Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 3) - Penunggu Malam Pabrik Gula

Kemunculan sosok tak kasat mata di pabrik gula awalnya hanya menjadi isu biasa, sampai diketahui bahwa kemunculan mereka adalah disebabkan oleh ritual sosok yang misterius..


JEJAKMISTERI - Suara misterius terdengar dari arah bangunan belakang pabrik. Belum pernah ada yang berani untuk memastikan asal dari suara itu hingga saat ini.

“Pokoknya kali ini kita harus dapetin sumber suara itu, masa kalian mau ditakut-takutin sama hal nggak jelas” ucap Marhan pada teman-teman di belakangnya.

“Ka..kamu yang bener Han? Katanya yang ada di sana itu hantu dari tumbal waktu pabrik ini dibangun” balas Mul teman sedivisi Marhan yang dipaksa untuk mengikuti mereka malam ini.

“Heh, Justru orang kaya kamu ini yang bikin karyawan lainya percaya kalau pabrik ini berhantu” Marhan menepuk kepala Mul sembari mendorongnya maju.

“Sana jangan jadi pengecut..”
Mul tidak punya pilihan lain, mau tidak mau ia harus menuruti perintah Marhan.

Sementara dua temanya yang lain, Sukir dan Pasmin hanya ikut menertawakanya.

Ia membuka perlahan pintu besi dari bengunan utama dan perlahan berjalan menuju sebuah bangunan yang jaraknya hanya beberapa meter dari bangunan utama.

“Gelap Han”

“Udah, jalan aja”

Hanya berbekal dua buah senter, merekapun menerobos gelapnya malam dan mendekat ke bangunan yang merupakan gudang reparasi mesin-mesin pabrik itu.

Belum sempat mereka mendekat, tiba-tiba terlihat cahaya redup menyala dari salah satu jendela bangunan itu.

“Mul, tahan dulu mul.. itu kok terang, kayak ada yang nyalain lilin dari dalam” ucap Sukir.

Mul pun berhenti, ia menoleh ke arah Marhan. Sayangnya Marhan masih terus memberi kode agar Mul melanjutkan jalanya.

Saat itu seketika udara menjadi semakin dingin, senter Mul dan Marhan tiba-tiba menjadi redup dengan sendirinya.

“A..aku kok merinding yo? Piye iki?” (Aku kok merinding ya? Gimana nih?) ucap Pasmin.

“Podo, min...“ (Sama min) balas Mul sambil tersenyum memelas, namun tetap saja mereka harus terus menjalankan rencana mereka.

Sekali lagi suara pintu besi terdengar, tapi suara itu berasal dari bangunan belakang.

Baru saja mereka berhasil membuka pintu itu, tiba-tiba di hadapan mereka terlihat sesosok makhluk yang terduduk di mesin penggilingan yang sudah rusak.

Sesosok makhluk perempuan berambut panjang, berkain putih lusuh sedang memainkan kakinya sembari menatap mereka.

“Khikhikhi… aku oleh konco meneh” (Khikhikhi.. aku dapet temen lagi) ucap makhluk itu dengan suara mengerikan.

Sontak mereka berempat pun terperanjat, senter Mul terjatuh dan mereka berdesakan untuk mencoba keluar.

"Ku..kuntilanak Han! Itu kuntilanak!” Teriak Mul.
Namun siapa sangka saat Mul meminta pertolongan Marhan, tiba-tiba Marhan sudah berada jauh kembali ke seberang bangunan melarikan diri.

“Setan... malah kabur si Marhan” Ucap Sukir.

Melihat kejadian itu kuntilanak itupun semakin tertawa keras yang membuat ketiga orang itu semakin ketakutan.

“A..aku mau pingsan aja mul” ucap Sukir.

“Jangan kir, aku duluan aja...” balas Mul.

Pasmin yang melihat tingkah bodoh mereka segera memaksa menarik tubuh mereka untuk keluar dari bangunan.

Tapi.. tepat sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara air yang mengguyur ke arah hantu itu.

“Nah! Kan bener! Bisa di siram...”

Menyusul siraman itu, tiba-tiba muncul beberapa orang dari dalam kegelapan yang mendorong jatuh sosok berwujud kuntilanak itu hingga tejerembab.

“Aduh... ojo kasar-kasar to” (Aduh, jangan kasar-kasar donk) Ucap Kuntilanak itu.

Mendengar perubahan suara kuntilanak itu tiba-tiba Mul, Sukir, dan Pasmin Terhenti.

“Eh.. kok suaranya jadi cowo?” Tanya Mul.

Ia mengarahkan cahaya lampu senternya ke arah kuntilanak itu dan melihat beberapa karyawan pabrik yang baru saja muncul menyiramkan air dan mendorong kuntilanak itu.

“Lah Madun? Gusri? Kok bisa di sini?” Tanya Sukir.

“Sengaja, udah udah direncanain nih sama Marhan. Akhirnya kita bisa membongkar siapa nih yang pura-pura jadi Kuntilanak buat nakutin karyawan” Ucap Madun.

“Iya, habislah kamu!” Gusri mengompori Madun.

Mereka berduapun menarik rambut kuntilanak itu yang seketika langsung copot dari kepalanya.

“Cahyo?” Tanya Mul yang mengenali wajah itu.

“Hehehe... ngapunten mas-mas yang ganteng, kulo mung becanda. Ojo diseneni yo!”

(Hehehe.. maaf mas-mas yang ganteng, saya Cuma bercanda. Jangan dimarahin ya!) ucap Karyawan yang bernama Cahyo itu.

