dalam mobil. Ia menyesal menyarankan temannya untuk menemui Mbah Purwo.

Tiba di rumah Mbah Purwo, Mbah Sri istrinya sudah memasak sejumlah masakan. Salah satunya terdapat menu ayam bakakak yang ditempatkan di sebuah tampah beranyaman bambu. Dan juga terdapat aneka ragam jajanan pasar.

Makanan-makanan itu akhirnya dimasukkan ke kamar praktik Mbah Purwo. Sementara itu Darmo dan Slamet diminta menunggu di ruang tengah. Cukup lama keduanya menunggu sebelum Mbah Purwo meminta mereka masuk ke dalam kamar.

“Makan dulu ini, ayam bakakaknya dihabiskan. Jangan sampai tersisa. Kalau tidak sanggup, makan berdua sama Slamet,” kata Mbah Purwo.

“Ayo Met makan, bukannya tadi kamu bilang sudah lapar,” ucap Darmo.

Mengetahui jika ritual yang dilakukan adalah ritual pesugihan, Slamet pun tiba-tiba saja merasa kenyang. Namun Mbah Purwo meminta Slamet untuk tetap ikut makan membantu menghabiskan ayam bakakak. Mau tidak mau, Slamet pun akhirnya ikut mencicipi.

“Sudah makan saja, kamu hanya membantu. Tidak akan apa-apa,” kata Mbah Purwo seperti sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh Slamet.

Saat mencoba makan ayam itu, Darmo dan Slamet saling pandang. Ayam bakakak yang diharapkan akan terasa nikmat dimakan setelah tidak sarapan tadi, nyatanya tidak demikian.

Ayam bakakak itu terasa anyep (dingin), berbau amis, dan rasa bumbunya tidak ada sama sekali, seperti masih mentah.

Mbah Purwo hanya berdiam diri memandang Darmo dan Slamet makan. Sesekali ia terus meminta agar Darmo dan Slamet menghabiskan ayam bakakak itu.

Darmo dan Slamet terus melanjutkan makan meski menahan rasa mual ingin muntah. Kemudian, Mbah Purwo mendekati keduanya. Diusaplah mata keduanya dengan menggunakan ibu jari.

Saat membuka mata, mereka melihat ternyata mereka tengah memakan ayam bakakak tersebut bersama sejumlah makhluk tak kasat mata. Raut muka makhluk tak kasat mata itu bermacam-macam. Keduanya menunduk dan tetap melanjutkan makan meski dalam keadaan takut.

Entah apa yang membuat Mbah Purwo membuka mata batin mereka berdua. Yang jelas, saat itu mereka berpesta makan dengan kawanan jin.

Setelah ayam bakakak habis termakan, Mbah Purwo memberikan penjelasan bahwa esok hari adalah tepat malam Jumat Kliwon. Darmo diminta Kembali ke gunung itu untuk bertapa seorang diri semalaman dimulai selepas Isya hingga waktu Subuh.

Darmo dan Slamet akhirnya kembali ke kamar tidurnya. Mereka tak berani membicarakan mengenai kejadian memakan ayam bakakak tadi. Namun di sisi lain, hati Slamet tergerak ingin memberitahu mengenai ritual pesugihan yang ia ketahui kepada Darmo.

“Mo, kamu yakin akan melakukan ini? Kamu tidak akan menyesal?,” kata Slamet.

“Sangat yakin Met,” sahut Darmo yang saat itu tengah rebahan di dalam dipan (ranjang) bambu.

“Mo, tapi ini ritual pesugihan, bukan penglarisan. Aku tahu setelah dapat informasi dari juru kunci goa itu,” ucap Slamet.

Jawaban mengejutkan terlontar dari mulut Darmo. Ia meminta Slamet tak perlu khawatir dan merasa bersalah. Sebab, sejak pertemuan awal, Mbah Purwo sudah memberitahu kepada Darmo jika apa yang dilakukannya hingga sejauh ini adalah ritual pesugihan.

Ia juga baru memberitahu kepada Slamet bahwa Mbah Purwo sempat memberikan uang kepada dirinya untuk diberikan kepada anak dan istrinya sebelum ia menjalani ritual selanjutnya.

“Aku sudah tahu Met. Tenang saja. Aku tidak akan menumbalkan istri dan anakku. Pesugihan ini yang aku rasa tepat buatku, bukanlah penglarisan yang kamu sarankan. Kalau penglarisan, lama sekali itu efeknya.” ucap dia.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close