“Wah! Kurang ajar kamu! Berani-beraninya!” Teriak Gusri yang segera menarik kerah baju Cahyo dan mencoba memukulnya.

Beruntung baju kuntilanak yang ia gunakan cukup longgar sehingga dengan lincah ia bisa meloloskan diri dengan melepaskan baju itu dan lari menjauh.

“Ngapunten! Saya pamit dulu!” teriak Cahyo yang segera berlari secepat mungkin menuju pintu keluar.

Gusri dan Madun yang sudah kesal dengan tingkah Cahyo segera mengejar mereka diikuti teman mereka yang lain. Sayangnya dalam sekejap Cahyo sudah menghilang dari pandangan mereka masuk ke dalam kegelapan kebun pisang di dekat Pabrik.

“Cepet banget larinya tu bocah, udah kaya monyet aja.” Ucap Gusri.

“Tenang mas, besok kita samperin aja tuh. Kita bikin perhitungan” Balas Mul.

Merasa puas dengan hasil pencarian mereka, merekapun memutuskan untuk selesai dan pulang meninggalkan Pabrik Gula tempat kerja mereka.

Sebuah pabrik gula yang baru beberapa tahun direstorasi setelah puluhan tahun terbengkalai.

***

Beberapa malam setelahnya terlihat dua orang berjalan perlahan mendekati bangunan belakang itu dengan hanya berbekal sebuah senter.

“Mas Marhan, yakin mau di bangunan belakang? Katanya disana Angker” ucap seorang perempuan yang menggandeng erat Marhan dengan sedikit ketakutan.

“Tenang Dik Citra, setan yang muncul di bangunan itu sudah mas urusin. Itu ulahnya si Cahyo aja yang cari gara-gara” balas Marhan dengan percaya diri.

Mendengar ucapan Marhanpun Citra menjadi lebih tenang dan mempercepat langkahnya menuju bangunan itu.

Mereka mencari tempat yang nyaman diantara mesin-mesin penggilingan yang rusak.

Bermodalkan sebuah Jaket yang digelar, mereka menikmati malam itu di dalam kegelapan gedung dengan penerangan sebuah senter.

“Dik, kamu bener-bener cantik. Mas sampe nggak tahan ngeliat kamu” Rayu Marhan.

“Mas Marhan gombal, bilang aja kalau udah kebelet..” balas Citra menyerahkan diri.

Tak mampu menahan nafsu, bibir merekapun saling bertautan.

Tidak ada satupun yang mau mengalah memenuhi nafsunya masing-masing.

Satu persatu baju Citrapun mulai ditanggalkan. Bentuk tubuh Citra yang masih ranum membuat Marhan semakin kagum dan ingin segera menikmatinya.

“khikhihi...”

Seketika Citra melepaskan bibirnya dari Marhan saat mendengar suara yang aneh.

“Mas, i..itu suara apa?” Tanya Citra.

“Nggak ada, nggak ada suara apa-apa?” Balas Marhan yang ingin segera meraih kembali tubuh Citra, namun Citra kembali menolaknya.

“Khikhihhi...”

Seketika suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan angin dingin yang meniup tengkuk mereka

“Brengsek! Belum kapok juga tu bocah..” ucap Marhan yang seketika terlihat kesal.

“Ke..kenapa mas? Ada orang lain di sini?” Tanya Citra yang mulai panik.

“Heh! Bocah brengsek! Keluar kamu!” Teriak Marhan.

Sayangya tidak ada suara apapun yang menyahut Marhan. Sebaliknya, terdengar suara langkah kaki kecil melewati mereka.

“Cahyo! Keluar kamu!” teriak Marhan.

Mendengar teriakan Marhan tiba-tiba terdengar suara tawa seolah meledeknya.

“Khikkhikhi...”

Tak hanya itu, kali ini terdengar suara anak kecil tertawa dan raungan beberapa hewan.
Seketika Marhan tersadar, bahwa ini bukan ulah Cahyo.

“Ci...Citra! Kita pergi dari sini” ucap Marhan.

Sayangnya terlambat. tepat saat Marhan menoleh ke arah Citra, tiba-tiba terlihat sosok makhluk wanita tua dengan kulit wajah yang berkeriput dengan rambutnya yang panjang mencengkram tubuh Citra dari belakang.

“Se..setan!” Teriak Marhan yang ketakutan.

Citra yang menyadari ada sosok mengerikan mencengkeram tubuhnya hanya bisa menangis dan mencoba meraih Marhan.

“Mas... tolong mas...” ucapnya sambil terisak.

Sayangnya nyali Marhan tidak sebesar itu. Ia hanya terduduk lemas di bawah menyaksikan Makhluk itu menarik tubuh Citra masuk ke dalam celah-celah mesin.

“Citra! Citra!!” Teriak Marhan mencoba mengejarnya sambil merangkak ketakutan.

Namun sayangnya Citra sudah hilang di gelapnya bangunan bersama sosok mengerikan itu.

Marhan yang merasa panik segera mengambil senternya. Ia berdiri sekuat tenaga menguatkan kakinya Untuk mencoba mencari Citra.

Sialnya tepat saat senternya memenuhi ruangan, Marhan tidak lagi melihat hal yang sama. Cahaya senternya menunjukkan sosok bayangan makhluk besar bertaring, anak kecil yang berlarian, dan perempuan yang melayang...

Sekuat tenaga Marhan berlari meninggalkan bangunan itu dan membiarkan Citra di sana bersama makhluk-makhluk mengerikan itu.

***

(Sudut pandang Cahyo..)

Aku menghela nafas tepat saat ingin memasuki tempat kerjaku saat ini. Sebuah Pabrik gula yang tidak jauh dari desa tempatku tinggal.

Pabrik Gula ini sempat terbengkalai, namun Paklek dan beberapa kenalannya berhasil merestorasi beberapa bagian pabrik gula ini untuk difungsikan kembali.

Menurut mereka selain mampu menyerap tenaga kerja dan membangkitkan ekonomi di sekitar, beroperasinya pabrik gula ini juga bisa mengurangi kesan Angker dari tempat ini.

Suara bel masuk shift sudah berbunyi. Aku sengaja masih menunggu di luar menunggu keadaan semakin sepi.

Memang aku sengaja datang terlambat. Aku malas menjawab pertanyaan-pertanyaan karyawan lain tentang lebam-lebam di wajahku hasil perlakuan Gusri, Marhan dan kawan-kawanya.

“Lah, Mas Cahyo.. udah telat lho?” Ucap Pak Kosidi satpam pabrik ini.

“Iyo pak, sengaja.. males diwawancara sama orang-orang di dalam lagi” jawabku ketus.

“Hahaha... sudah, jangan diambil hati. Saya juga sudah laporin ke HRD kok, paling bentar lagi mereka dapet surat peringatan” ucap Pak Kosidi mencoba menghiburku.

“Iyo, Matur nuwun pak.. Tapi surat peringatan kan nggak bisa nyembuhin babak belurku” Balasku sembari terus berjalan meninggalkan Pak Kosidi.
Pak Kosidipun hanya tertawa dan menggeleng mendengar jawabanku.

***

Sial, tepat saat aku masuk ke dalam terlihat keramaian beberapa karyawan yang berkumpul. Aku yang melihat hal itu segera menghentikan niatku dan berbalik, namun aku terhenti saat Karmin salah satu temanku yang bertugas di lokomotif berpapasan denganku.

“Itu rame-rame apaan Cahyo?” Tanya Karmin.
“Mbuh, nggak tahu aku..” balasku yang segera ingin melewatinya.

“Kayaknya serius tuh, samperin yuk..” ucap Karmin sembari menarik pundakku ke arah orang-orang itu. Akupun mau tidak mau terpaksa ikut dengan Karmin.

***

“Beneran Bu, saya nggak bohong! Citra diculik kuntilanak di bangunan itu semalem”

Terdengar suara Marhan yang berusaha meyakinkan Ibu kepala administrasi, Bu Rohani, atasan langsung dari Citra untuk percaya dengan omonganya.

“Kamu jangan ngada-ngada! Lagian ngapain Citra bisa ada di bangunan itu tengah malam?” ucap ibu itu.

Mendengar perbincangan itu seketika emosiku memuncak. Akupun menerobos kerumunan itu dan segera meraih kerah Marhan dan mengangkatnya ke tembok.

“Jawab yang jujur! Apa yang kalian lakuin di bangunan belakang?” teriakku kesal.

“Bocah brengsek! Lepasin!” Marhan mencoba melawan, namun aku sama sekali tidak berniat melepasnya.

“Cahyo! Sudah jangan kasar!” perintah Bu Rohani.

“Lepasin Cahyo, jangan sampai kamu kita bikin babak belur lagi!” kali ini Gustri, Madun, dan Pasmi ikut maju mencoba mengancamku.

Saat itu aku segera melepas cengkramanku pada Marhan dan menatap dengan marah ke arah mereka.

“Terserah kalian mau mukulin aku sampai babak belur, aku nggak bakal bales!” Ucapku sembari mengancam mereka.

“Tapi seandainya ada satu saja nyawa melayang di tempat ini karena perbuatan kalian, aku nggak bakal tinggal diam!”

Seketika aku meluapkan emosiku dengan memukul sebuah meja kayu di dekatku dan membuatnya patah. Marhan dan teman-temanya terlihat gentar dengan tenagaku, namun aku tidak peduli.

“Bu Rohani, Tolong hubungi Paklek.. semoga Citra masih bisa ditolong” ucapku pada Bu Rohani dan segera pergi berlari menuju bangunan belakang.

Beberapa orang mencoba mengikutiku, Pak Kosidi yang baru mengetahui tentang kejadian inipun segera menyusul menghampiriku yang sedang mencoba memahami situasi ini.

“Mas Cahyo, beneran Mbak Citra diculik setan? Bukanya katanya setanya Mas Cahyo sendiri?” tanya Pak Kosidi.

“Nggak begitu pak, saya sengaja menakuti orang-orang yang mencoba ke bangunan ini karena saya dan paklek masih mencurigai tepat ini” jelasku.

“Maksud Mas Cahyo?”

“Beberapa bulan yang lalu Paklek menemukan sisa-sisa sesajen berserakan di beberapa sudut bangunan.

Setelah itu kadang-kadang kayawan yang bertugas di sini kembali melihat hal-hal aneh. Makanya paklek minta supaya bangunan ini ditutup dulu untuk sementara” Jelasku.

“Berarti mas Cahyo sengaja nyamar jadi setan biar nggak ada yang masuk ke sini?” Tanya Pak Kosidi memperjelas.

Aku mengangguk mengiyakan, seharusnya aku lebih ngotot untuk melawan Marhan dan teman-temanya sebelum ini terjadi. Tapi aku tidak ingin sampai salah dalam menggunakan ilmuku.

Perlahan aku memasuki bangunan itu dan meminta Pak Kosidi menahan karyawan lain untuk masuk.
Kondisi bangunan di pagi ini cukup terang, aku hampir bisa melihat setiap sudut tempat ini dengan jelas walau hanya dengan penerangan sinar matahari yang masuk dari beberapa jendela besar di atas.

Setelah memastikan tidak ada karyawan lain yang masuk Pak Kosidipun ikut denganku untuk mencari tubuh Citra.

Ruangan demi ruangan aku telusuri, celah-celah mesin rusak yang terkumpul di tempat inipun tidak lolos dari pencarianku namun kami sama sekali tidak dapat petunjuk.

Merasa pencarianku mulai buntu, akupun berdiri tepat di tengah-tengah bangunan dan mencoba mempertajam mata batinku. Mungkin saja aku bisa dapat petunjuk dengan penglihatan yang berbeda.

Benar saja, tak lama setelah aku membuka mata kembali tiba tiba dari sudut jembatan besi yang menghubungkan lantai dua tengah duduk sesosok kuntilanak. Sepertinya ia menunggu aku untuk menyadari keberadaanya.

Makhluk itu menunjuk ke salah satu lubang di mesin penggilingan.

“Pak Kosidi, coba tolong cek di lubang mesin yang terakhir masuk” ucapku.
Pak Kosidi cukup bingung melihat gerak-gerikku namun ia tetap melaksanakan apa yang kuminta. Ia butuh sedikit memanjat mesin itu untuk mengecek lubangnya.

Awalnya ia tidak menemukan apa-apa, namun perlahan setelahnya wajahnya terlihat kaget.
Ia menarik sebuah benda seperti kain berwarna putih.

“Ada mas! Ada tubuh orang di sini!” Teriak Pak Kosidi.

Akupun segera berlari menyusulnya.

Sesuai ucapan Pak Kosidi, tubuh Citra ada di tempat itu. Anehnya tubuh Citra sudah terbalut kain kafan dalam bentuk pocong.

“Citra! Bangun Citra!” Teriakku mencoba membangunkanya namun itu sia-sia.

Aku masih merasakan sedikit nafas dan detak jantungnya.

Namun apapun yang kami lakukan padanya sama sekali tidak membuatnya sadar.

Sekali lagi aku menoleh ke arah sosok kuntilanak yang memberiku petunjuk. Ia tidak berkata apa-apa dengan wajah pucatnya. Namun sepertinya aku bisa memastikan bahwa ini bukan perbuatan makhluk itu.

Ia seperti memberi isyarat bahwa dirinya dan makhluk lain yang berada di tempat ini merasa gelisah dengan keberadaan sesuatu yang mendatangi tempat ini.

“Kita bawa ke Klinik dulu Pak Kosidi” perintahku.

“Baik Mas”

Belum sempat mengangkat tubuh Citra tiba-tiba Pak Kosidi terhenti. Ada sesuatu yang mengganjal penglihatanya di lubang mesin itu lagi.

“Mas, ada kain kafan lagi di dalam mesin itu” ucap Pak Kosidi.

Aku tidak percaya dan menghampirinya lagi.

Dan benar, ada satu tubuh manusia lagi yang disembunyikan di sana.. seorang nenek-nenek.
Kami berduapun membawa kedua tubuh itu keluar. Karyawan lain menjadi panik melihat dua tubuh manusia yang tidak sadar dalam wujud pocong.

“Cahyo, Citra meninggal?” tanya Bu Rohani.

“Tidak bu, saya akan coba cari cara untuk menolongnya. Tolong jangan biarkan ada satupun karyawan masuk ke bangunan itu lagi" ucapku.

"Terus yang satu lagi itu siapa?"

"Saya juga belum tahu bu, tapi tolong dibantu juga ya bu.. kasihan" Pintaku pada Bu Rohani.

Ia mengerti dan segera meminta karyawan lagi untuk membantu membawa kedua tubuh itu ke klinik. Bu rohani juga bercerita bahwa paklek akan segera kembali dari tugasnya dan menyusul ke tempat ini.

Setelah Citra dan nenek itu mendapatkan pakaian yang layak dan dirawat di klinik aku mencoba memeriksanya kembali.

Menurut dokter yang bertugas mereka dalam kondisi pingsan. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menyadarkan mereka namun gagal.

“Saya bingung mas, kalau begini takutnya mereka bisa koma” ucap dokter itu.

“Ya sudah, yang penting dokter lakukan yang terbaik yang diperlukan saja. Mereka jadi begini karena hal yang tidak wajar, biar nanti saya coba cari juga akar permasalahanya” Jelasku.

Dokter itu mengiyakan. Ia memastikan akan memantau kondisi vital kedua orang itu selama masih dalam penangananya.

Aku meninggalkan klinik pabrik dan melihat Marhan dan teman-temanya yang penasaran dengan kondisi Citra.

Akupun hanya menatap mata mereka dan menghela nafas mengingat kelakuan mereka.
“Cahyo” teriak Marhan memanggilku yang tengah meninggalkan mereka.

“Ci..Citra bagaimana?”
Marhan terdengar merasa bersalah dengan keadaan Citra saat ini. sayangnya aku masih kesal dengan perbuatannya.

“Itu tanggung jawabmu..” ucapku sembari meninggalkan mereka dan menyelesaikan pekerjaanku yang belum sempat kusentuh sama sekali hari ini.

***

Tepat saat matahari tenggelam aku kembali ke Pabrik untuk mengecek bangunan belakang. Sayangnya paklek masih belum bisa dihubungi hingga sekarang.

Mau tidak mau aku harus mencari petunjuk mengenai permasalahan di bangunan ini seorang diri terlebih dahulu.

“Mas Cahyo, yakin mau ke tempat itu sendirian?” Tanya Pak Kosidi yang khawatir dengan tindakanku.

“Iya pak, nggak usah khawatir. Saya juga sering ke sana sendiri kok” balasku.

“Nggak gitu mas, tapi semenjak kejadian tadi ada yang cerita.. katanya bekas karyawan bangunan belakang sering melihat sosok mirip kuntilanak berwajah nenek tua. Katanya sosok itu yang memicu kecelakaan kerja” Jelas Pak Kosidi.

Mendengar ucapan Pak Kosidi aku mengingat sosok kuntilanak yang memberiku pentunjuk tadi. Namun ciri-cirinya sangat berbeda dengan yang diucapkan Pak Kosidi. Lagipula aku sudah sering melihat kuntilanak tadi siang sejak pertama kali aku datang ke pabrik gula ini.

“Justru itu yang ingin saya cari tahu pak, tolong pastikan saja tidak ada yang nekat masuk ke dalam” ucapku.

Kali ini Pak Kosidi tidak setuju, ia bersikeras ingin ikut mendampingiku ke dalam bangunan belakang. Aku mengerti kekhawatiranya dan membiarkanya mengikutiku.

Kami berjalan melewati bangunan utama. Perlahan aku mengingat prosesi saat aku dan paklek membersihkan bangunan ini dari sosok-sosok yang tak kasat mata. Aku ingat dengan jelas bahwa semua sosok yang mengganggu sudah diusir dari tempat ini.

Namun bagaimana bisa ada sosok yang mencelakai lagi?

Saat keluar lewat pintu belakang, tiba-tiba raut wajah Pak Kosidi berubah. Wajahnya pucat dengan bibir yang bergetar.

Tidak.. sudah lama aku tidak melihat hal seperti ini di pabrik.

Saat kami hendak masuk ke dalam bangunan belakang wanita berwajah pucat terlihat melayang menatap kami dengan wajah penuh amarah.

Tapi tidak hanya makhluk itu, ada beberapa sosok hantu anak kecil yang menatap lewat jendela.

Belum lagi sosok makhluk setinggi dua meter menghalangi pintu masuk dengan tatapan mengancam kami.

“Mas, i..itu setan mas? Setan?” teriak Pak Kosidi.
“Tenang dulu mas, seharusnya mereka bukan sosok yang mengganggu” jelasku.

Aku mencoba mendekat ke sosok itu, namun mereka memasang muka tidak senang seolah memintaku untuk pergi.

Akupun mencoba memperingatkan dengan membacakan doa untuk mengusir mereka dari tempat ini.

Beberapa dari mereka terlihat kesakitan, namun tidak satupun dari mereka yang berniat meninggalkan tempat.

“Gimana mas Cahyo? Kita balik aja?” Tanya Pak Kosidi.

Tidak menyerah, akupun melafalkan ayat-ayat suci yang diajarkan paklek untuk menenangkan mereka. Tapi tetap saja makhluk itu tidak beranjak, anehnya mereka sama sekali tidak berniat untuk menyerang kami.

Akupun mendekat ke arah kuntilanak itu, ia berusaha mengusirku namun aku tetap melangkah maju.

“Kamu bisa mati...”

Terdengar suara bisikan dari kuntilanak itu.

Saat itu juga aku sadar, makhluk-makhluk penunggu bangunan belakang ini berusaha menghindarkanku dari sesuatu yang berbahaya di dalam.

***

“Aku harus masuk, ada nyawa dua manusia yang dipertaruhkan saat ini” ucapku pada mereka.

Para penunggu bangunan itu masih tidak ingin membiarkanku, sepertinya sosok yang berada di dalam bangunan itu benar-benar berbahaya.

Aku hampir tergoyahkan dengan peringatan dari mereka. Tapi belum sempat aku berbalik arah, samar-samar terdengar suara dari dalam bangunan.

“Ibu!! Sudah ibu! Hentikan!!” terdengar suara seorang laki-laki dari dalam.

“Sakitt! Sudah Ibu!!”
Seketika aku mengurunkan niatku untuk berbalik dan berlari menerobos ke dalam bangunan.

Gila... aku benar-benar tidak menyangka akan melihat pemandangan seperti ini.

Bangunan yang selama ini kujaga untuk tidak dimasuki oleh siapapun kini berubah dengan banyaknya genangan darah di beberapa bagian.

Melihatnya sekilas aku segera saja mengetahui siapa yang melakukan ini semua..

Sosok makhluk yang melayang-layang di tengah bangunan.

Wujudnya menyerupai kuntilanak pada umumnya, namun ia berwujud nenek dengan rambut putih yang terurai acak-acakan.

“Hentikan! Apa yang kamu lakukan!”

Teriakku saat menyadari sosok itu tengah mengangkat seorang anak laki-laki berumur belasan tahun yang wajahnya sudah penuh dengan darah.

“Sa..sakit,” anak laki-laki itu terus melenguh entah apa yang tengah terjadi padanya.

Melihat kedatanganku setan nenek itu tertawa terkekeh hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Bersamaan dengan itu terdengar suara makhluk yang mendengung seolah mengucap satu kata secara bersamaan.
“Pak Kosidi, Lari! Makhluk itu tidak sendiri!” Perintahku pada Pak Kosidi.

“Mas? Terus mas Cahyo gimana?” tanya Pak Kosidi bingung.

“Nggak usah banyak tanya! Lari!” Perintahku.
Beruntung kali ini Pak Kosidi mau mendengar perintahku.

Aku menoleh ke arahnya sepertinya sebagian sosok penunggu yang menghalangiku tadi mengawasi Pak Kosidi agar bisa pergi dengan selamat.
Tepat setelah kepergian Pak Kosidi tiba-tiba bangunan ini sudah dipenuhi manusia berwajah pucat.

Bau bangkai muncul dari setiap wujud yang nampak di tempat ini.
“To...tolong” anak laki-laki itu kembali memohon.
Berbeda dengan makhluk-makhluk penunggu pabrik gula yang lain, makhluk ini tidak cukup hanya kutenangkan dengan doa-doa dan ayat suci.

Sepertinya mereka terikat dengan sosok yang mengerikan.

Tak mau memperpanjang lagi, akupun membacakan ajian yang diajarkan oleh paklek. Sebuah ajian yang mampu membuat kekuatan fisikku bisa bersentuhan dengan sosok-sosok tak kasat mata ini.

Tidak mungkin aku bertarung dengan sosok sebanyak ini, tujuan utamaku adalah menyelamatkan anak laki-laki yang ditawan setan nenek itu.

Sekuat tenaga aku melompati rongsokan mesin mesin di tempat ini dan melemparkan sebuah pukulan pada sosok nenek itu.

Nenek itupun terhempas ke belakang dan menjatuhkan anak laki-laki itu. Tapi yang membuatku heran, nenek itu tetap tertawa terkekeh dengan kejadian itu.

Firasatku benar, tak lama setelah nenek itu terpental tiba-tiba aku mencium bau busuk.

Aku mencari asal bau itu yang ternyata berasal dari lenganku yang sempat bersentuhan dengan nenek itu.

“Kehkehkehke... Bocah goblok, melawanku saja paklekmu tidak mampu. Sekarang ada bocah goblok yang menghantarkan nyawanya” setan nenek itu mulai berbicara banyak meledekku.

Ucapanya bukan gertakan, jariku benar-benar menghitam tak bisa digerakkan. Seketika aku merasa ragu untuk menghadapi nenek itu dan memutuskan untuk mencari cara menyelamatkan anak laki-laki itu terlebih dahulu.

“Ayo, kita pergi dari sini” ucapku segera menghampiri anak itu.

Sialnya, belum sempat mendekat tiba-tiba wajah nenek itu muncul dari dalam tanah tepat di samping tubuh anak laki-laki itu.

“Kkhekehkeh... ini anakku, jangan ikut campur” ucapnya mencoba mengambil lagi tubuh anak itu.

Sempat aku berniat untuk mundur, namun aku tetap memaksa berlari ke arah anak itu dan mengangkat tubuhnya.

“Bocah nyusahin lebih baik mati saja” ucap nenek itu.

Aneh, suara itu terdengar begitu dekat.

Aku merasa perasaan yang tidak enak tepat saat mendengarnya. Dan benar saja, anak laki-laki yang kutolong menatapku dengan melotot sambil menyeringai. Raut wajahnya persis menyerupai nenek itu.

Entah apa yang terjadi, saat itu juga kakiku kehilangan kekuatan untuk berpijak.

Rasa panas menjalar di seluruh kakiku yang ternyata mulai menghitam persis seperti yang terjadi pada tanganku.

Tak mampu menahan berat tubuhku, akupun terjatuh dan terbaring dengan setiap anggota tubuhku yang hampir tidak bisa digerakkan.

Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku ketika sadar aku sudah benar-benar tidak berdaya.

Terlihat sosok roh manusia berwajah pucat di sekitar bangunan ini mendekat ke arahku. Entah apa yang akan mereka lakukan, yang aku tahu semua itu bisa saja menghilangkan nyawaku.

Mereka semakin mendekat, sementara itu nafasku semakin sesak. Ada sosok roh manusia berwujud kakek pincang mendekat ke arahku dan bersiap merasuki tubuhku.

Aku menolaknya sekuat tenaga, namun tubuhku terlalu lemah. Bahkan untuk melafalkan doapun bibirku sudah kelu.

Tepat saat aku mulai bingung dengan keadaan ini, tiba-tiba sosok kakek itu terpental bersamaan dengan suara geraman yang menggema ke seluruh bangunan.

“Ggggrrroaarr…!!”

Tak hanya mementalkan kakek itu saja, tapi berbagai sosok yang mendekat kearahkupun menjauh menjaga jarak dengan diriku.

“Wanasura…”

Sepertinya sosok di dalam diriku kembali terbangun dengan sosok roh kakek yang mengusiknya.

“Kkhkehkehe... ora usah wedi, ketek kuwi raiso opo-opo nek menungsone mati” (tidak usah takut, monyet itu tidak bisa apa-apa kalau manusianya mati) Ucap nenek itu dari tubuh anak laki-laki yang kutolong tadi. Sepertinya ia cukup tau mengenai roh seperti Wanasura.

Mendengar ucapan nenek itu, setan-setan itu kembali mendekat ke arahku. Aku tidak mampu berpikir lagi. Kesadaranku sudah mulai pudar. Yang sekarang kurasakan adalah tubuhku terasa panas dengan hembusan angin yang terasa menenangkan tubuhku.

Tunggu...

Angin? Seharusnya tidak ada angin di tempat ini.
Angin itu berhembus semakin kencang bersamaan dengan terdengarnya langkah kaki seseorang yang sedang berlari.

Suara ayat-ayat suci mengalun bersamaan dengan hembusan angin yang memenuhi bangunan ini.

Seketika aku sedikit tersenyum mendengarnya.
Gambuh Rumekso, sebuah ajian yang diturunkan Pakdeku untuk anaknya yang juga sahabatku.

“Tak tungguin di rumah Bulek malah tiduran di sini” ucap seseorang yang tak kusangka akan hadir di tempat ini.

Ia mengambil sebotol air dari tasnya dan membacakan doa. Dengan hati-hati ia meminumkanya kepadaku hingga perlahan aku mendapatkan kesadaranku kembali.

“Hati-hati Danan, setan itu bukan makhluk biasa. Waktu nyentuh tubuhnya tanganku jadi menghitam begini” ucapku mencoba menjelaskan keadaan di tempat ini.
"Ohh.. itu, kamu salah.." ucap Danan.

Iapun berlari meninggalkanku dan menuju anak laki-laki yang dirasuki nenek itu dengan mengenggam sebilah keris.

“Satu lagi bocah brengsek!” Setan nenek itu mengumpat, kali ini sepertinya ia merasa terancam dengan kedatangan Danan.

Danan mencoba menghujamkan kerisnya pada Makhluk itu namun seketika nenek itu keluar dari tubuh anak laki-laki itu dan melayang menjauh darinya.

Danan tidak mengejar, ia malah mengarah ke salah satu becekan darah dan mengambil sebuah benda. Iapun kembali dan menunjukkan benda itu kepadaku.

“Nih, ini ilmu santet.. tubuh kamu menghitam di setiap boneka jerami ini tersentuh darah” ucap Danan.

Santet? Sial.. aku benar-benar tidak menyangka hal ini.

Danan dengan sigapnya membacakan doa untuk memutihkan kembali benda perantara santet itu hingga terbakar. Bersamaan dengan itu akupun mendapatkan kembali tenagaku dan mencoba berdiri menghampiri Danan.

“Gimana Nan? Bisa kita hadapi?” tanyaku.

“Nggak tahu Jul, nenek itu bukan setan.. dia dukun yang melepaskan sukmanya. Jadi tau kan makhluk itu sesakti apa?” Jelas Danan.

Gila, melepaskan sukma dan bisa merasuki manusia lain dan mengutuk orang seperti itu? Jelas lawan kami bukan dukun biasa.

“Kamu hadapi Nenek itu biar aku yang menghadapi roh pengikutnya itu, gimana?” aku mencoba menawarkan rencana pada Danan.

Danan melihat sekeliling, sepertinya dia juga tidak yakin dengan apa yang akan kami lakukan.

“Nggak semudah itu, kamu nggak lihat asal genangan darah itu?” tanya Danan padaku.

Benar juga, aku tidak sempat kepikiran dengan apa yang menyebapkan darah ini menggenang di berbagai sudut bangunan.

Sial... tepat saat aku menoleh ke atas, aku mulai sadar dengan sumber darah yang menggenang itu.

Sosok mayat yang dipocong, tergantung terbalik di langit-langit yang tinggi. Jasad itu meneteskan sisa-sisa darahnya yang sudah mulai habis. Sayangnya aku tidak bisa mengenali siapa orang yang ditumbalkan itu.

Mengetahui kami berdua menyadari keberadaan jasad yang tergantung itu, seketika wajah nenek itu berubah kesal. Sepertinya ada ritual yang belum ia selesaikan.

Seolah tidak ingin mengambil resiko, nenek itu menggumam membacakan mantra yang membuatku dan Danan seketika merasa merinding. Bersama dengan dikumandangkanya mantra itu seluruh roh manusia di tempat ini berteriak kesakitan seperti kesetanan dan saling menyerang satu sama lain.

Kami berduapun tak luput dari serangan-serangan makhluk yang menggila di tempat ini. Sekuat tenaga aku mencoba menghindari semua serangan itu.

Entah mengapa bangunan belakang pabrik gula ini seketika seperti menjadi medan pertempuran.

Tanpa sengaja di tengah kericuhan itu aku melihat beberapa roh yang kukenali. Ada roh Citra dan nenek yang tubuhnya tadi siang kutemukan di tempat ini.

“Danan, perempuan dan nenek itu.. kamu bisa nolong mereka?” Ucapku.

“Maksud kamu?”

“Yang perempuan karyawan pabrik ini, tadi siang aku selamatkan tubuhnya tapi ia tidak bisa sadar” jelasku.

“Ooh.. kalau tubuhnya masih hidup harusnya roh itu masih terikat dengan tubuhnya” ucap Danan.

Saat itu Danan dengan cepat menerobos kerumunan roh-roh yang menggila itu menuju roh Citra. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membukakan jalan untuknya.

Ada doa panjang yang dibacakan oleh Danan kepada kedua roh yang kutunjuk.

Roh itu terduduk kesakitan namun tak lama sosok roh itupun menghilang perlahan dari hadapan kami.
“Gimana nan?” Tanyaku.

“Berdoa saja, seharusnya sekarang roh itu bisa kembali ke raganya sendiri..” jawab Danan.

“Terus yang lainya gimana?”

“Aku nggak tahu kondisi mereka, ada yang jasadnya sudah mati dan ada yang bersekutu dengan dukun itu. Dua kasus itu aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa mengalahkan sosok yang mengikat mereka” Jelas Danan.

Benar ucapan Danan, pantas saja doa-doaku tadi juga tidak bisa menenangkan mereka. untuk masalah kutukan dan hal ghaib seperti ini memang Danan lah jagonya.

Di tengah perbincangan kami seketika aku merasakan perasaan yang mengerikan dari setiap sudut bangunan.

Kami tahu, perasaan itu berasal genangan darah tumbal yang digantung itu.

“Ada yang bangkit...” ucap Danan.

“Jadi... nenek itu melakukan ritual pemanggilan?”

Danan sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, tiba-tiba tubuhnya terduduk dengan mata yang terpejam.

“Nan? Kamu kenapa?” Aku mencoba memastikan kondisi Danan namun sama sekali tidak ada respon darinya.

Braaakkk!!!

Tanpa kusadari tiba-tiba ada satu sosok tumbal yang terjatuh ke tanah.

“Bocah sialan, kamu bisa ilmu ini juga?” Hantu nenek itu terlihat kesal dan mendatangi sosok yang melepaskan tumbal itu.

“Danan?”

Aku nyaris tidak percaya, tubuh Danan ada di dekatku tapi jauh dari pandangan mataku Danan tengah bertarung dengan setan nenek itu dengan menggenggam keris di tanganya.

“Ilmu Rogosukmo?”

Aku tak mau kalah, sementara Danan bertarung melawan nenek itu akupun memanggil kekuatan wanasura untuk memperkuat lompatanku.

“Wanasura!!!”

Dengan sigap aku melompat dari mesin ke mesin menuju langit-langit tempat salah satu tumbal digantung mengenaskan.

Akupun melakukan hal yang sama dengan Danan menjatuhkan dia dari tempatnya.

Setelah itu aku bersiap melepaskan tiga tumbal lainya, semoga saja hal ini bisa membatalkan dukun nenek itu membangkitkan setan-setan yang ia panggil.

“Cahyo kita keluar!”

Belum sempat menuju tumbal berikutnya, tiba-tiba Danan sudah kembali ke tubuhnya dengan wajah pucat. Ia seperti khawatir dengan sesuatu.

“Ta...tapi Nan?”

“Tiga tumbal lainya sudah diterima, kita tidak sanggup melawan iblis-iblis itu!”

Benar ucapan Danan, aku merasakan hawa bahaya yang besar. Aku tidak lagi membantah, dengan segera aku menghampiri Danan dan membantunya untuk keluar.

Saat itu aku kembali melihat sosok anak laki-laki yang tadi dirasuki oleh ibunya itu.

Firasatku mengatakan aku harus membawa tubuh anak itu.

“Segera keluar! Kita tutup semua pintu bangunan ini!” Teriak Danan.

Sekuat tenaga kami menerobos kericuhan di ruangan itu.

Darah yang menggenang sekarang terlihat bergetar seolah akan muncul sosok mengerikan dari genangan itu.

Tepat saat kami keluar, aku meletakan tubuh anak laki-laki itu di tanah dan membantu Danan menutup seluruh pintu bangunan belakang.

Danan mengambil beberapa benda dari tasnya, ada kertas-kertas bertuliskan mantra dan ayat suci dan beberapa pasak bambu. Ia memasangnya ke beberapa sudut bangunan yang aku tahu itu adalah cara untuk memasang pagar ghaib.

Aku membantunya dengan melafalkan doa yang sama untuk memperkuat pagar yang mengelilingi bangunan itu.

“Apa ini cukup Nan?” Tanyaku.

“Nggak tahu, besok hari minggu kan? Seharusnya tidak ada karyawan yang datang kan?” tanya Danan.

“Iya Nan”

“Semoga saja besok paklek sudah datang, sekarang kita kembali dulu.. tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain mencoba mengobati korban-korban yang kamu ceritakan tadi” ucap Danan.

Entah mengapa kali ini aku melihat Danan menjadi begitu bisa diandalkan.

Ia benar-benar bisa mengontrol emosinya dan memperhitungkan langkah apa yang paling aman.

“Ia Nan, semoga paklek cepat kembali” ucapku.

Malam itu aku menggotong Anak laki-laki yang kehilangan kesadaran itu ke klinik tempat Citra dan nenek itu di rawat.

Danan memeriksa mereka juga dan sepertinya ia memastikan bahwa rohnya sudah menemukan jalan untuk kembali ke tubuhnya.

“Suster, tolong dipantau terus mereka ya.. seharusnya sebelum pagi mereka sudah sadar.

Pastikan kebutuhan nutrisi mereka sudah siap agar bisa cepat pulih” ucap Danan.
Para perawat yang mendengar ucapan Danan sebenarnya bingung mengapa Danan terlihat sok tahu dengan kondisi pasien, tapi dengan kondisi Citra yang aneh merekapun memilih untuk mempercayai ucapan kami.

“Kok kamu bisa tiba-tiba dateng ke pabrik Nan?” Tanyaku heran sembari berjalan menuju rumah Paklek.

“Aku udah dateng dari tadi siang, harusnya senin kan aku sudah kerja di sini.. eh malah ketemu masalah ginian. Kayaknya hidupku nggak jauh-jauh dari urusan demit” ucap Danan sambil tertawa.

“Hahaha... nggak papa Nan, kalau kamu nggak dateng tadi nggak tahu gimana nasibku” balasku.
Dananpun menepuk punggungku seolah menganggap hal tadi bukan hal yang besar.

Saat memasuki desa kami melihat ada sebuah gerobak angkringan dengan lampu yang masih menyala.

Kamipun memutuskan untuk berhenti dulu di sana dan menikmati secangkir kopi dan nasi kucing yang menghangatkan perut kami.
Perbincangan yang panjang terjadi di tempat itu.

Banyak cerita dari Danan mengenai kuliahnya dan ceritaku soal keisengan Paklek.
Entah berapa lama kami ngobrol di tempat itu. Mungkin seandainya angkringan itu tidak tutup, kami akan terus berada di sana hingga matahari terbit kembali.

Setidaknya perbincangan ini mampu sedikit menenangkan perasaan kami sebelum besok menghadapi permasalahan yang membuat kami begitu khawatir.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close